CERITA PENDEK:CINTA TAK TERBALAS

 

CERITA PENDEK:CINTA TAK TERBALAS

Ilusi foto CERITA PENDEK:CINTA TAK TERBALAS (https://pixabay.com/id/photos/pantai-matahari-terbenam-wanita-7714610/)


Matahari tenggelam di balik cakrawala, memancarkan warna jingga yang lembut, sementara aku duduk di tepi danau tempat kita sering bertemu. Aku menunggu, seperti biasa. Selalu menunggu. Angin sore mengibaskan rambutku, memberikan sentuhan dingin di pipiku yang mulai memerah oleh perasaan yang tak lagi dapat kutahan. Aku tahu aku harus mengatakan semuanya hari ini, atau aku akan kehilangan kesempatan itu selamanya.


Kau adalah sosok yang selalu kupuja dalam diam. Sejak kita bertemu beberapa tahun lalu, perasaanku tumbuh begitu dalam dan tak bisa lagi kubendung. Namun, seiring berjalannya waktu, aku semakin menyadari bahwa tidak ada kepastian dalam hubungan kita. Kau sering datang dan pergi, dengan senyuman yang manis, kata-kata yang membuatku merasa istimewa, namun kemudian menghilang dalam kesibukan dunia yang tidak pernah kujamah. Aku hanyalah seorang gadis biasa, sedang kau adalah seseorang yang selalu tampak terlalu jauh untuk kugapai.


Di sisi lain, aku tak pernah menyerah. Setiap detik bersamamu adalah kebahagiaan yang tak tergantikan. Maka hari ini, aku ingin mengatakan padamu, dengan segala keberanian yang tersisa, bahwa aku mencintaimu. Lebih dari sekadar sahabat, lebih dari sekadar teman.


Langkah kaki terdengar dari arah belakangku. Aku menoleh dan melihatmu berjalan mendekat dengan senyummu yang begitu akrab. Senyum itu selalu berhasil membuat hatiku berdetak lebih cepat, meskipun seringkali membawa kebingungan. Apa yang kau pikirkan tentang kita selama ini? Apa aku hanya seorang teman bagimu?


"Kau sudah lama menunggu?" tanyamu dengan nada tenang, seperti biasanya.


Aku menggeleng, mencoba menyembunyikan kegugupanku. "Baru saja," jawabku sambil tersenyum kecil, meski hati ini sudah lama menunggu jawaban dari kebingungan yang terus menghantui.


Kau duduk di sampingku, melihat ke arah danau yang tenang. "Aku senang kita bisa bertemu hari ini," katamu.


"Aku juga," kataku. Tetapi di dalam pikiranku, kata-kata lain terus bergulir. *Aku mencintaimu*. Haruskah aku mengatakannya sekarang? Atau menunggu sedikit lagi?


Detik-detik berlalu dalam keheningan, dan akhirnya aku tak tahan lagi. Aku harus melakukannya sekarang atau tidak sama sekali. "Aku ingin bicara sesuatu," kataku dengan suara sedikit bergetar.


Kau menoleh, matamu menatapku dengan penuh perhatian, tapi tanpa ekspresi yang jelas. "Apa itu?"


Jantungku berdebar semakin kencang, tapi aku memaksa diri untuk melanjutkan. "Selama ini... aku menyimpan perasaan untukmu. Lebih dari sekadar teman. Aku mencintaimu." Suaraku terdengar lirih, hampir seperti bisikan.


Keheningan jatuh di antara kita. Aku bisa merasakan jantungku berdetak di telinga, dan perutku terasa melilit. Aku menunggu reaksi darimu, tapi yang aku terima hanyalah ekspresi bingung dan kaget yang sulit kubaca.


"Aku...," kau menghela napas panjang, "Aku tidak tahu harus berkata apa." 


Kata-kata itu menghantamku seperti badai. Hati ini terasa remuk, tapi aku tetap menunggu penjelasan. "Kau tidak tahu? Apa maksudmu?" tanyaku, suaraku terdengar serak.


"Aku menghargai perasaanmu. Kamu adalah orang yang sangat berarti bagiku. Tapi...," kata-katamu terhenti sejenak, seolah-olah kau mencoba menemukan cara terbaik untuk menyampaikan sesuatu yang sulit.


"Tapi apa?" desakku.


"Tapi aku tidak bisa mencintaimu seperti yang kamu inginkan. Aku tidak pernah melihatmu lebih dari seorang teman," jawabmu akhirnya, matamu penuh rasa bersalah.


Dunia di sekelilingku seolah runtuh. Udara yang kurasakan seperti hilang, dan aku hanya bisa terdiam, mencerna kenyataan yang baru saja kau sampaikan. Segala harapan yang selama ini kugenggam erat, mendadak hancur berkeping-keping.


"Tidak bisakah kau mencoba...?" tanyaku dengan nada lirih, memohon agar kau memberiku sedikit harapan.


"Aku minta maaf. Aku tidak ingin menyakitimu, tapi aku sudah mencintai orang lain," katamu pelan. "Aku sebenarnya ingin memberitahumu tadi, tapi... Aku akan menikah minggu depan."


Hening. Aku tidak bisa berkata-kata. Pikiran itu seperti pisau yang menusuk tepat di hatiku. Menikah? Orang lain? Tidak, ini tidak mungkin. Hatiku terasa seperti dirobek-robek. Semua perjuangan, harapan, doa yang kubangun selama ini... semuanya sia-sia.


"Aku ingin kamu tahu bahwa kau tetap penting bagiku," lanjutmu, tapi aku hampir tidak mendengarnya. Semua yang kau katakan terdengar jauh, seperti bayangan samar yang menghilang di balik kabut. Air mata mulai menggenang di mataku, dan aku tidak bisa lagi menahannya. Kau melihatnya, dan aku bisa merasakan rasa bersalahmu semakin dalam.


"Tolong... maafkan aku," katamu, namun itu tidak lagi berarti.


