![]() |
PUISI:KERINDUAN RINTIK HUJAN (https://pixabay.com/id/photos/hujan-jalan-kota-pelabuhan-1479303/) |
(untuk siapapun itu yang dulu sempat ada dalam serangkaian buku harian namun kini sudah hilang tanpa kabar.terima kasih)
Setiap langka adalah kisah,Setiap kisah adalah cinta,dan setiap cinta adalah luka.di setiap luka yang ada pasti ada cerita,yang akan menjelma menjadi karya indah yang pernah tercipta. terima kasih @Nandasukmasari selamat membaca ~suaralukaa~
![]() |
PUISI:KERINDUAN RINTIK HUJAN (https://pixabay.com/id/photos/hujan-jalan-kota-pelabuhan-1479303/) |
(untuk siapapun itu yang dulu sempat ada dalam serangkaian buku harian namun kini sudah hilang tanpa kabar.terima kasih)
Ilustrasi gambar Puisi:Dalam Hujan Aku Mengenangmu (pixabay.com)
Di balik tirai hujan yang menderu
ada kisah yang tak pernah berlalu.
Rintik-rintik itu mengetuk hati,
mengingatkanku pada sepi yang tak henti.
Kau hadir dalam tiap tetes yang jatuh,
seperti embun di pagi yang penuh jenuh.
Kala hujan turun, aku kembali merindu,
pada hadirmu yang kini entah di mana berlalu.
Hujan adalah pertemuan kita yang abadi,
suara gemericiknya seperti suara hati,
yang pelan-pelan mengalirkan luka,
namun juga menyembuhkan rindu yang ada.
Setiap deras, setiap titik,
membawaku jauh ke masa lalu yang klasik,
saat kita duduk di bawah langit kelabu,
berbagi tawa, cerita, dan rindu.
Kini hujan datang tanpa tawamu,
namun kenangan itu masih kerap menghibur pilu.
Kau yang pernah memeluk dalam keheningan,
meninggalkan jejak yang takkan hilang dalam ingatan.
Rinainya mengaburkan batas antara realita dan mimpi,
di dalamnya, aku menemukanmu kembali.
Mengulang kisah yang pernah kita rajut,
meski kini kau hanya bayang di sudut kalbu yang larut.
Andai bisa, ingin kurengkuh dirimu di antara butiran ini,
menghapus jarak dan waktu yang kini menghampiri.
Namun takdir tak bisa kuhentikan,
kau pergi membawa bagian hatiku yang takkan tergantikan.
Dalam derasnya, kuucapkan selamat tinggal,
pada kenangan yang kini berangsur pudar,
tapi tetap tinggal dalam relung yang teramat dalam,
seperti hujan, kau abadi dalam ingatan yang takkan tenggelam.
Maka biarlah hujan jadi saksiku malam ini,
menyampaikan rinduku yang tak bertepi.
Di tiap rintiknya, kusisipkan namamu,
sebagai pesan cinta yang tak pernah berlalu.
---
Semoga puisi ini bisa mewakili tema yang diinginkan.
![]() |
Cerita Pendek:Cinta Di Sepertiga Malam ilustrasi gambar pixaybay.com |
Aku selalu terjaga di tengah malam. Rasa kantuk memang sesekali mencoba mengalahkan niatku, tapi setiap kali aku mengingatmu, aku bangun dengan semangat baru. Setiap hari, dalam sunyi dan kesendirian, aku berdiri di hadapan-Nya, mengadukan segala keresahan, sekaligus menitipkan doa untukmu dalam tahajjudku.
Kau, yang tak pernah tahu namamu sering kusebut di penghujung malam, membuat hatiku bertanya-tanya, apakah engkau tahu ada seseorang yang begitu mencintaimu dalam doanya?
---
Hari itu, kita dipertemukan dalam sebuah acara kajian di masjid dekat kampus. Aku yang biasanya cenderung pendiam, entah kenapa, hari itu berani melontarkan sebuah pertanyaan pada ustaz yang tengah berbicara.
"Ustaz, bagaimana kita mengikhlaskan perasaan cinta pada seseorang yang belum tentu menjadi jodoh kita?" tanyaku, suaraku bergetar sedikit karena sebenarnya ini adalah pertanyaan untuk diriku sendiri, namun entah kenapa aku merasa ingin mendengar jawabannya secara langsung.
Ustaz tersenyum, menatapku dengan pandangan lembut, lalu menjawab, "Cinta yang paling indah adalah cinta yang kita niatkan karena Allah. Jika kita mencintai seseorang, tetapi menyerahkan segalanya kepada Allah, berarti kita sudah menempatkan cinta itu pada tempat yang benar. Doakanlah dia dalam kebaikan, karena hanya dengan doa yang tulus dan ikhlas, kita bisa mencintai tanpa harus memiliki."
Aku terdiam sejenak, merenungkan jawaban itu, dan saat itulah kau muncul. Kau yang duduk di barisan depan, menoleh ke arahku dengan senyum lembut. Wajahmu tampak teduh, begitu damai, dan aku merasa detak jantungku berdetak lebih cepat dari biasanya.
