Tampilkan postingan dengan label cerpenpatahhati. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label cerpenpatahhati. Tampilkan semua postingan

Cerita Pendek:Segitiga Mematikan


Cerita Pendek:Segitiga Mematikan
Ilusi foto Cerita Pendek:Segitiga Mematikan (https://pixabay.com/id/photos/foto-tangan-memegang-tua-256887/)


Pagi itu, aku duduk di teras sambil menatap hujan yang turun. Aroma tanah basah tercium tajam, mengiringi perasaan galau yang sulit diungkapkan. Aku menyesap kopi yang mulai dingin, berharap getirnya bisa mengalahkan kegelisahanku.


Namaku Ardi, dan aku berada di tengah cinta segitiga yang sulit aku pahami. Di satu sisi, ada Laila, sahabatku sejak SMA yang sejak lama menyimpan rasa untukku. Di sisi lain, ada Siska, wanita yang belakangan ini kerap hadir dan menyita perhatian. Aku merasa bimbang. Hati dan pikiranku saling tarik-menarik, tak pernah mencapai kata sepakat.


Hari itu, Laila mengajakku bertemu di kafe favorit kami. Biasanya, ia ceria dan selalu bisa menghiburku, tapi kali ini ia tampak lebih serius, bahkan sedikit gugup.


"Ardi, aku mau bicara sesuatu," ucapnya sambil menunduk, mengaduk-aduk minumannya tanpa tujuan.


"Kenapa, La? Tumben serius banget," kataku mencoba mencairkan suasana.


Laila menghela napas panjang, kemudian menatapku dengan mata yang dalam.


"Ardi... aku rasa aku harus jujur sama kamu," katanya pelan.


Aku terdiam, menunggu apa yang akan dikatakannya. Mendadak, detak jantungku berdegup lebih cepat.


"Kamu tahu, kan? Aku... sejak dulu selalu suka sama kamu," katanya dengan suara bergetar.


Aku hanya terdiam. Mungkin aku sudah tahu, tapi mendengarnya langsung membuatku kaget. Laila sudah ada di hidupku sejak lama, bahkan lebih lama dari siapapun. Ia teman yang selalu ada saat aku susah atau senang.


"Tapi aku nggak pernah ingin merusak persahabatan kita, Di. Aku tahu kamu sedang dekat dengan Siska, dan aku nggak mau jadi penghalang," lanjutnya.


Aku menarik napas dalam-dalam, mencoba mencari kata-kata yang tepat. Di sisi lain, ada Siska yang perlahan menjadi bagian penting di hidupku. Namun, sekarang aku harus menghadapi kenyataan bahwa Laila, sahabat terbaikku, menyimpan perasaan yang lebih dari sekadar teman.


"Maaf, La… aku nggak tahu harus bilang apa," ucapku lirih.


Laila tersenyum lemah. "Aku ngerti, kok. Aku juga nggak mengharapkan kamu membalas perasaanku. Aku cuma ingin kamu tahu. Supaya aku bisa mencoba melupakan perasaanku dan melanjutkan hidup."


Aku ingin mengatakan sesuatu, tapi kata-kata rasanya tertahan di tenggorokan. Di saat itu, Laila tampak begitu rapuh, namun tegar. Ia memilih pergi setelah mengucapkan perasaannya, meninggalkan kafe dan meninggalkanku dalam kebingungan.




Hari-hari berlalu. Aku dan Laila semakin jarang bertemu. Hubungan kami terasa berubah, ada jarak yang tidak kasat mata, namun sangat terasa. Di saat yang sama, hubunganku dengan Siska semakin dekat. Siska adalah sosok yang ceria dan penuh semangat. Ia seperti angin segar di tengah hidupku yang kusut.


"Kenapa kamu kelihatan nggak tenang akhir-akhir ini?" tanya Siska suatu hari saat kami sedang duduk di tepi danau.


Aku terdiam sejenak, berpikir apakah aku harus menceritakan semua kegundahanku padanya. Tapi akhirnya aku memilih jujur.


"Aku… aku bingung, Sis. Sebenarnya, aku ada masalah dengan Laila."


"Laila? Sahabatmu itu?" tanyanya dengan wajah penasaran.


"Iya. Dia… dia mengungkapkan perasaannya ke aku," kataku pelan, mencoba menangkap reaksinya.


Siska terdiam, wajahnya berubah kaku. "Dan kamu? Apa kamu suka sama dia?"


Aku menggeleng. "Aku nggak tahu, Sis. Aku hanya nggak ingin melukainya."


Suasana berubah canggung. Siska terdiam, menatap ke arah danau dengan pandangan kosong. Sepertinya, ia mencoba mencerna apa yang baru saja kukatakan.


