![]() |
PUISI:KERINDUAN RINTIK HUJAN (https://pixabay.com/id/photos/hujan-jalan-kota-pelabuhan-1479303/) |
(untuk siapapun itu yang dulu sempat ada dalam serangkaian buku harian namun kini sudah hilang tanpa kabar.terima kasih)
Setiap langka adalah kisah,Setiap kisah adalah cinta,dan setiap cinta adalah luka.di setiap luka yang ada pasti ada cerita,yang akan menjelma menjadi karya indah yang pernah tercipta. terima kasih @Nandasukmasari selamat membaca ~suaralukaa~
![]() |
PUISI:KERINDUAN RINTIK HUJAN (https://pixabay.com/id/photos/hujan-jalan-kota-pelabuhan-1479303/) |
(untuk siapapun itu yang dulu sempat ada dalam serangkaian buku harian namun kini sudah hilang tanpa kabar.terima kasih)
ilusi foto cinta bulan ramadan
Di bawah cahaya rembulan yang redup,
aku temukan cinta dalam doa yang khusyuk.
Di antara gemuruh takbir yang syahdu,
kau hadir bagai bisikan rindu.
Ramadan membawa cahaya ke dalam hati,
menjernihkan segala gundah yang pernah pergi.
Aku mengenalmu bukan dalam tatapan,
namun dalam sujud dan ketulusan harapan.
Dalam malam-malam sunyi bertabur doa,
kita saling menyebut nama di hadapan-Nya.
Tak perlu genggaman,
tak perlu sentuhan, kita bersama dalam ikatan keimanan.
Seperti embun yang jatuh di ujung subuh,
cintaku padamu tak riuh namun utuh.
Bukan karena rupa, bukan karena dunia,
melainkan karena-Nya yang mempertemukan jiwa.
Sahur yang kita jalani dalam kesederhanaan,
mengajarkan arti cinta dalam keikhlasan.
Berbuka dalam sujud dan syukur mendalam,
menyadarkan bahwa cinta adalah tentang keteguhan.
Kau adalah doa yang kusisipkan dalam malam,
yang kusebut lirih dalam setiap salam.
Jika Ramadan adalah pertemuan hati,
maka semoga Syawal menjadi saksi janji.
Aku mencintaimu dalam sebaik-baiknya cara,
dalam doaku, dalam imanku, dalam takdir-Nya.
Bulan suci ini mengajarkan arti,
bahwa cinta sejati selalu kembali pada Ilahi.
(entah foto siapa yang saya ambil,entah perasaan apa yang saya simpan,tapi terima kasih banyak kau tetap menjadi ruang sunyiku,menjadi inpirasi di setiap tulisanku,aku masih teringat pada kado terakhirmu yang hingga kini masih tersimpan rapi,terima kasih untuk semuanya dimanapun kau berada,aku berharap tulisan ini muncul di beranda ponselmu dan kau membacanya dengan khidmat)
Dalam hening, bayangmu masih menetap,
Seperti senja yang enggan berlalu.
Aku merangkai sisa kenangan yang retak,
Mencari hangat di sela rindu yang bisu.
Langkah-langkahmu terukir di dada,
Meski tak lagi kau tapaki jalannya.
Kata-kata yang pernah kita rajut bersama,
Kini berguguran, bersembunyi di luka.
Cinta ini seperti daun yang gugur perlahan,
Tak berteriak, hanya diam menahan.
Tapi aku tahu, bahkan bayangmu pun,
Tak ingin menetap selamanya di pelupuk angan.
Aku merelakan meski hati enggan,
Karena cinta sejati tak memaksa bertahan.
Biarlah kau pergi, membawa separuh malam,
Aku akan belajar bercahaya tanpa rembulan.
Ilustrasi foto puisi kenangan di tepi meja
Di sudut meja, aroma manis melingkari,
Bango kecap manis menemani memori,
Di setiap tetes, ada cinta yang menari,
Mengingatkan kita pada cerita sejati.
Malam itu, rembulan menjadi saksi,
Tatapanmu hangat, membalut sunyi,
Kecap manis melumuri daging hati,
Seakan berkata, "Inilah kita, takkan terganti."
Kamu selalu tahu, rahasia rasa,
Manisnya cinta, bumbu setiap masa,
Bango hadir, bagai janji tak sirna,
Mengikat kenangan yang tak mudah lupa.
Tanganmu mengaduk, aku memandang,
Ada keajaiban dalam setiap tangkap pandang,
Romantisnya bukan hanya karena rempah melayang,
Tapi karena cinta, dalam hati yang kau pegang.
