Cerita Pendek:Di Antara Dua Hati

Cerita Pendek:Di Antara Dua Hati
Ilustrasi foto Cerita Pendek:Di Antara Dua Hati (https://pixabay.com/id/illustrations/gadis-bermimpi-mimpi-melamun-sedih-7356696/)



Aku duduk di tepi jendela kafe kecil yang sering kita kunjungi. Aroma kopi memenuhi udara, mengingatkanku pada perbincangan kita yang dulu penuh canda tawa. Sekarang, kafe ini menjadi saksi bisu atas kebingungan dan kekacauan yang melanda hatiku.


Di sinilah tempat aku pertama kali menyadari bahwa ada sesuatu yang berbeda di antara kita, sesuatu yang lebih dalam dari sekadar persahabatan. Aku selalu berpikir bahwa aku mengenalmu luar dalam, namun ternyata tidak. Kau menyimpan rahasia yang akhirnya membuatku terjebak dalam cinta segitiga yang tak pernah kuinginkan.


Kita sering bertemu, berdua saja. Saat itu, aku merasa aman. Dunia serasa menyempit hanya untuk kita. Namun, seiring waktu, perasaan itu berubah. Bukan karena aku ingin, tapi karena kehadiran orang ketiga—dia, seseorang yang datang tanpa aku duga, yang merenggut sebagian dari duniamu yang dulu utuh milikku.


"Kamu tahu, ada hal yang harus aku ceritakan padamu," ucapmu suatu hari dengan nada lembut tapi penuh keraguan. Mata cokelatmu yang biasanya tenang kini tampak gelisah, seolah enggan mengungkapkan sesuatu yang akan mengubah segalanya.


"Apa itu?" tanyaku sambil meneguk kopiku, berusaha terlihat santai meskipun aku merasakan ada sesuatu yang tidak beres.


"Kau tahu, ada seseorang yang... aku pikir, aku mulai jatuh cinta padanya." Kalimat itu meluncur seperti belati tajam, menghujam relung hatiku.


Dadaku terasa sesak. Aku tersenyum getir. "Siapa?"


Mata kita bertemu sesaat sebelum kau menunduk, menghindari pandanganku. "Dia... temanku yang baru, Aksa."


Nama itu seperti petir di siang bolong. Aksa? Teman yang baru saja kau kenalkan beberapa minggu lalu? Aku ingat betapa hangatnya caramu berbicara tentang dia, bagaimana kau tertawa setiap kali menceritakan kisah konyol yang kau alami dengannya. Tapi aku tak pernah berpikir ini akan terjadi. 


Kau melanjutkan, "Aku tidak tahu bagaimana menjelaskannya. Rasanya salah, tapi aku tak bisa mengabaikannya. Setiap kali aku bersamanya, aku merasa… berbeda."


Seketika, hatiku terasa hancur berkeping-keping, tapi aku berusaha menahan diri. "Dan aku?" tanyaku dengan suara yang lebih rendah dari biasanya.


"Kamu selalu istimewa," jawabmu cepat. "Kamu adalah sahabat terbaikku. Aku tidak bisa kehilanganmu."


Sahabat? Kalimat itu bagai menambah garam di lukaku yang masih basah. Di sini, di antara kopiku yang mulai mendingin dan deru obrolan orang-orang di sekitarku, aku harus menghadapi kenyataan bahwa aku tidak pernah menjadi lebih dari itu bagimu. Aku hanya sahabat—sementara hatiku mendambakan lebih.


***


Waktu berlalu, dan meskipun aku mencoba melupakan percakapan itu, aku selalu merasa ada sesuatu yang berubah. Pertemuan kita tidak lagi sehangat dulu. Kamu seringkali datang dengan pikiran yang melayang jauh, dan tanpa sadar, setiap kali kita berbicara, Aksa selalu menjadi topik pembicaraan yang tak terhindarkan. Aku mulai membenci namanya, membenci bayangan sosoknya yang entah bagaimana telah merenggutmu dariku.


Suatu hari, kau mengajakku bertemu di tempat biasa. Kali ini, aku datang dengan firasat buruk. Perasaanku tidak pernah salah. Ketika aku tiba, kau sudah duduk di sudut kafe, terlihat gusar.


"Aku ingin bicara lagi," katamu tanpa basa-basi. 


Aku duduk di depanmu, bersiap untuk apa pun yang akan kau katakan. "Apa ini tentang Aksa?"


Kamu mengangguk pelan. "Aku merasa bersalah karena tidak jujur padamu. Aku tahu perasaanmu, aku bukan bodoh. Dan aku sangat menghargai persahabatan kita. Tapi semakin lama aku menghabiskan waktu bersamanya, semakin sulit bagiku untuk mengabaikan perasaanku sendiri."


Aku tersenyum getir. "Jadi, apa yang kamu inginkan dari semua ini?"


"Aku ingin semuanya tetap seperti dulu. Aku tidak ingin kehilangan kamu, tapi aku juga tidak bisa membohongi diriku sendiri tentang perasaanku pada Aksa."


Aku menelan ludah, mencoba meredam rasa sakit yang menjalar di seluruh tubuhku. "Kamu tidak bisa memiliki keduanya," kataku dengan tegas, meskipun hatiku hancur saat kata-kata itu keluar dari mulutku. "Jika kamu memilih dia, aku harus pergi. Aku tidak bisa hanya menjadi teman saat aku tahu aku ingin lebih dari itu."