"Jadi, kamu mau pilih siapa, Ardi?" tanyanya dingin.


Aku tidak langsung menjawab. Pertanyaan itu justru semakin memperkeruh pikiranku. Di satu sisi, aku tak ingin kehilangan Laila, tapi di sisi lain, aku ingin melanjutkan apa yang sudah terjalin dengan Siska.


"Siska, aku... aku nggak tahu harus jawab apa," kataku lirih. "Aku nggak ingin menyakiti kamu atau Laila."


Siska mendesah, lalu berdiri. "Kamu harus buat keputusan, Ardi. Kalau kamu terus di situ, kamu hanya akan melukai kami berdua."


Setelah berkata begitu, Siska pergi meninggalkanku. Aku hanya bisa memandang punggungnya yang semakin menjauh. Perasaan hampa langsung menyergap. Aku tak tahu apakah ini akan menjadi akhir dari hubungan kami, atau justru awal dari akhir persahabatanku dengan Laila.




Seminggu kemudian, Laila mengajakku bertemu lagi. Meski ragu, aku menerima ajakannya. Kami bertemu di taman yang tenang, hanya ditemani suara burung dan angin yang berbisik di antara daun-daun pohon.


"Ardi, apa kamu sudah membuat keputusan?" tanya Laila tanpa basa-basi.


Aku menunduk, lalu mengangguk pelan. "Aku... aku mau jujur sama kamu, La. Aku suka sama Siska. Tapi aku nggak mau kehilangan kamu juga."


Laila menghela napas, menatapku dengan mata yang basah. "Jadi, kamu memilih Siska?"


Aku mengangguk. "Maaf, La. Aku tahu ini sulit, tapi aku nggak ingin memberi harapan palsu ke kamu."


Laila terdiam, memalingkan wajah sambil menghapus air mata yang mulai mengalir.


"Aku bisa terima, Ardi. Tapi satu hal yang harus kamu tahu… aku akan pergi dari hidupmu. Ini mungkin yang terbaik untuk kita berdua," ucapnya dengan suara bergetar.


Aku tak tahu harus berkata apa. Di satu sisi, aku merasa lega karena telah jujur padanya, tapi di sisi lain, kepergiannya terasa begitu menyakitkan. Mungkin, aku baru benar-benar sadar seberapa berharga dirinya saat ia benar-benar akan pergi.




Beberapa hari setelah pertemuan itu, aku mencoba menghubungi Siska, tapi ia selalu menghindar. Akhirnya, aku memutuskan untuk menemuinya di rumahnya. Saat sampai, aku melihat ia sedang duduk di taman, menatap langit.


"Siska…" panggilku pelan.


Ia menoleh, menatapku dengan wajah yang lelah. "Apa yang kamu mau, Ardi?"


"Aku ingin memperbaiki semuanya," kataku jujur.


Siska tersenyum miris. "Ardi, hubungan kita nggak bisa diperbaiki. Kamu terlalu ragu, terlalu takut untuk memilih. Aku nggak ingin terus berada dalam situasi yang penuh ketidakpastian."


Aku terdiam, terpaku mendengar ucapannya. Dalam sekejap, aku menyadari bahwa aku telah membuat keputusan yang salah. Aku mencoba memegang tangannya, tapi ia menepisnya.


"Aku lelah, Ardi. Aku berharap kamu bisa menemukan apa yang kamu cari, tapi bukan dengan aku," katanya, lalu pergi meninggalkanku tanpa menoleh sedikit pun.


Di detik itu, aku hanya bisa terdiam, menyadari bahwa aku telah kehilangan dua orang yang paling berarti dalam hidupku. Dalam kebimbanganku memilih, aku justru kehilangan keduanya.


Hujan kembali turun, membasahi tanah dan mengguyur seluruh kenangan yang pernah ada. Tapi kali ini, hujan hanya menyisakan rasa perih dan penyesalan yang menghujam, seolah tak pernah akan kering.

Cerita Pendek:Di Antara Dua Hati

Cerita Pendek:Di Antara Dua Hati
Ilustrasi foto Cerita Pendek:Di Antara Dua Hati (https://pixabay.com/id/illustrations/gadis-bermimpi-mimpi-melamun-sedih-7356696/)



Aku duduk di tepi jendela kafe kecil yang sering kita kunjungi. Aroma kopi memenuhi udara, mengingatkanku pada perbincangan kita yang dulu penuh canda tawa. Sekarang, kafe ini menjadi saksi bisu atas kebingungan dan kekacauan yang melanda hatiku.


