Puisi Romantis:Cinta di Bulan Ramadan

ilusi foto cinta bulan ramadan


 

Di bawah cahaya rembulan yang redup, 

aku temukan cinta dalam doa yang khusyuk.

Di antara gemuruh takbir yang syahdu,

 kau hadir bagai bisikan rindu.

Ramadan membawa cahaya ke dalam hati, 

menjernihkan segala gundah yang pernah pergi.

Aku mengenalmu bukan dalam tatapan,

 namun dalam sujud dan ketulusan harapan.

Dalam malam-malam sunyi bertabur doa, 

kita saling menyebut nama di hadapan-Nya. 

Tak perlu genggaman,

tak perlu sentuhan, kita bersama dalam ikatan keimanan.

Seperti embun yang jatuh di ujung subuh, 

cintaku padamu tak riuh namun utuh.

 Bukan karena rupa, bukan karena dunia, 

melainkan karena-Nya yang mempertemukan jiwa.

Sahur yang kita jalani dalam kesederhanaan, 

mengajarkan arti cinta dalam keikhlasan.

 Berbuka dalam sujud dan syukur mendalam,

menyadarkan bahwa cinta adalah tentang keteguhan.

Kau adalah doa yang kusisipkan dalam malam, 

yang kusebut lirih dalam setiap salam.

Jika Ramadan adalah pertemuan hati,

 maka semoga Syawal menjadi saksi janji.

Aku mencintaimu dalam sebaik-baiknya cara, 

dalam doaku, dalam imanku, dalam takdir-Nya. 

Bulan suci ini mengajarkan arti,

bahwa cinta sejati selalu kembali pada Ilahi.



(entah foto siapa yang saya ambil,entah perasaan apa yang saya simpan,tapi terima kasih banyak kau tetap menjadi ruang sunyiku,menjadi inpirasi di setiap tulisanku,aku masih teringat pada kado terakhirmu yang hingga kini masih tersimpan rapi,terima kasih untuk semuanya dimanapun kau berada,aku berharap tulisan ini muncul di beranda ponselmu dan kau membacanya dengan khidmat)

Cerita Pendek:Cinta di Malam Lailatul Qadar

 

Cinta di Malam Lailatul Qadar
Ilusi Gambar Cerita Pendek Cinta di Malam Lailatul Qadar  https://pixabay.com/id/illustrations/pasangan-muslim-berdoa-islam-6116320/ _Suaralukaa.com

Langit malam itu begitu pekat, seolah semesta sedang menyimpan rahasia terbesar yang hanya bisa dirasakan oleh mereka yang beriman. Udara terasa lebih sejuk dari biasanya, dan suara takbir menggema dari berbagai sudut kota, menyatu dengan desir angin yang lembut menyapu pepohonan. Malam itu adalah malam ke-27 Ramadan, malam yang diyakini sebagai Lailatul Qadar, malam penuh berkah yang lebih baik dari seribu bulan.

Di dalam masjid tua yang berdiri megah di pinggiran kota, Adam duduk bersimpuh, tenggelam dalam doa yang khusyuk. Hatinya yang selama ini gersang perlahan-lahan terisi oleh kehangatan yang sulit dijelaskan. Di tengah malam yang penuh ketenangan itu, tiba-tiba pandangannya tertumbuk pada seorang gadis yang sedang berdoa di sudut lain masjid. Wajahnya samar tertutup mukena putih, namun sinar matanya memancarkan keteduhan yang menggugah hati.

Adam merasa seolah waktu berhenti. Ada sesuatu dalam diri gadis itu yang menariknya, seperti gelombang laut yang tak terelakkan. Ia mengalihkan pandangannya, berusaha untuk kembali fokus pada doanya, namun hatinya gelisah. Dia tak tahu siapa gadis itu, tetapi entah mengapa, Adam merasa seolah sudah mengenalnya sejak lama.

Seusai shalat, ia melihat gadis itu bangkit dari duduknya. Adam masih terpaku, berusaha menahan hatinya yang terus bertanya-tanya. Gadis itu melangkah menuju pintu masjid, namun tiba-tiba angin bertiup kencang, membuat mukena yang menutupi wajahnya sedikit tersingkap. Seketika Adam melihat parasnya dengan jelas—sepasang mata bening yang menyiratkan kelembutan, bibir yang bergerak pelan mengucap dzikir, dan ekspresi yang menenangkan. Ada keindahan dalam kesederhanaan yang membuat Adam tak bisa mengalihkan pandangan.

