Tampilkan postingan dengan label satra. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label satra. Tampilkan semua postingan

Cerita Pendek:Hembusan Asap yang Mencari Jati Diri

 

Ilusi foto Cerita Pendek:Hembusan Asap yang Mencari Jati Diri//screen https://pixabay.com/id/photos/merokok-potret-rokok-wanita-model-4914808/


Aku menyalakan sebatang rokok lagi, menatap kosong ke arah langit yang mulai memerah, menjelang senja. Asap mengepul di sekitarku, berputar-putar seolah ingin menelan segala keraguan yang selama ini aku pendam. Sebagai gadis berumur 19 tahun, aku masih merasa terjebak di antara harapan dan kenyataan. Di antara apa yang mereka inginkan dariku, dan apa yang aku inginkan untuk diriku sendiri.


"Rokok lagi, Ren? Gimana paru-parumu nanti?" Suara Maya, sahabatku, terdengar dari belakang. Dia berjalan menghampiri, duduk di sampingku di atas tembok tua yang menghadap ke taman kota.


Aku tidak menjawab. Aku hanya menatap batang rokok di jariku. Ini mungkin sudah yang ketiga dalam satu jam ini. Tapi, entah kenapa, setiap kali asap itu menyusup ke paru-paru, aku merasa ada sesuatu yang mendekatiku—sesuatu yang tak bisa aku deskripsikan dengan kata-kata. Kebebasan? Pelarian? Atau mungkin hanya ilusi kelegaan sesaat?


"Kau tahu, kamu bisa berhenti kapan pun kamu mau," lanjut Maya sambil membuka botol air mineralnya. "Tapi yang paling penting, kenapa kamu mulai merokok, Ren? Bukankah kamu dulu benci asap?"


Aku menghela napas panjang, menatap jauh ke arah langit. Pertanyaan Maya bukan yang pertama kali aku dengar. Ibuku juga sering bertanya. Ayahku? Dia tak peduli. Mungkin itulah masalahnya—tidak ada yang benar-benar peduli.


"Aku nggak tahu," jawabku akhirnya. "Rasanya seperti... aku mencoba mencari sesuatu."


Maya mengangkat alis, menatapku dengan pandangan serius. "Mencari apa?"


"Jati diri, mungkin? Atau, aku hanya ingin lari dari semua tekanan. Aku ingin merasakan bahwa aku punya kendali atas hidupku sendiri, meskipun cuma dengan hal sekecil ini."


Maya menyesap air minumnya, lalu diam beberapa saat. "Kupikir kamu udah tahu siapa dirimu, Ren. Kamu gadis cerdas, berani, dan kamu punya mimpi. Kamu cuma... tersesat sedikit."


Aku tersenyum kecil mendengar kata-kata Maya, tapi di dalam, semuanya terasa hampa. Rasanya seperti aku sudah lama kehilangan arah. Aku bukan lagi gadis yang mereka pikirkan. Cerdas? Berani? Itu dulu. Sekarang, aku hanya Renata, gadis yang duduk di sini, merokok tanpa tujuan, mencoba mencari siapa aku sebenarnya.


"Aku merasa semuanya berubah sejak ayah meninggalkan kami," kataku akhirnya. Aku jarang membicarakan ini, tapi malam ini, entah kenapa, rasanya lebih mudah. "Sejak saat itu, hidup terasa kosong. Ibu terlalu sibuk bekerja untuk menutupi kebutuhan kami, dan aku harus tumbuh sendirian. Jadi, aku mulai merokok, berpikir itu akan membuatku merasa... kuat. Setidaknya, aku bisa mengendalikan sesuatu."


Maya mendengarkan tanpa menyela, membiarkanku melanjutkan.


"Aku hanya ingin merasakan bahwa ada hal yang bisa aku kendalikan, bahkan ketika hidupku terasa kacau. Kau tahu, aku merasa seperti sedang tenggelam, tapi tak ada yang memperhatikanku. Mereka semua sibuk dengan urusan mereka sendiri."


