Cerita Pendek:Di Bawah Langit yang Sama to Indonesia

 

Cerita Pendek:Di Bawah Langit yang Sama to Indonesia
Cerita Pendek:Di Bawah Langit yang Sama to Indonesia(https://pixabay.com/id/photos/jalan-kota-rakyat-malam-perkotaan-7752940/)

Kita selalu percaya bahwa langit adalah satu-satunya saksi yang setia. Ia terbentang tanpa batas, menghubungkan aku dan kamu yang dipisahkan ribuan kilometer oleh daratan dan lautan.

Aku, Ayu, seorang gadis dari Yogyakarta yang jatuh cinta pada Alif, seorang mahasiswa asal Istanbul yang pernah bertukar pelajar di kampusku. Perjumpaan kami dimulai dari sebuah kebetulan, di bawah pohon flamboyan saat ia menolongku mengumpulkan lembaran skripsi yang tertiup angin.

"Ini milikmu, bukan?" tanyanya dengan logat Turki yang kental, namun suaranya terdengar hangat.

Aku tersenyum canggung, mengambil lembaran itu dari tangannya. "Terima kasih, kamu sangat membantu."

Sejak saat itu, kami mulai sering bertemu. Di kantin, di perpustakaan, bahkan dalam perjalanan pulang ke kosan. Entah bagaimana, langkahnya selalu beriringan denganku.

Namun, waktu memiliki caranya sendiri untuk memisahkan. Ketika masa pertukaran pelajarnya usai, Alif harus kembali ke Istanbul. Perpisahan itu terasa begitu cepat, seolah-olah kami baru saja memulai kisah yang belum sempat diukir.

Di bandara, ia menggenggam tanganku erat. "Ayu, aku tahu ini sulit. Tapi aku ingin kita terus berkomunikasi. Aku ingin kita menjaga apa yang sudah kita mulai."

Aku menatap matanya yang menyimpan begitu banyak kerinduan. "Aku juga ingin begitu, Alif. Tapi, apakah cinta bisa bertahan sejauh ini?"

Ia tersenyum tipis. "Langit yang sama akan selalu mengingatkan kita."

Setelah ia pergi, jarak mulai menjadi ujian terbesar kami. Setiap malam aku menatap bintang, bertanya-tanya apakah Alif juga melakukan hal yang sama di sana.

Pesan-pesan dari Alif sering kali menjadi penyelamat hariku.

"Ayu, apa kabar? Di sini musim dingin mulai terasa. Aku harap kamu tetap hangat di sana."

Aku tersenyum membaca pesannya. "Aku baik-baik saja, Alif. Di sini musim hujan, dan aku merindukan secangkir kopi hangat bersama kamu."

"Aku juga merindukanmu. Suatu hari nanti, aku ingin kita duduk di kafe kecil di Istanbul, berbagi cerita tentang semua yang kita lalui."

Waktu berlalu, dan meskipun jarak terus memisahkan, hati kami tetap bertaut. Kami saling menguatkan melalui panggilan video, pesan singkat, dan surat yang sesekali dikirim dengan aroma khas negara masing-masing.

Suatu hari, ketika aku berjalan di Malioboro, sebuah pesan masuk. "Ayu, aku ada kejutan untukmu."

"Apa itu?" balasku penasaran.

"Tunggulah di bawah pohon flamboyan tempat kita pertama kali bertemu."

Dengan jantung berdegup kencang, aku melangkah menuju pohon itu. Angin sore berhembus lembut, membelai wajahku yang dipenuhi rasa rindu.

Dan di sana, di bawah flamboyan, berdiri sosok yang begitu aku rindukan.

"Alif? Bagaimana bisa?"

Ia tersenyum, matanya bersinar hangat. "Aku tak bisa menunggu lebih lama untuk bertemu denganmu lagi. Aku ingin memastikan bahwa cinta ini nyata, meski jarak pernah menjadi tembok."

Aku mendekatinya, merasakan debaran yang telah lama tak kurasakan. "Kamu gila... tapi aku senang kamu ada di sini."