Suasana hening sejenak, hanya ada suara detak jantungku yang bergemuruh di telinga. Kau terdiam, dan di saat itulah aku tahu jawabannya. Kau tidak perlu mengucapkannya. Pilihanmu sudah jelas.


***


Beberapa minggu kemudian, kita jarang bertemu. Kau mulai semakin sibuk dengan duniamu yang baru, dan aku memutuskan untuk menjaga jarak. Aku berusaha menerima kenyataan, meskipun hatiku tak henti-hentinya mempertanyakan mengapa semua ini harus terjadi.


Namun, suatu sore, ketika aku sedang duduk di kafe yang sama, tiba-tiba kau datang. Matamu sembab, wajahmu penuh dengan ekspresi campur aduk antara penyesalan dan kebingungan.


"Kamu baik-baik saja?" tanyaku ragu.


"Aku... Aku sudah putus dengan Aksa," jawabmu pelan, seperti butiran hujan yang jatuh di kaca jendela.


Aku terdiam. Hatiku berdebar. "Kenapa?"


"Aku salah. Aku pikir aku mencintainya, tapi ternyata tidak. Aku bingung, dan aku menyadari bahwa aku telah menyakiti orang yang paling berharga dalam hidupku. Aku menyakiti kamu."


Seketika, amarah dan cinta berkecamuk dalam diriku. Bagaimana bisa kau datang lagi, seolah-olah semuanya bisa kembali seperti semula? "Kamu pikir semuanya akan selesai begitu saja?" tanyaku, suaraku bergetar menahan emosi.


"Aku tahu tidak semudah itu," jawabmu lirih. "Tapi aku ingin mencoba memperbaiki semuanya."


Aku menatapmu dalam-dalam, mencoba mencari jawaban di balik mata cokelatmu yang kini dipenuhi penyesalan. Mungkin aku masih mencintaimu, mungkin tidak. Namun yang aku tahu, cinta yang pernah ada di antara kita takkan pernah sama lagi.


Mungkin cinta segitiga ini tidak akan pernah benar-benar selesai.

Puisi:"Kenangan yang Tersisa di Rambutku"

 

"Kenangan yang Tersisa di Rambutku"
Ilustrasi foto Kenangan yang Tersisa di Rambutku (by_shutterstock)


Di antara helai rambut yang luruh perlahan,

Ada cerita tentang cinta yang ditinggalkan,

Saat janji manis terurai bersama angin,

Dan kenangan tinggal serpihan yang kian pudar.


Rambutku dulu indah, bagaikan mahkota ratu,

Namun kini kusam, terbelah oleh debu waktu.

Ketombe mengintai, seperti kenanganmu yang tertinggal,

Rontok perlahan, tanpa bisa kuhalangi, kurapal.


Tapi di balik segalanya, ada Sunsilk,

Setia menemani, membersihkan sisa luka dan debu yang menelikung.

Ia hapus ketombe, seperti harapan baru,

Memeluk helai-helai yang hampir layu.


Rontok tak lagi jadi momok dalam hari,

Karena Sunsilk hadir, bawa sinar kembali.

Bagai cinta baru yang menguatkan hati,

Menyuburkan akar, melenyapkan rasa sepi.


Kini, meski kau tak lagi di sini,

Rambutku berdiri kuat, seperti cinta yang aku pelajari.

Tak ada ketombe, tak ada rontok yang tertinggal,

Hanya aku, yang melangkah maju, dengan langkah yang kekal.


Cinta yang Diselingkuhi: Perspektif dari Berbagai Sudut Pandang

Cinta yang Diselingkuhi: Perspektif dari Berbagai Sudut Pandang
 Cinta yang Diselingkuhi: Perspektif dari Berbagai Sudut Pandang (https://pixabay.com/id/photos/gelap-wajah-gadis-orang-wanita-1869803/)


Cinta merupakan emosi yang kompleks, terdiri dari berbagai aspek seperti kepercayaan, komitmen, dan pengorbanan. Dalam cinta, dua individu biasanya mengikat diri mereka dengan janji setia untuk saling mendukung dan menghargai satu sama lain. Namun, tidak semua kisah cinta berakhir dengan kebahagiaan. Salah satu peristiwa yang dapat menghancurkan cinta adalah perselingkuhan. Pengkhianatan ini mengguncang fondasi kepercayaan, mematahkan harapan, dan meninggalkan luka yang mendalam. Dalam opini ini, kita akan melihat fenomena cinta yang diselingkuhi dari beberapa sudut pandang: pihak yang diselingkuhi, pihak yang berselingkuh, orang ketiga, dan perspektif masyarakat umum.


Sudut Pandang Orang yang Diselingkuhi


Dari sudut pandang orang yang diselingkuhi, perselingkuhan adalah bentuk pengkhianatan terbesar dalam sebuah hubungan. Mereka sering kali merasa hancur, bingung, dan terjebak dalam perasaan rendah diri. Orang yang diselingkuhi mungkin mulai mempertanyakan nilai diri mereka, merasa bahwa mereka tidak cukup baik atau ada sesuatu yang kurang dalam diri mereka sehingga pasangan mereka berpaling kepada orang lain.Trauma emosional yang dirasakan sangatlah nyata, dan memerlukan waktu yang lama untuk sembuh, jika itu mungkin.