Tanpa berpikir panjang, Adam berdiri dan melangkah cepat ke luar masjid, berharap bisa menemukan gadis itu. Namun, begitu ia sampai di halaman, gadis itu telah menghilang di antara kerumunan jamaah yang pulang. Hanya sisa wangi melati yang samar tertinggal di udara.

Malam berikutnya, Adam kembali ke masjid dengan harapan bertemu lagi dengan gadis itu. Hatinya berdebar ketika ia melihat sosok yang sama duduk di tempat yang sama. Kali ini, ia memberanikan diri untuk mendekati setelah shalat selesai.

“Assalamu’alaikum,” ucap Adam dengan suara pelan namun jelas.

Gadis itu menoleh dan membalas dengan lembut, “Wa’alaikumussalam.”

Adam menelan ludah, mencari kata-kata yang tepat. “Maaf jika saya mengganggu. Saya hanya ingin tahu... apakah kita pernah bertemu sebelumnya?”

Gadis itu tersenyum samar. “Saya rasa tidak, tapi mungkin hati kita saling mengenal lebih dulu.”

Jawaban itu membuat Adam terdiam. Ada sesuatu dalam suaranya yang menenangkan, seolah ia telah lama menunggu pertemuan ini terjadi.

“Apa nama Anda?” tanya Adam akhirnya.

“Nayla,” jawabnya singkat.

Adam mengulang nama itu dalam pikirannya, merasakan getaran aneh yang membuatnya yakin bahwa pertemuan ini bukan kebetulan.

Setelah malam itu, mereka sering bertemu di masjid. Percakapan-percakapan mereka sederhana, lebih banyak dipenuhi dengan pembahasan tentang iman, kehidupan, dan keindahan malam-malam Ramadan. Adam semakin yakin bahwa perasaannya terhadap Nayla bukan sekadar ketertarikan sesaat. Ia jatuh cinta bukan hanya pada parasnya, tetapi pada hatinya yang penuh dengan ketulusan.

Namun, kebahagiaan itu tak bertahan lama. Pada malam terakhir Ramadan, Nayla datang dengan wajah yang berbeda—sorot matanya sendu, seakan menyimpan perpisahan.

“Ada apa, Nayla?” tanya Adam dengan cemas.

Nayla tersenyum lembut, namun ada kesedihan di baliknya. “Besok aku harus pergi. Keluargaku pindah ke kota lain.”

Dada Adam terasa sesak. Ia ingin mengatakan sesuatu, ingin menahan Nayla, tapi kata-kata terasa begitu sulit diucapkan.

“Aku percaya, jika Allah menghendaki, kita pasti akan bertemu lagi,” lanjut Nayla dengan suara lirih.

Adam mengepalkan tangannya, berusaha menahan gejolak dalam hatinya. “Aku akan mencarimu, Nayla. Tidak peduli sejauh apa pun.”

Nayla tersenyum, kemudian melangkah pergi meninggalkan Adam yang berdiri membisu, menyaksikan cinta pertamanya menghilang dalam kesunyian malam Lailatul Qadar.

Bulan berganti tahun, dan Adam terus mencari. Hingga pada suatu malam yang mirip dengan malam itu—di sebuah masjid kecil di kota yang jauh dari tempatnya tinggal—Adam melihat sosok yang begitu familiar. Nayla berdiri di sana, tersenyum kepadanya, seolah tak pernah benar-benar pergi.

Malam Lailatul Qadar telah mempertemukan mereka kembali. Dan kali ini, Adam tak akan membiarkan Nayla pergi lagi.

Alur Cerita Film paling romantis:Ipar adalah Maut

Ipar adalah Maut
Ilustrasi gambar ipar Adalah maut byradar Bogor.com


Malam itu hujan turun deras. Kilat menyambar sesekali, membelah langit dengan cahaya yang menyilaukan. Aku menatap ke luar jendela apartemen kecilku, memikirkan betapa cepat hidupku berubah sejak Rania menikah dengan adikku, Aldi. Aku selalu percaya bahwa keluarga adalah tempat paling aman, tapi kehadiran Rania mengubah segalanya.