Alif menggenggam tanganku. "Ayu, aku ingin kita berjalan bersama, tak hanya di bawah langit yang sama, tapi juga di jalan yang sama."

Langit sore itu menjadi saksi bisu, menyimpan cerita cinta yang kembali menyatu, seakan jarak tak pernah ada.

"Cinta tidak mengenal batas. Seperti langit yang tak terhitung luasnya, ia menyatukan hati yang berjauhan."

Puisi:Bayang-Bayang Tanpa Waktu



Dalam hening, bayangmu masih menetap,

Seperti senja yang enggan berlalu.

Aku merangkai sisa kenangan yang retak,

Mencari hangat di sela rindu yang bisu.


Langkah-langkahmu terukir di dada,

Meski tak lagi kau tapaki jalannya.

Kata-kata yang pernah kita rajut bersama,

Kini berguguran, bersembunyi di luka.


Cinta ini seperti daun yang gugur perlahan,

Tak berteriak, hanya diam menahan.

Tapi aku tahu, bahkan bayangmu pun,

Tak ingin menetap selamanya di pelupuk angan.


Aku merelakan meski hati enggan,

Karena cinta sejati tak memaksa bertahan.

Biarlah kau pergi, membawa separuh malam,

Aku akan belajar bercahaya tanpa rembulan.



Cerita Pendek:Duri dalam Mawar

 

Cerita Pendek:Duri dalam Mawar
Ilusi gambar Cerita Pendek:Duri dalam Mawar https://pixabay.com/id/photos/pasangan-matahari-terbenam-6562725/


Hujan mengguyur lebat malam itu, membasahi jalan setapak menuju rumah tua di pinggir kota. Lampu jalan yang remang-remang memantulkan bayangan pohon yang melambai seperti sosok-sosok hantu. Di dalam rumah itu, tiga jiwa terjerat dalam cinta yang gelap.

Amara duduk di sofa ruang tamu, menatap cangkir teh di tangannya yang dingin. Hatinya berdenyut oleh kecamuk rasa bersalah dan kebencian. Di seberangnya, Reza berdiri sambil menyandarkan tubuhnya ke dinding, rokok terselip di antara jari-jarinya.

“Amara,” kata Reza dengan suara rendah. “Kamu harus memilih. Aku atau dia.”

Amara mendongak, matanya yang kelam bertemu dengan tatapan tajam Reza. “Ini tidak semudah itu, Reza. Aku mencintai kalian berdua. Tapi...” Suaranya pecah, tertahan oleh air mata yang menggantung di kelopak matanya.

Pintu depan berderit terbuka, dan langkah berat terdengar dari koridor. Arya muncul, wajahnya kusut dan matanya dipenuhi amarah. “Kalian sudah cukup lama bermain-main di belakangku,” katanya dengan nada datar, tapi penuh ancaman.

Reza menegakkan tubuhnya, menatap Arya tanpa gentar. “Kami tidak bermain-main, Arya. Aku mencintai Amara. Sesuatu yang mungkin sudah lama kamu lupakan.”

Arya tertawa pendek, getir. “Mencintai? Kamu pikir cinta itu cukup untuk menghancurkan hidup orang lain?”

Amara berdiri, tubuhnya gemetar. “Arya, hentikan. Aku...”

“Kamu apa, Amara?” Arya memotong, matanya menatap tajam seperti pisau. “Kamu mencintaiku, tapi juga mencintainya? Apa artinya pernikahan kita ini, kalau begitu?”

Ruangan terasa seperti dipenuhi oleh listrik, tegang dan tak terduga. Hening yang terjadi di antara mereka hanya dipecahkan oleh suara hujan di luar. Amara mencoba mencari kata-kata, tapi bibirnya membeku. Ia tahu bahwa apa pun yang ia katakan akan menjadi bahan bakar untuk api yang sudah berkobar.

Reza melangkah maju, memposisikan dirinya di antara Amara dan Arya. “Amara sudah cukup menderita. Kalau kamu memang laki-laki, Arya, hadapi aku. Jangan terus menekan dia.”

Arya menyeringai, tatapannya berubah gelap. “Baiklah, Reza. Kalau itu yang kamu mau.”