Tidak jarang, mereka bertanya pada diri sendiri, "Apa yang salah dengan diriku?" atau "Apakah ini salahku?". Rasa bersalah ini, meskipun tidak selalu beralasan, sering kali menggerogoti harga diri mereka. Mereka juga mungkin merasa marah, bukan hanya kepada pasangan yang berselingkuh, tetapi juga kepada diri sendiri karena tidak melihat tanda-tanda sebelumnya. Kepercayaan yang selama ini dibangun dengan susah payah, runtuh seketika.


Banyak orang yang diselingkuhi akan mengalami kesulitan untuk memercayai orang lain setelahnya. Pengalaman ini meninggalkan bekas yang mendalam dalam diri mereka, membuat mereka mempertanyakan apa itu cinta sejati, dan apakah kesetiaan masih ada dalam hubungan romantis.


Sudut Pandang Orang yang Berselingkuh


Berbeda dengan pandangan umum, tidak semua orang yang berselingkuh melakukannya karena mereka tidak mencintai pasangannya. Banyak orang yang berselingkuh mengakui bahwa mereka masih mencintai pasangan mereka, namun ada celah dalam hubungan yang membuat mereka merasa tidak puas. Hal ini mungkin disebabkan oleh kurangnya perhatian emosional,kurangnya keintiman, atau bahkan hanya kebosanan dalam hubungan jangka panjang. Mereka mencari sesuatu yang hilang atau yang tidak bisa mereka dapatkan dalam hubungan saat ini, dan akhirnya terlibat dalam perselingkuhan.


Namun, beberapa orang yang berselingkuh tidak benar-benar memikirkan konsekuensinya saat itu. Rasa bersalah mungkin muncul setelah hubungan terlarang tersebut dimulai, tetapi sering kali mereka sudah terlalu dalam untuk mundur. Mereka juga bisa merasionalisasi perbuatan mereka dengan berpikir bahwa perselingkuhan tersebut hanyalah pelarian sementara dan tidak akan merusak hubungan utama mereka, meskipun pada kenyataannya dampaknya sangat besar.


Ada juga mereka yang berselingkuh karena merasa terperangkap dalam hubungan yang tidak bahagia tetapi tidak tahu bagaimana cara mengakhirinya. Perselingkuhan menjadi jalan keluar sementara untuk melarikan diri dari tekanan yang mereka rasakan, meskipun secara moral itu salah. Mereka mungkin merasa kesulitan untuk berkomunikasi dengan pasangannya dan memendam masalah yang sebenarnya dapat diselesaikan dengan dialog yang jujur.


Sudut Pandang Orang Ketiga


Orang ketiga dalam perselingkuhan sering dianggap sebagai tokoh antagonis dalam kisah cinta yang hancur. Mereka dilihat sebagai perusak hubungan, dan sering kali mendapatkan stigma sosial yang sangat negatif. Namun, orang ketiga juga memiliki sudut pandang mereka sendiri. Tidak semua orang ketiga sadar bahwa mereka sedang terlibat dalam hubungan terlarang. Ada yang tertipu oleh pasangan yang berselingkuh, diberi harapan palsu bahwa pasangan tersebut sudah tidak lagi terikat dalam hubungan resmi atau sedang dalam proses berpisah.


Namun, di sisi lain, ada juga orang ketiga yang sadar sepenuhnya bahwa mereka terlibat dalam perselingkuhan. Dalam situasi ini, orang ketiga mungkin juga mengalami perasaan bersalah atau bahkan rasa tidak aman. Mereka mungkin merasa dihargai karena perhatian yang mereka dapatkan dari pasangan yang berselingkuh, tetapi pada saat yang sama, mereka juga tahu bahwa hubungan tersebut dibangun di atas kebohongan dan pengkhianatan. Mereka mungkin bertanya-tanya apakah orang yang berselingkuh dengan mereka juga bisa melakukan hal yang sama kepada mereka di masa depan.


Perspektif Masyarakat


Secara umum, masyarakat memandang perselingkuhan sebagai tindakan yang tidak bermoral dan salah. Perselingkuhan adalah bentuk pelanggaran terhadap norma-norma sosial dan nilai-nilai kesetiaan dalam hubungan. Namun, meskipun perselingkuhan dianggap salah, tidak jarang kita mendengar bahwa fenomena ini terjadi di banyak tempat dan sering kali diabaikan atau disembunyikan. Masyarakat juga cenderung memberikan tekanan besar kepada pihak yang diselingkuhi untuk memaafkan dan melupakan, terutama jika ada anak yang terlibat dalam pernikahan tersebut.


Di sisi lain, beberapa orang dalam masyarakat mungkin melihat perselingkuhan sebagai gejala dari masalah yang lebih besar dalam hubungan, bukan hanya tindakan egois. Mereka percaya bahwa alih-alih langsung menghakimi, kita perlu melihat ke akar permasalahan yang menyebabkan perselingkuhan terjadi. Apakah ada ketidakpuasan dalam hubungan tersebut? Apakah komunikasi di antara pasangan itu sudah putus? Beberapa orang bahkan menyarankan bahwa dalam beberapa kasus, perselingkuhan bisa menjadi tanda bahwa hubungan sudah tidak dapat diselamatkan, dan perpisahan adalah solusi terbaik.