Di sinilah tempat aku pertama kali menyadari bahwa ada sesuatu yang berbeda di antara kita, sesuatu yang lebih dalam dari sekadar persahabatan. Aku selalu berpikir bahwa aku mengenalmu luar dalam, namun ternyata tidak. Kau menyimpan rahasia yang akhirnya membuatku terjebak dalam cinta segitiga yang tak pernah kuinginkan.


Kita sering bertemu, berdua saja. Saat itu, aku merasa aman. Dunia serasa menyempit hanya untuk kita. Namun, seiring waktu, perasaan itu berubah. Bukan karena aku ingin, tapi karena kehadiran orang ketiga—dia, seseorang yang datang tanpa aku duga, yang merenggut sebagian dari duniamu yang dulu utuh milikku.


"Kamu tahu, ada hal yang harus aku ceritakan padamu," ucapmu suatu hari dengan nada lembut tapi penuh keraguan. Mata cokelatmu yang biasanya tenang kini tampak gelisah, seolah enggan mengungkapkan sesuatu yang akan mengubah segalanya.


"Apa itu?" tanyaku sambil meneguk kopiku, berusaha terlihat santai meskipun aku merasakan ada sesuatu yang tidak beres.


"Kau tahu, ada seseorang yang... aku pikir, aku mulai jatuh cinta padanya." Kalimat itu meluncur seperti belati tajam, menghujam relung hatiku.


Dadaku terasa sesak. Aku tersenyum getir. "Siapa?"


Mata kita bertemu sesaat sebelum kau menunduk, menghindari pandanganku. "Dia... temanku yang baru, Aksa."


Nama itu seperti petir di siang bolong. Aksa? Teman yang baru saja kau kenalkan beberapa minggu lalu? Aku ingat betapa hangatnya caramu berbicara tentang dia, bagaimana kau tertawa setiap kali menceritakan kisah konyol yang kau alami dengannya. Tapi aku tak pernah berpikir ini akan terjadi. 


Kau melanjutkan, "Aku tidak tahu bagaimana menjelaskannya. Rasanya salah, tapi aku tak bisa mengabaikannya. Setiap kali aku bersamanya, aku merasa… berbeda."


Seketika, hatiku terasa hancur berkeping-keping, tapi aku berusaha menahan diri. "Dan aku?" tanyaku dengan suara yang lebih rendah dari biasanya.


"Kamu selalu istimewa," jawabmu cepat. "Kamu adalah sahabat terbaikku. Aku tidak bisa kehilanganmu."


Sahabat? Kalimat itu bagai menambah garam di lukaku yang masih basah. Di sini, di antara kopiku yang mulai mendingin dan deru obrolan orang-orang di sekitarku, aku harus menghadapi kenyataan bahwa aku tidak pernah menjadi lebih dari itu bagimu. Aku hanya sahabat—sementara hatiku mendambakan lebih.


***


Waktu berlalu, dan meskipun aku mencoba melupakan percakapan itu, aku selalu merasa ada sesuatu yang berubah. Pertemuan kita tidak lagi sehangat dulu. Kamu seringkali datang dengan pikiran yang melayang jauh, dan tanpa sadar, setiap kali kita berbicara, Aksa selalu menjadi topik pembicaraan yang tak terhindarkan. Aku mulai membenci namanya, membenci bayangan sosoknya yang entah bagaimana telah merenggutmu dariku.


Suatu hari, kau mengajakku bertemu di tempat biasa. Kali ini, aku datang dengan firasat buruk. Perasaanku tidak pernah salah. Ketika aku tiba, kau sudah duduk di sudut kafe, terlihat gusar.


"Aku ingin bicara lagi," katamu tanpa basa-basi. 


Aku duduk di depanmu, bersiap untuk apa pun yang akan kau katakan. "Apa ini tentang Aksa?"


Kamu mengangguk pelan. "Aku merasa bersalah karena tidak jujur padamu. Aku tahu perasaanmu, aku bukan bodoh. Dan aku sangat menghargai persahabatan kita. Tapi semakin lama aku menghabiskan waktu bersamanya, semakin sulit bagiku untuk mengabaikan perasaanku sendiri."


Aku tersenyum getir. "Jadi, apa yang kamu inginkan dari semua ini?"


"Aku ingin semuanya tetap seperti dulu. Aku tidak ingin kehilangan kamu, tapi aku juga tidak bisa membohongi diriku sendiri tentang perasaanku pada Aksa."


Aku menelan ludah, mencoba meredam rasa sakit yang menjalar di seluruh tubuhku. "Kamu tidak bisa memiliki keduanya," kataku dengan tegas, meskipun hatiku hancur saat kata-kata itu keluar dari mulutku. "Jika kamu memilih dia, aku harus pergi. Aku tidak bisa hanya menjadi teman saat aku tahu aku ingin lebih dari itu."