Selesai kajian, kita bertemu di halaman masjid. Kau menyapaku terlebih dahulu.
"Masya Allah, tadi pertanyaannya bagus sekali," ucapmu sambil tersenyum.
Aku hanya mengangguk sambil menundukkan pandangan, berusaha menahan getaran di hatiku. "Terima kasih. Aku hanya... ya, ingin tahu bagaimana harus mencintai dengan cara yang benar."
"Kau sudah memulainya dengan doa, bukan?" jawabmu, membuat hatiku tertegun. Bagaimana kau bisa tahu?
"Doa itu senjata terkuat," lanjutmu lagi. "Jika kita menyayangi seseorang dalam diam, dan mendoakannya dalam sepertiga malam, bukankah itu tanda cinta yang paling tulus?"
Aku menatapmu sejenak. Kata-katamu terasa begitu dalam. “Kau sendiri… sudah pernah mendoakan seseorang dalam tahajjudmu?”
Kau tersenyum kecil, seolah ragu menjawab. Namun, akhirnya kau mengangguk. “Iya. Setiap malam. Aku doakan agar jika memang dia jodohku, Allah pertemukan kami dalam keadaan yang paling indah, dan jika bukan, aku mohonkan agar aku bisa mengikhlaskannya.”
Hatiku tercekat mendengar jawabanmu. Ada getaran tak biasa yang membuatku merasa bahwa doamu itu adalah untukku. Namun, aku tahu bahwa perasaan itu bisa saja keliru. Aku tak ingin terjebak dalam prasangka, karena siapa tahu, Allah telah menyiapkan rencana lain untukku atau untukmu.
---
Waktu terus berjalan, dan meski tidak sering bertemu, kau dan aku kerap berada dalam pertemuan yang tidak sengaja. Di masjid, di acara kajian, atau kadang di koridor kampus. Entah bagaimana, setiap kali bertemu, kita selalu saling bertukar salam dan menebar senyum. Hanya itu. Tak ada komunikasi lebih lanjut, tak ada pesan atau kabar.
Namun, meski singkat, setiap pertemuan itu cukup untuk membuatku semakin mantap menyebut namamu dalam doa. Di setiap tahajjudku, kuucapkan namamu, memohon kepada Allah agar memberiku kekuatan jika kau memang bukan takdirku.
Namun, di suatu malam yang tenang, saat aku sedang larut dalam sujudku, ponselku bergetar. Aku tidak segera melihatnya hingga selesai berdoa. Saat kuambil ponsel itu, sebuah pesan masuk dari nomor yang tidak kukenal.
"Assalamu’alaikum. Maaf, ini aku. Ada yang ingin kusampaikan. Bisa bertemu di masjid kampus besok, selepas maghrib?”
Hatiku berdebar. Itu adalah pesan darimu. Pesan yang selama ini kutunggu, tapi sekaligus kutakutkan.
---
Esoknya, seusai maghrib, aku menunggu di teras masjid. Kau datang, wajahmu tampak sedikit gugup, namun tetap memancarkan keteduhan yang sama.
“Maaf, aku jadi membuatmu menunggu,” ucapmu sambil tersenyum lembut.
“Tidak apa-apa. Ada yang ingin kau bicarakan?” tanyaku, mencoba menenangkan diriku.
Kau menatapku dalam-dalam. "Selama ini… aku selalu mendoakan seseorang di setiap tahajjudku. Seseorang yang aku harap menjadi teman seumur hidupku, yang bisa menemani aku dalam setiap ibadah, yang bisa berjalan bersama menuju ridha Allah."
Aku terdiam, jantungku berdetak semakin cepat.
“Aku tidak tahu apakah ini tepat, tetapi aku merasa bahwa doaku selama ini adalah untukmu.” Kau menunduk sejenak, lalu melanjutkan, “Jika Allah mengizinkan, maukah kau menjadi bagian dari hidupku? Aku ingin mencintaimu dengan cara yang Allah ridhoi.”
Seketika, hati ini terasa begitu hangat. Allah, benarkah ini jawaban dari doaku selama ini? Aku menatap matamu, dan dalam sekejap, segala keraguan sirna. Aku mengangguk pelan, dan dengan suara yang sedikit bergetar aku menjawab, "Insya Allah, aku bersedia. Semoga Allah selalu melimpahkan keberkahan pada kita."
Kau tersenyum, dan dalam hati, aku bersyukur kepada Allah atas jawaban yang begitu indah.
ilusi foto Puisi Romantis:Malam Yang Kelabu by pixabay.com
Di bawah langit malam yang kelabu,
Aku menanti, dalam diam yang pilu.
Angin berbisik di antara bayang,
Mengantar rindu yang tak pernah pulang.
Bintang-bintang enggan bersinar,
Menyisakan gelap yang semakin lebar.
Seperti hatiku yang kian rapuh,
Merindu cinta yang tak pernah utuh.