Namun, tetap saja, banyak yang berpendapat bahwa kesetiaan adalah landasan utama dari setiap hubungan. Mereka yang berselingkuh dianggap menghancurkan kepercayaan, yang merupakan elemen paling mendasar dalam cinta. Kepercayaan yang hancur ini sulit untuk diperbaiki, dan perselingkuhan sering kali menjadi akhir dari sebuah hubungan.


Penutup


Perselingkuhan dalam cinta memengaruhi berbagai pihak dan meninggalkan luka emosional yang dalam. Dari sudut pandang orang yang diselingkuhi, orang yang berselingkuh, hingga orang ketiga, masing-masing memiliki alasan dan perasaan yang berbeda dalam menghadapi situasi ini. Meskipun masyarakat pada umumnya menganggap perselingkuhan sebagai tindakan yang salah, penting untuk memahami bahwa ada banyak faktor yang memengaruhi terjadinya perselingkuhan dalam sebuah hubungan.


Pada akhirnya, cinta membutuhkan kepercayaan, komitmen, dan komunikasi. Ketika salah satu elemen ini rusak, hubungan bisa terguncang. Perselingkuhan mungkin bukan solusi untuk masalah dalam hubungan, tetapi lebih merupakan pelarian sementara yang membawa lebih banyak masalah di kemudian hari. Hanya dengan jujur, terbuka, dan menghormati pasangan kita, kita dapat menghindari konflik semacam ini dan membangun hubungan yang lebih sehat dan bermakna.

CERITA PENDEK:CINTA TAK TERBALAS

 

CERITA PENDEK:CINTA TAK TERBALAS

Ilusi foto CERITA PENDEK:CINTA TAK TERBALAS (https://pixabay.com/id/photos/pantai-matahari-terbenam-wanita-7714610/)


Matahari tenggelam di balik cakrawala, memancarkan warna jingga yang lembut, sementara aku duduk di tepi danau tempat kita sering bertemu. Aku menunggu, seperti biasa. Selalu menunggu. Angin sore mengibaskan rambutku, memberikan sentuhan dingin di pipiku yang mulai memerah oleh perasaan yang tak lagi dapat kutahan. Aku tahu aku harus mengatakan semuanya hari ini, atau aku akan kehilangan kesempatan itu selamanya.


Kau adalah sosok yang selalu kupuja dalam diam. Sejak kita bertemu beberapa tahun lalu, perasaanku tumbuh begitu dalam dan tak bisa lagi kubendung. Namun, seiring berjalannya waktu, aku semakin menyadari bahwa tidak ada kepastian dalam hubungan kita. Kau sering datang dan pergi, dengan senyuman yang manis, kata-kata yang membuatku merasa istimewa, namun kemudian menghilang dalam kesibukan dunia yang tidak pernah kujamah. Aku hanyalah seorang gadis biasa, sedang kau adalah seseorang yang selalu tampak terlalu jauh untuk kugapai.


Di sisi lain, aku tak pernah menyerah. Setiap detik bersamamu adalah kebahagiaan yang tak tergantikan. Maka hari ini, aku ingin mengatakan padamu, dengan segala keberanian yang tersisa, bahwa aku mencintaimu. Lebih dari sekadar sahabat, lebih dari sekadar teman.


Langkah kaki terdengar dari arah belakangku. Aku menoleh dan melihatmu berjalan mendekat dengan senyummu yang begitu akrab. Senyum itu selalu berhasil membuat hatiku berdetak lebih cepat, meskipun seringkali membawa kebingungan. Apa yang kau pikirkan tentang kita selama ini? Apa aku hanya seorang teman bagimu?


"Kau sudah lama menunggu?" tanyamu dengan nada tenang, seperti biasanya.


Aku menggeleng, mencoba menyembunyikan kegugupanku. "Baru saja," jawabku sambil tersenyum kecil, meski hati ini sudah lama menunggu jawaban dari kebingungan yang terus menghantui.


Kau duduk di sampingku, melihat ke arah danau yang tenang. "Aku senang kita bisa bertemu hari ini," katamu.


"Aku juga," kataku. Tetapi di dalam pikiranku, kata-kata lain terus bergulir. *Aku mencintaimu*. Haruskah aku mengatakannya sekarang? Atau menunggu sedikit lagi?


Detik-detik berlalu dalam keheningan, dan akhirnya aku tak tahan lagi. Aku harus melakukannya sekarang atau tidak sama sekali. "Aku ingin bicara sesuatu," kataku dengan suara sedikit bergetar.


Kau menoleh, matamu menatapku dengan penuh perhatian, tapi tanpa ekspresi yang jelas. "Apa itu?"


Jantungku berdebar semakin kencang, tapi aku memaksa diri untuk melanjutkan. "Selama ini... aku menyimpan perasaan untukmu. Lebih dari sekadar teman. Aku mencintaimu." Suaraku terdengar lirih, hampir seperti bisikan.