Rania bukan wanita biasa. Sejak pertama kali Aldi memperkenalkannya, aku sudah merasa ada sesuatu yang tidak beres. Sorot matanya tajam, bibirnya selalu melengkung dalam senyum yang terasa terlalu sempurna. Dia seperti aktris yang memainkan peran dalam kehidupan nyata—terlalu anggun, terlalu manis, terlalu tanpa cela.


Awalnya aku mencoba mengabaikan perasaanku. Mungkin hanya cemburu semata karena Aldi menemukan seseorang yang bisa membuatnya bahagia. Tapi seiring waktu, kejadian-kejadian aneh mulai terjadi.


Aku mulai kehilangan barang-barang kecil di apartemenku. Awalnya hanya hal-hal remeh—sebuah buku yang aku yakin telah aku letakkan di rak, kunci motor yang tiba-tiba muncul di meja makan setelah aku mencarinya seharian. Kemudian, aku menemukan sesuatu yang lebih mengerikan: lipstik merah di cermin kamar mandi. Aku tinggal sendiri. Tidak ada yang bisa meninggalkan jejak itu kecuali seseorang yang memiliki akses ke apartemenku.


Puncaknya terjadi sebulan lalu, saat aku menerima paket misterius. Sebuah kaset VHS dengan tulisan tangan di labelnya: “Putar dan lihatlah.” Aku hampir tertawa. Siapa di zaman ini masih menggunakan kaset VHS? Namun, rasa penasaran mengalahkan logika. Aku harus meminjam pemutar VHS dari seorang teman sebelum akhirnya bisa melihat isi rekaman itu.


Layar televisi menyala dengan suara berderak. Gambar goyah, seperti diambil dari kamera tua yang sudah aus. Aku melihat apartemenku, sudut-sudutnya yang aku kenali dengan baik. Lalu, seseorang muncul di layar. Seorang wanita dengan gaun hitam, berdiri membelakangi kamera. Perlahan, dia menoleh, dan jantungku hampir berhenti saat aku melihat wajahnya—Rania.


Dia berjalan ke arah tempat tidurku, meraba bantal dengan ujung jarinya, lalu mengangkat sesuatu. Sebilah pisau. Aku melihatnya membelai pisau itu, lalu tanpa ragu, menusukkannya ke kasur beberapa kali. Setelah puas, dia menoleh langsung ke arah kamera, tersenyum, seolah sadar bahwa aku akan menontonnya suatu hari nanti.


Tanganku gemetar saat aku mematikan televisi. Jantungku berdetak kencang, pikiranku berputar-putar. Rania pernah masuk ke apartemenku. Dia menyentuh tempat tidurku. Dia membawa pisau. Apa artinya semua ini?


Aku mencoba menghubungi Aldi, tetapi tidak dijawab. Mungkin dia sibuk. Aku mencoba meyakinkan diri bahwa ini hanya gurauan buruk, atau mungkin aku hanya berhalusinasi. Namun, firasat buruk itu tidak kunjung hilang.


Dua hari kemudian, Aldi menghilang.


Polisi datang, mengetuk pintu apartemenku, menanyakan apakah aku tahu keberadaan adikku. Aku hanya bisa menggeleng, tenggorokanku terasa kering. Mereka bilang Rania melaporkan Aldi tidak pulang sejak dua hari lalu. Aku ingin tertawa sinis—seolah-olah dia bukan penyebab dari semua ini.


Malam itu, aku menerima pesan dari nomor tak dikenal. Hanya satu kalimat: “Kau selanjutnya.”


Tanganku mencengkeram ponsel erat. Aku harus melakukan sesuatu. Aku tidak bisa hanya menunggu. Maka, aku mulai mencari tahu lebih dalam tentang Rania. Aku menyelidiki latar belakangnya, bertanya kepada teman-teman lamanya, mencari tahu siapa sebenarnya wanita yang telah menikah dengan adikku.


Yang aku temukan jauh lebih mengerikan dari dugaanku.


Rania pernah menikah sebelumnya, dengan seorang pria bernama Daniel. Daniel ditemukan tewas di apartemennya sendiri, dengan puluhan luka tusukan di tubuhnya. Kasus itu tidak pernah terpecahkan. Polisi tidak memiliki cukup bukti untuk menahan siapa pun, meskipun banyak yang mencurigai istrinya—Rania.