Maya mengangguk pelan. "Aku paham, Ren. Tapi aku nggak setuju kalau kamu bilang nggak ada yang peduli. Aku peduli. Ibumu pasti juga peduli, hanya saja mungkin dia kesulitan untuk menunjukkannya."


Aku menatap rokok yang hampir habis di tanganku, lalu mematikannya di atas tembok. "Aku tahu. Mungkin aku hanya terlalu egois. Mencari alasan untuk merokok, untuk lari."


Tiba-tiba, dari kejauhan, terdengar suara sepeda motor mendekat. Aku menoleh dan melihat Bram, pacarku, datang. Wajahnya selalu serius, tak pernah bisa lepas dari ekspresi dingin yang sama. Dia turun dari motornya, mengangkat tangan sebagai salam sebelum berjalan menghampiri kami.


"Bram," aku menyapa singkat.


"Renata, kamu sudah siap? Kita pergi sekarang?" tanyanya tanpa basa-basi, seperti biasa.


Aku mengangguk, lalu menoleh ke Maya. "Aku pergi dulu. Kita lanjut besok?"


Maya mengangguk pelan, tapi sebelum aku pergi, dia menggenggam tanganku. "Ren, jangan terlalu keras pada dirimu sendiri, ya? Kamu berhak mencari jati dirimu, tapi jangan lari dengan cara yang menyakiti dirimu."


Aku tersenyum lemah, lalu mengikuti Bram ke motornya. Begitu kami melaju di jalan raya, suasana hening. Bram selalu diam, dan aku selalu tenggelam dalam pikiranku. Namun, malam ini berbeda. Ada sesuatu yang mengusik di dalam kepalaku. Kata-kata Maya berputar-putar, menggema.


Ketika kami tiba di tempat tujuan—sebuah kafe kecil yang kami sering kunjungi—aku akhirnya membuka mulut. "Bram, kamu pernah merasa kehilangan arah?"


Dia menatapku dengan tatapan datar. "Kehilangan arah? Maksudmu?"


"Kamu tahu, merasa... tersesat. Seperti kamu nggak tahu apa yang kamu cari dalam hidup ini."


Bram menatapku cukup lama, lalu menghela napas. "Hidup ini memang nggak selalu jelas, Ren. Kita hanya perlu menjalani apa yang ada di depan mata. Fokus pada apa yang bisa kita kendalikan."


"Kendalikan? Seperti merokok?" tanyaku setengah bergurau, mencoba menguji reaksinya.


Bram hanya mengangkat bahu. "Jika itu membuatmu merasa lebih baik, kenapa tidak?"


Jawabannya membuatku terdiam. Selama ini, aku berpikir bahwa merokok adalah cara untuk menemukan kendali dalam hidupku, tapi semakin aku mendengarkan diriku sendiri, semakin aku sadar bahwa itu hanya ilusi. Rokok tidak memberiku kendali; itu hanya membuatku merasa seolah-olah aku punya kendali, padahal aku sebenarnya semakin jauh tersesat.


"Ren," Bram memanggilku. "Kamu baik-baik saja?"


Aku menghela napas panjang. "Nggak, Bram. Aku nggak baik-baik saja."


Dia menatapku dengan bingung, tidak tahu harus berkata apa. Untuk pertama kalinya, aku merasakan keheningan di antara kami begitu berat.


"Bram, aku butuh waktu untuk sendiri. Aku harus menemukan jati diriku tanpa lari dari masalah dengan rokok, atau apapun itu."


Aku tahu kata-kataku mengejutkannya. Tapi aku tidak peduli lagi. Aku perlu menyelesaikan pertarunganku dengan diriku sendiri. Aku perlu berhenti lari.


Dan kali ini, aku akan berhenti, bukan hanya dari rokok, tetapi dari semua ilusi yang selama ini aku ciptakan.


Asap terakhir yang kuhembuskan menghilang bersama senja, dan di dalamnya, aku mulai menemukan diriku yang sebenarnya.