Keheningan jatuh di antara kita. Aku bisa merasakan jantungku berdetak di telinga, dan perutku terasa melilit. Aku menunggu reaksi darimu, tapi yang aku terima hanyalah ekspresi bingung dan kaget yang sulit kubaca.


"Aku...," kau menghela napas panjang, "Aku tidak tahu harus berkata apa." 


Kata-kata itu menghantamku seperti badai. Hati ini terasa remuk, tapi aku tetap menunggu penjelasan. "Kau tidak tahu? Apa maksudmu?" tanyaku, suaraku terdengar serak.


"Aku menghargai perasaanmu. Kamu adalah orang yang sangat berarti bagiku. Tapi...," kata-katamu terhenti sejenak, seolah-olah kau mencoba menemukan cara terbaik untuk menyampaikan sesuatu yang sulit.


"Tapi apa?" desakku.


"Tapi aku tidak bisa mencintaimu seperti yang kamu inginkan. Aku tidak pernah melihatmu lebih dari seorang teman," jawabmu akhirnya, matamu penuh rasa bersalah.


Dunia di sekelilingku seolah runtuh. Udara yang kurasakan seperti hilang, dan aku hanya bisa terdiam, mencerna kenyataan yang baru saja kau sampaikan. Segala harapan yang selama ini kugenggam erat, mendadak hancur berkeping-keping.


"Tidak bisakah kau mencoba...?" tanyaku dengan nada lirih, memohon agar kau memberiku sedikit harapan.


"Aku minta maaf. Aku tidak ingin menyakitimu, tapi aku sudah mencintai orang lain," katamu pelan. "Aku sebenarnya ingin memberitahumu tadi, tapi... Aku akan menikah minggu depan."


Hening. Aku tidak bisa berkata-kata. Pikiran itu seperti pisau yang menusuk tepat di hatiku. Menikah? Orang lain? Tidak, ini tidak mungkin. Hatiku terasa seperti dirobek-robek. Semua perjuangan, harapan, doa yang kubangun selama ini... semuanya sia-sia.


"Aku ingin kamu tahu bahwa kau tetap penting bagiku," lanjutmu, tapi aku hampir tidak mendengarnya. Semua yang kau katakan terdengar jauh, seperti bayangan samar yang menghilang di balik kabut. Air mata mulai menggenang di mataku, dan aku tidak bisa lagi menahannya. Kau melihatnya, dan aku bisa merasakan rasa bersalahmu semakin dalam.


"Tolong... maafkan aku," katamu, namun itu tidak lagi berarti.


Aku berdiri, menarik napas dalam-dalam, mencoba menahan air mata yang sudah jatuh. "Aku tidak bisa berada di sini," kataku akhirnya, suaraku nyaris tak terdengar.


Aku meninggalkanmu di sana, di tepi danau yang dulunya penuh dengan kenangan indah. Setiap langkah terasa berat, tapi aku harus pergi. Jika aku terus berada di dekatmu, aku akan terus terluka. Kau telah membuat keputusanmu, dan aku tidak bisa mengubah itu.


Malam itu, di bawah langit yang gelap, aku berjalan tanpa arah, dengan hati yang kosong dan terluka. Cinta yang kupikir akan membuatku bahagia, ternyata justru menghancurkanku. Perjuanganku selama ini sia-sia. Tapi aku tahu, pada akhirnya, aku harus melepaskan. Tidak ada lagi yang bisa kuperjuangkan. Kau sudah memilih jalanmu, dan aku harus mencari jalan untuk menyembuhkan diriku sendiri, meskipun itu terasa mustahil.


Di penghujung malam, aku menyadari bahwa terkadang, meski kita mencintai seseorang dengan seluruh hati, cinta itu tidak selalu terbalas. Dan pada akhirnya, mungkin itu bukan tentang bagaimana kita bisa memilikinya, tetapi bagaimana kita bisa belajar untuk melepaskannya, demi kebahagiaan yang lebih besar—bahkan jika itu bukan kebahagiaan kita.


Namun, meskipun begitu, di balik setiap air mata dan luka, aku tahu aku akan bangkit kembali. Mungkin bukan hari ini, mungkin bukan besok, tetapi suatu hari nanti. Dan saat hari itu tiba, aku akan tersenyum pada kenangan ini, meski pahit, dan mengucapkan selamat tinggal dengan hati yang telah sembuh.

Cerita Pendek:Malam Minggu Terakir

Cerita Pendek:Malam Minggu Terakir
Ilusi Foto Cerita Pendek:Malam Minggu Terakir by screen https://www.freepik.com/free-ai-image/medium-shot-couple-holding-hands_72566735.htm#fromView=search&page=1&position=14&uuid=782187a8-878d-4d08-99ba-dd0348986a16



Malam itu udara terasa hangat, angin yang berhembus lembut mengiringi malam minggu yang tampak sempurna bagi Alif dan Dinda. Sepasang kekasih itu berjalan bergandengan tangan di sepanjang trotoar. Jalanan ramai dengan suara deru kendaraan, lampu-lampu kota bersinar terang, memantulkan kilauan ke kaca-kaca toko di pinggir jalan.


"Aku senang kita bisa jalan-jalan malam ini," kata Dinda sambil tersenyum kecil, tatapan matanya penuh kehangatan. Ia menatap Alif dengan penuh kasih.