Aku merasa dunia berputar. Aldi dalam bahaya. Atau lebih buruk lagi, mungkin dia sudah...


Tidak. Aku menolak memikirkannya. Aku harus bertindak.


Malam itu, aku memutuskan pergi ke rumah Aldi dan Rania. Aku memanjat pagar belakang, mengendap-endap di antara bayangan, berharap tidak ketahuan. Jendela dapur tidak terkunci, aku menyelinap masuk. Rumah itu gelap, sunyi. Aku menahan napas saat mendengar langkah kaki dari lantai atas.


Aku mengikuti suara itu, menaiki tangga dengan hati-hati. Pintu kamar utama sedikit terbuka. Aku mengintip ke dalam.


Rania berdiri di tengah kamar, di hadapannya ada kursi. Di kursi itu, Aldi duduk dengan tangan terikat, mulutnya dibekap kain. Matanya melebar saat melihatku, tubuhnya menggeliat mencoba memberontak.


Aku tidak sempat berpikir. Aku menerjang masuk, mendorong Rania dengan sekuat tenaga. Dia terjatuh, tetapi dengan cepat bangkit dan berbalik menghadapku. Di tangannya ada pisau—pisau yang sama yang kulihat di rekaman.


“Aku sudah menunggumu,” katanya, tersenyum tenang, seolah ini semua hanya permainan kecil baginya.


Aku tidak menunggu dia menyerang lebih dulu. Aku meraih lampu meja dan menghantamkannya ke kepalanya. Rania jatuh, pisau terlepas dari tangannya. Aku bergegas membebaskan Aldi, yang langsung menarikku untuk kabur keluar kamar.


Kami berlari keluar rumah, berteriak meminta bantuan. Lampu-lampu rumah tetangga mulai menyala. Tak lama kemudian, suara sirene memenuhi udara. Polisi tiba, menangkap Rania yang masih tergeletak di lantai dengan kepala berdarah.


Aldi memelukku erat, tubuhnya gemetar. Aku menatap ke arah rumah itu, ke arah wanita yang hampir membunuh adikku.


Keluarga seharusnya menjadi tempat paling aman. Tapi malam itu, aku belajar bahwa tidak semua orang yang masuk dalam hidup kita membawa nia

t baik. Kadang, ipar benar-benar bisa menjadi maut.


Cerita Pendek: Cinta yang Terpendam

 


Di sebuah kota kecil yang terletak di tepi pantai, hidup seorang wanita bernama Eliza. Sejak kecil, ia dikenal sebagai sosok yang tenang dan pendiam, lebih suka menghabiskan waktu di sudut-sudut perpustakaan atau berjalan-jalan sendiri di sepanjang pantai. Orang-orang di sekitar kota itu tahu Eliza sebagai gadis yang tak banyak bicara, tapi matanya, matanya selalu berbicara sesuatu yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata.

Di balik sikap pendiamnya, ada rahasia yang tersembunyi jauh di dalam hatinya. Sebuah cinta yang tak pernah ia ungkapkan, yang hanya terpendam dalam hati kecilnya. Cinta itu bernama Damar, seorang pria yang pernah hadir dalam hidupnya, namun kini seperti bayang-bayang yang menghilang begitu saja. Mereka berdua pernah berteman dekat saat masih remaja, sering menghabiskan waktu bersama, bermain gitar di bawah langit malam, bercakap tentang masa depan yang penuh dengan harapan. Namun, entah bagaimana, hubungan itu perlahan memudar seiring berjalannya waktu.

Damar adalah pria yang penuh dengan semangat hidup. Selalu ceria, selalu ada untuk orang-orang yang ia sayangi. Namun, kebahagiaannya kadang membuat Eliza merasa seolah dirinya hanyalah bagian kecil dari dunia Damar yang luas dan berwarna. Setiap kali ia menatapnya, ia merasa ada sesuatu yang hilang, sesuatu yang tak bisa ia raih, meskipun hatinya telah lama menginginkannya.