Kini, meja itu sepi, namun tetap hidup,
Aroma manisnya bertahan, menjadi penghibur,
Walau tak lagi ada kita berbincang di bawah lampu,
Bango kecap manis jadi kenangan yang selalu rindu.
Di setiap rasa, ada kisah kita terselip,
Cinta yang manis, tak pernah tergelincir,
Bango mengingatkan, cinta tak pernah usang,
Dalam kenangan, kita abadi dikenang.
![]() |
Ilusi foto Cerita Pendek:Lonceng Akhir (pixabay.com) |
Aku adalah seorang pegawai pabrik yang terjebak dalam gelapnya dunia pinjaman online. Semua bermula dari sebuah keputusan bodoh yang kuambil dengan berpikir bahwa segalanya akan baik-baik saja. Siapa yang mengira bahwa dari sekadar pinjaman kecil untuk kebutuhan mendesak, utang itu akan menjeratku dalam lingkaran setan yang tak berujung?
Hari itu, pabrik tempatku bekerja baru saja tutup. Tubuhku terasa lelah, namun pikiranku lebih berat menanggung beban utang yang semakin menumpuk. Aku duduk di bangku taman kecil di depan pabrik, memandang kosong ke arah jalanan. Pikiranku sibuk, mencoba mencari cara untuk keluar dari situasi ini. Pinjaman pertama hanya dua juta, tapi bunga yang mencekik membuat utang itu melonjak hingga belasan juta dalam beberapa bulan.
Ketika aku masih tenggelam dalam kekhawatiran, seseorang menepuk bahuku. Wajahnya garang, sorot matanya tajam seolah menusukku.
"Selamat sore, Mbak Rini," katanya dengan senyum sinis. Dia adalah salah satu dari penagih yang selama ini menghantuiku. "Kami sudah beri kamu waktu. Tapi kok, kamu masih belum ada itikad baik untuk melunasi utang?"
Aku terdiam, mencoba menelan rasa takut. "Saya sudah berusaha. Tapi, uangnya belum cukup," jawabku lemah, dengan suara bergetar.
"Bukan urusan saya. Yang penting, utang itu harus lunas. Bos kami nggak suka berurusan sama orang yang enggak bertanggung jawab."
Aku berusaha menjaga ketenangan, meski hati ini berdegup kencang. "Tolong beri saya waktu. Saya akan bayar."
Tiba-tiba, dia meraih tanganku dengan kasar. "Dengar, Rini. Kamu punya dua pilihan: bayar atau... kita bakal cari cara lain buat dapetin duitnya."
Tangannya semakin menguat. Rasa sakit menjalar dari pergelangan hingga ke seluruh tubuhku. Aku berontak, namun percuma. Dia lebih kuat, lebih buas, dan lebih kejam.
"Kalau kamu masih bandel, kami punya cara lain buat bikin kamu nurut," lanjutnya, dengan suara yang semakin rendah, penuh ancaman.
Aku berhasil menarik tanganku dan berlari. Keringat dingin membasahi punggungku, dan napasku terengah. Aku tahu, lari bukan solusi, tapi aku tak tahu lagi harus berbuat apa. Setiap malam, aku terjaga dengan kecemasan bahwa mereka akan muncul lagi, membuat hidupku tak tenang.
---
Hari berganti hari. Aku sudah mencoba meminta bantuan dari teman-teman, tapi mereka pun kesulitan. Tidak ada satu orang pun yang bisa menolongku. Aku merasa terjebak, seolah-olah hidup ini tak lagi memberi pilihan.
Suatu malam, ketika aku sedang berjalan pulang, aku mendengar langkah kaki yang mengikutiku. Aku menoleh dan melihat sosok yang tak asing lagi. Dia adalah pria yang sama, si penagih utang. Dia mendekat dengan wajah yang dingin dan penuh ancaman.
"Kenapa kamu lari, Rini? Kami sudah berusaha baik-baik, tapi kamu malah mengabaikan kami," katanya sambil menyeringai.
"Aku… aku nggak bisa bayar sekarang…" jawabku gemetar.
Dia mendekat semakin dekat, hingga jarak kami hanya beberapa jengkal. Napasnya tercium busuk, penuh kemarahan dan kebencian. "Kalau kamu nggak bisa bayar, kami bakal ambil sesuatu yang lebih berharga."
Aku tidak tahu dari mana keberanian itu muncul, namun tanganku terangkat dan mendorongnya keras. Dia terdorong mundur beberapa langkah, tapi secepat kilat, dia kembali menggapai tanganku dan menarikku dengan kasar.