Aku bertanya pada bulan,
Mengapa cinta ini tak kunjung datang?
Ia tersenyum dalam pudar cahayanya,
Menyembunyikan rahasia di balik pesonanya.
Malam yang dingin memeluk jiwaku,
Namun hatiku tetap hangat menantimu.
Dalam kesunyian yang panjang dan hampa,
Aku berharap pada cinta yang tak bernyawa.
Ada rindu yang tak terkatakan,
Terbentang di antara angan dan kenyataan.
Mungkin cinta tak pernah hadir,
Namun hati ini tak mampu berakhir.
Di balik kabut malam yang kelabu,
Aku masih setia di ujung waktu.
Menunggu cinta yang mungkin tak pernah ada,
Namun tetap kuharap dalam setiap doa.
Meski kau tak pernah datang,
Aku tak pernah merasa sendirian,
Karena di malam yang hening ini,
Cintaku tetap hidup dalam sunyi.
Puisi:Rintik Hujan Dibawah Kenangan street foto pixabay.com
Rintik hujan jatuh perlahan,
Membawa sisa kenangan di setiap tetesnya.
Malam yang sunyi jadi saksi,
Kala aku dan kamu pernah bersanding,
Menyulam cinta di bawah langit kelabu.
Setiap rintik yang membasahi tanah,
Menggema lamat-lamat di hatiku.
Seolah mengulang kembali hari itu,
Saat jemarimu menggenggam tanganku,
Dan aku merasakan hangatnya dirimu di dekatku.
Hujan tak hanya membawa dingin,
Ia membawa cerita yang dulu kita titipkan,
Saat cinta masih begitu dekat,
Seperti pelangi yang menghiasi sore,
Setelah badai pergi.
Namun kini, di bawah hujan yang sama,
Aku hanya sendiri meresapi sunyi,
Menghitung tetes-tetes yang jatuh,
Mencari bayanganmu di setiap bias air.
Hujan ini, ia masih setia,
Mengantarkan kenangan tentang kita.
Walau waktu telah berlalu,
Cintaku tak pernah surut,
Seperti hujan yang tak lelah jatuh,
Menyirami kenangan yang terus hidup,
Dalam hatiku yang terdalam.
Mungkin hujan adalah pesan,
Bahwa cinta sejati tak pernah pudar,
Meski kita tak lagi bersama,
Cintamu tetap ada,
Menghujani setiap ruang dalam diriku,
Tak lekang oleh waktu.
Ilusi foto CERITA PENDEK:CINTA TAK TERBALAS (https://pixabay.com/id/photos/pantai-matahari-terbenam-wanita-7714610/)
Matahari tenggelam di balik cakrawala, memancarkan warna jingga yang lembut, sementara aku duduk di tepi danau tempat kita sering bertemu. Aku menunggu, seperti biasa. Selalu menunggu. Angin sore mengibaskan rambutku, memberikan sentuhan dingin di pipiku yang mulai memerah oleh perasaan yang tak lagi dapat kutahan. Aku tahu aku harus mengatakan semuanya hari ini, atau aku akan kehilangan kesempatan itu selamanya.
Kau adalah sosok yang selalu kupuja dalam diam. Sejak kita bertemu beberapa tahun lalu, perasaanku tumbuh begitu dalam dan tak bisa lagi kubendung. Namun, seiring berjalannya waktu, aku semakin menyadari bahwa tidak ada kepastian dalam hubungan kita. Kau sering datang dan pergi, dengan senyuman yang manis, kata-kata yang membuatku merasa istimewa, namun kemudian menghilang dalam kesibukan dunia yang tidak pernah kujamah. Aku hanyalah seorang gadis biasa, sedang kau adalah seseorang yang selalu tampak terlalu jauh untuk kugapai.
Di sisi lain, aku tak pernah menyerah. Setiap detik bersamamu adalah kebahagiaan yang tak tergantikan. Maka hari ini, aku ingin mengatakan padamu, dengan segala keberanian yang tersisa, bahwa aku mencintaimu. Lebih dari sekadar sahabat, lebih dari sekadar teman.
Langkah kaki terdengar dari arah belakangku. Aku menoleh dan melihatmu berjalan mendekat dengan senyummu yang begitu akrab. Senyum itu selalu berhasil membuat hatiku berdetak lebih cepat, meskipun seringkali membawa kebingungan. Apa yang kau pikirkan tentang kita selama ini? Apa aku hanya seorang teman bagimu?
"Kau sudah lama menunggu?" tanyamu dengan nada tenang, seperti biasanya.
Aku menggeleng, mencoba menyembunyikan kegugupanku. "Baru saja," jawabku sambil tersenyum kecil, meski hati ini sudah lama menunggu jawaban dari kebingungan yang terus menghantui.
Kau duduk di sampingku, melihat ke arah danau yang tenang. "Aku senang kita bisa bertemu hari ini," katamu.