Kumpulan Puisi Romantis

 

ilusi gambarkumpulan puisi
Ilusi gambar kumpulan puisi romantis
(https://pixabay.com/id/vectors/patah-hati-sedih-depresi-jantung-7182718/)

Keping Hati yang Terkoyak


Dalam hening malam yang pekat,  

Aku menyulam kenangan dari sisa-sisa perasaan,  

Merajut mimpi yang pernah kita anyam,  

Di antara bintang-bintang yang meredup pelan.  


Kau adalah bayang yang selalu kupuja,  

Namun kini kau pergi, menyisakan luka,  

Seperti angin yang mencuri nyawa,  

Hilang tanpa jejak, tanpa suara.  


Cintaku padamu bak lautan tak bertepi,  

Tapi kau memilih tenggelam dalam arus lain,  

Meninggalkanku terombang-ambing sepi,  

Di samudra rindu yang tak pernah berakhir.  


Bagaimana bisa kutemui pagi tanpa senyummu,  

Saat embun masih menyimpan sisa air mataku?  

Bagaimana bisa kulewati hari tanpa bayangmu,  

Jika setiap detik adalah gemuruh rindu yang pilu?  


Aku berdiri di ambang senja yang meratap,  

Mencari serpihan cinta yang terburai,  

Namun hanya bayanganmu yang singgah,  

Menghancurkan harap, mengoyak damai.  


Hati ini, sayang, telah kau buat layu,  

Bagai mawar merah yang tak lagi merekah,  

Kau bawa pergi cintaku, namun tak pernah tahu,  

Bahwa dalam ketiadaanmu, hidupku luruh, merekah.  


Aku terjebak dalam lingkaran kenangan,  

Yang tak pernah ingin kau kenang lagi,  

Tapi cintaku padamu, meski dalam kepedihan,  

Akan tetap abadi, di antara serpihan mimpi.




Simfoni Hati yang Merana


Dalam dekapan malam, kutemukan sepiku,  

Terdengar bisikan sunyi dari celah angin pilu.  

Kau, yang pernah menjadi bintang di langitku,  

Kini hanya bayang kabur di tepian rinduku.


Dulu, hatiku berkelana di samudra cintamu,  

Mengarungi gelombang, tak takut terhempas badai.  

Namun kini, perahu kecilku terdampar,  

Di pantai sepi, tanpa jejak langkahmu.


Di setiap hembusan nafas, ada namamu,  

Menyelinap dalam sunyi, menggema dalam hampa.  

Cintaku yang tak tersentuh, terbuang sia-sia,  

Seperti embun yang mencair sebelum mentari tiba.


Oh, betapa aku merindukan tatapmu,  

Yang dahulu menyulut api di dadaku.  

Namun, api itu kini padam, tertelan waktu,  

Meninggalkan hanya abu, bekas cinta yang rapuh.


Kau, kekasih yang kini jauh di angan,  

Menghilang dari genggamanku, hilang dari pandang.  

Aku terperangkap dalam labirin kenangan,  

Mencari jejak cinta yang tak lagi pulang.


Seandainya bisa, ingin kuhapus segala ingatan,  

Namun tiap luka ini justru terukir lebih dalam.  

Cintaku masih bernyawa, meski merana,  

Dalam sunyi yang menggigit, aku terpuruk dalam duka.


Kini aku berjalan sendirian,  

Dalam dunia yang dulu kau terangi.  

Tanpamu, setiap langkah terasa beban,  

Seperti mimpi yang terbangun di pagi buta,  

Kehilangan arah, kehilangan makna.




Di Reruntuhan Cinta


Di malam pekat, aku terjaga,  

Mengais kenangan di sela-sela asa,  

Wajahmu, bayang-bayang tak teraba,  

Hadir dalam sepiku yang hampa.


Cinta yang pernah kau tabur di dadaku,  

Kini layu, berguguran tanpa isyarat,  

Bagai bunga yang mati sebelum mekar,  

Tertinggal hanya tangkai, berduri tajam.