"Aku sudah sabar, Rini. Tapi sepertinya kamu memang nggak layak diberi kesempatan."
Di saat itulah, aku merasakan benda keras di dalam tasku—pisau kecil yang kupakai untuk memotong makanan. Tangan ini gemetar, namun rasa takut yang menumpuk berubah menjadi keberanian. Tanpa berpikir panjang, aku menarik pisau itu dan menusukkannya ke arahnya.
Dia terkejut, matanya membelalak. Tangannya yang sebelumnya mencengkeramku mulai melemah, dan dia tersungkur di hadapanku, napasnya tersendat-sendat. Darah mengalir deras dari luka di perutnya. Aku melihatnya, terkejut sekaligus bingung.
Namun, bukan hanya darah di tubuhnya yang membasahi jalanan, tapi juga rasa bersalah yang mulai menghantui pikiranku. Aku telah melangkah terlalu jauh. Aku tahu bahwa ini bukan sekadar pelarian dari utang; aku telah melanggar batasan, dan tak ada jalan kembali.
---
Beberapa saat kemudian, sirene polisi terdengar. Mereka tiba dan segera menahan tanganku. Aku tak meronta, tak melawan. Sadar bahwa aku sudah kehilangan segalanya. Saat itu, aku hanya merasakan hampa, kosong. Begitu tragisnya hidup yang kujalani hingga berakhir seperti ini.
Di ruang tahanan, aku termenung, mencoba mencerna semua yang telah kulakukan. Penyesalan datang terlambat, tapi tak ada lagi yang bisa kukatakan. Aku hanya bisa berharap, dalam dunia yang suram ini, aku bisa mendapatkan kedamaian yang telah lama hilang.
![]() |
Ilustrasi foto Cerita Pendek Romantis:Jarak Yang Mematikan (gambar pixabay.com) |
Malam sudah beranjak larut. Kota Bandung tampak tenang di bawah cahaya bulan yang samar-samar menyelimuti jalan-jalan sepi. Nadine duduk di balkon apartemennya, menatap layar ponsel yang kosong. Pesan terakhir dari Ray, kekasihnya yang bekerja di luar negeri, tertulis sederhana, penuh kerinduan: “Jaga dirimu di sana, sayang. Aku selalu rindu.”
Hatinya bergejolak. Selalu ada rasa bersalah yang menyelinap ketika ia mengingat Ray. Sejak lima tahun terakhir, mereka menjalani hubungan jarak jauh. Awalnya, semua baik-baik saja; Nadine bersabar menanti kepulangan Ray, sementara Ray berusaha selalu ada meski hanya melalui layar.
Namun, kesendirian memiliki caranya sendiri untuk menyusup dan menciptakan ruang kosong. Nadine tak pernah berniat mengkhianati Ray, tetapi di kota ini, ia tak sepenuhnya sendiri. Muncullah Arya, seorang lelaki misterius yang ditemuinya di sebuah acara kantor. Arya membawa kehangatan yang selama ini tak dirasakan Nadine. Ada percikan yang tak bisa ia hindari, dan dari sekedar obrolan, mereka mulai terjebak dalam pelukan yang salah.
“Besok kita ketemu lagi, kan?” Arya bertanya suatu malam, ketika mereka berdua duduk di dalam mobil yang terparkir di pinggir jalan, hanya beberapa blok dari apartemen Nadine.
Nadine menggigit bibirnya, mencoba menekan perasaan bersalah yang selalu hadir setelah bersama Arya. “Entahlah, Arya. Aku merasa bersalah pada Ray.”
Arya hanya tertawa ringan, “Ray jauh di sana. Kau tak bisa terus hidup dalam bayang-bayangnya, Nadine. Lihat dirimu sekarang. Kau bahagia saat bersamaku.”
Kata-kata itu merayap masuk ke dalam pikiran Nadine. Benarkah ia bahagia? Entah kenapa, setiap kali Arya membisikan kalimat seperti itu, keraguan yang membebat hatinya perlahan luluh. Namun, Nadine tak tahu bahwa di balik keromantisannya, Arya memiliki sisi yang gelap. Sisi yang kemudian akan menyeretnya semakin dalam ke dalam dosa.
---
Waktu terus berjalan, dan Nadine semakin sering bersama Arya. Hubungan mereka sudah terlalu dalam untuk dihentikan. Arya seolah-olah menyihirnya, membuatnya lupa akan komitmen yang ia pegang erat dengan Ray.
Namun, di sisi lain dunia, Ray mulai merasakan ada yang janggal. Nadine jarang membalas pesannya secepat dulu. Suaranya terdengar dingin saat mereka menelepon. Ray menekan rasa cemburu yang mulai menggerogoti hatinya.
