Tampilkan postingan dengan label puisi ceren puisiromantis. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label puisi ceren puisiromantis. Tampilkan semua postingan

Puisi:Bayang-Bayang Tanpa Waktu



Dalam hening, bayangmu masih menetap,

Seperti senja yang enggan berlalu.

Aku merangkai sisa kenangan yang retak,

Mencari hangat di sela rindu yang bisu.


Langkah-langkahmu terukir di dada,

Meski tak lagi kau tapaki jalannya.

Kata-kata yang pernah kita rajut bersama,

Kini berguguran, bersembunyi di luka.


Cinta ini seperti daun yang gugur perlahan,

Tak berteriak, hanya diam menahan.

Tapi aku tahu, bahkan bayangmu pun,

Tak ingin menetap selamanya di pelupuk angan.


Aku merelakan meski hati enggan,

Karena cinta sejati tak memaksa bertahan.

Biarlah kau pergi, membawa separuh malam,

Aku akan belajar bercahaya tanpa rembulan.



Puisi:Kenangan di Tepi Meja



Ilusi foto puisi
Ilustrasi foto puisi kenangan di tepi meja



Di sudut meja, aroma manis melingkari,

Bango kecap manis menemani memori,

Di setiap tetes, ada cinta yang menari,

Mengingatkan kita pada cerita sejati.


Malam itu, rembulan menjadi saksi,

Tatapanmu hangat, membalut sunyi,

Kecap manis melumuri daging hati,

Seakan berkata, "Inilah kita, takkan terganti."


Kamu selalu tahu, rahasia rasa,

Manisnya cinta, bumbu setiap masa,

Bango hadir, bagai janji tak sirna,

Mengikat kenangan yang tak mudah lupa.


Tanganmu mengaduk, aku memandang,

Ada keajaiban dalam setiap tangkap pandang,

Romantisnya bukan hanya karena rempah melayang,

Tapi karena cinta, dalam hati yang kau pegang.


Kini, meja itu sepi, namun tetap hidup,

Aroma manisnya bertahan, menjadi penghibur,

Walau tak lagi ada kita berbincang di bawah lampu,

Bango kecap manis jadi kenangan yang selalu rindu.


Di setiap rasa, ada kisah kita terselip,

Cinta yang manis, tak pernah tergelincir,

Bango mengingatkan, cinta tak pernah usang,

Dalam kenangan, kita abadi dikenang.


Puisi:Dalam Hujan Aku Mengenangmu

 

Puisi:Dalam Hujan Aku Mengenangmu
Ilustrasi gambar Puisi:Dalam Hujan Aku Mengenangmu (pixabay.com)

Di balik tirai hujan yang menderu  

ada kisah yang tak pernah berlalu.  

Rintik-rintik itu mengetuk hati,  

mengingatkanku pada sepi yang tak henti.  


Kau hadir dalam tiap tetes yang jatuh,  

seperti embun di pagi yang penuh jenuh.  

Kala hujan turun, aku kembali merindu,  

pada hadirmu yang kini entah di mana berlalu.  


Hujan adalah pertemuan kita yang abadi,  

suara gemericiknya seperti suara hati,  

yang pelan-pelan mengalirkan luka,  

namun juga menyembuhkan rindu yang ada.  


Setiap deras, setiap titik,  

membawaku jauh ke masa lalu yang klasik,  

saat kita duduk di bawah langit kelabu,  

berbagi tawa, cerita, dan rindu.  


Kini hujan datang tanpa tawamu,  

namun kenangan itu masih kerap menghibur pilu.  

Kau yang pernah memeluk dalam keheningan,  

meninggalkan jejak yang takkan hilang dalam ingatan.  


Rinainya mengaburkan batas antara realita dan mimpi,  

di dalamnya, aku menemukanmu kembali.  

Mengulang kisah yang pernah kita rajut,  

meski kini kau hanya bayang di sudut kalbu yang larut.  


