Tampilkan postingan dengan label cerpenviral. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label cerpenviral. Tampilkan semua postingan

Cerita Pendek:Romansa di balik perjuangan

 

Cerita Pendek:Romansa di balik perjuangan
Cerita Pendek:Romansa di balik perjuangan (street foto by pixabay)


Pada suatu pagi yang dingin di kota kecil di pesisir pantai, udara berembus lembut, membawa aroma asin laut yang khas. Ardi berdiri di depan sebuah rumah sederhana, wajahnya serius. Matanya terpaku pada pintu rumah itu. Ia tahu, perjuangan yang panjang dan melelahkan telah membawanya sampai di sini. Di balik pintu itu tinggal Ana, wanita yang telah menggetarkan hatinya sejak pertama kali bertemu.


Ardi bukanlah seorang pria kaya, hanya nelayan yang bekerja keras di bawah terik matahari dan angin laut setiap hari. Namun, cintanya pada Ana begitu dalam, dan ia siap menghadapi apapun, bahkan rintangan besar dari keluarga Ana yang menganggapnya tak pantas. Ia menghela napas dalam-dalam, mencoba menenangkan detak jantungnya yang berdentam kencang.


Ia mengetuk pintu kayu tua itu, mendengar langkah kaki dari dalam yang perlahan mendekat. Pintu terbuka, menampakkan sosok Ana dengan senyum lembut yang seketika membuat Ardi merasa hangat.


“Ardi, kau datang…” ucap Ana, suaranya lembut, namun terlihat sedikit cemas.


“Ya, Ana,” Ardi tersenyum samar, berusaha menenangkan kegugupannya. “Aku sudah berbicara dengan ayahmu. Hari ini aku akan meminta restu dari beliau untuk menikahimu.”


Ana terdiam, raut wajahnya berubah muram. “Ardi… kau tahu ayah tak akan setuju begitu saja.”


“Aku tahu,” jawab Ardi mantap. “Tapi aku sudah siap, Ana. Aku tak akan menyerah. Aku ingin menunjukkan pada ayahmu bahwa aku serius dan mampu menjagamu, meskipun aku tak punya banyak harta.”


Ana meraih tangan Ardi, menggenggamnya erat. “Aku selalu percaya padamu. Tapi ayah… kau tahu bagaimana dia. Ia ingin aku menikah dengan pria yang memiliki kehidupan yang mapan.”


Ardi mengangguk pelan, mencoba memahami kekhawatiran Ana. “Aku hanya ingin tahu satu hal, Ana… apakah kau bersedia untuk menjalani kehidupan bersamaku? Aku akan bekerja keras, memberikan yang terbaik. Aku mungkin tak bisa memberikan kemewahan, tapi aku bisa menjanjikan kebahagiaan dan ketulusan cinta.”


Ana menatap dalam mata Ardi, melihat ketulusan yang begitu nyata. “Aku siap, Ardi. Aku siap bersama denganmu, bagaimanapun kehidupannya nanti.”




Dalam ruangan yang sederhana, Ardi duduk berhadapan dengan Pak Wiryo, ayah Ana. Sorot mata lelaki tua itu tajam, penuh kewaspadaan dan kekuatan seorang ayah yang ingin melindungi anak perempuannya.


“Jadi, Ardi,” ujar Pak Wiryo, suaranya tegas, “kau ingin menikahi anakku?”


Ardi mengangguk tegas, menatap Pak Wiryo tanpa gentar. “Ya, Pak. Saya datang dengan niat yang baik, dan saya siap memberikan hidup saya untuk menjaga dan membahagiakan Ana.”


Pak Wiryo mendesah panjang. “Kau hanya seorang nelayan, Ardi. Kau mungkin bisa memberi nafkah, tapi kehidupan yang nyaman? Kebahagiaan tak hanya diukur dari cinta, tapi juga kestabilan hidup.”


Ardi menelan ludah, namun ia tak menyerah. “Pak, saya mungkin bukan orang kaya. Tapi saya punya tekad. Saya akan berjuang keras, dan saya takkan membiarkan Ana menderita. Kami berdua akan bekerja bersama-sama, dan saya yakin kami bisa membangun kehidupan yang layak.”