Aku berdiri, menarik napas dalam-dalam, mencoba menahan air mata yang sudah jatuh. "Aku tidak bisa berada di sini," kataku akhirnya, suaraku nyaris tak terdengar.


Aku meninggalkanmu di sana, di tepi danau yang dulunya penuh dengan kenangan indah. Setiap langkah terasa berat, tapi aku harus pergi. Jika aku terus berada di dekatmu, aku akan terus terluka. Kau telah membuat keputusanmu, dan aku tidak bisa mengubah itu.


Malam itu, di bawah langit yang gelap, aku berjalan tanpa arah, dengan hati yang kosong dan terluka. Cinta yang kupikir akan membuatku bahagia, ternyata justru menghancurkanku. Perjuanganku selama ini sia-sia. Tapi aku tahu, pada akhirnya, aku harus melepaskan. Tidak ada lagi yang bisa kuperjuangkan. Kau sudah memilih jalanmu, dan aku harus mencari jalan untuk menyembuhkan diriku sendiri, meskipun itu terasa mustahil.


Di penghujung malam, aku menyadari bahwa terkadang, meski kita mencintai seseorang dengan seluruh hati, cinta itu tidak selalu terbalas. Dan pada akhirnya, mungkin itu bukan tentang bagaimana kita bisa memilikinya, tetapi bagaimana kita bisa belajar untuk melepaskannya, demi kebahagiaan yang lebih besar—bahkan jika itu bukan kebahagiaan kita.


Namun, meskipun begitu, di balik setiap air mata dan luka, aku tahu aku akan bangkit kembali. Mungkin bukan hari ini, mungkin bukan besok, tetapi suatu hari nanti. Dan saat hari itu tiba, aku akan tersenyum pada kenangan ini, meski pahit, dan mengucapkan selamat tinggal dengan hati yang telah sembuh.

Cerita Pendek:Malam Minggu Terakir

Cerita Pendek:Malam Minggu Terakir
Ilusi Foto Cerita Pendek:Malam Minggu Terakir by screen https://www.freepik.com/free-ai-image/medium-shot-couple-holding-hands_72566735.htm#fromView=search&page=1&position=14&uuid=782187a8-878d-4d08-99ba-dd0348986a16



Malam itu udara terasa hangat, angin yang berhembus lembut mengiringi malam minggu yang tampak sempurna bagi Alif dan Dinda. Sepasang kekasih itu berjalan bergandengan tangan di sepanjang trotoar. Jalanan ramai dengan suara deru kendaraan, lampu-lampu kota bersinar terang, memantulkan kilauan ke kaca-kaca toko di pinggir jalan.


"Aku senang kita bisa jalan-jalan malam ini," kata Dinda sambil tersenyum kecil, tatapan matanya penuh kehangatan. Ia menatap Alif dengan penuh kasih.


Alif mengangguk, menggenggam tangan Dinda lebih erat. "Iya, setelah seminggu penuh kerja, rasanya ini adalah pelarian yang sempurna," jawabnya, bibirnya melengkung tipis. Matanya berkilat, menikmati momen itu seolah malam ini adalah milik mereka berdua saja.


Namun, di balik keindahan malam, ada sesuatu yang mengintai. Di kejauhan, dua orang pria dengan helm hitam yang mencurigakan memperhatikan mereka dari jauh, di atas sepeda motor yang tampak tua dan berkarat. Tanpa disadari oleh Alif dan Dinda, bayangan gelap mulai mendekat.


"Tapi kamu janji, ya, habis ini kita mampir ke café itu?" tanya Dinda sambil menunjuk ke sebuah café di sudut jalan yang ramai dengan tawa dan musik.


"Tentu saja, sayang. Kita bisa pesan kopi favorit kamu," kata Alif sambil mengelus punggung tangannya, mencoba menenangkan kegelisahan yang samar-samar mulai terasa dalam dirinya.


Mereka berdua melanjutkan langkah, tak sadar bahwa motor yang tadinya jauh, kini semakin mendekat. Malam minggu yang awalnya tenang mulai berubah mencekam, namun keduanya belum menyadarinya.


Ketika Alif dan Dinda berbelok ke jalan yang lebih sepi, suasana mendadak berubah. Lampu jalan yang tadi terang benderang, perlahan memudar. Suara kendaraan semakin jarang terdengar, hanya ada derit angin yang menyelusup di antara gedung-gedung tua.


Alif merasakan firasat buruk, langkahnya melambat. "Din, ayo kita cepat sedikit. Jalan ini terasa aneh."


Dinda mengerutkan kening, "Kenapa? Kamu baik-baik saja?"


Namun, sebelum Alif sempat menjawab, suara bising motor menderu mendekat. Dua pria bertubuh kekar menghentikan motor mereka tepat di hadapan Alif dan Dinda. Wajah mereka tersembunyi di balik helm hitam legam, mata mereka berkilat seperti binatang yang siap menerkam mangsanya.


"Sial," gumam Alif, menarik Dinda di belakangnya dengan cepat. "Tetap di belakangku," bisiknya.


Salah satu pria turun dari motor dan mengeluarkan pisau lipat dari saku jaketnya. Kilatan besi tajam memantulkan cahaya lampu jalan yang redup. "Serahkan semua barang berharga kalian kalau nggak mau celaka!" Suaranya keras, kasar, dan memaksa.


Dinda memeluk lengan Alif erat, ketakutan menjalar ke seluruh tubuhnya. "Alif...," suaranya bergetar.


"Tenang, Dinda, aku akan melindungimu." Alif mencoba tetap tenang, tapi di dalam hatinya, jantungnya berdebar kencang. Ia menatap kedua pria itu dengan dingin, mencoba membaca niat mereka. Tidak ada jalan keluar selain menuruti atau melawan.


Alif merogoh kantong celananya, mengambil dompet dan ponselnya. Ia mengulurkannya ke pria bersenjata. "Ini, ambil saja. Tapi jangan sakiti kami," katanya dengan suara tenang, meski ketakutan mulai menguasai pikirannya.