Suasana hening sejenak, hanya ada suara detak jantungku yang bergemuruh di telinga. Kau terdiam, dan di saat itulah aku tahu jawabannya. Kau tidak perlu mengucapkannya. Pilihanmu sudah jelas.


***


Beberapa minggu kemudian, kita jarang bertemu. Kau mulai semakin sibuk dengan duniamu yang baru, dan aku memutuskan untuk menjaga jarak. Aku berusaha menerima kenyataan, meskipun hatiku tak henti-hentinya mempertanyakan mengapa semua ini harus terjadi.


Namun, suatu sore, ketika aku sedang duduk di kafe yang sama, tiba-tiba kau datang. Matamu sembab, wajahmu penuh dengan ekspresi campur aduk antara penyesalan dan kebingungan.


"Kamu baik-baik saja?" tanyaku ragu.


"Aku... Aku sudah putus dengan Aksa," jawabmu pelan, seperti butiran hujan yang jatuh di kaca jendela.


Aku terdiam. Hatiku berdebar. "Kenapa?"


"Aku salah. Aku pikir aku mencintainya, tapi ternyata tidak. Aku bingung, dan aku menyadari bahwa aku telah menyakiti orang yang paling berharga dalam hidupku. Aku menyakiti kamu."


Seketika, amarah dan cinta berkecamuk dalam diriku. Bagaimana bisa kau datang lagi, seolah-olah semuanya bisa kembali seperti semula? "Kamu pikir semuanya akan selesai begitu saja?" tanyaku, suaraku bergetar menahan emosi.


"Aku tahu tidak semudah itu," jawabmu lirih. "Tapi aku ingin mencoba memperbaiki semuanya."


Aku menatapmu dalam-dalam, mencoba mencari jawaban di balik mata cokelatmu yang kini dipenuhi penyesalan. Mungkin aku masih mencintaimu, mungkin tidak. Namun yang aku tahu, cinta yang pernah ada di antara kita takkan pernah sama lagi.


Mungkin cinta segitiga ini tidak akan pernah benar-benar selesai.

Cerita Pendek: Perjuangan Cinta Menuju Pernikahan


Ilusi Cerita Pendek: Perjuangan Cinta Menuju Pernikahan (gambar patah hati by pixabay fotos)


Aku masih ingat dengan jelas hari itu—hari ketika aku bertemu dengan Aini untuk pertama kalinya. Dia adalah wanita yang tampak biasa saja dari jauh, tetapi begitu aku mendekatinya, ada sesuatu yang membuatku merasa berbeda. Senyum kecilnya, cara dia berbicara dengan tenang namun penuh keyakinan, dan sorot matanya yang hangat seperti menyimpan seribu cerita. Pertemuan kami di sebuah acara pertemuan alumni kampus pada awalnya tidak begitu berarti bagiku, namun siapa sangka, itulah awal dari sebuah perjalanan panjang.


Waktu itu, aku baru saja memulai karierku sebagai arsitek, sementara Aini sudah bekerja di sebuah perusahaan IT ternama. Meskipun kami bergerak di dunia yang berbeda, percakapan di antara kami selalu mengalir tanpa hambatan. Kami bisa membicarakan apa saja—tentang kehidupan, impian, hingga hal-hal kecil yang remeh.


Hari demi hari berlalu, dan aku semakin menyadari bahwa aku mulai menyimpan rasa padanya. Tapi aku tak bisa langsung mengungkapkannya. Bagiku, Aini bukanlah wanita yang bisa didekati dengan tergesa-gesa. Dia adalah tipe wanita yang perlu diyakinkan, bukan hanya dengan kata-kata manis, tetapi dengan tindakan yang nyata.


Suatu malam, ketika kami duduk di sebuah kafe setelah bekerja, aku memberanikan diri untuk membuka pembicaraan yang lebih serius.


“Aini,” kataku sambil memberanikan diri untuk menatap matanya. “Apa kamu pernah berpikir tentang... masa depan?”


Dia tersenyum kecil, menyadari arah pembicaraanku. "Tentu saja, masa depan selalu ada di pikiranku. Kenapa kamu tanya begitu?"


Aku menarik napas dalam-dalam. "Karena aku ingin kamu menjadi bagian dari masa depanku."


Aini tampak terkejut, tetapi dia tidak menolak atau mundur. Dia hanya menatapku dalam-dalam seolah sedang menimbang sesuatu yang besar. Ada jeda yang terasa lama sebelum dia akhirnya menjawab.