Pak Wiryo menggelengkan kepala. “Cinta saja tak cukup, Ardi. Kau harus memahami ini. Aku ingin Ana hidup nyaman, hidup tanpa kesulitan keuangan.”


Saat itu, Ana masuk ke ruangan. “Ayah, aku siap untuk bersama Ardi. Kita bisa menghadapi apa pun bersama-sama. Aku tak butuh kemewahan; aku butuh cinta dan ketulusan.”


Pak Wiryo menghela napas dalam-dalam, matanya menatap Ana dengan ekspresi yang sulit ditebak. “Ana… kau masih muda, kau belum mengerti bagaimana sulitnya hidup tanpa kepastian ekonomi.”


Ana tersenyum lembut. “Ayah, aku tahu hidup tak akan mudah. Tapi aku percaya pada Ardi. Ia adalah orang yang baik dan tulus. Bersamanya, aku akan bahagia.”


Pak Wiryo terdiam sejenak, lalu pandangannya kembali ke arah Ardi. “Ardi, kalau kau serius, buktikan padaku. Berikan aku sesuatu yang bisa membuktikan bahwa kau memang layak untuk anakku.”


Ardi menatap penuh keyakinan. “Apa yang harus saya lakukan, Pak?”


Pak Wiryo terdiam sejenak, berpikir. “Aku ingin kau memberikan mas kawin yang sesuai, menunjukkan kesungguhanmu. Buktikan bahwa kau bisa mengumpulkan sesuatu yang berharga untuk pernikahanmu. Aku akan memberimu waktu tiga bulan.”


Ardi mengangguk tanpa ragu. “Saya akan lakukan, Pak.”




Selama tiga bulan, Ardi bekerja siang dan malam tanpa henti. Ia menangkap ikan lebih banyak, bahkan pergi lebih jauh ke tengah laut untuk mendapatkan hasil tangkapan yang lebih besar. Tak jarang ia berangkat sebelum matahari terbit dan pulang setelah matahari terbenam. Setiap tangkapan ia simpan, sebagian besar ia jual, dan sebagian lagi ia simpan untuk menjadi mas kawin yang diminta Pak Wiryo.


Ana selalu mendukungnya, sering datang ke pantai di sore hari untuk menemani Ardi saat pulang dari melaut. Walaupun terlihat lelah, wajah Ardi selalu memancarkan semangat. Ketulusan cintanya membuat Ana merasa beruntung dan semakin yakin pada pilihan hatinya.


Pada suatu malam, di tengah usaha kerasnya, badai besar tiba-tiba menghantam laut. Ardi yang sedang berada di tengah laut berusaha bertahan di tengah terjangan ombak besar. Saat itu, hidupnya benar-benar dipertaruhkan. Ia mengingat Ana, mengingat janjinya pada Pak Wiryo. Hatinya bertekad bahwa apa pun yang terjadi, ia harus kembali.


Ardi bertarung dengan ombak, mengendalikan perahunya agar tidak terbalik. Kekuatan alam seakan hendak menelannya, namun cintanya pada Ana memberikan kekuatan yang luar biasa. Ia bertahan, meski hampir putus asa. Hingga akhirnya, dengan sisa-sisa tenaga yang dimilikinya, Ardi berhasil kembali ke tepi pantai saat fajar menyingsing.


Pak Wiryo, yang mendengar kejadian itu, mendatangi Ardi dengan raut wajah berbeda. Ia mengamati Ardi yang kelelahan, namun masih menyimpan keberanian di matanya.


“Aku melihat perjuanganmu, Ardi,” ucap Pak Wiryo dengan suara rendah. “Kau benar-benar berusaha untuk anakku.”


Ardi menatap Pak Wiryo, wajahnya penuh haru. “Saya mencintainya, Pak. Saya akan lakukan apa saja.”


Pak Wiryo terdiam sejenak, lalu menghela napas panjang. “Baiklah, Ardi. Aku restui pernikahanmu dengan Ana. Kau telah menunjukkan ketulusan dan keteguhan hati yang luar biasa.”