Andai bisa, ingin kurengkuh dirimu di antara butiran ini,  

menghapus jarak dan waktu yang kini menghampiri.  

Namun takdir tak bisa kuhentikan,  

kau pergi membawa bagian hatiku yang takkan tergantikan.  


Dalam derasnya, kuucapkan selamat tinggal,  

pada kenangan yang kini berangsur pudar,  

tapi tetap tinggal dalam relung yang teramat dalam,  

seperti hujan, kau abadi dalam ingatan yang takkan tenggelam.  


Maka biarlah hujan jadi saksiku malam ini,  

menyampaikan rinduku yang tak bertepi.  

Di tiap rintiknya, kusisipkan namamu,  

sebagai pesan cinta yang tak pernah berlalu.  


---


Semoga puisi ini bisa mewakili tema yang diinginkan.

Puisi Romantis:Malam Yang Kelabu

 

ilusi foto Puisi Romantis:Malam Yang Kelabu by pixabay.com


Di bawah langit malam yang kelabu,  

Aku menanti, dalam diam yang pilu.  

Angin berbisik di antara bayang,  

Mengantar rindu yang tak pernah pulang.


Bintang-bintang enggan bersinar,  

Menyisakan gelap yang semakin lebar.  

Seperti hatiku yang kian rapuh,  

Merindu cinta yang tak pernah utuh.


Aku bertanya pada bulan,  

Mengapa cinta ini tak kunjung datang?  

Ia tersenyum dalam pudar cahayanya,  

Menyembunyikan rahasia di balik pesonanya.


Malam yang dingin memeluk jiwaku,  

Namun hatiku tetap hangat menantimu.  

Dalam kesunyian yang panjang dan hampa,  

Aku berharap pada cinta yang tak bernyawa.


Ada rindu yang tak terkatakan,  

Terbentang di antara angan dan kenyataan.  

Mungkin cinta tak pernah hadir,  

Namun hati ini tak mampu berakhir.


Di balik kabut malam yang kelabu,  

Aku masih setia di ujung waktu.  

Menunggu cinta yang mungkin tak pernah ada,  

Namun tetap kuharap dalam setiap doa.


Meski kau tak pernah datang,  

Aku tak pernah merasa sendirian,  

Karena di malam yang hening ini,  

Cintaku tetap hidup dalam sunyi.

Puisi:Rintik Hujan Dibawah Kenangan

Puisi:Rintik Hujan Dibawah Kenangan street foto pixabay.com


Rintik hujan jatuh perlahan,  

Membawa sisa kenangan di setiap tetesnya.  

Malam yang sunyi jadi saksi,  

Kala aku dan kamu pernah bersanding,  

Menyulam cinta di bawah langit kelabu.


Setiap rintik yang membasahi tanah,  

Menggema lamat-lamat di hatiku.  

Seolah mengulang kembali hari itu,  

Saat jemarimu menggenggam tanganku,  

Dan aku merasakan hangatnya dirimu di dekatku.


Hujan tak hanya membawa dingin,  

Ia membawa cerita yang dulu kita titipkan,  

Saat cinta masih begitu dekat,  

Seperti pelangi yang menghiasi sore,  

Setelah badai pergi.


Namun kini, di bawah hujan yang sama,  

Aku hanya sendiri meresapi sunyi,  

Menghitung tetes-tetes yang jatuh,  

Mencari bayanganmu di setiap bias air.


Hujan ini, ia masih setia,  

Mengantarkan kenangan tentang kita.  

Walau waktu telah berlalu,  

Cintaku tak pernah surut,  

Seperti hujan yang tak lelah jatuh,  

Menyirami kenangan yang terus hidup,  

Dalam hatiku yang terdalam.


Mungkin hujan adalah pesan,  

Bahwa cinta sejati tak pernah pudar,  

Meski kita tak lagi bersama,  

Cintamu tetap ada,  

Menghujani setiap ruang dalam diriku,  

Tak lekang oleh waktu.