Tanpa aba-aba, Arya melayangkan pukulan ke wajah Reza. Tubuh Reza terhuyung ke belakang, tapi dengan cepat ia membalas. Perkelahian pecah, kasar dan tak terkendali. Amara menjerit, mencoba melerai, tapi kedua pria itu terlalu tenggelam dalam amarah mereka.

Dalam kekacauan itu, sebuah pisau dapur yang tergeletak di meja terjatuh ke lantai. Arya memungutnya dengan gerakan cepat, matanya seperti binatang buas yang terpojok. “Kalau aku tidak bisa memilikinya,” katanya dengan suara serak, “maka tidak ada yang bisa.”

Amara memekik. “Arya, jangan!”

Tapi semuanya terjadi begitu cepat. Reza mencoba merebut pisau itu, dan dalam pergulatan mereka, darah memercik ke lantai kayu. Reza terjatuh, memegangi luka di perutnya. Napasnya terengah, matanya membelalak tak percaya.

Arya berdiri, terengah-engah, pisau masih tergenggam di tangannya. Amara berlutut di samping Reza, air matanya mengalir deras. “Reza! Tidak, tidak...”

Reza mencoba berbicara, tapi hanya darah yang keluar dari mulutnya. Dalam hitungan detik yang terasa seperti selamanya, tubuhnya terkulai lemas.

Arya menatap pemandangan itu, seolah-olah baru menyadari apa yang telah ia lakukan. Pisau di tangannya terlepas dan jatuh ke lantai dengan dentingan yang tajam. “Amara...” suaranya lirih, hampir tak terdengar.

Amara bangkit perlahan, matanya penuh dengan kebencian dan kesedihan. “Kamu membunuhnya, Arya. Kamu membunuhnya...”

Arya mundur selangkah, tangannya terangkat seolah mencoba menjelaskan. “Aku... aku tidak bermaksud...”

Tapi Amara tidak mendengar. Dengan gerakan tiba-tiba, ia mengambil pisau dari lantai dan melangkah maju. Arya membeku, terkejut oleh kebencian yang terpancar dari wanita yang dulu ia cintai.

“Kamu telah menghancurkan segalanya,” bisik Amara sebelum mengayunkan pisau itu.

Ketika akhirnya sunyi menguasai ruangan itu, hanya ada suara hujan yang terus mengguyur di luar. Amara berdiri di tengah dua tubuh tak bernyawa, tangannya berlumuran darah. Napasnya tersengal, tapi matanya kosong.

Ia berjalan keluar dari rumah itu, meninggalkan segalanya di belakang. Di bawah hujan yang deras, ia terus melangkah, membiarkan air membasuh dosa yang baru saja ia lakukan. Tapi tidak ada hujan, seberapa deras pun, yang bisa membersihkan luka di hatinya.

Dan malam itu, di bawah langit kelam, cinta segitiga mereka menemukan akhir yang paling tragis.

Puisi cinta;Menanti Cinta di Malam Sunyi

Ilus foto puisi Menanti Cinta di Malam Sunyi fiqi Andre


Di bawah langit yang kelam tak berbintang,

Aku duduk terdiam, berselimut bayang.

Angin malam berbisik lembut, menyapa,

Namun dinginnya lebih dalam dari luka.


Jam berdetak, seperti menertawakan,

Waktu yang berjalan tanpa kepastian.

Aku menunggu, meski tahu samar,

Langkahmu yang tak kunjung benar-benar datang.


Ada rindu yang menggantung di udara,

Mengisi ruang hati dengan cerita hampa.

Cahaya bulan perlahan memudar,

Namun bayang wajahmu tetap bersinar.


Aku bertanya pada malam yang bisu,

Apakah kau juga melihatku di waktu itu?

Di sudut gelap kesepian ini,

Aku hanyut dalam ilusi yang tak bertepi.


Seperti ombak yang mengejar pantai,

Hatiku berharap meski sering terabai.

Adakah kau di sana, menatap langit yang sama,

Atau hanya aku, tenggelam dalam nestapa?


Daun gugur perlahan menyentuh bumi,

Seperti rinduku, jatuh tanpa arti.