Namun, tampaknya itu tidak cukup bagi mereka. Pria satunya mendekat dan meraih tas Dinda dengan kasar. "Cepat, kasih ke sini!" teriaknya.


Dinda menahan tasnya, spontanitas dan ketakutan membuatnya kaku.


"Jangan, Dinda!" seru Alif, tapi terlambat. Pria itu merenggut tas dengan paksa dan mendorong Dinda hingga terjatuh ke tanah.


Amarah Alif memuncak. Ia menyerang pria yang menodongkan pisau itu tanpa berpikir panjang. Perkelahian terjadi begitu cepat, seperti bayangan yang berkelebat. Alif memukul sekuat tenaga, berusaha melindungi Dinda yang terbaring di tanah.


Namun, dalam sekejap, segalanya berubah. Pisau tajam itu menusuk tubuh Alif.


"Alif!" jerit Dinda, suaranya pecah oleh kepanikan. Ia berlari ke arah Alif yang kini terkapar di tanah, darah mengalir deras dari luka di perutnya. 


Para penjahat itu kabur begitu saja, meninggalkan Dinda yang terduduk di samping tubuh kekasihnya yang mulai melemah. Di bawah cahaya lampu jalan yang suram, ia menggenggam tangan Alif yang bergetar.


"Jangan tinggalkan aku, Alif...," bisik Dinda dengan air mata membasahi wajahnya. Matanya penuh dengan ketakutan dan kesedihan yang mendalam.


Alif tersenyum lemah, wajahnya pucat. "Aku... maaf, Dinda... Aku tidak bisa menepati janji untuk minum kopi denganmu..." suaranya mulai serak, lemah, seolah tenaga terakhirnya telah habis.


"Jangan bicara seperti itu! Kamu akan baik-baik saja, kita akan segera ke rumah sakit!" Dinda mengguncang tubuh Alif, mencoba menyadarkannya.


Namun, Alif hanya mengangguk lemah, napasnya semakin berat, dan matanya perlahan menutup. Malam minggu yang seharusnya penuh kebahagiaan itu berubah menjadi malam yang kelam dan tragis. 


Dinda menatap kekasihnya yang kini tergeletak tak bernyawa di pangkuannya. Tangisnya pecah, memecah kesunyian malam, menggema di antara gedung-gedung yang dingin dan kosong.


Malam yang awalnya begitu hangat kini menjadi saksi bisu sebuah kehilangan yang menyayat hati.

Cerita Pendek:Jarak yang Memisahkan

Cerita Pendek:Jarak yang Memisahkan
Ilusi foto Cerita Pendek:Jarak yang Memisahkan steet by https://pixabay.com/id/photos/silakan-melakukan-bukan-unduh-ini-2697945/

 

Aku selalu percaya bahwa jarak tak akan menjadi penghalang bagi cinta. Aku selalu berpikir bahwa dengan komunikasi yang baik, kesetiaan, dan komitmen, jarak hanya akan menjadi ujian kecil. Tapi ternyata, aku salah.


Namaku adalah Andra. Aku dan Laila, kekasihku, telah bersama selama tiga tahun. Kami memulai hubungan ini dengan sangat indah, seperti pasangan lain pada umumnya. Setiap akhir pekan kami bertemu, menghabiskan waktu bersama, bercanda, dan membuat rencana masa depan. Namun, segalanya berubah ketika Laila mendapatkan pekerjaan di luar kota. Dia diterima di sebuah perusahaan besar yang memintanya untuk pindah ke kota lain yang berjarak ratusan kilometer dari tempatku berada.


"Kita bisa melakukannya, Ra. Aku yakin kita bisa bertahan meski berjauhan," ucap Laila di hari terakhir kami bertemu sebelum kepergiannya. Dia tampak yakin dan penuh semangat. 


Aku tersenyum, meski di dalam hati ada keraguan yang perlahan menggerogoti. "Ya, kita pasti bisa. Kita sering video call, telepon, dan aku akan berusaha menemuimu sesering mungkin."


Dan begitulah, selama beberapa bulan pertama, semuanya tampak berjalan baik-baik saja. Kami tetap terhubung melalui teknologi. Setiap malam, video call menjadi ritual kami sebelum tidur. Namun, rasa rindu yang tertahan lama-lama berubah menjadi keheningan yang aneh. Kami mulai kehabisan topik untuk dibicarakan, dan sesekali teleponnya hanya dipenuhi keheningan canggung.


***


Suatu malam, aku menelepon Laila seperti biasa, tapi dia tidak mengangkat. Sudah lewat satu jam sejak pesan terakhirku, namun tak ada balasan. Pikiran-pikiran buruk mulai muncul di kepalaku. Mungkinkah dia baik-baik saja? Atau mungkinkah ada sesuatu yang terjadi padanya?


Setelah beberapa saat, dia akhirnya membalas pesanku.


“Maaf, Andra. Tadi lagi lembur, sibuk banget. Baru sempat pegang HP.”


"Oh, tidak apa-apa. Aku hanya khawatir," jawabku, meski ada sesuatu dalam suaranya yang terdengar berbeda. Namun, aku mencoba menepis pikiran buruk itu.


Hari-hari berikutnya, situasi yang sama terus berulang. Laila semakin sering tak mengangkat teleponku atau membalas pesanku terlambat. Aku berusaha memahami kesibukannya. Aku berusaha percaya.


Tapi ada sesuatu yang terus menggangguku. Perasaan yang tak bisa aku jelaskan, sebuah firasat buruk yang perlahan menindih dada.


***


Suatu hari, aku memutuskan untuk memberikan kejutan pada Laila. Aku memutuskan untuk mengunjunginya tanpa memberitahu sebelumnya. Aku pikir, mungkin dengan kedatanganku, semua ketegangan ini akan mencair. Kami akan kembali seperti dulu, tertawa, bercanda, dan menikmati kebersamaan.


Aku berangkat di pagi hari dan tiba di kotanya menjelang malam. Di depan apartemennya, aku ragu untuk mengetuk pintu. Tapi akhirnya, aku melakukannya. Ketika pintu terbuka, yang berdiri di sana bukanlah Laila, melainkan seorang pria asing.