Kumpulan Puisi Paling Romantis Tentang Rindu

Kumpulan Puisi Paling Romantis Tentang Rindu
Kumpulan Puisi Paling Romantis Tentang Rindu https://pixabay.com/id/photos/pantai-pasangan-matahari-terbenam-7087722/



"Rindu yang Tak Berbisik"


Dalam sepi malam, ku titipkan rindu,  

Pada angin yang melintasi sunyi  

Menyentuh jendela hati,  

Tanpa suara, tanpa isyarat yang pasti.


Rinduku diam, namun tak pernah mati,  

Mengalir halus seperti sungai di dada  

Yang tak henti-hentinya membawa kenangan,  

Tentang tatapanmu yang pernah singgah.


Kau jauh, bagai bintang di langit senja,  

Namun sinarmu tetap hadir di benakku,  

Menghiasi cakrawala rasa  

Yang tak pernah bisa kusentuh.


Aku menahan segala bisik dan getar  

Dalam pertemuan yang tak pernah terjadi,  

Karena rindu ini tak akan pernah usai,  

Meski tak terucap, meski tak terdengar. 


Di antara waktu yang mengulur jarak,  

Kau tetap ada dalam pikiranku,  

Bersemayam diam di sudut kalbu,  

Tempat rindu tumbuh tanpa tahu kapan berhenti.




"Rindu yang Tak Tersuarakan"


Ada rindu yang tak sempat mengucap kata,  

Ia tumbuh dalam sunyi, meniti malam tanpa suara.  

Seperti embun yang jatuh diam-diam,  

Menyentuh rumput, lalu hilang dalam cahaya pagi.  


Dalam hatiku, kau adalah bayangan yang setia,  

Berjalan bersama detik, menyusup di sela udara.  

Aku menghirupmu tanpa sadar,  

Tapi tak pernah mampu memanggil namamu dengan lantang.  


Setiap malam, aku menulis puisi di langit,  

Mencari jejakmu di antara bintang-bintang,  

Namun rindu ini tak ingin menyakiti,  

Ia memilih membisu, tersimpan dalam ruang tanpa penghuni.  


Jika diam adalah bahasa cinta,  

Maka biarlah aku mencintaimu dalam sunyi.  

Rindu ini abadi, meski tak pernah terucap,  

Tertinggal di dalam dada, menjadi rahasia yang tak terjamah.  



"Rindu dalam Diam"


Dalam sepi yang tak kunjung pudar,  

kubiarkan rinduku menari di sudut senja,  

tak tersampaikan, tak terucap,  

hanya berbisik pada angin malam.


Ada namamu yang terukir di langit malam,  

di antara bintang yang redup,  

namun bibirku kelu,  

tertahan di pusaran waktu yang diam.


Setiap detak, setiap hela nafas,  

hanya rindu yang bernyanyi dalam kalbu,  

tanpa suara, tanpa kata,  

terkunci rapat di dalam dada.


Kukenang senyummu dalam diam,  

seperti hujan yang turun pelan,  

membasahi tanah tanpa gemuruh,  

hanya sunyi yang tahu betapa aku merindu.


Aku menunggumu di batas angan,  

di ruang antara mimpi dan harapan,  

namun rindu ini, sayang,  

tetaplah rindu yang tak pernah terucap.


Dan aku,  

adalah kekasih yang mencintaimu dalam diam,  

menyulam rindu dalam bayang-bayang,  

tanpa akhir, tanpa jeda,  

seperti senja yang tak pernah berkata.



"Rindu yang Tak Terucap"


Di dalam senyap, aku merangkai rindu,  

Menarikan hasrat di ujung malam kelabu.  

Dalam bayang, wajahmu melintas perlahan,  

Menyisakan desir halus yang tak pernah padam.


Kata-kata terkurung di ujung bibir,  

Tersesat dalam jantung, terikat tak berakhir.  

Ingin ku sampaikan, tapi aku hanya diam,  

Biarlah rasa ini mengalir seperti hujan, diam-diam.