Namun aku tetap menanti, di ujung malam,

Meski yang kutemukan hanyalah sepi yang kelam.


Cinta, akankah kau datang dalam mimpi?

Atau hanya menjadi bayangan yang tak berarti?

Meski perih, aku akan tetap di sini,

Menunggu cintamu, hingga pagi mengganti.



Puisi:Kenangan di Tepi Meja



Ilusi foto puisi
Ilustrasi foto puisi kenangan di tepi meja



Di sudut meja, aroma manis melingkari,

Bango kecap manis menemani memori,

Di setiap tetes, ada cinta yang menari,

Mengingatkan kita pada cerita sejati.


Malam itu, rembulan menjadi saksi,

Tatapanmu hangat, membalut sunyi,

Kecap manis melumuri daging hati,

Seakan berkata, "Inilah kita, takkan terganti."


Kamu selalu tahu, rahasia rasa,

Manisnya cinta, bumbu setiap masa,

Bango hadir, bagai janji tak sirna,

Mengikat kenangan yang tak mudah lupa.


Tanganmu mengaduk, aku memandang,

Ada keajaiban dalam setiap tangkap pandang,

Romantisnya bukan hanya karena rempah melayang,

Tapi karena cinta, dalam hati yang kau pegang.


Kini, meja itu sepi, namun tetap hidup,

Aroma manisnya bertahan, menjadi penghibur,

Walau tak lagi ada kita berbincang di bawah lampu,

Bango kecap manis jadi kenangan yang selalu rindu.


Di setiap rasa, ada kisah kita terselip,

Cinta yang manis, tak pernah tergelincir,

Bango mengingatkan, cinta tak pernah usang,

Dalam kenangan, kita abadi dikenang.


Cerita Pendek:Segitiga Mematikan


Cerita Pendek:Segitiga Mematikan
Ilusi foto Cerita Pendek:Segitiga Mematikan (https://pixabay.com/id/photos/foto-tangan-memegang-tua-256887/)


Pagi itu, aku duduk di teras sambil menatap hujan yang turun. Aroma tanah basah tercium tajam, mengiringi perasaan galau yang sulit diungkapkan. Aku menyesap kopi yang mulai dingin, berharap getirnya bisa mengalahkan kegelisahanku.


Namaku Ardi, dan aku berada di tengah cinta segitiga yang sulit aku pahami. Di satu sisi, ada Laila, sahabatku sejak SMA yang sejak lama menyimpan rasa untukku. Di sisi lain, ada Siska, wanita yang belakangan ini kerap hadir dan menyita perhatian. Aku merasa bimbang. Hati dan pikiranku saling tarik-menarik, tak pernah mencapai kata sepakat.


Hari itu, Laila mengajakku bertemu di kafe favorit kami. Biasanya, ia ceria dan selalu bisa menghiburku, tapi kali ini ia tampak lebih serius, bahkan sedikit gugup.


"Ardi, aku mau bicara sesuatu," ucapnya sambil menunduk, mengaduk-aduk minumannya tanpa tujuan.


"Kenapa, La? Tumben serius banget," kataku mencoba mencairkan suasana.


Laila menghela napas panjang, kemudian menatapku dengan mata yang dalam.


"Ardi... aku rasa aku harus jujur sama kamu," katanya pelan.


Aku terdiam, menunggu apa yang akan dikatakannya. Mendadak, detak jantungku berdegup lebih cepat.


"Kamu tahu, kan? Aku... sejak dulu selalu suka sama kamu," katanya dengan suara bergetar.


Aku hanya terdiam. Mungkin aku sudah tahu, tapi mendengarnya langsung membuatku kaget. Laila sudah ada di hidupku sejak lama, bahkan lebih lama dari siapapun. Ia teman yang selalu ada saat aku susah atau senang.


"Tapi aku nggak pernah ingin merusak persahabatan kita, Di. Aku tahu kamu sedang dekat dengan Siska, dan aku nggak mau jadi penghalang," lanjutnya.