"Aku juga," kataku. Tetapi di dalam pikiranku, kata-kata lain terus bergulir. *Aku mencintaimu*. Haruskah aku mengatakannya sekarang? Atau menunggu sedikit lagi?
Detik-detik berlalu dalam keheningan, dan akhirnya aku tak tahan lagi. Aku harus melakukannya sekarang atau tidak sama sekali. "Aku ingin bicara sesuatu," kataku dengan suara sedikit bergetar.
Kau menoleh, matamu menatapku dengan penuh perhatian, tapi tanpa ekspresi yang jelas. "Apa itu?"
Jantungku berdebar semakin kencang, tapi aku memaksa diri untuk melanjutkan. "Selama ini... aku menyimpan perasaan untukmu. Lebih dari sekadar teman. Aku mencintaimu." Suaraku terdengar lirih, hampir seperti bisikan.
Keheningan jatuh di antara kita. Aku bisa merasakan jantungku berdetak di telinga, dan perutku terasa melilit. Aku menunggu reaksi darimu, tapi yang aku terima hanyalah ekspresi bingung dan kaget yang sulit kubaca.
"Aku...," kau menghela napas panjang, "Aku tidak tahu harus berkata apa."
Kata-kata itu menghantamku seperti badai. Hati ini terasa remuk, tapi aku tetap menunggu penjelasan. "Kau tidak tahu? Apa maksudmu?" tanyaku, suaraku terdengar serak.
"Aku menghargai perasaanmu. Kamu adalah orang yang sangat berarti bagiku. Tapi...," kata-katamu terhenti sejenak, seolah-olah kau mencoba menemukan cara terbaik untuk menyampaikan sesuatu yang sulit.
"Tapi apa?" desakku.
"Tapi aku tidak bisa mencintaimu seperti yang kamu inginkan. Aku tidak pernah melihatmu lebih dari seorang teman," jawabmu akhirnya, matamu penuh rasa bersalah.
Dunia di sekelilingku seolah runtuh. Udara yang kurasakan seperti hilang, dan aku hanya bisa terdiam, mencerna kenyataan yang baru saja kau sampaikan. Segala harapan yang selama ini kugenggam erat, mendadak hancur berkeping-keping.
"Tidak bisakah kau mencoba...?" tanyaku dengan nada lirih, memohon agar kau memberiku sedikit harapan.
"Aku minta maaf. Aku tidak ingin menyakitimu, tapi aku sudah mencintai orang lain," katamu pelan. "Aku sebenarnya ingin memberitahumu tadi, tapi... Aku akan menikah minggu depan."
Hening. Aku tidak bisa berkata-kata. Pikiran itu seperti pisau yang menusuk tepat di hatiku. Menikah? Orang lain? Tidak, ini tidak mungkin. Hatiku terasa seperti dirobek-robek. Semua perjuangan, harapan, doa yang kubangun selama ini... semuanya sia-sia.
"Aku ingin kamu tahu bahwa kau tetap penting bagiku," lanjutmu, tapi aku hampir tidak mendengarnya. Semua yang kau katakan terdengar jauh, seperti bayangan samar yang menghilang di balik kabut. Air mata mulai menggenang di mataku, dan aku tidak bisa lagi menahannya. Kau melihatnya, dan aku bisa merasakan rasa bersalahmu semakin dalam.
"Tolong... maafkan aku," katamu, namun itu tidak lagi berarti.
Aku berdiri, menarik napas dalam-dalam, mencoba menahan air mata yang sudah jatuh. "Aku tidak bisa berada di sini," kataku akhirnya, suaraku nyaris tak terdengar.
Aku meninggalkanmu di sana, di tepi danau yang dulunya penuh dengan kenangan indah. Setiap langkah terasa berat, tapi aku harus pergi. Jika aku terus berada di dekatmu, aku akan terus terluka. Kau telah membuat keputusanmu, dan aku tidak bisa mengubah itu.
Malam itu, di bawah langit yang gelap, aku berjalan tanpa arah, dengan hati yang kosong dan terluka. Cinta yang kupikir akan membuatku bahagia, ternyata justru menghancurkanku. Perjuanganku selama ini sia-sia. Tapi aku tahu, pada akhirnya, aku harus melepaskan. Tidak ada lagi yang bisa kuperjuangkan. Kau sudah memilih jalanmu, dan aku harus mencari jalan untuk menyembuhkan diriku sendiri, meskipun itu terasa mustahil.
Di penghujung malam, aku menyadari bahwa terkadang, meski kita mencintai seseorang dengan seluruh hati, cinta itu tidak selalu terbalas. Dan pada akhirnya, mungkin itu bukan tentang bagaimana kita bisa memilikinya, tetapi bagaimana kita bisa belajar untuk melepaskannya, demi kebahagiaan yang lebih besar—bahkan jika itu bukan kebahagiaan kita.