Kau jauh, namun dekat di setiap detak,  

Rinduku memelukmu, meski tanpa jejak.  

Aku menyimpan bayanganmu dalam sepi,  

Seperti ombak yang tak henti mencumbu tepi.


Oh, betapa ingin kuteriakkan rindu ini,  

Tapi takut, jika angin membawanya pergi.  

Dan akhirnya, biarlah cinta ini tak tersampaikan,  

Seperti langit yang mencintai bintang, dari kejauhan.

Kumpulan Puisi Romantis

 

ilusi gambarkumpulan puisi
Ilusi gambar kumpulan puisi romantis
(https://pixabay.com/id/vectors/patah-hati-sedih-depresi-jantung-7182718/)

Keping Hati yang Terkoyak


Dalam hening malam yang pekat,  

Aku menyulam kenangan dari sisa-sisa perasaan,  

Merajut mimpi yang pernah kita anyam,  

Di antara bintang-bintang yang meredup pelan.  


Kau adalah bayang yang selalu kupuja,  

Namun kini kau pergi, menyisakan luka,  

Seperti angin yang mencuri nyawa,  

Hilang tanpa jejak, tanpa suara.  


Cintaku padamu bak lautan tak bertepi,  

Tapi kau memilih tenggelam dalam arus lain,  

Meninggalkanku terombang-ambing sepi,  

Di samudra rindu yang tak pernah berakhir.  


Bagaimana bisa kutemui pagi tanpa senyummu,  

Saat embun masih menyimpan sisa air mataku?  

Bagaimana bisa kulewati hari tanpa bayangmu,  

Jika setiap detik adalah gemuruh rindu yang pilu?  


Aku berdiri di ambang senja yang meratap,  

Mencari serpihan cinta yang terburai,  

Namun hanya bayanganmu yang singgah,  

Menghancurkan harap, mengoyak damai.  


Hati ini, sayang, telah kau buat layu,  

Bagai mawar merah yang tak lagi merekah,  

Kau bawa pergi cintaku, namun tak pernah tahu,  

Bahwa dalam ketiadaanmu, hidupku luruh, merekah.  


Aku terjebak dalam lingkaran kenangan,  

Yang tak pernah ingin kau kenang lagi,  

Tapi cintaku padamu, meski dalam kepedihan,  

Akan tetap abadi, di antara serpihan mimpi.




Simfoni Hati yang Merana


Dalam dekapan malam, kutemukan sepiku,  

Terdengar bisikan sunyi dari celah angin pilu.  

Kau, yang pernah menjadi bintang di langitku,  

Kini hanya bayang kabur di tepian rinduku.


Dulu, hatiku berkelana di samudra cintamu,  

Mengarungi gelombang, tak takut terhempas badai.  

Namun kini, perahu kecilku terdampar,  

Di pantai sepi, tanpa jejak langkahmu.


Di setiap hembusan nafas, ada namamu,  

Menyelinap dalam sunyi, menggema dalam hampa.  

Cintaku yang tak tersentuh, terbuang sia-sia,  

Seperti embun yang mencair sebelum mentari tiba.


Oh, betapa aku merindukan tatapmu,  

Yang dahulu menyulut api di dadaku.  

Namun, api itu kini padam, tertelan waktu,  

Meninggalkan hanya abu, bekas cinta yang rapuh.


Kau, kekasih yang kini jauh di angan,  

Menghilang dari genggamanku, hilang dari pandang.  

Aku terperangkap dalam labirin kenangan,  

Mencari jejak cinta yang tak lagi pulang.


Seandainya bisa, ingin kuhapus segala ingatan,  

Namun tiap luka ini justru terukir lebih dalam.  

Cintaku masih bernyawa, meski merana,  

Dalam sunyi yang menggigit, aku terpuruk dalam duka.


Kini aku berjalan sendirian,  

Dalam dunia yang dulu kau terangi.  