Aku menarik napas dalam-dalam, mencoba mencari kata-kata yang tepat. Di sisi lain, ada Siska yang perlahan menjadi bagian penting di hidupku. Namun, sekarang aku harus menghadapi kenyataan bahwa Laila, sahabat terbaikku, menyimpan perasaan yang lebih dari sekadar teman.


"Maaf, La… aku nggak tahu harus bilang apa," ucapku lirih.


Laila tersenyum lemah. "Aku ngerti, kok. Aku juga nggak mengharapkan kamu membalas perasaanku. Aku cuma ingin kamu tahu. Supaya aku bisa mencoba melupakan perasaanku dan melanjutkan hidup."


Aku ingin mengatakan sesuatu, tapi kata-kata rasanya tertahan di tenggorokan. Di saat itu, Laila tampak begitu rapuh, namun tegar. Ia memilih pergi setelah mengucapkan perasaannya, meninggalkan kafe dan meninggalkanku dalam kebingungan.




Hari-hari berlalu. Aku dan Laila semakin jarang bertemu. Hubungan kami terasa berubah, ada jarak yang tidak kasat mata, namun sangat terasa. Di saat yang sama, hubunganku dengan Siska semakin dekat. Siska adalah sosok yang ceria dan penuh semangat. Ia seperti angin segar di tengah hidupku yang kusut.


"Kenapa kamu kelihatan nggak tenang akhir-akhir ini?" tanya Siska suatu hari saat kami sedang duduk di tepi danau.


Aku terdiam sejenak, berpikir apakah aku harus menceritakan semua kegundahanku padanya. Tapi akhirnya aku memilih jujur.


"Aku… aku bingung, Sis. Sebenarnya, aku ada masalah dengan Laila."


"Laila? Sahabatmu itu?" tanyanya dengan wajah penasaran.


"Iya. Dia… dia mengungkapkan perasaannya ke aku," kataku pelan, mencoba menangkap reaksinya.


Siska terdiam, wajahnya berubah kaku. "Dan kamu? Apa kamu suka sama dia?"


Aku menggeleng. "Aku nggak tahu, Sis. Aku hanya nggak ingin melukainya."


Suasana berubah canggung. Siska terdiam, menatap ke arah danau dengan pandangan kosong. Sepertinya, ia mencoba mencerna apa yang baru saja kukatakan.


"Jadi, kamu mau pilih siapa, Ardi?" tanyanya dingin.


Aku tidak langsung menjawab. Pertanyaan itu justru semakin memperkeruh pikiranku. Di satu sisi, aku tak ingin kehilangan Laila, tapi di sisi lain, aku ingin melanjutkan apa yang sudah terjalin dengan Siska.


"Siska, aku... aku nggak tahu harus jawab apa," kataku lirih. "Aku nggak ingin menyakiti kamu atau Laila."


Siska mendesah, lalu berdiri. "Kamu harus buat keputusan, Ardi. Kalau kamu terus di situ, kamu hanya akan melukai kami berdua."


Setelah berkata begitu, Siska pergi meninggalkanku. Aku hanya bisa memandang punggungnya yang semakin menjauh. Perasaan hampa langsung menyergap. Aku tak tahu apakah ini akan menjadi akhir dari hubungan kami, atau justru awal dari akhir persahabatanku dengan Laila.




Seminggu kemudian, Laila mengajakku bertemu lagi. Meski ragu, aku menerima ajakannya. Kami bertemu di taman yang tenang, hanya ditemani suara burung dan angin yang berbisik di antara daun-daun pohon.


"Ardi, apa kamu sudah membuat keputusan?" tanya Laila tanpa basa-basi.


Aku menunduk, lalu mengangguk pelan. "Aku... aku mau jujur sama kamu, La. Aku suka sama Siska. Tapi aku nggak mau kehilangan kamu juga."


Laila menghela napas, menatapku dengan mata yang basah. "Jadi, kamu memilih Siska?"


Aku mengangguk. "Maaf, La. Aku tahu ini sulit, tapi aku nggak ingin memberi harapan palsu ke kamu."


Laila terdiam, memalingkan wajah sambil menghapus air mata yang mulai mengalir.