Ardi tersenyum penuh rasa syukur, dan Ana yang berdiri di sampingnya meraih tangan Ardi, memeluknya erat. Perjuangan mereka akhirnya berbuah manis, dan Ardi berhasil meraih restu yang sangat berharga.


Hari pernikahan mereka pun tiba, dan dengan segala keterbatasan, Ardi dan Ana merayakan cinta mereka dengan penuh kebahagiaan. Cinta dan ketulusan hati Ardi telah mengatasi segala rintangan, membuktikan bahwa kebahagiaan tak hanya tentang harta, tapi juga tentang keberanian dan pengorbanan yang tulus.

Kumpulan Puisi Paling Romantis Tentang Rindu

Kumpulan Puisi Paling Romantis Tentang Rindu
Kumpulan Puisi Paling Romantis Tentang Rindu https://pixabay.com/id/photos/pantai-pasangan-matahari-terbenam-7087722/



"Rindu yang Tak Berbisik"


Dalam sepi malam, ku titipkan rindu,  

Pada angin yang melintasi sunyi  

Menyentuh jendela hati,  

Tanpa suara, tanpa isyarat yang pasti.


Rinduku diam, namun tak pernah mati,  

Mengalir halus seperti sungai di dada  

Yang tak henti-hentinya membawa kenangan,  

Tentang tatapanmu yang pernah singgah.


Kau jauh, bagai bintang di langit senja,  

Namun sinarmu tetap hadir di benakku,  

Menghiasi cakrawala rasa  

Yang tak pernah bisa kusentuh.


Aku menahan segala bisik dan getar  

Dalam pertemuan yang tak pernah terjadi,  

Karena rindu ini tak akan pernah usai,  

Meski tak terucap, meski tak terdengar. 


Di antara waktu yang mengulur jarak,  

Kau tetap ada dalam pikiranku,  

Bersemayam diam di sudut kalbu,  

Tempat rindu tumbuh tanpa tahu kapan berhenti.




"Rindu yang Tak Tersuarakan"


Ada rindu yang tak sempat mengucap kata,  

Ia tumbuh dalam sunyi, meniti malam tanpa suara.  

Seperti embun yang jatuh diam-diam,  

Menyentuh rumput, lalu hilang dalam cahaya pagi.  


Dalam hatiku, kau adalah bayangan yang setia,  

Berjalan bersama detik, menyusup di sela udara.  

Aku menghirupmu tanpa sadar,  

Tapi tak pernah mampu memanggil namamu dengan lantang.  


Setiap malam, aku menulis puisi di langit,  

Mencari jejakmu di antara bintang-bintang,  

Namun rindu ini tak ingin menyakiti,  

Ia memilih membisu, tersimpan dalam ruang tanpa penghuni.  


Jika diam adalah bahasa cinta,  

Maka biarlah aku mencintaimu dalam sunyi.  

Rindu ini abadi, meski tak pernah terucap,  

Tertinggal di dalam dada, menjadi rahasia yang tak terjamah.  



"Rindu dalam Diam"


Dalam sepi yang tak kunjung pudar,  

kubiarkan rinduku menari di sudut senja,  

tak tersampaikan, tak terucap,  

hanya berbisik pada angin malam.


Ada namamu yang terukir di langit malam,  

di antara bintang yang redup,  

namun bibirku kelu,  

tertahan di pusaran waktu yang diam.


Setiap detak, setiap hela nafas,  

hanya rindu yang bernyanyi dalam kalbu,  

tanpa suara, tanpa kata,  

terkunci rapat di dalam dada.


Kukenang senyummu dalam diam,  

seperti hujan yang turun pelan,  

membasahi tanah tanpa gemuruh,  

hanya sunyi yang tahu betapa aku merindu.


Aku menunggumu di batas angan,  

di ruang antara mimpi dan harapan,  

namun rindu ini, sayang,  

tetaplah rindu yang tak pernah terucap.