“Siapa kamu?” tanyaku, berusaha tetap tenang meski dadaku seolah hendak meledak.


Pria itu terlihat bingung, tapi sebelum sempat menjawab, Laila muncul dari belakangnya. Wajahnya pucat.


“Andra… aku bisa jelaskan,” katanya dengan suara bergetar.


Aku mundur selangkah, merasa dunia di sekitarku runtuh. "Siapa dia, Laila?" tanyaku sekali lagi, meski di dalam hatiku aku sudah tahu jawabannya.


“Ini... Arman, teman kerjaku. Kami...”


“Teman kerja?” Aku tertawa getir. “Jangan bohong, Laila! Aku tahu apa yang sedang terjadi.”


Laila menggigit bibirnya, air matanya mulai mengalir. “Andra, aku... aku nggak bermaksud seperti ini. Aku... aku kesepian.”


"Kamu kesepian? Jadi aku nggak cukup, begitu?" Tiba-tiba, seluruh emosi yang selama ini kutahan meluap. "Jarak yang membuatmu begini, atau kamu memang sudah bosan dengan kita?!"


Laila menunduk, tak mampu menjawab. Arman, pria itu, tampak ingin mengatakan sesuatu, tapi aku menghentikannya dengan tatapan tajam. Aku tak ingin mendengar penjelasan apa pun darinya. Ini antara aku dan Laila.


“Kenapa, Laila?” tanyaku, suaraku lebih pelan, nyaris berbisik. Aku butuh penjelasan. Meskipun sakit, aku ingin tahu kenapa semua ini terjadi. “Kamu bilang kita bisa bertahan, kamu bilang kita akan baik-baik saja. Kenapa kamu mengkhianati itu?”


Laila masih diam. Dia hanya menangis. Tangisannya seolah menjadi jawaban yang menyakitkan. Jauh di dalam hatiku, aku tahu ini lebih dari sekadar jarak. Ini lebih dalam dari sekadar kesepian. Ini adalah rasa ragu yang tak terungkap sejak lama. Mungkin hubungan kami memang sudah retak jauh sebelum jarak memisahkan kami.


Aku menarik napas panjang, berusaha menenangkan diri meski dadaku sesak. “Aku pergi,” ucapku akhirnya. 


Laila mendongak, matanya penuh dengan air mata. “Andra, jangan pergi. Aku bisa jelaskan.”


“Tidak ada yang perlu dijelaskan lagi.” Aku berbalik, meninggalkan apartemen itu dengan langkah berat. Setiap langkah yang kuambil terasa seperti menghapus masa lalu kami, semua kenangan manis yang pernah kami bagikan. 


***


Di perjalanan pulang, pikiranku terus berputar. Ada begitu banyak pertanyaan yang tak terjawab. Bagaimana bisa aku tak melihat ini terjadi? Apakah aku terlalu sibuk dengan pekerjaanku sehingga aku tak menyadari bahwa hubungan kami semakin renggang? Atau mungkin, memang sejak awal hubungan kami tidak sekuat yang kupikirkan?


Sesampainya di rumah, aku duduk di tepi tempat tidur, menatap ponsel yang masih terdiam di tanganku. Pesan terakhir dari Laila masih di layar: "Aku kesepian."


Kata-kata itu terus bergema di kepalaku. Kesepian. Apakah aku juga merasakan hal yang sama selama ini? Apakah aku juga sebenarnya merasakan keraguan yang tak pernah kuungkapkan?


Namun, satu hal yang pasti: cinta saja tidak cukup. Jarak, ketidakpastian, dan rasa sepi bisa memakan cinta itu perlahan-lahan, hingga yang tersisa hanyalah kehampaan dan kebohongan.


Aku tak tahu apakah aku akan bisa memaafkan Laila, atau apakah kami akan pernah bisa kembali seperti dulu. Tapi untuk sekarang, aku harus merelakan semuanya. 


Karena pada akhirnya, jarak bukan hanya tentang kilometer yang memisahkan kita, tetapi tentang sejauh mana hati kita sudah saling menjauh.


--- 


Cerita ini menyajikan ketegangan batin dan rasa sakit yang dialami oleh seorang tokoh utama yang menjadi korban perselingkuhan dalam hubungan jarak jauh, dengan percakapan intens yang membantu menggambarkan rasa kecewa dan pengkhianatan dalam hubungannya.

Puisi:Bango untuk pesta perkawinanmu

 



ini bango hitam gurih itu,

aku persembahkan untuk pesta perkawinanmu,

untuk kau hidangkan pada tamu undangamu,

kau waras bukan main,

yang gila adalah cinta kita berdua,

kau berjanji kita akan bertemu Kembali,

namun kau pergi menghilang tanpa permisi,

 


waktu silir berganti dan kau datang lagi,

namun bukan menjadi kekasih

melaikan sebagai orang asing yang menising hati,

kau memberiku sepucuk surat yang terbungkus rapi,

dengan pita merah merona.

Ada Namamu dan Namanya yang Bersiap untuk mengikat janji suci.

 

Sebab itu,

Aku persembahkan kecap bango hitam gurih,

Untuk pesta perkawinanmu,

Dengan resep nasi goreng hitam itu,

Dengan bahan 300gram nasi putih,25gram bumbu putih,

1 pcs telur ayam,20gram minyak goreng,30gram ayam siwur,

20gram bango hitam,4gram garam.