Setelah lulus dari sekolah, Damar memutuskan untuk melanjutkan hidupnya di kota besar, mengejar cita-cita yang ia miliki. Sementara Eliza, memilih untuk tetap tinggal di kota kecil itu, bekerja di perpustakaan dan melanjutkan rutinitasnya yang sederhana. Meskipun sudah berbulan-bulan tidak berkomunikasi, Eliza tidak bisa melupakan Damar begitu saja. Cinta yang terpendam itu, seperti karang yang tak bisa dihancurkan oleh ombak, tetap berdiri tegak di dalam hatinya.

Suatu hari, setelah bertahun-tahun berlalu, Damar kembali ke kota kecil itu. Ia datang untuk mengunjungi keluarganya, namun lebih dari itu, ada sesuatu yang tidak bisa ia abaikan. Sesuatu yang telah lama ia rasakan namun tak pernah ia ungkapkan. Ia merasa seperti ada ruang kosong dalam hidupnya yang hanya bisa diisi oleh sosok yang satu ini—Eliza.

Ketika mereka bertemu kembali di taman dekat pantai, suasana seakan berhenti. Waktu seperti melambat, dan hati Eliza yang selama ini beku kembali berdegup kencang. Damar tersenyum, senyum yang dulu selalu bisa menghangatkan hatinya. Eliza mencoba tersenyum, meskipun hatinya dipenuhi perasaan yang sulit untuk dijelaskan.

“Aku tidak menyangka bisa bertemu denganmu di sini, Eliza,” kata Damar, suaranya lembut namun penuh arti.

Eliza hanya mengangguk, matanya tak bisa lepas dari sosok Damar yang kini lebih dewasa, lebih matang. Namun, di dalam hatinya, rasa rindu itu tak bisa dibendung lagi. Rindu yang terpendam bertahun-tahun, yang bahkan ia sendiri tak tahu bagaimana cara menghadapinya.

“Aku juga tidak menyangka,” jawab Eliza pelan. “Kau… sudah lama sekali meninggalkan kota ini.”

Damar tertawa kecil. “Iya, aku harus mengejar impianku. Tapi… ada sesuatu yang belum selesai, sesuatu yang selalu menggangguku.”

Eliza menatapnya bingung. “Apa maksudmu?”

Damar terdiam sejenak, seolah mencari kata-kata yang tepat. “Aku tidak tahu harus mulai dari mana, tapi… sejak aku pergi, ada satu hal yang selalu mengusik pikiranku. Ada seseorang yang sangat aku sayangi, yang selalu ada di pikiranku, tapi aku tak pernah memberitahunya. Aku takut, Eliza. Takut kehilangan, takut jika perasaanku itu tak terbalas.”

Eliza terkejut. Jantungnya berdegup cepat, tubuhnya terasa lemas. Ia bisa merasakan setiap kata yang diucapkan Damar seperti teriakan yang lama terkubur. Ia ingin mengatakan sesuatu, ingin mengungkapkan betapa lama ia menyimpan perasaan yang sama, tapi kata-kata itu seperti terjebak di tenggorokannya.

“Damar… aku…” suara Eliza tersendat. Ia menunduk, mencoba menahan air mata yang hampir tumpah.

Damar mendekat, menatap Eliza dengan penuh perhatian. “Aku tidak bisa hidup dengan penyesalan, Eliza. Aku ingin tahu… apakah kau merasakannya juga? Apakah ada sedikit pun ruang di hatimu untukku?”

Eliza menatapnya, matanya berkaca-kaca. Selama ini ia menyimpan perasaan itu dalam-dalam, takut untuk mengungkapkannya. Takut akan apa yang mungkin terjadi setelah itu. Tapi, kini, di hadapan Damar, semua itu tak lagi bisa ia tahan.

“Aku… aku sudah lama mencintaimu, Damar,” kata Eliza dengan suara yang hampir tak terdengar. “Tapi aku takut. Takut jika kau tidak merasa yang sama. Takut jika aku hanya akan menjadi kenangan yang terlupakan dalam hidupmu.”

Damar tersenyum lebar, senyum yang menghapus segala keraguan di hati Eliza. Ia meraih tangan Eliza, menggenggamnya erat.

“Aku tidak akan membiarkanmu menjadi kenangan, Eliza. Aku akan menjagamu, jika kau memberiku kesempatan. Kita bisa memulai lagi, bersama-sama.”