Suatu malam, Ray memberanikan diri untuk menanyakan langsung.
“Nadine, kau baik-baik saja?” tanyanya lembut.
“Aku baik-baik saja, Ray,” jawab Nadine cepat, seolah ingin mengakhiri percakapan.
Ray menghela napas panjang. “Kenapa kamu terdengar jauh? Apa ada sesuatu yang tidak kamu ceritakan padaku?”
Ada jeda dalam percakapan. Nadine merasa dadanya berat. Tapi, ia menutupinya dengan senyum yang tak terlihat oleh Ray. “Tidak, Ray. Mungkin ini hanya karena kita sudah lama tidak bertemu. Aku rindu padamu.”
Perasaan tak nyaman di hati Ray semakin kuat, tapi ia tak ingin menekannya lebih jauh. “Aku akan pulang bulan depan, Nadine. Kita harus bicara.”
---
Ketika Ray akhirnya kembali ke Indonesia, Nadine merasa hancur. Ia tahu ia harus mengakhiri semua kebohongan ini, tetapi kehadiran Arya seperti candu yang sukar ia lepaskan. Setiap kali ingin mengatakan yang sebenarnya, rasa takut dan ragu menghantuinya.
Namun, Ray bukan orang bodoh. Ia mulai menyelidiki, menyadari ada sosok lain dalam kehidupan Nadine. Hingga suatu hari, ia menemukan bukti yang tak terbantahkan. Pesan-pesan singkat yang tertinggal di ponsel Nadine, pesan dari Arya yang sangat mesra, menjadi saksi bisu perselingkuhan yang selama ini ia curigai.
Dengan hati hancur, Ray memutuskan untuk tetap tenang dan mempersiapkan pembalasannya. Ia tak berniat langsung menghadapi Nadine, tetapi pikirannya sudah dipenuhi kebencian dan amarah yang tak terbendung.
---
Malam yang tenang itu berubah kelam ketika Ray meminta Nadine untuk bertemu di sebuah vila tua di pinggir kota. Nadine yang merasa bersalah, datang dengan hati cemas. Ia tahu ini saatnya untuk menghadapi kebenaran.
Di dalam vila yang sunyi, Ray menatap Nadine dengan tatapan tajam, sementara Nadine menundukkan kepala, menghindari pandangan penuh amarah itu.
“Nadine, katakan padaku. Apa benar kau mencintai pria lain?” suara Ray dingin, mengalir seperti racun.
Nadine tersentak, merasa tubuhnya lemas. Ia tak bisa lagi menahan tangisnya. “Maafkan aku, Ray… aku… aku tak tahu bagaimana ini terjadi. Aku kesepian.”
Ray mengepalkan tangannya, matanya memerah. “Jadi, kesepian menjadi alasan untuk menghancurkan segalanya? Aku memberikan segalanya untuk kita, Nadine. Apa kau tahu apa yang kurasakan?”
Nadine terisak, tetapi ia mengangguk, “Aku tahu, Ray. Aku tahu aku salah. Aku tak pantas mendapat maaf darimu. Tapi Arya… dia memberiku perasaan yang berbeda.”
Nama itu—Arya—membuat Ray semakin gelap. Tanpa peringatan, ia mencengkeram bahu Nadine keras-keras, membuat Nadine terkejut.
“Kau tahu, Nadine,” Ray berbisik di telinganya, “Pengkhianatan tak bisa dimaafkan. Dan aku... aku tak akan pernah melupakan ini.”
---
Malam itu berakhir dalam darah dan jeritan. Ray yang tak bisa mengendalikan amarahnya, dengan brutal menyerang Nadine. Jeritan dan rintihannya memenuhi vila tua itu, menyatu dengan malam yang sunyi. Bukan hanya amarah, tetapi kehancuran hati yang begitu dalam, membuat Ray kehilangan seluruh nalarnya.
Pagi harinya, vila itu sepi dan senyap, hanya menyisakan jejak kegelapan yang akan selalu melekat di sana.
Dan Arya? Ia tak pernah mengetahui nasib yang menimpa Nadine. Yang tersisa hanyalah kenangan akan seorang wanita yang pernah ia kenal, sementara Ray pergi, membawa rasa bersalah dan kebencian yang tak akan pernah benar-benar hilang dari hidupnya.
PUISI:KERINDUAN RINTIK HUJAN (https://pixabay.com/id/photos/hujan-jalan-kota-pelabuhan-1479303/) Hujan menari di atas jendela, rintiknya...