"Aku bisa terima, Ardi. Tapi satu hal yang harus kamu tahu… aku akan pergi dari hidupmu. Ini mungkin yang terbaik untuk kita berdua," ucapnya dengan suara bergetar.


Aku tak tahu harus berkata apa. Di satu sisi, aku merasa lega karena telah jujur padanya, tapi di sisi lain, kepergiannya terasa begitu menyakitkan. Mungkin, aku baru benar-benar sadar seberapa berharga dirinya saat ia benar-benar akan pergi.




Beberapa hari setelah pertemuan itu, aku mencoba menghubungi Siska, tapi ia selalu menghindar. Akhirnya, aku memutuskan untuk menemuinya di rumahnya. Saat sampai, aku melihat ia sedang duduk di taman, menatap langit.


"Siska…" panggilku pelan.


Ia menoleh, menatapku dengan wajah yang lelah. "Apa yang kamu mau, Ardi?"


"Aku ingin memperbaiki semuanya," kataku jujur.


Siska tersenyum miris. "Ardi, hubungan kita nggak bisa diperbaiki. Kamu terlalu ragu, terlalu takut untuk memilih. Aku nggak ingin terus berada dalam situasi yang penuh ketidakpastian."


Aku terdiam, terpaku mendengar ucapannya. Dalam sekejap, aku menyadari bahwa aku telah membuat keputusan yang salah. Aku mencoba memegang tangannya, tapi ia menepisnya.


"Aku lelah, Ardi. Aku berharap kamu bisa menemukan apa yang kamu cari, tapi bukan dengan aku," katanya, lalu pergi meninggalkanku tanpa menoleh sedikit pun.


Di detik itu, aku hanya bisa terdiam, menyadari bahwa aku telah kehilangan dua orang yang paling berarti dalam hidupku. Dalam kebimbanganku memilih, aku justru kehilangan keduanya.


Hujan kembali turun, membasahi tanah dan mengguyur seluruh kenangan yang pernah ada. Tapi kali ini, hujan hanya menyisakan rasa perih dan penyesalan yang menghujam, seolah tak pernah akan kering.

Cerita Pendek:Lonceng Akhir

Cerita Pendek:Lonceng Akhir
Ilusi foto Cerita Pendek:Lonceng Akhir (pixabay.com)


Aku adalah seorang pegawai pabrik yang terjebak dalam gelapnya dunia pinjaman online. Semua bermula dari sebuah keputusan bodoh yang kuambil dengan berpikir bahwa segalanya akan baik-baik saja. Siapa yang mengira bahwa dari sekadar pinjaman kecil untuk kebutuhan mendesak, utang itu akan menjeratku dalam lingkaran setan yang tak berujung?


Hari itu, pabrik tempatku bekerja baru saja tutup. Tubuhku terasa lelah, namun pikiranku lebih berat menanggung beban utang yang semakin menumpuk. Aku duduk di bangku taman kecil di depan pabrik, memandang kosong ke arah jalanan. Pikiranku sibuk, mencoba mencari cara untuk keluar dari situasi ini. Pinjaman pertama hanya dua juta, tapi bunga yang mencekik membuat utang itu melonjak hingga belasan juta dalam beberapa bulan.


Ketika aku masih tenggelam dalam kekhawatiran, seseorang menepuk bahuku. Wajahnya garang, sorot matanya tajam seolah menusukku.


"Selamat sore, Mbak Rini," katanya dengan senyum sinis. Dia adalah salah satu dari penagih yang selama ini menghantuiku. "Kami sudah beri kamu waktu. Tapi kok, kamu masih belum ada itikad baik untuk melunasi utang?"


Aku terdiam, mencoba menelan rasa takut. "Saya sudah berusaha. Tapi, uangnya belum cukup," jawabku lemah, dengan suara bergetar.


"Bukan urusan saya. Yang penting, utang itu harus lunas. Bos kami nggak suka berurusan sama orang yang enggak bertanggung jawab."


Aku berusaha menjaga ketenangan, meski hati ini berdegup kencang. "Tolong beri saya waktu. Saya akan bayar."