Namun, meskipun begitu, di balik setiap air mata dan luka, aku tahu aku akan bangkit kembali. Mungkin bukan hari ini, mungkin bukan besok, tetapi suatu hari nanti. Dan saat hari itu tiba, aku akan tersenyum pada kenangan ini, meski pahit, dan mengucapkan selamat tinggal dengan hati yang telah sembuh.
ini bango hitam gurih itu,
aku persembahkan untuk pesta perkawinanmu,
untuk kau hidangkan pada tamu undangamu,
kau waras bukan main,
yang gila adalah cinta kita berdua,
kau berjanji kita akan bertemu Kembali,
namun kau pergi menghilang tanpa permisi,
waktu silir berganti dan kau datang lagi,
namun bukan menjadi kekasih
melaikan sebagai orang asing yang menising
hati,
kau memberiku sepucuk surat yang terbungkus rapi,
dengan pita merah merona.
Ada Namamu dan Namanya yang Bersiap untuk
mengikat janji suci.
Sebab itu,
Aku persembahkan kecap bango hitam gurih,
Untuk pesta perkawinanmu,
Dengan resep nasi goreng hitam itu,
Dengan bahan 300gram nasi putih,25gram bumbu
putih,
1 pcs telur ayam,20gram minyak goreng,30gram
ayam siwur,
20gram bango hitam,4gram garam.
Itu sudah cukup mengenyangkan perut tamu undanganmu,
Rasanya yang gurih tertatih,
Seperti dahulu kita membayangkan cinta kita
akan bersemi abadi,
Warna hitamnya begitu pekat sepekat perih yang
kau buat,
Namun kini kisah hanyalah kisah
yang patut di syukuri keberadaanya,
dan aku Kembali melangkah meninggalkan pesta perkawinanmu,
menyusuri Lorong penuh gemericik kerinduan,
dan dalam hati terus berdo’a agar namamu dan Namanya
tetap abadi selamanya
![]() |
Ilusi foto Cerita Pendek:Hembusan Asap yang Mencari Jati Diri//screen https://pixabay.com/id/photos/merokok-potret-rokok-wanita-model-4914808/ |
Aku menyalakan sebatang rokok lagi, menatap kosong ke arah langit yang mulai memerah, menjelang senja. Asap mengepul di sekitarku, berputar-putar seolah ingin menelan segala keraguan yang selama ini aku pendam. Sebagai gadis berumur 19 tahun, aku masih merasa terjebak di antara harapan dan kenyataan. Di antara apa yang mereka inginkan dariku, dan apa yang aku inginkan untuk diriku sendiri.
"Rokok lagi, Ren? Gimana paru-parumu nanti?" Suara Maya, sahabatku, terdengar dari belakang. Dia berjalan menghampiri, duduk di sampingku di atas tembok tua yang menghadap ke taman kota.
Aku tidak menjawab. Aku hanya menatap batang rokok di jariku. Ini mungkin sudah yang ketiga dalam satu jam ini. Tapi, entah kenapa, setiap kali asap itu menyusup ke paru-paru, aku merasa ada sesuatu yang mendekatiku—sesuatu yang tak bisa aku deskripsikan dengan kata-kata. Kebebasan? Pelarian? Atau mungkin hanya ilusi kelegaan sesaat?
"Kau tahu, kamu bisa berhenti kapan pun kamu mau," lanjut Maya sambil membuka botol air mineralnya. "Tapi yang paling penting, kenapa kamu mulai merokok, Ren? Bukankah kamu dulu benci asap?"
Aku menghela napas panjang, menatap jauh ke arah langit. Pertanyaan Maya bukan yang pertama kali aku dengar. Ibuku juga sering bertanya. Ayahku? Dia tak peduli. Mungkin itulah masalahnya—tidak ada yang benar-benar peduli.
"Aku nggak tahu," jawabku akhirnya. "Rasanya seperti... aku mencoba mencari sesuatu."
Maya mengangkat alis, menatapku dengan pandangan serius. "Mencari apa?"
"Jati diri, mungkin? Atau, aku hanya ingin lari dari semua tekanan. Aku ingin merasakan bahwa aku punya kendali atas hidupku sendiri, meskipun cuma dengan hal sekecil ini."
Maya menyesap air minumnya, lalu diam beberapa saat. "Kupikir kamu udah tahu siapa dirimu, Ren. Kamu gadis cerdas, berani, dan kamu punya mimpi. Kamu cuma... tersesat sedikit."
Aku tersenyum kecil mendengar kata-kata Maya, tapi di dalam, semuanya terasa hampa. Rasanya seperti aku sudah lama kehilangan arah. Aku bukan lagi gadis yang mereka pikirkan. Cerdas? Berani? Itu dulu. Sekarang, aku hanya Renata, gadis yang duduk di sini, merokok tanpa tujuan, mencoba mencari siapa aku sebenarnya.
"Aku merasa semuanya berubah sejak ayah meninggalkan kami," kataku akhirnya. Aku jarang membicarakan ini, tapi malam ini, entah kenapa, rasanya lebih mudah. "Sejak saat itu, hidup terasa kosong. Ibu terlalu sibuk bekerja untuk menutupi kebutuhan kami, dan aku harus tumbuh sendirian. Jadi, aku mulai merokok, berpikir itu akan membuatku merasa... kuat. Setidaknya, aku bisa mengendalikan sesuatu."