Kata-kata manis yang kau ucapkan,  

Kini menjadi bisikan pilu dalam mimpiku,  

Setiap janji yang kau berikan,  

Tenggelam dalam lautan air mata biru.


Aku menanti di ujung sunyi,  

Namun harapanku memudar,  

Cinta ini terhempas di pantai sepi,  

Tersapu ombak, hilang tak terselamatkan.


Kau adalah puisi yang kutulis di atas pasir,  

Lenyap sebelum sempat terbaca,  

Kini aku hanya penyair yang terluka,  

Menggoreskan kesedihan dalam sajak tanpa suara.


Di reruntuhan cinta yang kau tinggalkan,  

Aku berdiri, menggenggam rindu yang tak pernah terjawab,  

Hati ini, biarlah hancur dan remuk,  

Sebab dari reruntuhan, akan lahir kekuatan yang baru.


Cerpen Romantis:Bayang Gelap di Balik Cinta

 
ilusi photo cerpen paling romantis berjudul Bayang Gelap di Balik Cinta
Ilusi foto Cerpen Romantis:Bayang Gelap di Balik Cinta:https://pixabay.com/id/photos/hitam-warna-cairan-lebih-wajah-5273871/

Aku selalu percaya bahwa cinta adalah segalanya. Namun, pada malam itu, keyakinanku diuji oleh bayang-bayang kegelapan yang tak pernah aku duga sebelumnya.

Malam itu terasa berbeda. Udara dingin menggigit wajahku saat aku berjalan menyusuri jalan setapak menuju apartemen kami. Lampu jalan memancarkan cahaya kuning pucat, menciptakan bayangan panjang di trotoar. Hatiku dipenuhi kegelisahan yang sulit dijelaskan.

Sesampainya di pintu, aku menatap nomor apartemen yang terpampang jelas di atasnya. Menghela napas panjang, aku mengetuk pintu dengan lembut. Tak lama kemudian, pintu terbuka oleh Maya, kekasihku yang cantik dan selalu penuh perhatian.


“Hey, kamu kelihatan gelisah. Ada apa?” tanyanya sambil menyambutku dengan senyum manisnya.

“Aku cuma butuh bicara, Maya. Bisakah kita duduk sebentar?” jawabku, mencoba menahan suara gemetar.

Kami duduk di ruang tamu yang remang. Lampu meja menyinari wajah Maya yang terlihat khawatir.

“Mungkin ada yang salah, Apa yang terjadi?” tanya Maya, menggenggam tanganku dengan lembut.


Aku menarik napas dalam-dalam. “Aku merasa ada sesuatu yang tidak beres antara kita akhir-akhir ini. Aku merasakan jarak di antara kita, dan itu membuatku cemas.”

Maya tersenyum tipis, mencoba menenangkan hatiku. “Aku juga merasakan hal yang sama, tapi aku yakin kita bisa menyelesaikannya bersama. Kamu tahu aku selalu setia padamu.”

Namun, hatiku masih merasa tidak tenang. Malam itu, aku memutuskan untuk mencari jawaban. Tanpa sepengetahuan Maya, aku mengakses pesan-pesan di teleponnya yang tergeletak di meja. Hatinya memberitahu bahwa dia sedang sibuk bekerja, tapi rasa penasaran mengalahkan kewaspadaanku.


Pesan-pesan itu mengungkapkan sesuatu yang mengerikan. Maya tengah berselingkuh dengan seorang pria bernama Daniel. Rasa sakit dan pengkhianatan langsung menyergap hatiku. Aku merasa duniamu hancur dalam sekejap.


Aku kembali ke kamar dengan mata yang berkaca-kaca. "Maya, ada sesuatu yang perlu kukatakan," panggilku dengan suara berat.


Dia masuk, tampak cemas. “Apa yang kau maksud?”

Dengan suara gemetar, aku berkata, “Aku tahu tentang Daniel. Aku melihat pesan-pesannya. Mengapa kau tega mengkhianatiku?”