Alif mengangguk, menggenggam tangan Dinda lebih erat. "Iya, setelah seminggu penuh kerja, rasanya ini adalah pelarian yang sempurna," jawabnya, bibirnya melengkung tipis. Matanya berkilat, menikmati momen itu seolah malam ini adalah milik mereka berdua saja.


Namun, di balik keindahan malam, ada sesuatu yang mengintai. Di kejauhan, dua orang pria dengan helm hitam yang mencurigakan memperhatikan mereka dari jauh, di atas sepeda motor yang tampak tua dan berkarat. Tanpa disadari oleh Alif dan Dinda, bayangan gelap mulai mendekat.


"Tapi kamu janji, ya, habis ini kita mampir ke café itu?" tanya Dinda sambil menunjuk ke sebuah café di sudut jalan yang ramai dengan tawa dan musik.


"Tentu saja, sayang. Kita bisa pesan kopi favorit kamu," kata Alif sambil mengelus punggung tangannya, mencoba menenangkan kegelisahan yang samar-samar mulai terasa dalam dirinya.


Mereka berdua melanjutkan langkah, tak sadar bahwa motor yang tadinya jauh, kini semakin mendekat. Malam minggu yang awalnya tenang mulai berubah mencekam, namun keduanya belum menyadarinya.


Ketika Alif dan Dinda berbelok ke jalan yang lebih sepi, suasana mendadak berubah. Lampu jalan yang tadi terang benderang, perlahan memudar. Suara kendaraan semakin jarang terdengar, hanya ada derit angin yang menyelusup di antara gedung-gedung tua.


Alif merasakan firasat buruk, langkahnya melambat. "Din, ayo kita cepat sedikit. Jalan ini terasa aneh."


Dinda mengerutkan kening, "Kenapa? Kamu baik-baik saja?"


Namun, sebelum Alif sempat menjawab, suara bising motor menderu mendekat. Dua pria bertubuh kekar menghentikan motor mereka tepat di hadapan Alif dan Dinda. Wajah mereka tersembunyi di balik helm hitam legam, mata mereka berkilat seperti binatang yang siap menerkam mangsanya.


"Sial," gumam Alif, menarik Dinda di belakangnya dengan cepat. "Tetap di belakangku," bisiknya.


Salah satu pria turun dari motor dan mengeluarkan pisau lipat dari saku jaketnya. Kilatan besi tajam memantulkan cahaya lampu jalan yang redup. "Serahkan semua barang berharga kalian kalau nggak mau celaka!" Suaranya keras, kasar, dan memaksa.


Dinda memeluk lengan Alif erat, ketakutan menjalar ke seluruh tubuhnya. "Alif...," suaranya bergetar.


"Tenang, Dinda, aku akan melindungimu." Alif mencoba tetap tenang, tapi di dalam hatinya, jantungnya berdebar kencang. Ia menatap kedua pria itu dengan dingin, mencoba membaca niat mereka. Tidak ada jalan keluar selain menuruti atau melawan.


Alif merogoh kantong celananya, mengambil dompet dan ponselnya. Ia mengulurkannya ke pria bersenjata. "Ini, ambil saja. Tapi jangan sakiti kami," katanya dengan suara tenang, meski ketakutan mulai menguasai pikirannya.


Namun, tampaknya itu tidak cukup bagi mereka. Pria satunya mendekat dan meraih tas Dinda dengan kasar. "Cepat, kasih ke sini!" teriaknya.


Dinda menahan tasnya, spontanitas dan ketakutan membuatnya kaku.


"Jangan, Dinda!" seru Alif, tapi terlambat. Pria itu merenggut tas dengan paksa dan mendorong Dinda hingga terjatuh ke tanah.


Amarah Alif memuncak. Ia menyerang pria yang menodongkan pisau itu tanpa berpikir panjang. Perkelahian terjadi begitu cepat, seperti bayangan yang berkelebat. Alif memukul sekuat tenaga, berusaha melindungi Dinda yang terbaring di tanah.


Namun, dalam sekejap, segalanya berubah. Pisau tajam itu menusuk tubuh Alif.


"Alif!" jerit Dinda, suaranya pecah oleh kepanikan. Ia berlari ke arah Alif yang kini terkapar di tanah, darah mengalir deras dari luka di perutnya. 


Para penjahat itu kabur begitu saja, meninggalkan Dinda yang terduduk di samping tubuh kekasihnya yang mulai melemah. Di bawah cahaya lampu jalan yang suram, ia menggenggam tangan Alif yang bergetar.


"Jangan tinggalkan aku, Alif...," bisik Dinda dengan air mata membasahi wajahnya. Matanya penuh dengan ketakutan dan kesedihan yang mendalam.


Alif tersenyum lemah, wajahnya pucat. "Aku... maaf, Dinda... Aku tidak bisa menepati janji untuk minum kopi denganmu..." suaranya mulai serak, lemah, seolah tenaga terakhirnya telah habis.


"Jangan bicara seperti itu! Kamu akan baik-baik saja, kita akan segera ke rumah sakit!" Dinda mengguncang tubuh Alif, mencoba menyadarkannya.