Maya mendengarkan tanpa menyela, membiarkanku melanjutkan.
"Aku hanya ingin merasakan bahwa ada hal yang bisa aku kendalikan, bahkan ketika hidupku terasa kacau. Kau tahu, aku merasa seperti sedang tenggelam, tapi tak ada yang memperhatikanku. Mereka semua sibuk dengan urusan mereka sendiri."
Maya mengangguk pelan. "Aku paham, Ren. Tapi aku nggak setuju kalau kamu bilang nggak ada yang peduli. Aku peduli. Ibumu pasti juga peduli, hanya saja mungkin dia kesulitan untuk menunjukkannya."
Aku menatap rokok yang hampir habis di tanganku, lalu mematikannya di atas tembok. "Aku tahu. Mungkin aku hanya terlalu egois. Mencari alasan untuk merokok, untuk lari."
Tiba-tiba, dari kejauhan, terdengar suara sepeda motor mendekat. Aku menoleh dan melihat Bram, pacarku, datang. Wajahnya selalu serius, tak pernah bisa lepas dari ekspresi dingin yang sama. Dia turun dari motornya, mengangkat tangan sebagai salam sebelum berjalan menghampiri kami.
"Bram," aku menyapa singkat.
"Renata, kamu sudah siap? Kita pergi sekarang?" tanyanya tanpa basa-basi, seperti biasa.
Aku mengangguk, lalu menoleh ke Maya. "Aku pergi dulu. Kita lanjut besok?"
Maya mengangguk pelan, tapi sebelum aku pergi, dia menggenggam tanganku. "Ren, jangan terlalu keras pada dirimu sendiri, ya? Kamu berhak mencari jati dirimu, tapi jangan lari dengan cara yang menyakiti dirimu."
Aku tersenyum lemah, lalu mengikuti Bram ke motornya. Begitu kami melaju di jalan raya, suasana hening. Bram selalu diam, dan aku selalu tenggelam dalam pikiranku. Namun, malam ini berbeda. Ada sesuatu yang mengusik di dalam kepalaku. Kata-kata Maya berputar-putar, menggema.
Ketika kami tiba di tempat tujuan—sebuah kafe kecil yang kami sering kunjungi—aku akhirnya membuka mulut. "Bram, kamu pernah merasa kehilangan arah?"
Dia menatapku dengan tatapan datar. "Kehilangan arah? Maksudmu?"
"Kamu tahu, merasa... tersesat. Seperti kamu nggak tahu apa yang kamu cari dalam hidup ini."
Bram menatapku cukup lama, lalu menghela napas. "Hidup ini memang nggak selalu jelas, Ren. Kita hanya perlu menjalani apa yang ada di depan mata. Fokus pada apa yang bisa kita kendalikan."
"Kendalikan? Seperti merokok?" tanyaku setengah bergurau, mencoba menguji reaksinya.
Bram hanya mengangkat bahu. "Jika itu membuatmu merasa lebih baik, kenapa tidak?"
Jawabannya membuatku terdiam. Selama ini, aku berpikir bahwa merokok adalah cara untuk menemukan kendali dalam hidupku, tapi semakin aku mendengarkan diriku sendiri, semakin aku sadar bahwa itu hanya ilusi. Rokok tidak memberiku kendali; itu hanya membuatku merasa seolah-olah aku punya kendali, padahal aku sebenarnya semakin jauh tersesat.
"Ren," Bram memanggilku. "Kamu baik-baik saja?"
Aku menghela napas panjang. "Nggak, Bram. Aku nggak baik-baik saja."
Dia menatapku dengan bingung, tidak tahu harus berkata apa. Untuk pertama kalinya, aku merasakan keheningan di antara kami begitu berat.
"Bram, aku butuh waktu untuk sendiri. Aku harus menemukan jati diriku tanpa lari dari masalah dengan rokok, atau apapun itu."
Aku tahu kata-kataku mengejutkannya. Tapi aku tidak peduli lagi. Aku perlu menyelesaikan pertarunganku dengan diriku sendiri. Aku perlu berhenti lari.
Dan kali ini, aku akan berhenti, bukan hanya dari rokok, tetapi dari semua ilusi yang selama ini aku ciptakan.
Asap terakhir yang kuhembuskan menghilang bersama senja, dan di dalamnya, aku mulai menemukan diriku yang sebenarnya.
Kumpulan Puisi Paling Romantis Tentang Rindu https://pixabay.com/id/photos/pantai-pasangan-matahari-terbenam-7087722/
"Rindu yang Tak Berbisik"
Dalam sepi malam, ku titipkan rindu,
Pada angin yang melintasi sunyi
Menyentuh jendela hati,
Tanpa suara, tanpa isyarat yang pasti.