Di bawah langit yang mulai temaram, mereka berdiri dalam hening yang penuh makna. Cinta yang terpendam selama ini akhirnya menemukan jalannya untuk mengalir. Tidak ada lagi kata-kata yang perlu diucapkan, karena hati mereka sudah saling berbicara. Kini, cinta yang lama terkubur itu, akhirnya menemukan tempat untuk tumbuh dan berkembang, menjadi kisah baru yang penuh harapan.

Malam itu, Eliza dan Damar berjalan berdua di sepanjang pantai, tangan mereka saling bergandengan, membawa harapan akan masa depan yang lebih cerah. Cinta yang terpendam selama ini akhirnya tidak lagi menjadi bayang-bayang, melainkan sebuah kenyataan yang indah.

CERITA PENDEK:DENDAM DALAM BAYANG

CERITA PENDEK:DENDAM DALAM BAYANG
Ilusi foto CERITA PENDEK:DENDAM DALAM BAYANG(https://pixabay.com/id/photos/foto-album-tua-album-foto-256889/)


Langit malam terasa gelap dan dingin, seolah mencerminkan ketegangan yang menggantung di udara. Di sebuah apartemen mewah di pusat kota, Clara berdiri di jendela, matanya kosong menatap ke luar. Di bawah sana, dunia terus berputar, tak pernah tahu bahwa malam ini, hidupnya akan berubah selamanya. 

Setelah bertahun-tahun bersama, dia tahu sesuatu yang tak seharusnya dia ketahui. Rasa curiga yang terpendam semakin menajam, dan kali ini, Clara tidak akan membiarkan perasaan itu menguasainya tanpa alasan yang pasti. Ia telah menyelidiki dengan seksama, mengumpulkan setiap petunjuk, dan kini, jawaban yang ditunggu-tunggu telah tiba.

Ponselnya bergetar di atas meja, suara tutsnya bergetar dalam keheningan malam. Clara mengangkatnya dengan tangan gemetar. Di layar, muncul nama Daniel, suaminya. Hatinya berdegup kencang, namun wajahnya tetap tak terbaca.

“Apa yang kamu lakukan malam ini?” suara Daniel terdengar lembut, namun Clara bisa mendengar kebohongan di baliknya.


“Apa yang kamu lakukan?” Clara menahan napas. Suaranya terdistorsi oleh amarah yang tertahan.


“Aku… hanya bekerja lembur, seperti biasa.”


Clara menghela napas panjang, menahan amarah yang hampir meledak. Dia tahu ini hanya kebohongan lain. Daniel telah mengkhianatinya, dan Clara tidak akan membiarkan semuanya berlalu begitu saja. Tidak lagi.


"Jangan bohong padaku, Daniel. Aku tahu semuanya."


Suasana sepi sesaat, hanya ada suara detak jam dinding yang terdengar seperti deru angin di tengah badai. Clara melangkah ke arah meja kecil di samping tempat tidur. Di sana, sebuah amplop putih tergeletak, berisi foto-foto yang sudah cukup jelas untuk membuktikan segalanya. Foto-foto yang menunjukkan Daniel, suaminya, berada dalam pelukan seorang wanita lain.


“Apa ini, Daniel? Apa kamu kira aku bodoh?” suara Clara pecah, penuh perasaan terluka.


Daniel terdiam di sisi telepon. Clara bisa membayangkan ekspresi wajahnya yang mulai cemas. Namun, Clara tidak peduli lagi. Dia ingin mendengar penjelasan, meski dia tahu tak ada yang bisa membenarkan apa yang telah terjadi.


“Clara, aku bisa jelaskan—”


“Jelaskan apa? Semua bukti ada di sini. Aku sudah melihat semuanya.”


Clara melemparkan foto-foto itu ke meja dengan marah, foto-foto yang menjadi saksi bisu penghianatan suaminya. Wajah Daniel yang penuh ketakutan mulai terlihat. Ia tahu, malam ini adalah malam terakhirnya bersama Clara.


“Aku minta maaf. Ini bukan yang kamu kira—”


“Tidak, Daniel! Ini lebih dari yang aku kira! Kamu... kamu mengkhianatiku! Kamu tidur dengan wanita itu, bukan? Aku melihat foto-fotonya!” Clara berteriak, suaranya penuh air mata yang hampir tumpah.