"Raka," katanya pelan, "Aku menghargai perasaanmu, dan aku juga merasakan hal yang sama. Tapi aku ingin kita jujur satu sama lain. Jalan menuju sebuah hubungan yang serius, apalagi pernikahan, bukanlah hal yang mudah. Banyak hal yang harus kita hadapi."


Aku tersenyum mendengar jawabannya. "Aku tahu, dan aku siap untuk itu. Kita bisa menghadapi apapun bersama."


Perjuangan Dimulai


Sejak malam itu, hubungan kami berkembang semakin dalam. Namun, seperti yang dikatakan Aini, jalan menuju pernikahan tidak pernah mudah. Ada banyak hal yang menjadi ujian bagi kami, terutama dari keluargaku. Orangtuaku selalu memiliki harapan besar bahwa aku akan menikah dengan seseorang dari latar belakang yang sama, bahkan keluarga besar kami sudah sejak lama mengenal satu keluarga yang dianggap cocok untukku.


Sebuah pertemuan dengan keluargaku menjadi awal dari permasalahan itu.


"Aini memang wanita yang baik," kata ibuku ketika Aini keluar sebentar dari ruang tamu. "Tapi Raka, apa kamu yakin dia cocok untukmu? Bukankah kamu tahu, keluarga kita punya hubungan dekat dengan keluarga Pak Arman?"


Aku terdiam, mencoba mencari kata-kata yang tepat. "Bu, aku mencintai Aini. Bukan soal keluarga siapa dia berasal, tapi bagaimana aku merasa tenang bersamanya. Aku yakin Aini adalah yang terbaik untukku."


Ayahku ikut angkat bicara, nadanya lebih tenang namun tegas. "Kami hanya ingin yang terbaik untukmu, Raka. Ini bukan soal perasaan saja, tapi juga soal masa depan. Pernikahan itu bukan hanya urusan dua orang, tapi dua keluarga."


Aku paham maksud mereka. Pernikahan di keluargaku memang selalu dianggap sebagai ikatan antara dua keluarga besar, bukan hanya sekadar urusan pribadi. Tapi aku tak ingin menyerah begitu saja.


Malam itu, aku menelepon Aini. Aku merasa berat untuk mengatakan apa yang baru saja terjadi, tetapi aku tahu kami harus saling terbuka.


"Aku baru saja berbicara dengan orangtuaku," kataku dengan nada lesu. "Mereka... belum bisa menerima hubungan kita sepenuhnya."


Aini terdiam sesaat di seberang telepon. "Aku mengerti, Raka. Kita berasal dari latar belakang yang berbeda, dan aku tahu itu bisa jadi masalah. Tapi... apa kamu siap untuk memperjuangkan kita?"


Pertanyaannya menusuk dalam di hatiku. Aku tahu jawabannya. "Iya, Aini. Aku siap. Aku akan bicara dengan mereka lagi. Ini bukan soal mereka tidak menyukaimu, tapi tentang tradisi yang selama ini dipegang erat. Aku yakin bisa meyakinkan mereka bahwa kamu adalah yang terbaik untukku."


Pengorbanan dan Kesabaran


Hari demi hari, aku mulai membangun komunikasi lebih baik dengan keluargaku. Aku berusaha menunjukkan bahwa perasaanku kepada Aini bukanlah sekadar cinta sesaat, melainkan keputusan yang matang untuk masa depan. Aku juga tidak pernah lelah meyakinkan Aini bahwa apa pun yang terjadi, aku akan tetap bersamanya.


Suatu hari, ketika aku mengajak Aini bertemu dengan orangtuaku lagi, aku tahu ini adalah kesempatan besar untuk menunjukkan siapa Aini sebenarnya.


“Bu, Ayah,” kataku sambil menatap mereka dengan penuh keyakinan, “Aku tahu kalian punya harapan dan tradisi, tapi aku mohon, lihatlah Aini bukan dari latar belakangnya, tapi dari siapa dia sebagai individu. Aku yakin bahwa bersama dia, aku bisa membangun kehidupan yang bahagia.”


Aini juga berbicara dengan tenang dan penuh hormat, menunjukkan bahwa dia menghargai keluarga dan tradisi kami. Dia tidak pernah berusaha melawan atau menunjukkan sikap yang keras, melainkan menanggapi setiap pertanyaan dengan ketulusan.


Setelah pertemuan itu, aku merasakan ada perubahan kecil dalam sikap orangtuaku. Mereka tidak langsung memberikan restu, tapi aku tahu mereka mulai melihat apa yang aku lihat dalam diri Aini—seseorang yang tulus dan bisa menjadi pasangan hidupku.