Tanpamu, setiap langkah terasa beban,  

Seperti mimpi yang terbangun di pagi buta,  

Kehilangan arah, kehilangan makna.




Di Reruntuhan Cinta


Di malam pekat, aku terjaga,  

Mengais kenangan di sela-sela asa,  

Wajahmu, bayang-bayang tak teraba,  

Hadir dalam sepiku yang hampa.


Cinta yang pernah kau tabur di dadaku,  

Kini layu, berguguran tanpa isyarat,  

Bagai bunga yang mati sebelum mekar,  

Tertinggal hanya tangkai, berduri tajam.


Kata-kata manis yang kau ucapkan,  

Kini menjadi bisikan pilu dalam mimpiku,  

Setiap janji yang kau berikan,  

Tenggelam dalam lautan air mata biru.


Aku menanti di ujung sunyi,  

Namun harapanku memudar,  

Cinta ini terhempas di pantai sepi,  

Tersapu ombak, hilang tak terselamatkan.


Kau adalah puisi yang kutulis di atas pasir,  

Lenyap sebelum sempat terbaca,  

Kini aku hanya penyair yang terluka,  

Menggoreskan kesedihan dalam sajak tanpa suara.


Di reruntuhan cinta yang kau tinggalkan,  

Aku berdiri, menggenggam rindu yang tak pernah terjawab,  

Hati ini, biarlah hancur dan remuk,  

Sebab dari reruntuhan, akan lahir kekuatan yang baru.


Cerita Pendek: Luka yang Terbuka

ilusi foto Cerita Pendek: Luka yang Terbuka
Ilusi foto Cerita Pendek: Luka yang Terbuka:https://pixabay.com/id/photos/cinta-pasangan-keluarga-kekasih-2055372/


Aku masih bisa merasakan kehangatan tubuhnya tadi malam, saat dia berbaring di sebelahku, napasnya teratur, dan wajahnya terlihat begitu damai. Namun, kedamaian yang ada di wajahnya tidak sama dengan yang aku rasakan dalam hatiku. Sudah berbulan-bulan aku merasakan ada yang berubah. Cinta kami tak lagi hangat seperti dulu; ada sesuatu yang tak kasat mata, tapi tajam seperti duri yang menusuk perlahan-lahan.


Namanya Hana. Wanita yang kucintai lebih dari diriku sendiri. Kami bersama hampir lima tahun, dan kupikir dia adalah segalanya bagiku. Tapi belakangan, ada jarak yang tak dapat kujelaskan. Percakapan kami semakin jarang, dan ketika dia bersamaku, matanya seperti menerawang ke dunia yang berbeda. Dia selalu mengatakan dia sibuk dengan pekerjaan, bertemu teman-teman, atau sekadar butuh waktu sendiri. Aku ingin percaya, sungguh. Tapi, ada dorongan kuat di dalam dadaku yang terus menanyakan, "Apa dia jujur?"


Tadi malam, rasa curiga yang membakar di pikiranku mencapai puncaknya. Aku tak bisa tidur. Perasaan itu, seperti ada sesuatu yang hendak meruntuhkan dinding kepercayaan yang telah susah payah kami bangun. Jadi, dengan hati berdebar dan tangan gemetar, aku mengambil ponselnya saat dia tertidur. Aku tahu ini salah, tapi aku butuh kebenaran. Aku membukanya.


Dan di situlah semuanya terbuka. Pesan-pesan singkat, namun penuh makna antara Hana dan seseorang bernama Rey. Panggilan sayang, rencana pertemuan diam-diam, dan kata-kata yang membuat jantungku seakan berhenti berdetak. Dadaku sesak, napasku terhenti. Tanganku gemetar saat membaca setiap pesan. Mereka sudah bertemu berulang kali di belakangku. Berkali-kali. Rasa sakit itu menyeruak dalam diriku, seperti pisau yang menusuk dan terus memutar di dalam hati.