Maya terdiam sejenak, lalu menunduk. “Aku... aku tidak tahu harus berkata apa. Maafkan aku, aku terbawa perasaan.”

Emosi menguasai diriku. “Bagaimana bisa kau tega melakukan ini? Setelah semua yang telah kita lalui bersama!”

Maya mencoba mendekat, namun aku mundur. “Aku tak bisa percaya kau melakukan ini. Aku merasa seperti hancur.”


Percakapan kami berubah menjadi debat yang memanas. Kata-kata tajam terucap, dan ketegangan meningkat. Aku merasa seperti berada di ambang kehancuran.


Malam itu, setelah pertengkaran yang tak kunjung usai, aku berjalan keluar dari apartemen dengan kepala penuh kemarahan dan rasa sakit. Angin malam menerpa wajahku, dan aku mencoba mengendalikan emosi yang menggulung dalam diriku.

Tiba-tiba, aku mendengar suara langkah kaki di belakangku. Ketika aku berbalik, aku melihat Maya berdiri di ujung jalan, matanya penuh air mata.


“Minta maaf, aku tidak bermaksud menyakitimu,” katanya lirih.


Namun, dalam kegelapan malam, aku tak bisa menahan diri lagi. Rasa sakit dan pengkhianatan membuat pikiranku kabur. “Maafkan kamu? Bagaimana mungkin?”

Maya melangkah mendekat, mencoba meraih tanganku. “Tolong, kita bisa memperbaikinya. Aku mencintaimu.”


Namun, kata-kata itu hanya menambah amarahku. Dalam sekejap, aku meraih sesuatu dari saku jaketku—sebuah pisau kecil yang selalu ku bawa untuk keamanan. Dengan tangan gemetar, aku menusuk Maya, dan darah mengalir deras di jalanan yang sepi.


“Saya... saya mencintaimu,” suaranya terputus saat darah mulai memenuhi wajah cantiknya.

Aku berdiri terpaku, napasku terengah-engah. Realitas yang mengerikan mulai menyadari apa yang telah kulakukan. Keheningan malam kembali menyelimuti, hanya terdengar suara tetesan darah yang jatuh ke aspal.


Beberapa jam kemudian, polisi datang dan menemukan tubuh Maya di jalan. Aku ditangkap dan diinterogasi, namun tidak bisa membantah apa yang terjadi. Semua bukti mengarah padaku sebagai pelaku.

Di ruang tahanan, aku duduk sendirian, teringat kembali semua momen indah yang pernah kami lalui. Kenangan itu kini berubah menjadi mimpi buruk yang tak pernah berakhir. Aku menyadari bahwa cinta yang seharusnya membawa kebahagiaan, malah membawa kehancuran dan kematian.

Hari-hari berlalu dengan lambat. Aku merenungkan setiap langkah yang kulakukan, setiap keputusan yang membawa pada tragedi ini. Rasa bersalah menghantui setiap detik hidupku, dan aku tak bisa melupakan wajah Maya yang penuh luka.

Akhirnya, di balik jeruji besi, aku menemukan kebenaran pahit tentang diri sendiri. Cinta yang kupercaya begitu kuat ternyata rapuh dan bisa hancur dalam sekejap. Aku menyadari bahwa dalam cinta, kepercayaan dan pengertian adalah fondasi yang tak boleh dilupakan.


Kini, aku hanya bisa menyesali apa yang telah terjadi, berharap bahwa Maya dapat menemukan kedamaian di alam sana. Dan aku, terjebak dalam penyesalan yang tak pernah usai, belajar bahwa cinta sejati harus dibangun dengan kejujuran dan kesetiaan, bukan dengan bayang-bayang kecurangan dan dendam.

 

PUISI:KERINDUAN RINTIK HUJAN

  PUISI:KERINDUAN RINTIK HUJAN (https://pixabay.com/id/photos/hujan-jalan-kota-pelabuhan-1479303/) Hujan menari di atas jendela, rintiknya...