Rinduku diam, namun tak pernah mati,
Mengalir halus seperti sungai di dada
Yang tak henti-hentinya membawa kenangan,
Tentang tatapanmu yang pernah singgah.
Kau jauh, bagai bintang di langit senja,
Namun sinarmu tetap hadir di benakku,
Menghiasi cakrawala rasa
Yang tak pernah bisa kusentuh.
Aku menahan segala bisik dan getar
Dalam pertemuan yang tak pernah terjadi,
Karena rindu ini tak akan pernah usai,
Meski tak terucap, meski tak terdengar.
Di antara waktu yang mengulur jarak,
Kau tetap ada dalam pikiranku,
Bersemayam diam di sudut kalbu,
Tempat rindu tumbuh tanpa tahu kapan berhenti.
"Rindu yang Tak Tersuarakan"
Ada rindu yang tak sempat mengucap kata,
Ia tumbuh dalam sunyi, meniti malam tanpa suara.
Seperti embun yang jatuh diam-diam,
Menyentuh rumput, lalu hilang dalam cahaya pagi.
Dalam hatiku, kau adalah bayangan yang setia,
Berjalan bersama detik, menyusup di sela udara.
Aku menghirupmu tanpa sadar,
Tapi tak pernah mampu memanggil namamu dengan lantang.
Setiap malam, aku menulis puisi di langit,
Mencari jejakmu di antara bintang-bintang,
Namun rindu ini tak ingin menyakiti,
Ia memilih membisu, tersimpan dalam ruang tanpa penghuni.
Jika diam adalah bahasa cinta,
Maka biarlah aku mencintaimu dalam sunyi.
Rindu ini abadi, meski tak pernah terucap,
Tertinggal di dalam dada, menjadi rahasia yang tak terjamah.
"Rindu dalam Diam"
Dalam sepi yang tak kunjung pudar,
kubiarkan rinduku menari di sudut senja,
tak tersampaikan, tak terucap,
hanya berbisik pada angin malam.
Ada namamu yang terukir di langit malam,
di antara bintang yang redup,
namun bibirku kelu,
tertahan di pusaran waktu yang diam.
Setiap detak, setiap hela nafas,
hanya rindu yang bernyanyi dalam kalbu,
tanpa suara, tanpa kata,
terkunci rapat di dalam dada.
Kukenang senyummu dalam diam,
seperti hujan yang turun pelan,
membasahi tanah tanpa gemuruh,
hanya sunyi yang tahu betapa aku merindu.
Aku menunggumu di batas angan,
di ruang antara mimpi dan harapan,
namun rindu ini, sayang,
tetaplah rindu yang tak pernah terucap.
Dan aku,
adalah kekasih yang mencintaimu dalam diam,
menyulam rindu dalam bayang-bayang,
tanpa akhir, tanpa jeda,
seperti senja yang tak pernah berkata.
"Rindu yang Tak Terucap"
Di dalam senyap, aku merangkai rindu,
Menarikan hasrat di ujung malam kelabu.
Dalam bayang, wajahmu melintas perlahan,
Menyisakan desir halus yang tak pernah padam.
Kata-kata terkurung di ujung bibir,
Tersesat dalam jantung, terikat tak berakhir.
Ingin ku sampaikan, tapi aku hanya diam,
Biarlah rasa ini mengalir seperti hujan, diam-diam.
Kau jauh, namun dekat di setiap detak,
Rinduku memelukmu, meski tanpa jejak.
Aku menyimpan bayanganmu dalam sepi,
Seperti ombak yang tak henti mencumbu tepi.
Oh, betapa ingin kuteriakkan rindu ini,
Tapi takut, jika angin membawanya pergi.
Dan akhirnya, biarlah cinta ini tak tersampaikan,
Seperti langit yang mencintai bintang, dari kejauhan.
Ilusi gambar kumpulan puisi romantis
(https://pixabay.com/id/vectors/patah-hati-sedih-depresi-jantung-7182718/)
Keping Hati yang Terkoyak
Dalam hening malam yang pekat,
Aku menyulam kenangan dari sisa-sisa perasaan,
Merajut mimpi yang pernah kita anyam,
Di antara bintang-bintang yang meredup pelan.
Kau adalah bayang yang selalu kupuja,
Namun kini kau pergi, menyisakan luka,
Seperti angin yang mencuri nyawa,
Hilang tanpa jejak, tanpa suara.
Cintaku padamu bak lautan tak bertepi,
Tapi kau memilih tenggelam dalam arus lain,
Meninggalkanku terombang-ambing sepi,
Di samudra rindu yang tak pernah berakhir.
Bagaimana bisa kutemui pagi tanpa senyummu,
Saat embun masih menyimpan sisa air mataku?
Bagaimana bisa kulewati hari tanpa bayangmu,
Jika setiap detik adalah gemuruh rindu yang pilu?
Aku berdiri di ambang senja yang meratap,
Mencari serpihan cinta yang terburai,
Namun hanya bayanganmu yang singgah,
Menghancurkan harap, mengoyak damai.