Aku bangkit dari tempat tidur, berjalan ke dapur dengan langkah yang berat. Kucoba menarik napas panjang, namun semuanya terasa sia-sia. Rasa benci dan cinta bercampur menjadi satu, seperti racun yang perlahan meracuni pikiranku. Aku menatap pisau di atas meja dapur. Pikiran itu datang begitu cepat dan gelap, menelanku sebelum aku sempat menolaknya.


Namun, aku tak ingin berpikir bahwa itu jalan keluarnya. Aku mencintai Hana, meskipun dia telah menghancurkan hatiku. "Bicarakan dulu," kataku pada diriku sendiri, berusaha menenangkan kekacauan di dalam kepala. Aku kembali ke kamar. Hana masih tertidur, wajahnya masih seindah yang pernah aku kagumi. Tapi kini, wajah itu adalah wajah seorang pengkhianat.

 

Pagi tiba. Aku bangun lebih awal dari biasanya, masih teringat dengan apa yang kutemukan semalam. Rasa sakit itu seperti api yang tak kunjung padam. Ketika Hana membuka mata, dia tersenyum padaku seolah tidak ada yang terjadi.


"Sayang, kau bangun lebih awal," ucapnya lembut, tanpa tahu badai apa yang menanti.

"Hana," suaraku terdengar datar. "Kita harus bicara."

Dia melihat ke arahku, menyadari ada yang salah dalam nada bicaraku. "Apa yang terjadi?" tanyanya pelan.

Aku tak bisa menahan lagi. "Siapa Rey?"


Wajahnya pucat dalam sekejap. Aku melihat bagaimana matanya membelalak, kepanikan yang tak bisa disembunyikannya. Itu adalah pengakuan tanpa kata. Tubuhku serasa dirasuki oleh emosi yang tak terkendali. "Sudah berapa lama, Hana? Sudah berapa lama kau mengkhianati aku?"


Dia mencoba mendekat, meletakkan tangannya di lenganku, tapi aku mundur. "Aku bisa jelaskan..." suaranya bergetar.

"Tidak ada yang perlu dijelaskan," bentakku. "Aku sudah membaca semuanya."

Wajahnya menegang, air matanya mulai mengalir. "Aku minta maaf. Aku tak bermaksud menyakitimu..."

"Kau tidak bermaksud?" Aku menertawakan ucapannya, tapi itu adalah tawa yang penuh dengan kepedihan. "Lalu kenapa kau melakukannya?"


Hana terisak, wajahnya memerah, tetapi bagiku air matanya tidak berarti apa-apa lagi. Aku tidak ingin mendengarkan permintaannya. Rasa sakit itu terlalu dalam. Setiap kata yang keluar dari mulutnya adalah kebohongan. Setiap tetesan air matanya adalah penghinaan bagi hatiku.

Aku berjalan ke dapur, mengambil pisau yang kulihat semalam. Tanganku menggenggamnya erat, napasku berat, dan darahku mendidih. Ketika aku kembali ke ruang tamu, Hana berdiri di sana, memandangku dengan mata yang ketakutan.


"Fikri, jangan lakukan ini," suaranya serak. "Aku minta maaf. Kumohon..."

"Aku memberimu segalanya, Hana," kataku, suaraku parau oleh amarah yang tertahan. "Tapi kau... kau memilih menghancurkan semuanya."

Dia mundur perlahan, memeluk dirinya sendiri, matanya tak pernah lepas dari pisau di tanganku. "Kita bisa memperbaiki ini," katanya lemah. "Kita bisa bicara, mohon..."

Tapi sudah terlambat. Luka di hatiku terlalu dalam untuk disembuhkan oleh kata-kata. Tubuhku bergerak seakan di luar kendaliku, dan aku mengayunkan pisau itu ke arahnya.

Dia menjerit, tapi tidak cukup cepat untuk menghindar.