Daniel terdiam sejenak, lalu berkata dengan suara rendah. “Clara, aku tidak bisa hidup tanpa dia. Aku sudah mencoba—”


Tanpa peringatan, Clara melemparkan ponselnya ke dinding, suara pecahannya membuat Daniel terkejut. “Kamu tak akan mendapatkan kesempatan lagi. Tidak ada lagi penjelasan. Kamu sudah memilih jalanmu.”


Saat itu, Clara merasa kebencian yang begitu dalam mengalir dalam darahnya. Amarah yang tak bisa dibendung, rasa sakit yang mendalam akibat pengkhianatan itu, membuat matanya berkaca-kaca. Clara merasa seperti seorang asing dalam hidupnya sendiri, terperangkap dalam bayangan kesalahan yang tak bisa diperbaiki.


“Daniel,” Clara berkata dengan suara dingin, memanggil suaminya yang kini berdiri di depan pintu. “Kau akan menyesal karena sudah memilihnya. Tapi ingat, ini semua adalah pilihanmu.”


Tangan Clara menggenggam erat pisau dapur yang terletak di meja dekatnya. Wajahnya tegang, tubuhnya gemetar, namun dalam hatinya, ada kekuatan yang muncul dari kedalaman yang paling gelap.


Daniel berjalan mendekat, berusaha untuk meraih tangannya. “Clara, jangan lakukan ini. Aku akan pergi. Aku akan pergi darimu. Kamu bisa mulai hidup baru.”


Namun, Clara tidak bisa lagi mendengarkan kata-kata itu. Semua sudah terlambat. Apa yang terjadi malam ini adalah harga dari pengkhianatan yang sudah terlalu dalam. Tanpa ragu, Clara melangkah maju, dan dengan gerakan cepat, pisau itu menembus tubuh Daniel.


“Clara… kenapa…?” suara Daniel terdengar tercekat. Matanya melebar seolah tidak percaya dengan apa yang baru saja terjadi.


Clara menatapnya dengan tatapan kosong, darah menetes di tangan dan bajunya. “Ini untukmu, Daniel. Ini adalah akhirnya.” 


Daniel terjatuh ke lantai, napasnya semakin berat, tubuhnya terkulai lemah. Clara berdiri di sana, dengan tangan gemetar memegang pisau, masih tak percaya dengan apa yang baru saja ia lakukan. Namun di dalam hatinya, ada semacam kedamaian yang mulai merayap. Dia tahu, semuanya berakhir di sini. Pengkhianatan itu telah dibayar dengan harga yang tak bisa kembali.


Saat tubuh Daniel terkulai tak bernyawa, Clara menghadap cermin, menatap bayangan dirinya yang penuh darah. Untuk pertama kalinya, dia merasa tidak ada yang lebih jelas daripada kenyataan bahwa kebohongan dan pengkhianatan itu harus dibayar dengan harga yang sangat mahal.


Di luar sana, malam terus berjalan, namun bagi Clara, dunia telah berhenti.

Cerita Pendek:Di Bawah Langit yang Sama to Indonesia

 

Cerita Pendek:Di Bawah Langit yang Sama to Indonesia
Cerita Pendek:Di Bawah Langit yang Sama to Indonesia(https://pixabay.com/id/photos/jalan-kota-rakyat-malam-perkotaan-7752940/)

Kita selalu percaya bahwa langit adalah satu-satunya saksi yang setia. Ia terbentang tanpa batas, menghubungkan aku dan kamu yang dipisahkan ribuan kilometer oleh daratan dan lautan.

Aku, Ayu, seorang gadis dari Yogyakarta yang jatuh cinta pada Alif, seorang mahasiswa asal Istanbul yang pernah bertukar pelajar di kampusku. Perjumpaan kami dimulai dari sebuah kebetulan, di bawah pohon flamboyan saat ia menolongku mengumpulkan lembaran skripsi yang tertiup angin.

"Ini milikmu, bukan?" tanyanya dengan logat Turki yang kental, namun suaranya terdengar hangat.

Aku tersenyum canggung, mengambil lembaran itu dari tangannya. "Terima kasih, kamu sangat membantu."

Sejak saat itu, kami mulai sering bertemu. Di kantin, di perpustakaan, bahkan dalam perjalanan pulang ke kosan. Entah bagaimana, langkahnya selalu beriringan denganku.