Pernikahan yang Ditunggu


Beberapa bulan setelahnya, perjuangan kami akhirnya membuahkan hasil. Orangtuaku, meskipun awalnya ragu, akhirnya memberi restu dengan syarat bahwa kami harus tetap menjaga hubungan baik dengan keluarga besar. Mereka mulai menerima bahwa cinta tidak bisa diatur oleh tradisi semata.


Hari pernikahan kami adalah hari yang penuh kebahagiaan. Melihat Aini berjalan di altar dengan senyuman yang begitu menenangkan, aku tahu bahwa semua perjuangan kami tidak sia-sia. Perjalanan panjang, ujian, dan rintangan yang kami hadapi telah memperkuat cinta kami.


Saat aku menggenggam tangannya di altar, aku berkata pelan, “Aini, aku bersyukur kita bisa melalui semua ini bersama.”


Dia tersenyum hangat. "Aku juga, Raka. Perjuangan kita hanya awal dari perjalanan baru."


Aku yakin, bersama Aini, aku bisa menghadapi apapun. Perjuangan cinta kami telah mengajarkan bahwa cinta sejati tak pernah datang dengan mudah, tetapi ketika diperjuangkan, ia akan membawa kebahagiaan yang tak tergantikan.

Cerita Pendek "Doa yang Tak Pernah Sampai"

 

Cerita Pendek "Doa yang Tak Pernah Sampai"
Ilusi foto Cerita Pendek "Doa yang Tak Pernah Sampai"//https://pixabay.com/id/photos/sendiri-sedih-pantai-laut-gadis-8603184/

Hening malam menyelimuti kota kecil itu, dengan angin lembut yang membawa aroma hujan dan dedaunan basah. Di bawah rembulan pucat, seorang pemuda duduk di atas atap rumahnya, menatap langit yang dipenuhi bintang. Namanya Arya. Dari balik tirai gelap malam, hatinya dipenuhi perasaan yang sulit dijelaskan. Ia mencintai seseorang. Seseorang yang tak mungkin ia miliki.


Namanya Hana.


Mereka bertemu di bangku sekolah, ketika usia mereka masih remaja, dan tawa serta canda adalah bahasa sehari-hari. Saat itu, Arya tidak terlalu peduli tentang perasaan. Baginya, Hana hanyalah teman—teman baik. Namun, seiring berjalannya waktu, ada yang tumbuh di hatinya, seperti bunga yang diam-diam bersemi di musim semi. Sesuatu yang lebih dari sekadar persahabatan.


Tapi ada satu hal yang menjadi penghalang: keyakinan mereka berbeda. Arya seorang Muslim, dan Hana seorang Nasrani. Mereka tumbuh dalam keluarga yang taat, dengan ajaran yang mendalam tentang agama dan batas-batas yang tak boleh dilanggar. 


Suatu malam, di bawah langit yang sama, Hana duduk di beranda rumahnya, memandangi bulan yang sama dengan Arya. Di tangannya, Alkitab yang biasa ia baca sebelum tidur, namun pikirannya melayang jauh. Ia memikirkan Arya, sosok yang begitu dekat tapi terasa begitu jauh.



Hari itu, mereka bertemu lagi di perpustakaan kota. Mata Arya tak pernah bisa berbohong. Setiap kali ia menatap Hana, ada sesuatu yang dalam, yang ia sembunyikan di balik senyum tipisnya. Hana, dengan wajah lembutnya, tampak tak menyadari apa yang ada di balik tatapan Arya. Atau mungkin ia pura-pura tidak tahu.


“Arya, kamu masih suka baca buku sejarah?” Hana membuka percakapan, memecah keheningan di antara rak-rak buku yang sunyi.


Arya tersenyum, mengalihkan tatapannya dari buku di tangannya. “Iya, masih. Aku suka bagaimana sejarah menyimpan banyak pelajaran untuk kita. Tentang keputusan, tentang kehidupan.”


Hana tertawa kecil. “Kamu selalu serius soal itu. Padahal buatku, sejarah terlalu berat untuk dipikirkan.”


Arya tertawa, tapi ada kecanggungan yang selalu hadir di antara mereka. Ada banyak hal yang ingin dikatakannya, tapi kata-kata itu selalu menguap di udara sebelum sampai di bibir.


“Aku pikir, sejarah juga soal pilihan,” kata Arya tiba-tiba, suaranya lembut. “Tentang bagaimana orang-orang membuat pilihan, dan bagaimana pilihan itu membawa mereka ke tempat yang mereka tuju. Kadang, pilihan itu sulit.”