Itu sudah cukup mengenyangkan perut tamu undanganmu,

Rasanya yang gurih tertatih,

Seperti dahulu kita membayangkan cinta kita akan bersemi abadi,

Warna hitamnya begitu pekat sepekat perih yang kau buat,


 

Namun kini kisah hanyalah kisah

yang patut di syukuri keberadaanya,

dan aku Kembali melangkah meninggalkan pesta perkawinanmu,

menyusuri Lorong penuh gemericik kerinduan,

dan dalam hati terus berdo’a  agar namamu dan Namanya

tetap abadi selamanya

Cerita Pendek:Hembusan Asap yang Mencari Jati Diri

 

Ilusi foto Cerita Pendek:Hembusan Asap yang Mencari Jati Diri//screen https://pixabay.com/id/photos/merokok-potret-rokok-wanita-model-4914808/


Aku menyalakan sebatang rokok lagi, menatap kosong ke arah langit yang mulai memerah, menjelang senja. Asap mengepul di sekitarku, berputar-putar seolah ingin menelan segala keraguan yang selama ini aku pendam. Sebagai gadis berumur 19 tahun, aku masih merasa terjebak di antara harapan dan kenyataan. Di antara apa yang mereka inginkan dariku, dan apa yang aku inginkan untuk diriku sendiri.


"Rokok lagi, Ren? Gimana paru-parumu nanti?" Suara Maya, sahabatku, terdengar dari belakang. Dia berjalan menghampiri, duduk di sampingku di atas tembok tua yang menghadap ke taman kota.


Aku tidak menjawab. Aku hanya menatap batang rokok di jariku. Ini mungkin sudah yang ketiga dalam satu jam ini. Tapi, entah kenapa, setiap kali asap itu menyusup ke paru-paru, aku merasa ada sesuatu yang mendekatiku—sesuatu yang tak bisa aku deskripsikan dengan kata-kata. Kebebasan? Pelarian? Atau mungkin hanya ilusi kelegaan sesaat?


"Kau tahu, kamu bisa berhenti kapan pun kamu mau," lanjut Maya sambil membuka botol air mineralnya. "Tapi yang paling penting, kenapa kamu mulai merokok, Ren? Bukankah kamu dulu benci asap?"


Aku menghela napas panjang, menatap jauh ke arah langit. Pertanyaan Maya bukan yang pertama kali aku dengar. Ibuku juga sering bertanya. Ayahku? Dia tak peduli. Mungkin itulah masalahnya—tidak ada yang benar-benar peduli.


"Aku nggak tahu," jawabku akhirnya. "Rasanya seperti... aku mencoba mencari sesuatu."


Maya mengangkat alis, menatapku dengan pandangan serius. "Mencari apa?"


"Jati diri, mungkin? Atau, aku hanya ingin lari dari semua tekanan. Aku ingin merasakan bahwa aku punya kendali atas hidupku sendiri, meskipun cuma dengan hal sekecil ini."


Maya menyesap air minumnya, lalu diam beberapa saat. "Kupikir kamu udah tahu siapa dirimu, Ren. Kamu gadis cerdas, berani, dan kamu punya mimpi. Kamu cuma... tersesat sedikit."


Aku tersenyum kecil mendengar kata-kata Maya, tapi di dalam, semuanya terasa hampa. Rasanya seperti aku sudah lama kehilangan arah. Aku bukan lagi gadis yang mereka pikirkan. Cerdas? Berani? Itu dulu. Sekarang, aku hanya Renata, gadis yang duduk di sini, merokok tanpa tujuan, mencoba mencari siapa aku sebenarnya.


"Aku merasa semuanya berubah sejak ayah meninggalkan kami," kataku akhirnya. Aku jarang membicarakan ini, tapi malam ini, entah kenapa, rasanya lebih mudah. "Sejak saat itu, hidup terasa kosong. Ibu terlalu sibuk bekerja untuk menutupi kebutuhan kami, dan aku harus tumbuh sendirian. Jadi, aku mulai merokok, berpikir itu akan membuatku merasa... kuat. Setidaknya, aku bisa mengendalikan sesuatu."


Maya mendengarkan tanpa menyela, membiarkanku melanjutkan.


"Aku hanya ingin merasakan bahwa ada hal yang bisa aku kendalikan, bahkan ketika hidupku terasa kacau. Kau tahu, aku merasa seperti sedang tenggelam, tapi tak ada yang memperhatikanku. Mereka semua sibuk dengan urusan mereka sendiri."


Maya mengangguk pelan. "Aku paham, Ren. Tapi aku nggak setuju kalau kamu bilang nggak ada yang peduli. Aku peduli. Ibumu pasti juga peduli, hanya saja mungkin dia kesulitan untuk menunjukkannya."


Aku menatap rokok yang hampir habis di tanganku, lalu mematikannya di atas tembok. "Aku tahu. Mungkin aku hanya terlalu egois. Mencari alasan untuk merokok, untuk lari."


Tiba-tiba, dari kejauhan, terdengar suara sepeda motor mendekat. Aku menoleh dan melihat Bram, pacarku, datang. Wajahnya selalu serius, tak pernah bisa lepas dari ekspresi dingin yang sama. Dia turun dari motornya, mengangkat tangan sebagai salam sebelum berjalan menghampiri kami.


"Bram," aku menyapa singkat.


"Renata, kamu sudah siap? Kita pergi sekarang?" tanyanya tanpa basa-basi, seperti biasa.


Aku mengangguk, lalu menoleh ke Maya. "Aku pergi dulu. Kita lanjut besok?"


Maya mengangguk pelan, tapi sebelum aku pergi, dia menggenggam tanganku. "Ren, jangan terlalu keras pada dirimu sendiri, ya? Kamu berhak mencari jati dirimu, tapi jangan lari dengan cara yang menyakiti dirimu."


Aku tersenyum lemah, lalu mengikuti Bram ke motornya. Begitu kami melaju di jalan raya, suasana hening. Bram selalu diam, dan aku selalu tenggelam dalam pikiranku. Namun, malam ini berbeda. Ada sesuatu yang mengusik di dalam kepalaku. Kata-kata Maya berputar-putar, menggema.


Ketika kami tiba di tempat tujuan—sebuah kafe kecil yang kami sering kunjungi—aku akhirnya membuka mulut. "Bram, kamu pernah merasa kehilangan arah?"


Dia menatapku dengan tatapan datar. "Kehilangan arah? Maksudmu?"


"Kamu tahu, merasa... tersesat. Seperti kamu nggak tahu apa yang kamu cari dalam hidup ini."