Tiba-tiba, dia meraih tanganku dengan kasar. "Dengar, Rini. Kamu punya dua pilihan: bayar atau... kita bakal cari cara lain buat dapetin duitnya."


Tangannya semakin menguat. Rasa sakit menjalar dari pergelangan hingga ke seluruh tubuhku. Aku berontak, namun percuma. Dia lebih kuat, lebih buas, dan lebih kejam.


"Kalau kamu masih bandel, kami punya cara lain buat bikin kamu nurut," lanjutnya, dengan suara yang semakin rendah, penuh ancaman.


Aku berhasil menarik tanganku dan berlari. Keringat dingin membasahi punggungku, dan napasku terengah. Aku tahu, lari bukan solusi, tapi aku tak tahu lagi harus berbuat apa. Setiap malam, aku terjaga dengan kecemasan bahwa mereka akan muncul lagi, membuat hidupku tak tenang.


---


Hari berganti hari. Aku sudah mencoba meminta bantuan dari teman-teman, tapi mereka pun kesulitan. Tidak ada satu orang pun yang bisa menolongku. Aku merasa terjebak, seolah-olah hidup ini tak lagi memberi pilihan.


Suatu malam, ketika aku sedang berjalan pulang, aku mendengar langkah kaki yang mengikutiku. Aku menoleh dan melihat sosok yang tak asing lagi. Dia adalah pria yang sama, si penagih utang. Dia mendekat dengan wajah yang dingin dan penuh ancaman.


"Kenapa kamu lari, Rini? Kami sudah berusaha baik-baik, tapi kamu malah mengabaikan kami," katanya sambil menyeringai.


"Aku… aku nggak bisa bayar sekarang…" jawabku gemetar.


Dia mendekat semakin dekat, hingga jarak kami hanya beberapa jengkal. Napasnya tercium busuk, penuh kemarahan dan kebencian. "Kalau kamu nggak bisa bayar, kami bakal ambil sesuatu yang lebih berharga."


Aku tidak tahu dari mana keberanian itu muncul, namun tanganku terangkat dan mendorongnya keras. Dia terdorong mundur beberapa langkah, tapi secepat kilat, dia kembali menggapai tanganku dan menarikku dengan kasar.


"Aku sudah sabar, Rini. Tapi sepertinya kamu memang nggak layak diberi kesempatan."


Di saat itulah, aku merasakan benda keras di dalam tasku—pisau kecil yang kupakai untuk memotong makanan. Tangan ini gemetar, namun rasa takut yang menumpuk berubah menjadi keberanian. Tanpa berpikir panjang, aku menarik pisau itu dan menusukkannya ke arahnya.


Dia terkejut, matanya membelalak. Tangannya yang sebelumnya mencengkeramku mulai melemah, dan dia tersungkur di hadapanku, napasnya tersendat-sendat. Darah mengalir deras dari luka di perutnya. Aku melihatnya, terkejut sekaligus bingung.


Namun, bukan hanya darah di tubuhnya yang membasahi jalanan, tapi juga rasa bersalah yang mulai menghantui pikiranku. Aku telah melangkah terlalu jauh. Aku tahu bahwa ini bukan sekadar pelarian dari utang; aku telah melanggar batasan, dan tak ada jalan kembali.


---


Beberapa saat kemudian, sirene polisi terdengar. Mereka tiba dan segera menahan tanganku. Aku tak meronta, tak melawan. Sadar bahwa aku sudah kehilangan segalanya. Saat itu, aku hanya merasakan hampa, kosong. Begitu tragisnya hidup yang kujalani hingga berakhir seperti ini.


Di ruang tahanan, aku termenung, mencoba mencerna semua yang telah kulakukan. Penyesalan datang terlambat, tapi tak ada lagi yang bisa kukatakan. Aku hanya bisa berharap, dalam dunia yang suram ini, aku bisa mendapatkan kedamaian yang telah lama hilang.

PUISI:KERINDUAN RINTIK HUJAN

  PUISI:KERINDUAN RINTIK HUJAN (https://pixabay.com/id/photos/hujan-jalan-kota-pelabuhan-1479303/) Hujan menari di atas jendela, rintiknya...