Namun, Alif hanya mengangguk lemah, napasnya semakin berat, dan matanya perlahan menutup. Malam minggu yang seharusnya penuh kebahagiaan itu berubah menjadi malam yang kelam dan tragis. 


Dinda menatap kekasihnya yang kini tergeletak tak bernyawa di pangkuannya. Tangisnya pecah, memecah kesunyian malam, menggema di antara gedung-gedung yang dingin dan kosong.


Malam yang awalnya begitu hangat kini menjadi saksi bisu sebuah kehilangan yang menyayat hati.

Cerita Pendek:Jarak yang Memisahkan

Cerita Pendek:Jarak yang Memisahkan
Ilusi foto Cerita Pendek:Jarak yang Memisahkan steet by https://pixabay.com/id/photos/silakan-melakukan-bukan-unduh-ini-2697945/

 

Aku selalu percaya bahwa jarak tak akan menjadi penghalang bagi cinta. Aku selalu berpikir bahwa dengan komunikasi yang baik, kesetiaan, dan komitmen, jarak hanya akan menjadi ujian kecil. Tapi ternyata, aku salah.


Namaku adalah Andra. Aku dan Laila, kekasihku, telah bersama selama tiga tahun. Kami memulai hubungan ini dengan sangat indah, seperti pasangan lain pada umumnya. Setiap akhir pekan kami bertemu, menghabiskan waktu bersama, bercanda, dan membuat rencana masa depan. Namun, segalanya berubah ketika Laila mendapatkan pekerjaan di luar kota. Dia diterima di sebuah perusahaan besar yang memintanya untuk pindah ke kota lain yang berjarak ratusan kilometer dari tempatku berada.


"Kita bisa melakukannya, Ra. Aku yakin kita bisa bertahan meski berjauhan," ucap Laila di hari terakhir kami bertemu sebelum kepergiannya. Dia tampak yakin dan penuh semangat. 


Aku tersenyum, meski di dalam hati ada keraguan yang perlahan menggerogoti. "Ya, kita pasti bisa. Kita sering video call, telepon, dan aku akan berusaha menemuimu sesering mungkin."


Dan begitulah, selama beberapa bulan pertama, semuanya tampak berjalan baik-baik saja. Kami tetap terhubung melalui teknologi. Setiap malam, video call menjadi ritual kami sebelum tidur. Namun, rasa rindu yang tertahan lama-lama berubah menjadi keheningan yang aneh. Kami mulai kehabisan topik untuk dibicarakan, dan sesekali teleponnya hanya dipenuhi keheningan canggung.


***


Suatu malam, aku menelepon Laila seperti biasa, tapi dia tidak mengangkat. Sudah lewat satu jam sejak pesan terakhirku, namun tak ada balasan. Pikiran-pikiran buruk mulai muncul di kepalaku. Mungkinkah dia baik-baik saja? Atau mungkinkah ada sesuatu yang terjadi padanya?


Setelah beberapa saat, dia akhirnya membalas pesanku.


“Maaf, Andra. Tadi lagi lembur, sibuk banget. Baru sempat pegang HP.”


"Oh, tidak apa-apa. Aku hanya khawatir," jawabku, meski ada sesuatu dalam suaranya yang terdengar berbeda. Namun, aku mencoba menepis pikiran buruk itu.


Hari-hari berikutnya, situasi yang sama terus berulang. Laila semakin sering tak mengangkat teleponku atau membalas pesanku terlambat. Aku berusaha memahami kesibukannya. Aku berusaha percaya.


Tapi ada sesuatu yang terus menggangguku. Perasaan yang tak bisa aku jelaskan, sebuah firasat buruk yang perlahan menindih dada.


***


Suatu hari, aku memutuskan untuk memberikan kejutan pada Laila. Aku memutuskan untuk mengunjunginya tanpa memberitahu sebelumnya. Aku pikir, mungkin dengan kedatanganku, semua ketegangan ini akan mencair. Kami akan kembali seperti dulu, tertawa, bercanda, dan menikmati kebersamaan.


Aku berangkat di pagi hari dan tiba di kotanya menjelang malam. Di depan apartemennya, aku ragu untuk mengetuk pintu. Tapi akhirnya, aku melakukannya. Ketika pintu terbuka, yang berdiri di sana bukanlah Laila, melainkan seorang pria asing.


“Siapa kamu?” tanyaku, berusaha tetap tenang meski dadaku seolah hendak meledak.


Pria itu terlihat bingung, tapi sebelum sempat menjawab, Laila muncul dari belakangnya. Wajahnya pucat.


“Andra… aku bisa jelaskan,” katanya dengan suara bergetar.


Aku mundur selangkah, merasa dunia di sekitarku runtuh. "Siapa dia, Laila?" tanyaku sekali lagi, meski di dalam hatiku aku sudah tahu jawabannya.


“Ini... Arman, teman kerjaku. Kami...”


“Teman kerja?” Aku tertawa getir. “Jangan bohong, Laila! Aku tahu apa yang sedang terjadi.”


Laila menggigit bibirnya, air matanya mulai mengalir. “Andra, aku... aku nggak bermaksud seperti ini. Aku... aku kesepian.”


"Kamu kesepian? Jadi aku nggak cukup, begitu?" Tiba-tiba, seluruh emosi yang selama ini kutahan meluap. "Jarak yang membuatmu begini, atau kamu memang sudah bosan dengan kita?!"