Hana menatap Arya dengan tatapan penuh arti, seolah mencoba memahami apa yang sebenarnya ia maksud. Tapi ia tidak bertanya lebih jauh.


“Arya…” Hana ragu sejenak sebelum melanjutkan. “Kenapa kamu selalu terlihat seperti sedang memikirkan sesuatu yang berat?”


Arya terdiam. Pertanyaan itu tepat mengenai hatinya. “Mungkin karena... ada hal-hal yang tidak bisa kita ungkapkan, Hana. Ada perasaan yang harus disimpan, karena jika tidak, itu hanya akan menyakiti lebih banyak orang.”


Hana tersenyum tipis, senyum yang penuh pengertian. “Terkadang, lebih baik menyimpan perasaan itu, ya?”


Arya mengangguk pelan. “Mungkin, tapi itu bukan berarti perasaan itu hilang.”



Waktu terus berjalan, dan hubungan mereka tetap sama: hangat tapi terjaga jaraknya. Mereka saling tahu bahwa ada batas yang tak bisa mereka lewati. Arya sering kali terbangun di malam hari, mengirimkan doa-doa yang tak pernah sampai, memohon agar hatinya bisa melupakan, atau setidaknya mengerti bahwa cinta ini bukan untuk dimiliki. 


Sementara itu, Hana setiap malam berdoa di sisi tempat tidurnya, meminta petunjuk dari Tuhan tentang perasaan yang ia sembunyikan, tentang hati yang terikat pada seseorang yang tak seharusnya. Mereka hidup dalam doa-doa yang tak bersuara, dalam cinta yang mereka simpan di sudut hati paling dalam.


Suatu hari, Arya dan Hana bertemu di sebuah taman. Taman itu penuh dengan bunga-bunga yang sedang bermekaran, tapi di hati mereka, ada bunga yang tak bisa tumbuh. Mereka duduk di bangku kayu, membiarkan keheningan berbicara di antara mereka.


“Aku pernah berpikir,” kata Arya pelan, “bahwa mungkin di dunia lain, kita bisa bersama.”


Hana tersentak mendengar kata-kata itu, tapi ia tetap tenang. “Di dunia lain?”


“Iya,” Arya menunduk, menatap kakinya. “Di dunia di mana keyakinan kita tak menjadi penghalang. Di dunia di mana cinta tak perlu dipertanyakan.”


Hana menahan napas sejenak. “Tapi kita ada di dunia ini, Arya. Dan di dunia ini, ada batas yang tak bisa kita langgar.”


Arya mengangguk, meskipun hatinya memberontak. “Aku tahu. Tapi itu tidak membuat perasaan ini hilang.”


Hana menatap Arya dengan mata yang mulai berair. “Arya, aku juga punya perasaan yang sama. Tapi...”


“Agama kita berbeda,” potong Arya pelan.


“Ya. Kita hidup di dua dunia yang berbeda, meskipun di bumi yang sama.”


Keheningan kembali menyelimuti mereka. Di antara riuh rendah suara taman dan tawa anak-anak kecil yang bermain, hati mereka berteriak, tapi bibir mereka tetap bungkam.


“Aku harap kamu bahagia,” kata Arya akhirnya, suaranya bergetar.


“Aku juga berharap yang sama untukmu,” jawab Hana. “Mungkin cinta kita bukan untuk sekarang, bukan untuk di sini. Tapi aku percaya, cinta itu tidak akan pernah hilang.”


Arya menatap Hana untuk terakhir kalinya dengan tatapan penuh arti. “Mungkin di dunia lain, Hana. Mungkin di sana, kita akan menemukan akhir yang berbeda.”


Hana hanya tersenyum, meskipun air mata mulai mengalir di pipinya. “Mungkin. Tapi sampai saat itu, kita akan tetap mencintai dalam doa, meskipun doa kita tak pernah sampai.”


Mereka berpisah malam itu, membawa cinta dalam diam yang tak pernah terucap. Cinta yang tak pernah bisa dimiliki, tapi akan selalu ada di hati mereka. 



Arya kembali menatap langit malam. Hatinya penuh dengan doa yang tak pernah sampai, dan cinta yang tak pernah terwujud. Tapi ia tahu, di dunia lain, mungkin ia dan Hana bisa bersama. Hingga saat itu, ia akan tetap mencintai Hana—dalam doa dan dalam diam.

Cerita Pendek: Hati yang Tak Pernah Berbalas

 

Cerita Pendek: Hati yang Tak Pernah Berbalas

Ilusi gambar Cerita Pendek: Hati yang Tak Pernah Berbalas(https://pixabay.com/id/photos/potret-kemarahan-orang-orang-119851/)

Aku duduk di bangku taman yang sering menjadi tempatku merenung, di bawah pohon besar yang menaungi dari teriknya matahari sore. Angin semilir menggoyang-goyangkan dedaunan, menciptakan irama lembut yang biasanya menenangkan hatiku. Tapi tidak hari ini. Tidak, saat hatiku dipenuhi oleh beban yang semakin lama semakin tak tertahankan.