Dan aku,  

adalah kekasih yang mencintaimu dalam diam,  

menyulam rindu dalam bayang-bayang,  

tanpa akhir, tanpa jeda,  

seperti senja yang tak pernah berkata.



"Rindu yang Tak Terucap"


Di dalam senyap, aku merangkai rindu,  

Menarikan hasrat di ujung malam kelabu.  

Dalam bayang, wajahmu melintas perlahan,  

Menyisakan desir halus yang tak pernah padam.


Kata-kata terkurung di ujung bibir,  

Tersesat dalam jantung, terikat tak berakhir.  

Ingin ku sampaikan, tapi aku hanya diam,  

Biarlah rasa ini mengalir seperti hujan, diam-diam.


Kau jauh, namun dekat di setiap detak,  

Rinduku memelukmu, meski tanpa jejak.  

Aku menyimpan bayanganmu dalam sepi,  

Seperti ombak yang tak henti mencumbu tepi.


Oh, betapa ingin kuteriakkan rindu ini,  

Tapi takut, jika angin membawanya pergi.  

Dan akhirnya, biarlah cinta ini tak tersampaikan,  

Seperti langit yang mencintai bintang, dari kejauhan.

Cerita Pendek:Asap yang Mengiringi Langkah

 

Cerita Pendek:Asap yang Mengiringi Langkah
Ilusi gambar Cerita Pendek:Asap yang Mengiringi Langkah(https://pixabay.com/id/photos/rakyat-wanita-fotografi-merokok-2606165/)


Langit Jakarta malam itu seperti kanvas hitam pekat, dihiasi kilatan lampu-lampu kendaraan yang berkelebat cepat di jalan raya. Suara klakson bersahut-sahutan, mengiringi hiruk-pikuk orang-orang yang terburu-buru kembali ke rumah. Namun, di sudut gang sempit yang gelap, ada seorang gadis muda yang menepi, memejamkan mata sejenak, menikmati sebatang rokok yang menggantung di antara bibir tipisnya. Asap yang membumbung ke udara malam itu seolah membawa sebagian kecil bebannya—walau hanya sesaat.


Namanya Amira. Usianya baru saja menginjak 23 tahun, tetapi hidup telah memberinya lebih banyak beban daripada yang bisa dia bayangkan. Sejak di-PHK tiga bulan lalu, ia belum juga berhasil mendapatkan pekerjaan baru. Setiap harinya dipenuhi rasa cemas yang menghimpit dadanya. Dia telah mencoba melamar di puluhan tempat—kantor, toko, bahkan kafe kecil di ujung jalan. Tetapi selalu, jawaban yang diterimanya sama: "Kami akan menghubungi Anda kembali." Namun, panggilan itu tidak pernah datang.


Amira menarik napas panjang, diiringi dengan tarikan dalam rokoknya. Nikotin menyelusup ke dalam paru-parunya, memberikan sensasi tenang yang sementara, seperti pelarian kecil dari realita yang pahit. Dalam benaknya, terselip rencana hari esok—pagi ini dia akan ke perusahaan besar di pusat kota, sebuah perusahaan yang katanya sedang membuka banyak lowongan. Harapannya kali ini berbeda, lebih besar, meski diiringi rasa takut akan penolakan yang sama.


Rokok di tangannya sudah hampir habis. Dia membuang puntungnya ke tanah, lalu menginjaknya dengan sepatu hitam usang yang sudah terlihat usang. Amira tahu bahwa hidup tidak akan memberikan keajaiban begitu saja. Dia harus terus berjuang, meskipun lelah. 


---


Esok paginya, Amira tiba di depan sebuah gedung pencakar langit yang megah. Menara Kencana, begitu tertulis di plakat logam yang menghiasi pintu masuk. Tangannya sedikit bergetar saat merapikan rambut panjangnya yang diikat sembarangan. Ia mengenakan kemeja putih yang telah disetrika rapi meski warnanya mulai pudar, serta celana kain hitam yang sedikit kebesaran. Penampilannya sederhana, tetapi cukup sopan untuk wawancara kerja. Amira berharap itu cukup untuk mengesankan pewawancara.