Hati ini, sayang, telah kau buat layu,
Bagai mawar merah yang tak lagi merekah,
Kau bawa pergi cintaku, namun tak pernah tahu,
Bahwa dalam ketiadaanmu, hidupku luruh, merekah.
Aku terjebak dalam lingkaran kenangan,
Yang tak pernah ingin kau kenang lagi,
Tapi cintaku padamu, meski dalam kepedihan,
Akan tetap abadi, di antara serpihan mimpi.
Simfoni Hati yang Merana
Dalam dekapan malam, kutemukan sepiku,
Terdengar bisikan sunyi dari celah angin pilu.
Kau, yang pernah menjadi bintang di langitku,
Kini hanya bayang kabur di tepian rinduku.
Dulu, hatiku berkelana di samudra cintamu,
Mengarungi gelombang, tak takut terhempas badai.
Namun kini, perahu kecilku terdampar,
Di pantai sepi, tanpa jejak langkahmu.
Di setiap hembusan nafas, ada namamu,
Menyelinap dalam sunyi, menggema dalam hampa.
Cintaku yang tak tersentuh, terbuang sia-sia,
Seperti embun yang mencair sebelum mentari tiba.
Oh, betapa aku merindukan tatapmu,
Yang dahulu menyulut api di dadaku.
Namun, api itu kini padam, tertelan waktu,
Meninggalkan hanya abu, bekas cinta yang rapuh.
Kau, kekasih yang kini jauh di angan,
Menghilang dari genggamanku, hilang dari pandang.
Aku terperangkap dalam labirin kenangan,
Mencari jejak cinta yang tak lagi pulang.
Seandainya bisa, ingin kuhapus segala ingatan,
Namun tiap luka ini justru terukir lebih dalam.
Cintaku masih bernyawa, meski merana,
Dalam sunyi yang menggigit, aku terpuruk dalam duka.
Kini aku berjalan sendirian,
Dalam dunia yang dulu kau terangi.
Tanpamu, setiap langkah terasa beban,
Seperti mimpi yang terbangun di pagi buta,
Kehilangan arah, kehilangan makna.
Di Reruntuhan Cinta
Di malam pekat, aku terjaga,
Mengais kenangan di sela-sela asa,
Wajahmu, bayang-bayang tak teraba,
Hadir dalam sepiku yang hampa.
Cinta yang pernah kau tabur di dadaku,
Kini layu, berguguran tanpa isyarat,
Bagai bunga yang mati sebelum mekar,
Tertinggal hanya tangkai, berduri tajam.
Kata-kata manis yang kau ucapkan,
Kini menjadi bisikan pilu dalam mimpiku,
Setiap janji yang kau berikan,
Tenggelam dalam lautan air mata biru.
Aku menanti di ujung sunyi,
Namun harapanku memudar,
Cinta ini terhempas di pantai sepi,
Tersapu ombak, hilang tak terselamatkan.
Kau adalah puisi yang kutulis di atas pasir,
Lenyap sebelum sempat terbaca,
Kini aku hanya penyair yang terluka,
Menggoreskan kesedihan dalam sajak tanpa suara.
Di reruntuhan cinta yang kau tinggalkan,
Aku berdiri, menggenggam rindu yang tak pernah terjawab,
Hati ini, biarlah hancur dan remuk,
Sebab dari reruntuhan, akan lahir kekuatan yang baru.
![]() |
Ilusi foto Puisi cinta:Rindu yang Tak Terucap |
Rindu ini adalah hujan di musim kemarau,
Mengalir di setiap sudut hati yang hampa,
Seperti langit yang menunggu senja datang,
Aku menantimu dalam sunyi yang tak berkesudahan.
Di malam yang lengang, bulan pun pudar,
Bintang-bintang seakan berbisik tentangmu,
Setiap detik adalah langkah menuju kenangan,
Dimana senyummu menjadi pelipur lara.
Kutulis namamu di tiap helai angin,
Di antara bisikan daun dan gemerisik malam,
Suaranya melengkung di langit hatiku,
Menciptakan simfoni yang hanya bisa kudengar.
Rindu ini, sayang, adalah puisi tak berjudul,
Diwarnai oleh mimpi-mimpi tanpa ujung,
Seperti ombak yang tak lelah mengejar pantai,
Aku mengejarmu dalam benakku yang tak pernah usai.
Tiada kata yang cukup untuk menggambarkan,
Seberapa dalam rindu ini mengakar,
Hanya hati yang tahu dan malam yang paham,
Bahwa setiap detik tanpamu adalah penantian abadi.
Aku menanti, seperti mawar menanti embun pagi,
Seperti matahari menanti ufuk terbit,
Rindu ini adalah bayangmu yang selalu ada,
Meski jauh, namun hatimu tak pernah hilang dari rasa.
PUISI:KERINDUAN RINTIK HUJAN (https://pixabay.com/id/photos/hujan-jalan-kota-pelabuhan-1479303/) Hujan menari di atas jendela, rintiknya...