Bram menatapku cukup lama, lalu menghela napas. "Hidup ini memang nggak selalu jelas, Ren. Kita hanya perlu menjalani apa yang ada di depan mata. Fokus pada apa yang bisa kita kendalikan."


"Kendalikan? Seperti merokok?" tanyaku setengah bergurau, mencoba menguji reaksinya.


Bram hanya mengangkat bahu. "Jika itu membuatmu merasa lebih baik, kenapa tidak?"


Jawabannya membuatku terdiam. Selama ini, aku berpikir bahwa merokok adalah cara untuk menemukan kendali dalam hidupku, tapi semakin aku mendengarkan diriku sendiri, semakin aku sadar bahwa itu hanya ilusi. Rokok tidak memberiku kendali; itu hanya membuatku merasa seolah-olah aku punya kendali, padahal aku sebenarnya semakin jauh tersesat.


"Ren," Bram memanggilku. "Kamu baik-baik saja?"


Aku menghela napas panjang. "Nggak, Bram. Aku nggak baik-baik saja."


Dia menatapku dengan bingung, tidak tahu harus berkata apa. Untuk pertama kalinya, aku merasakan keheningan di antara kami begitu berat.


"Bram, aku butuh waktu untuk sendiri. Aku harus menemukan jati diriku tanpa lari dari masalah dengan rokok, atau apapun itu."


Aku tahu kata-kataku mengejutkannya. Tapi aku tidak peduli lagi. Aku perlu menyelesaikan pertarunganku dengan diriku sendiri. Aku perlu berhenti lari.


Dan kali ini, aku akan berhenti, bukan hanya dari rokok, tetapi dari semua ilusi yang selama ini aku ciptakan.


Asap terakhir yang kuhembuskan menghilang bersama senja, dan di dalamnya, aku mulai menemukan diriku yang sebenarnya.

Opini:Guru Melakukan Kekerasan di Sekolah,Guru di laporkan Wali Murid.Siapa yang harus di salahkan?

 

Ilusi foto Opini:Guru Melakukan Kekerasan di Sekolah,Guru di laporkan Wali Murid.Siapa yang harus di salahkan?scren//https://pixabay.com/id/photos/sekolah-guru-pendidikan-asia-1782427/

Kasus kekerasan yang dilakukan oleh guru terhadap siswa di sekolah sering kali menjadi sorotan di dunia pendidikan. Belakangan, semakin banyak wali murid yang memilih melaporkan guru ke pihak berwajib atas tuduhan kekerasan terhadap anak mereka. Namun, apakah melaporkan guru ke polisi adalah langkah yang tepat? Di artikel ini, saya akan mengungkapkan ketidaksetujuan terhadap tindakan orang tua yang langsung membawa masalah ini ke ranah hukum, serta mengajak kita untuk mempertimbangkan pendekatan yang lebih konstruktif dan berdasarkan fakta. Saya juga akan mengutip beberapa contoh kasus untuk menyoroti isu ini.

 

Kekerasan di Lingkungan Pendidikan: Masalah Nyata yang Memerlukan Solusi

 

Tidak dapat disangkal bahwa kekerasan di lingkungan pendidikan adalah masalah serius. Ketika seorang guru melakukan tindakan kekerasan, baik secara fisik maupun verbal, hal tersebut jelas melanggar norma-norma pendidikan yang harusnya mengedepankan pendekatan mendidik, bukannya menghukum dengan kekerasan. Namun, masalah ini tidak selalu sesederhana hitam dan putih. Ada berbagai faktor yang terlibat dalam hubungan antara guru dan siswa, termasuk konteks situasional, budaya sekolah, dan karakteristik individual siswa.

 

Pada kenyataannya, tidak semua kasus kekerasan yang dilaporkan orang tua ke pihak berwajib mencerminkan kekerasan yang kejam atau berniat jahat. Banyak kasus yang sebenarnya terjadi dalam situasi di mana guru merasa tertekan oleh perilaku siswa yang tidak terkendali, kurangnya dukungan dari pihak sekolah, serta tantangan emosional dan psikologis dalam mengelola kelas. Meskipun ini bukan alasan untuk membenarkan kekerasan, namun penting untuk melihat masalah secara menyeluruh sebelum langsung menempuh jalur hukum.

 

Ketidaksetujuan Terhadap Pelaporan Guru ke Pihak Berwajib

 

Satu hal yang perlu dipertimbangkan adalah apakah tindakan orang tua yang langsung melaporkan guru ke polisi merupakan solusi terbaik bagi anak, guru, dan sekolah itu sendiri. Ada beberapa alasan mengapa langkah ini sering kali justru memperburuk situasi daripada memperbaikinya.

 

1.Melibatkan Hukum Dapat Mengganggu Proses Pendidikan

 

Sekolah adalah tempat di mana guru dan siswa seharusnya bekerja sama dalam suasana yang kondusif untuk belajar dan berkembang. Ketika masalah disiplin atau konflik antara siswa dan guru dibawa ke ranah hukum, hal itu dapat menciptakan ketegangan yang berlarut-larut di dalam lingkungan sekolah. Guru yang dilaporkan ke polisi sering kali merasa tertekan secara emosional dan psikologis, yang pada gilirannya dapat mempengaruhi kinerja mereka di kelas. Ini juga bisa membuat guru-guru lain merasa takut dan enggan untuk mengambil tindakan disipliner terhadap siswa yang bermasalah, meskipun tindakan tersebut dibutuhkan.

 

Selain itu, siswa yang terlibat juga sering kali mengalami dampak emosional yang cukup signifikan. Proses hukum tidaklah sederhana dan sering kali memerlukan waktu lama untuk diselesaikan. Hal ini dapat memengaruhi suasana belajar anak serta hubungan mereka dengan guru-guru lain dan teman-teman sekelasnya.