Saat memasuki lobby gedung, langkahnya terhenti. Dia merasa kecil di tengah-tengah keramaian orang-orang yang berjalan cepat dengan setelan jas mahal. Semua tampak sibuk, fokus, dan... berbeda darinya. Dia melirik sekilas ke cermin besar di dinding lobby, melihat pantulan dirinya. Kantung mata yang jelas terlihat akibat malam-malam tanpa tidur dan kerutan halus di sekitar bibirnya karena kebiasaannya merokok. Dia menarik napas panjang, kemudian berjalan ke arah resepsionis.


"Selamat pagi, saya Amira. Saya punya janji wawancara dengan Bu Rina jam 10 pagi," katanya dengan suara yang sedikit gemetar.


Wanita di balik meja resepsionis melihatnya sekilas, tersenyum tipis, lalu memeriksa jadwal di komputer di depannya. "Tunggu sebentar ya, saya cek dulu."


Amira mengangguk sambil mengutuk dirinya sendiri dalam hati karena terlihat gugup. Sementara menunggu, tangannya tak bisa diam. Ia menggenggam erat tas selempangnya, menekan kertas CV di dalamnya seolah-olah bisa meyakinkan dirinya bahwa ini bukan sekadar sia-sia.


"Lantai 15, ruang meeting nomor 5. Anda bisa langsung ke sana," ujar resepsionis sambil memberikan senyuman profesional.


Amira mengucapkan terima kasih, kemudian menuju lift dengan langkah yang terasa berat. Di dalam lift, dia berdiri di samping seorang pria paruh baya dengan setelan jas hitam mengilap. Bau parfum mahal yang dipakai pria itu menusuk hidungnya. Amira menunduk, mencoba menahan rasa gelisah yang semakin mendesak di dada.


Di lantai 15, suasana lebih tenang. Lorong-lorong sepi, hanya terdengar suara langkah kaki dan dengungan pendingin ruangan. Amira berjalan menuju ruang meeting nomor 5 dengan hati berdebar. Di depan pintu, dia mengatur napas sekali lagi sebelum mengetuk pelan.


"Masuk," terdengar suara perempuan dari dalam.


Amira membuka pintu dan masuk. Di balik meja, duduk seorang wanita berusia sekitar 40-an dengan penampilan yang rapi dan berwibawa. Wajahnya tegas, tetapi tidak menunjukkan tanda-tanda keramahan. Di sebelah wanita itu, ada seorang pria muda dengan kacamata tipis yang menatap Amira dengan ekspresi datar.


"Selamat pagi, silakan duduk," ujar wanita yang ternyata adalah Bu Rina.


"Terima kasih," jawab Amira sambil duduk perlahan.


Wawancara dimulai dengan pertanyaan-pertanyaan formal. Bu Rina menanyakan latar belakang pendidikan Amira, pengalaman kerjanya sebelumnya, dan alasan mengapa ia tertarik melamar di perusahaan tersebut. Amira berusaha menjawab setiap pertanyaan dengan percaya diri, meskipun dalam hatinya ia merasa terintimidasi oleh suasana ruangan yang dingin dan sikap formal Bu Rina.


Saat tiba pada pertanyaan tentang pengalaman kerjanya yang terakhir, Amira terdiam sejenak. Di kepalanya, terbayang kenangan pahit saat ia diberhentikan dari pekerjaannya di perusahaan sebelumnya. "Saya... terpaksa berhenti karena adanya pengurangan karyawan," jawabnya dengan suara pelan.


Mata Bu Rina menyipit, meneliti setiap gerakan Amira. "Apa yang membuat Anda yakin bisa bertahan di sini, mengingat keadaan sulit seperti itu?"


Amira terdiam. Jantungnya berdegup kencang. Ia tahu bahwa ini adalah momen yang menentukan. "Saya tahu keadaan saat ini sulit, tetapi saya percaya bahwa saya bisa memberikan yang terbaik jika diberi kesempatan. Saya siap belajar, bekerja keras, dan beradaptasi dengan cepat," jawabnya, meskipun suaranya sedikit gemetar.