 

KUMPULAN PUISI SEPTEMBER PALING ROMANTIS

 September yang Tercabik

ilusi photo September yang Tercabik
ilusi foto puisi september yang tercabik
https://pixabay.com/id/photos/penari-tarian-pasir-pantai-menari-5576002/


Di ambang September yang temaram,  

Bulan memancar sinar kesepian,  

Terlukis pada langit yang muram,  

Hati ini terasa perih dalam diam.


Angin malam menyusup hampa,  

Membawa rindu yang tak berbalas,  

Seperti daun yang gugur tanpa suara,  

Jatuh, terpisah, hilang, dan tak terbatas.


Kenanganmu datang mengusik malam,  

Seperti hujan yang tiba-tiba deras,  

Menyelimuti jiwa dengan kesedihan kelam,  

Meninggalkan luka yang tak pernah terbebas.


Kau yang pernah menjadi pelabuhan,  

Kini hanya bayang yang tak terjangkau,  

Seperti mimpi yang usang dan terlupakan,  

Tinggalkan jejak luka di setiap langkah ini.


September, bulan cinta yang terkoyak,  

Menyisakan air mata di setiap sudut,  

Semua janji yang dulu terucap,  

Kini hancur seperti debu yang terhempas.


Dalam kegelapan, aku mencoba bertahan,  

Meski tanpa hadirmu, terasa berat.  

Namun, September tak memberi belas kasihan,  

Menyisakan hati yang retak, tersayat.


Oh, September, bulan penuh duka,  

Di sinilah cinta kita berakhir,  

Dalam kesunyian, aku mengeja luka,  

Dan mengenangmu dalam kesedihan yang tak pernah pudar.



Di Bawah Langit September

ilusi foto Di Bawah Langit September
Ilusi foto puisi dibawah langit septembr
https://pixabay.com/id/photos/aptos-dermaga-semen-hari-kelabu-296159/


Di bawah langit September yang pucat,  

Waktu seakan berjalan pelan,  

Langkah-langkah kenangan mengukir jejak,  

Di jalan sunyi yang pernah kita tempuh bersama.  


Di daun-daun yang gugur, ku temukan sisa-sisa rindu,  

Berguguran perlahan seperti harapan yang pudar,  

Aku meraba bayanganmu di setiap sudut malam,  

Namun yang tersisa hanya dinginnya sepi yang merangkul.  


Hatiku retak, seperti kaca yang pecah tanpa suara,  

Kata-kata yang dulu manis, kini hanya menyisakan pahit,  

September ini, kau hilang tanpa jejak,  

Menyisakan luka yang tak kunjung sembuh.  


Apakah cinta pernah benar-benar ada,  

Ataukah hanya bayang-bayang yang bermain di antara kita?  

Setiap malam aku bertanya pada bintang,  

Namun mereka bisu, menyimpan rahasia yang tak terungkapkan.  


Di ujung senja yang muram, ku kenang senyummu,  

Senyum yang dulu menghangatkan, kini menjadi dingin,  

Seperti angin malam yang membawa pergi sisa-sisa mimpi,  

Mimpi yang dulu kita rangkai dengan penuh harapan.  


Kini aku berdiri sendiri, di bawah langit September,  

Merangkul sepi yang kau tinggalkan,  

Menanti waktu yang akan menyembuhkan,  

Meskipun luka ini tak pernah benar-benar hilang.  


Namun aku tahu, meski perih, aku akan kuat,  

Seperti bulan yang tak pernah hilang meski tertutup awan,  

Aku akan bertahan, meski tanpa hadirmu,  

Karena di balik awan, aku yakin,  

Ada sinar yang menunggu, untuk menyapaku kembali.  


Di bawah langit September ini,  

Aku belajar melepaskan,  

Bukan karena aku tak mencintaimu lagi,  

Tapi karena aku tahu, cinta sejati tak pernah memaksa.  


Kau pergi, dan aku akan belajar untuk berdamai,  

Dengan luka, dengan kenangan, dengan kehilangan,  

September ini menjadi saksi,  

Bahwa meski hati patah, jiwa tetap akan terbang.