 

2.Penyelesaian Melalui Jalur Mediasi dan Internal Sekolah Lebih Efektif

 

Kasus-kasus kekerasan yang terjadi di sekolah sering kali dapat diselesaikan dengan lebih baik melalui mekanisme internal yang ada di lingkungan sekolah atau dengan melibatkan dinas pendidikan. Sekolah memiliki sistem disipliner, dewan guru, dan konselor yang dapat membantu menyelesaikan masalah ini dengan cara yang lebih mendidik dan memperhatikan kebutuhan siswa serta guru. Mediasi antara orang tua, siswa, dan guru juga merupakan langkah yang jauh lebih baik sebelum memutuskan untuk melibatkan pihak berwajib.

 

Misalnya, dalam kasus kekerasan fisik ringan yang mungkin terjadi karena miskomunikasi atau ketidakpahaman antara guru dan siswa, mediasi dapat membantu memperjelas situasi serta mendorong penyelesaian yang damai. Guru dapat diberikan kesempatan untuk merefleksikan tindakannya dan menerima pembinaan, sementara siswa bisa belajar mengenai pentingnya disiplin dan etika dalam berinteraksi dengan orang dewasa.

 

3.Melibatkan Hukum Berpotensi Merusak Karir Guru

 

Salah satu dampak paling nyata dari melaporkan guru ke pihak berwajib adalah risiko merusak reputasi dan karier mereka. Guru yang dilaporkan sering kali akan menghadapi stigma sosial, bahkan sebelum ada putusan hukum yang menyatakan mereka bersalah. Proses hukum dapat berlangsung lama dan mengakibatkan ketidakpastian bagi guru yang bersangkutan. Hal ini bisa sangat merugikan, terutama jika masalah sebenarnya bisa diselesaikan dengan cara yang lebih positif.

 

Contoh Kasus: Guru di Sidoarjo yang Dilaporkan karena Menegur Siswa

 

Sebagai contoh, mari kita lihat kasus di Sidoarjo pada 2018, di mana seorang guru bernama Nur Khalim dilaporkan ke pihak berwajib setelah menegur seorang siswa yang merokok di kelas. Guru tersebut, yang mencoba mendisiplinkan siswa, justru mendapat perlawanan verbal dan fisik dari siswa. Namun, orang tua siswa kemudian melaporkan sang guru ke polisi atas tuduhan kekerasan terhadap anaknya.

 

Kasus ini menjadi sorotan publik dan menimbulkan perdebatan mengenai batas-batas otoritas guru dalam mendisiplinkan siswa. Banyak pihak merasa bahwa tindakan orang tua yang melaporkan guru ke polisi adalah berlebihan, mengingat konteks kejadian di mana guru tersebut hanya mencoba menegakkan aturan dan mendisiplinkan siswa. Pada akhirnya, kasus ini diselesaikan melalui mediasi, di mana kedua belah pihak setuju untuk berdamai.

 

Perlunya Pendekatan yang Lebih Seimbang

 

Dari contoh kasus di atas, jelas bahwa membawa masalah disiplin di sekolah ke ranah hukum tidak selalu menghasilkan solusi yang terbaik. Sebaliknya, hal tersebut sering kali malah menimbulkan lebih banyak masalah bagi semua pihak yang terlibat. Oleh karena itu, penting bagi orang tua untuk lebih bijak dalam menangani masalah yang melibatkan anak mereka di sekolah.

 

Sebelum melibatkan pihak berwajib, orang tua sebaiknya berusaha menyelesaikan masalah melalui dialog dengan guru, kepala sekolah, atau dewan sekolah. Komunikasi yang baik antara orang tua dan pihak sekolah adalah kunci dalam mengatasi konflik dengan cara yang damai dan konstruktif.

 

 Kesimpulan

 

Meskipun kekerasan di lingkungan pendidikan adalah masalah yang tidak bisa diabaikan, melaporkan guru ke pihak berwajib bukanlah solusi terbaik. Langkah ini sering kali memperburuk situasi, mengganggu proses belajar-mengajar, dan merusak reputasi guru. Orang tua sebaiknya mempertimbangkan pendekatan yang lebih bijaksana, seperti mediasi dan penyelesaian internal melalui mekanisme sekolah. Dengan cara ini, masalah dapat diselesaikan dengan lebih baik, tanpa perlu melibatkan hukum yang dapat membawa dampak buruk bagi semua pihak.

Cerita Pendek: Perdebatan sang koki terhadap Kecap: Sedap vs. Bango


Cerita Pendek: Perdebatan sang koki terhadap Kecap: Sedap vs. Bango
Ilusi foto Cerita Pendek: Perdebatan sang koki terhadap Kecap: Sedap vs. Bango https://pixabay.com/id/photos/ayam-goreng-daging-kambing-goreng-7219969/


Di sebuah dapur rumah makan sederhana di pinggiran kota, dua orang juru masak sedang sibuk menyiapkan hidangan untuk para pelanggan. Pak Darto, koki senior yang telah bekerja selama lebih dari dua puluh tahun, berdiri di dekat kompor dengan cekatan mengaduk-aduk wajan. Di sudut lain, Budi, juru masak muda yang baru direkrut, sedang memotong sayuran dengan teliti. Namun, aroma yang biasanya menenangkan di dapur itu mulai berubah ketika topik yang dianggap remeh tiba-tiba memicu perdebatan sengit: kecap.


Pak Darto, dengan wajah penuh keyakinan, memandang ke arah Budi yang sedang bersiap menambahkan kecap ke dalam adonan semur. Namun, mata Pak Darto menyipit ketika melihat botol yang dipegang Budi.


"Eh, itu kecap apa yang kamu pakai, Bud?" tanya Pak Darto sambil meletakkan spatula dan melipat tangan di depan dada.


Budi tersenyum tipis sambil mengangkat botol kecap hitam dengan bangga. "Ini, Pak, kecap Bango. Rasa manisnya lebih seimbang dan aromanya lebih kuat. Saya selalu pakai ini di rumah."


Pak Darto terdiam sejenak. Wajahnya berubah serius. "Bango?" desisnya. "Di dapur ini, kami pakai kecap Sedap. Itu yang membuat rasa semur kita selalu disukai pelanggan. Bango mungkin enak, tapi Sedap punya rasa yang lebih halus dan tidak mengganggu bumbu lain."