Bu Rina memandangnya dalam-dalam, kemudian melirik pria muda di sebelahnya. Pria itu hanya mengangguk singkat. Bu Rina menutup buku catatannya dan berdiri. "Terima kasih, Amira. Kami akan mempertimbangkan lamaran Anda dan menghubungi dalam beberapa hari ke depan."


Amira hanya bisa tersenyum tipis, menyembunyikan rasa kecewa yang mulai merayapi hatinya. Dia tahu kalimat itu. Kalimat yang selalu menjadi tanda penolakan halus. Setelah berpamitan, ia keluar dari ruangan itu dengan langkah lemas. Di luar gedung, udara terasa lebih pengap daripada sebelumnya. Dia mengambil sebatang rokok dari sakunya, menyalakannya dengan tangan gemetar. 


Asap rokok kembali mengepul, menyatu dengan udara malam yang dingin. Namun, kali ini, Amira merasa lebih kuat. Meski tidak ada jaminan pekerjaan, dia tahu satu hal: dia akan terus berjuang, meski lelah, meski asap terus mengiringi langkahnya.

Cerpen Romantis:Bayang Gelap di Balik Cinta

 
ilusi photo cerpen paling romantis berjudul Bayang Gelap di Balik Cinta
Ilusi foto Cerpen Romantis:Bayang Gelap di Balik Cinta:https://pixabay.com/id/photos/hitam-warna-cairan-lebih-wajah-5273871/

Aku selalu percaya bahwa cinta adalah segalanya. Namun, pada malam itu, keyakinanku diuji oleh bayang-bayang kegelapan yang tak pernah aku duga sebelumnya.

Malam itu terasa berbeda. Udara dingin menggigit wajahku saat aku berjalan menyusuri jalan setapak menuju apartemen kami. Lampu jalan memancarkan cahaya kuning pucat, menciptakan bayangan panjang di trotoar. Hatiku dipenuhi kegelisahan yang sulit dijelaskan.

Sesampainya di pintu, aku menatap nomor apartemen yang terpampang jelas di atasnya. Menghela napas panjang, aku mengetuk pintu dengan lembut. Tak lama kemudian, pintu terbuka oleh Maya, kekasihku yang cantik dan selalu penuh perhatian.


“Hey, kamu kelihatan gelisah. Ada apa?” tanyanya sambil menyambutku dengan senyum manisnya.

“Aku cuma butuh bicara, Maya. Bisakah kita duduk sebentar?” jawabku, mencoba menahan suara gemetar.

Kami duduk di ruang tamu yang remang. Lampu meja menyinari wajah Maya yang terlihat khawatir.

“Mungkin ada yang salah, Apa yang terjadi?” tanya Maya, menggenggam tanganku dengan lembut.


Aku menarik napas dalam-dalam. “Aku merasa ada sesuatu yang tidak beres antara kita akhir-akhir ini. Aku merasakan jarak di antara kita, dan itu membuatku cemas.”

Maya tersenyum tipis, mencoba menenangkan hatiku. “Aku juga merasakan hal yang sama, tapi aku yakin kita bisa menyelesaikannya bersama. Kamu tahu aku selalu setia padamu.”

Namun, hatiku masih merasa tidak tenang. Malam itu, aku memutuskan untuk mencari jawaban. Tanpa sepengetahuan Maya, aku mengakses pesan-pesan di teleponnya yang tergeletak di meja. Hatinya memberitahu bahwa dia sedang sibuk bekerja, tapi rasa penasaran mengalahkan kewaspadaanku.


Pesan-pesan itu mengungkapkan sesuatu yang mengerikan. Maya tengah berselingkuh dengan seorang pria bernama Daniel. Rasa sakit dan pengkhianatan langsung menyergap hatiku. Aku merasa duniamu hancur dalam sekejap.


Aku kembali ke kamar dengan mata yang berkaca-kaca. "Maya, ada sesuatu yang perlu kukatakan," panggilku dengan suara berat.


Dia masuk, tampak cemas. “Apa yang kau maksud?”