Namun, waktu memiliki caranya sendiri untuk memisahkan. Ketika masa pertukaran pelajarnya usai, Alif harus kembali ke Istanbul. Perpisahan itu terasa begitu cepat, seolah-olah kami baru saja memulai kisah yang belum sempat diukir.

Di bandara, ia menggenggam tanganku erat. "Ayu, aku tahu ini sulit. Tapi aku ingin kita terus berkomunikasi. Aku ingin kita menjaga apa yang sudah kita mulai."

Aku menatap matanya yang menyimpan begitu banyak kerinduan. "Aku juga ingin begitu, Alif. Tapi, apakah cinta bisa bertahan sejauh ini?"

Ia tersenyum tipis. "Langit yang sama akan selalu mengingatkan kita."

Setelah ia pergi, jarak mulai menjadi ujian terbesar kami. Setiap malam aku menatap bintang, bertanya-tanya apakah Alif juga melakukan hal yang sama di sana.

Pesan-pesan dari Alif sering kali menjadi penyelamat hariku.

"Ayu, apa kabar? Di sini musim dingin mulai terasa. Aku harap kamu tetap hangat di sana."

Aku tersenyum membaca pesannya. "Aku baik-baik saja, Alif. Di sini musim hujan, dan aku merindukan secangkir kopi hangat bersama kamu."

"Aku juga merindukanmu. Suatu hari nanti, aku ingin kita duduk di kafe kecil di Istanbul, berbagi cerita tentang semua yang kita lalui."

Waktu berlalu, dan meskipun jarak terus memisahkan, hati kami tetap bertaut. Kami saling menguatkan melalui panggilan video, pesan singkat, dan surat yang sesekali dikirim dengan aroma khas negara masing-masing.

Suatu hari, ketika aku berjalan di Malioboro, sebuah pesan masuk. "Ayu, aku ada kejutan untukmu."

"Apa itu?" balasku penasaran.

"Tunggulah di bawah pohon flamboyan tempat kita pertama kali bertemu."

Dengan jantung berdegup kencang, aku melangkah menuju pohon itu. Angin sore berhembus lembut, membelai wajahku yang dipenuhi rasa rindu.

Dan di sana, di bawah flamboyan, berdiri sosok yang begitu aku rindukan.

"Alif? Bagaimana bisa?"

Ia tersenyum, matanya bersinar hangat. "Aku tak bisa menunggu lebih lama untuk bertemu denganmu lagi. Aku ingin memastikan bahwa cinta ini nyata, meski jarak pernah menjadi tembok."

Aku mendekatinya, merasakan debaran yang telah lama tak kurasakan. "Kamu gila... tapi aku senang kamu ada di sini."

Alif menggenggam tanganku. "Ayu, aku ingin kita berjalan bersama, tak hanya di bawah langit yang sama, tapi juga di jalan yang sama."

Langit sore itu menjadi saksi bisu, menyimpan cerita cinta yang kembali menyatu, seakan jarak tak pernah ada.

"Cinta tidak mengenal batas. Seperti langit yang tak terhitung luasnya, ia menyatukan hati yang berjauhan."

Puisi:Bayang-Bayang Tanpa Waktu



Dalam hening, bayangmu masih menetap,

Seperti senja yang enggan berlalu.

Aku merangkai sisa kenangan yang retak,

Mencari hangat di sela rindu yang bisu.


Langkah-langkahmu terukir di dada,

Meski tak lagi kau tapaki jalannya.

Kata-kata yang pernah kita rajut bersama,

Kini berguguran, bersembunyi di luka.


Cinta ini seperti daun yang gugur perlahan,

Tak berteriak, hanya diam menahan.

Tapi aku tahu, bahkan bayangmu pun,

Tak ingin menetap selamanya di pelupuk angan.


Aku merelakan meski hati enggan,

Karena cinta sejati tak memaksa bertahan.

Biarlah kau pergi, membawa separuh malam,

Aku akan belajar bercahaya tanpa rembulan.



PUISI:KERINDUAN RINTIK HUJAN

  PUISI:KERINDUAN RINTIK HUJAN (https://pixabay.com/id/photos/hujan-jalan-kota-pelabuhan-1479303/) Hujan menari di atas jendela, rintiknya...