Budi menghela napas, merasa tak setuju. "Tapi, Pak, Bango itu lebih cocok untuk semur. Rasa manisnya lebih kaya dan berani. Saya pernah coba Sedap di rumah, dan rasanya kurang nendang. Kurang kuat, gitu."


Pak Darto mendengus, berusaha menahan diri. Namun, jelas perdebatan kecil ini mulai memanas. "Kurang nendang? Budi, kamu masih muda. Kamu belum merasakan bagaimana Sedap menjaga keseimbangan bumbu-bumbu. Semur bukan soal manis saja, tapi juga harmoni antara rasa manis, asin, dan gurih. Kalau terlalu dominan manisnya, malah jadi kurang enak."


Budi meletakkan pisau dan berbalik menatap Pak Darto dengan tatapan penuh tantangan. "Tapi, Pak, zaman sekarang pelanggan lebih suka rasa yang bold, yang kuat. Kalau terlalu biasa, mereka cepat bosan. Lihat saja kecap Bango, Pak. Punya karakter khas yang bikin lidah pelanggan terus ingin makan lagi."


Pak Darto menggeleng, matanya berkilat. "Kamu kira saya nggak tahu selera pelanggan? Dua puluh tahun saya di dapur ini, Budi. Saya sudah melihat berapa banyak pelanggan yang kembali karena kecap Sedap! Kecap Bango mungkin cocok untuk makanan jalanan, tapi di sini, di rumah makan ini, kecap Sedap yang membuat rasa makanan kita sempurna!"


Budi tak mau kalah. "Saya mengerti, Pak. Saya menghargai pengalaman Bapak. Tapi mungkin kita bisa mencoba yang baru. Tidak ada salahnya bereksperimen, kan? Siapa tahu pelanggan malah lebih suka dengan rasa yang baru."


Pak Darto memukul meja dengan tangannya, menyebabkan beberapa alat masak bergemerincing. "Ini bukan soal eksperimen, Bud! Ini soal resep warisan yang sudah puluhan tahun ada. Semur kita sudah dikenal dengan rasa yang khas, jangan rusak dengan mengubah bahan utama seenaknya."


Budi balas menatap Pak Darto dengan mata tajam. "Saya tidak merusak, Pak. Saya cuma ingin membuat semur ini lebih baik. Mengapa kita harus terus-terusan mengikuti resep lama kalau kita bisa mencoba sesuatu yang mungkin lebih disukai banyak orang?"


Perdebatan semakin memanas. Ruangan dapur yang tadinya hanya diisi aroma makanan kini terasa penuh ketegangan. Beberapa pelayan yang melintas berhenti sejenak, menatap dua koki yang kini berdiri saling berhadapan. Tidak ada yang berani masuk atau bicara, karena jelas suasana mulai membara.


Pak Darto akhirnya menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri. "Baik," katanya pelan namun tegas. "Kita selesaikan ini dengan cara sederhana. Buat dua semur. Satu pakai kecap Sedap, satu lagi pakai kecap Bango. Kita biarkan pelanggan yang menilai."


Budi tersenyum kecil, merasa tantangan ini adalah kesempatan emas. "Setuju, Pak. Biar pelanggan yang memilih."


Dalam waktu singkat, kedua semur pun dimasak. Wajan pertama berisi semur yang dimasak oleh Pak Darto dengan kecap Sedap, sementara wajan kedua adalah semur ala Budi yang menggunakan kecap Bango. Kedua wajan mengeluarkan aroma harum yang menggoda, namun kini tidak hanya soal rasa, tapi juga ego yang dipertaruhkan.


Setelah hidangan selesai, keduanya mengajak beberapa pelanggan tetap untuk mencicipi tanpa memberi tahu mereka tentang perbedaan kecap. Satu per satu pelanggan mencicipi semur yang disajikan, dan setiap kali, mereka tampak menikmati. 


Setelah mencicipi kedua semur, seorang pelanggan yang sudah sering datang berkata, "Yang ini rasanya lebih lembut, seimbang. Sedangkan yang satunya lebih kuat manisnya, agak lebih berani di lidah."


Pelanggan lain mengangguk. "Benar, yang ini cocok buat yang suka rasa manisnya lebih terasa. Tapi kalau untuk makan sering-sering, saya lebih suka yang rasanya tidak terlalu dominan."


Pak Darto dan Budi sama-sama menahan napas, menanti putusan akhir. Akhirnya, pelanggan tersebut menyimpulkan, "Kalau saya pribadi, saya suka yang lembut, yang rasa bumbunya tidak terlalu tajam."


Pak Darto tersenyum puas, tapi sebelum ia sempat berucap, pelanggan yang lain menambahkan, "Tapi semur yang lebih manis ini juga enak, ya. Mungkin untuk variasi, bisa jadi pilihan."


Budi tersenyum tipis. Meski kecap Bango tidak mendominasi pilihan, namun ia mendapat pengakuan. Keduanya saling pandang, dan Pak Darto akhirnya tertawa kecil, meredakan ketegangan. 


"Baiklah, Bud," kata Pak Darto. "Mungkin ada benarnya juga kita butuh variasi. Tapi ingat, keseimbangan adalah kuncinya. Kecap Sedap tetap jadi andalan, tapi kalau sesekali kita coba Bango, tidak masalah."


Budi mengangguk dengan lega. "Setuju, Pak. Saya tidak bermaksud menyinggung. Saya cuma ingin memberikan yang terbaik."


Dan malam itu, di dapur yang semula tegang, kini hanya ada senyuman dan kerja sama baru. Pertarungan dua kecap berakhir dengan damai, membawa pelajaran bahwa meskipun berbeda, keduanya punya nilai yang sama.

PUISI:KERINDUAN RINTIK HUJAN

  PUISI:KERINDUAN RINTIK HUJAN (https://pixabay.com/id/photos/hujan-jalan-kota-pelabuhan-1479303/) Hujan menari di atas jendela, rintiknya...