Sepi di Bulan September

Sepi di Bulan September
Ilusi foto puisi sepi di bulan september
https://pixabay.com/id/photos/buku-catatan-kacamata-bepergian-1130743/


Di bulan September yang muram,  

angin membawa rindu yang terluka,  

hujan datang perlahan, seperti air mata  

jatuh di atas daun yang rapuh,  

meresap ke dalam tanah yang kering.  


Ada kesedihan yang mengendap di ujung senja,  

di mana bayang-bayang kenangan  

bermain di antara sisa cahaya,  

menggenggam janji yang tak lagi nyata.  

Kau pergi bersama angin,  

meninggalkan jejak langkah yang perlahan memudar.  


Malam terasa lebih panjang,  

bulan seakan enggan menatap bumi,  

bersembunyi di balik awan kelabu.  

Hanya bintang-bintang yang bersinar redup,  

menyaksikan hati yang tak lagi utuh,  

pecah berkeping-keping di bawah langit yang sama.  


September datang, membawa dingin yang menusuk,  

menggugurkan daun-daun harapan,  

mengubur impian yang pernah kita rajut.  

Rindu menjadi duri dalam daging,  

menghantui setiap detik yang berlalu,  

sementara bayanganmu masih ada di setiap sudut.  


Mungkin kau tak akan pernah tahu,  

betapa perihnya menatap senja,  

ketika semua yang tersisa hanya kenangan,  

dan bulan September yang penuh luka.  

Aku tetap di sini, dalam sepi yang tak bertepi,  

berharap waktu bisa menyembuhkan,  

meski tahu, luka ini akan selalu meninggalkan bekas.

PUISI CINTA "RINDU YANG TAK BERNAMA"


PUISI CINTA "RINDU YANG TAK BERNAMA"
https://pixabay.com/id/photos/jantung-cinta-percintaan-valentine-700141/

Di antara senyap malam yang bisu,  

kutemukan bayangmu melintas dalam lirih bayu.  

Seperti bintang yang malu, kau sembunyi dalam kelam,  

namun cahayamu tetap menusuk lembut, menelusup ke dalam relung hati yang merindumu.


Duhai kekasih yang tak terjangkau,  

engkau adalah alunan rindu yang menggema tanpa suara,  

adalah desir lembut pada helai daun yang jatuh,  

menggetarkan bumi dalam keheningan yang tak ternama.


Kasihmu bagai hujan di musim kemarau,  

jatuh perlahan, menghidupkan tanah-tanah tandus,  

mengalir di setiap celah hati yang hampir kering,  

menggenapi kekosongan dengan cinta yang mengalir abadi.


Senyummu, wahai puan,  

adalah lukisan pagi yang terjaga oleh embun,  

menjadi madah di bibir mentari yang malu-malu terbit,  

menyambut setiap helaan napas dengan kelembutan yang tiada tanding.


Setiap tatap matamu adalah rahasia semesta,  

terhampar dalam ribuan puisi yang tak pernah tertuliskan,  

kau adalah bait-bait cinta yang tak pernah usai kubaca,  

selalu memabukkan, selalu membawaku terbang melampaui batas akal.


Dalam dekapan malam yang sunyi,  

kutemukan diriku tenggelam dalam rindu tak bertepi,  

menggenggam angan tentang kita yang tak pernah benar-benar ada,  

namun selalu hidup dalam setiap detak jantung dan desah napasku.


Aku mencintaimu dalam bisikan angin yang lembut,  

dalam gema yang tak pernah selesai di telinga waktu,  

aku mencintaimu dalam diam yang tak terungkapkan,  

seperti laut mencintai pantai, tak pernah letih menunggu,  

meski tahu akhirnya kan selalu kembali pada kesepian.

PUISI:KERINDUAN RINTIK HUJAN

  PUISI:KERINDUAN RINTIK HUJAN (https://pixabay.com/id/photos/hujan-jalan-kota-pelabuhan-1479303/) Hujan menari di atas jendela, rintiknya...