Laila menunduk, tak mampu menjawab. Arman, pria itu, tampak ingin mengatakan sesuatu, tapi aku menghentikannya dengan tatapan tajam. Aku tak ingin mendengar penjelasan apa pun darinya. Ini antara aku dan Laila.


“Kenapa, Laila?” tanyaku, suaraku lebih pelan, nyaris berbisik. Aku butuh penjelasan. Meskipun sakit, aku ingin tahu kenapa semua ini terjadi. “Kamu bilang kita bisa bertahan, kamu bilang kita akan baik-baik saja. Kenapa kamu mengkhianati itu?”


Laila masih diam. Dia hanya menangis. Tangisannya seolah menjadi jawaban yang menyakitkan. Jauh di dalam hatiku, aku tahu ini lebih dari sekadar jarak. Ini lebih dalam dari sekadar kesepian. Ini adalah rasa ragu yang tak terungkap sejak lama. Mungkin hubungan kami memang sudah retak jauh sebelum jarak memisahkan kami.


Aku menarik napas panjang, berusaha menenangkan diri meski dadaku sesak. “Aku pergi,” ucapku akhirnya. 


Laila mendongak, matanya penuh dengan air mata. “Andra, jangan pergi. Aku bisa jelaskan.”


“Tidak ada yang perlu dijelaskan lagi.” Aku berbalik, meninggalkan apartemen itu dengan langkah berat. Setiap langkah yang kuambil terasa seperti menghapus masa lalu kami, semua kenangan manis yang pernah kami bagikan. 


***


Di perjalanan pulang, pikiranku terus berputar. Ada begitu banyak pertanyaan yang tak terjawab. Bagaimana bisa aku tak melihat ini terjadi? Apakah aku terlalu sibuk dengan pekerjaanku sehingga aku tak menyadari bahwa hubungan kami semakin renggang? Atau mungkin, memang sejak awal hubungan kami tidak sekuat yang kupikirkan?


Sesampainya di rumah, aku duduk di tepi tempat tidur, menatap ponsel yang masih terdiam di tanganku. Pesan terakhir dari Laila masih di layar: "Aku kesepian."


Kata-kata itu terus bergema di kepalaku. Kesepian. Apakah aku juga merasakan hal yang sama selama ini? Apakah aku juga sebenarnya merasakan keraguan yang tak pernah kuungkapkan?


Namun, satu hal yang pasti: cinta saja tidak cukup. Jarak, ketidakpastian, dan rasa sepi bisa memakan cinta itu perlahan-lahan, hingga yang tersisa hanyalah kehampaan dan kebohongan.


Aku tak tahu apakah aku akan bisa memaafkan Laila, atau apakah kami akan pernah bisa kembali seperti dulu. Tapi untuk sekarang, aku harus merelakan semuanya. 


Karena pada akhirnya, jarak bukan hanya tentang kilometer yang memisahkan kita, tetapi tentang sejauh mana hati kita sudah saling menjauh.


--- 


Cerita ini menyajikan ketegangan batin dan rasa sakit yang dialami oleh seorang tokoh utama yang menjadi korban perselingkuhan dalam hubungan jarak jauh, dengan percakapan intens yang membantu menggambarkan rasa kecewa dan pengkhianatan dalam hubungannya.

Puisi:Bango untuk pesta perkawinanmu

 



ini bango hitam gurih itu,

aku persembahkan untuk pesta perkawinanmu,

untuk kau hidangkan pada tamu undangamu,

kau waras bukan main,

yang gila adalah cinta kita berdua,

kau berjanji kita akan bertemu Kembali,

namun kau pergi menghilang tanpa permisi,

 


waktu silir berganti dan kau datang lagi,

namun bukan menjadi kekasih

melaikan sebagai orang asing yang menising hati,

kau memberiku sepucuk surat yang terbungkus rapi,

dengan pita merah merona.

Ada Namamu dan Namanya yang Bersiap untuk mengikat janji suci.

 

Sebab itu,

Aku persembahkan kecap bango hitam gurih,

Untuk pesta perkawinanmu,

Dengan resep nasi goreng hitam itu,

Dengan bahan 300gram nasi putih,25gram bumbu putih,

1 pcs telur ayam,20gram minyak goreng,30gram ayam siwur,

20gram bango hitam,4gram garam.

Itu sudah cukup mengenyangkan perut tamu undanganmu,

Rasanya yang gurih tertatih,

Seperti dahulu kita membayangkan cinta kita akan bersemi abadi,

Warna hitamnya begitu pekat sepekat perih yang kau buat,


 

Namun kini kisah hanyalah kisah

yang patut di syukuri keberadaanya,

dan aku Kembali melangkah meninggalkan pesta perkawinanmu,

menyusuri Lorong penuh gemericik kerinduan,

dan dalam hati terus berdo’a  agar namamu dan Namanya

tetap abadi selamanya

PUISI:KERINDUAN RINTIK HUJAN

  PUISI:KERINDUAN RINTIK HUJAN (https://pixabay.com/id/photos/hujan-jalan-kota-pelabuhan-1479303/) Hujan menari di atas jendela, rintiknya...