Dengan suara gemetar, aku berkata, “Aku tahu tentang Daniel. Aku melihat pesan-pesannya. Mengapa kau tega mengkhianatiku?”

Maya terdiam sejenak, lalu menunduk. “Aku... aku tidak tahu harus berkata apa. Maafkan aku, aku terbawa perasaan.”

Emosi menguasai diriku. “Bagaimana bisa kau tega melakukan ini? Setelah semua yang telah kita lalui bersama!”

Maya mencoba mendekat, namun aku mundur. “Aku tak bisa percaya kau melakukan ini. Aku merasa seperti hancur.”


Percakapan kami berubah menjadi debat yang memanas. Kata-kata tajam terucap, dan ketegangan meningkat. Aku merasa seperti berada di ambang kehancuran.


Malam itu, setelah pertengkaran yang tak kunjung usai, aku berjalan keluar dari apartemen dengan kepala penuh kemarahan dan rasa sakit. Angin malam menerpa wajahku, dan aku mencoba mengendalikan emosi yang menggulung dalam diriku.

Tiba-tiba, aku mendengar suara langkah kaki di belakangku. Ketika aku berbalik, aku melihat Maya berdiri di ujung jalan, matanya penuh air mata.


“Minta maaf, aku tidak bermaksud menyakitimu,” katanya lirih.


Namun, dalam kegelapan malam, aku tak bisa menahan diri lagi. Rasa sakit dan pengkhianatan membuat pikiranku kabur. “Maafkan kamu? Bagaimana mungkin?”

Maya melangkah mendekat, mencoba meraih tanganku. “Tolong, kita bisa memperbaikinya. Aku mencintaimu.”


Namun, kata-kata itu hanya menambah amarahku. Dalam sekejap, aku meraih sesuatu dari saku jaketku—sebuah pisau kecil yang selalu ku bawa untuk keamanan. Dengan tangan gemetar, aku menusuk Maya, dan darah mengalir deras di jalanan yang sepi.


“Saya... saya mencintaimu,” suaranya terputus saat darah mulai memenuhi wajah cantiknya.

Aku berdiri terpaku, napasku terengah-engah. Realitas yang mengerikan mulai menyadari apa yang telah kulakukan. Keheningan malam kembali menyelimuti, hanya terdengar suara tetesan darah yang jatuh ke aspal.


Beberapa jam kemudian, polisi datang dan menemukan tubuh Maya di jalan. Aku ditangkap dan diinterogasi, namun tidak bisa membantah apa yang terjadi. Semua bukti mengarah padaku sebagai pelaku.

Di ruang tahanan, aku duduk sendirian, teringat kembali semua momen indah yang pernah kami lalui. Kenangan itu kini berubah menjadi mimpi buruk yang tak pernah berakhir. Aku menyadari bahwa cinta yang seharusnya membawa kebahagiaan, malah membawa kehancuran dan kematian.

Hari-hari berlalu dengan lambat. Aku merenungkan setiap langkah yang kulakukan, setiap keputusan yang membawa pada tragedi ini. Rasa bersalah menghantui setiap detik hidupku, dan aku tak bisa melupakan wajah Maya yang penuh luka.

Akhirnya, di balik jeruji besi, aku menemukan kebenaran pahit tentang diri sendiri. Cinta yang kupercaya begitu kuat ternyata rapuh dan bisa hancur dalam sekejap. Aku menyadari bahwa dalam cinta, kepercayaan dan pengertian adalah fondasi yang tak boleh dilupakan.


Kini, aku hanya bisa menyesali apa yang telah terjadi, berharap bahwa Maya dapat menemukan kedamaian di alam sana. Dan aku, terjebak dalam penyesalan yang tak pernah usai, belajar bahwa cinta sejati harus dibangun dengan kejujuran dan kesetiaan, bukan dengan bayang-bayang kecurangan dan dendam.

 

PUISI:KERINDUAN RINTIK HUJAN

  PUISI:KERINDUAN RINTIK HUJAN (https://pixabay.com/id/photos/hujan-jalan-kota-pelabuhan-1479303/) Hujan menari di atas jendela, rintiknya...