Sudah hampir setahun aku menyimpan perasaan ini. Perasaan yang begitu dalam, begitu kuat, tetapi sekaligus begitu menyakitkan. Setiap kali aku melihatnya, senyumnya selalu menghiasi hariku. Tapi kini, aku tak bisa lagi menahan perasaan ini. Aku harus mengungkapkannya. Aku harus memberitahunya.


Matahari mulai meredup saat dia datang, dengan langkah yang selalu kukenali. Senyumnya seperti biasa, menyapa dengan penuh kehangatan. Tetapi ada sesuatu yang berbeda hari ini. Sesuatu yang membuat dadaku terasa semakin sesak.


“Hai, kamu sudah lama di sini?” tanyanya dengan suara ceria.


Aku tersenyum kaku. “Baru saja,” jawabku. Suaraku bergetar, sedikit tergelincir dari ketenangan yang biasa kuperlihatkan di hadapannya.


Dia duduk di sampingku, begitu dekat, tapi terasa begitu jauh. Hanya beberapa detik hening, tapi terasa seperti selamanya. Aku tahu, jika aku tak mengatakan apa pun sekarang, aku mungkin takkan pernah punya keberanian lagi.


“Aku harus bilang sesuatu,” kataku, mencoba mengumpulkan keberanian.


Dia menoleh, tampak sedikit terkejut. “Apa? Kenapa serius sekali?”


Aku menarik napas dalam-dalam, menatapnya dengan penuh keraguan. Kata-kata itu ada di ujung lidahku, tetapi rasanya begitu sulit untuk diucapkan. Bagaimana mungkin aku bisa mengekspresikan perasaan yang telah kupendam selama ini, dengan cara yang takkan membuat semuanya berubah menjadi mimpi buruk?


“Aku… Aku suka kamu,” kataku akhirnya, dengan suara yang nyaris berbisik.


Dia terdiam. Wajahnya yang tadi ceria kini berubah, seakan mencari-cari kata yang tepat untuk merespons. Setiap detik yang berlalu terasa seperti jarum yang menembus kulitku. Aku berharap dia akan tersenyum, mungkin juga mengatakan hal yang sama. Tapi yang kudapatkan hanyalah keheningan yang semakin lama semakin menghancurkan.


“Aku… Aku tidak tahu harus berkata apa,” akhirnya dia berkata, dengan nada yang tak terduga.


Jantungku seolah berhenti berdetak. Tak ada yang bisa mempersiapkan diri untuk menghadapi kenyataan ini, walaupun di lubuk hati terdalam, aku selalu tahu ini mungkin terjadi.


“Maaf,” lanjutnya, “Aku tak pernah berpikir tentang kamu seperti itu. Kamu adalah sahabat terbaikku, dan aku tak ingin merusaknya.”


Sahabat. Kata itu terasa seperti cambuk yang menyayat hati. Aku menunduk, berusaha menyembunyikan rasa sakit yang begitu jelas terpancar di wajahku. Tapi dia bisa melihatnya, aku tahu. Dia bisa melihat luka yang baru saja dia ciptakan, meskipun itu bukan salahnya. Aku yang bodoh, aku yang memutuskan untuk mencintainya dengan cara ini.


“Tidak, itu bukan salahmu,” kataku, mencoba menenangkan diri. “Aku yang seharusnya minta maaf. Aku seharusnya tidak mengatakan ini.”


“Kamu tahu aku sayang sama kamu,” katanya lembut, “Tapi tidak dengan cara yang kamu inginkan.”


Kalimat itu, meskipun terdengar lembut, menghancurkan semua harapanku. Perasaan hangat yang selalu kurasakan saat bersamanya kini berubah menjadi dingin yang menakutkan. Aku tak pernah membayangkan bagaimana rasanya cinta yang tak terbalas, hingga saat ini.


Aku menatapnya, mencoba mencari tanda-tanda bahwa mungkin dia akan berubah pikiran, mungkin ada setitik harapan yang bisa kucengkeram. Tapi tidak ada. Yang ada hanyalah kebenaran yang pahit, kebenaran yang tak bisa kutolak lagi.


“Aku mengerti,” kataku, meski sejujurnya aku tidak. “Kita tetap bisa menjadi teman, bukan?”


“Tentu saja!” jawabnya cepat, seakan mencoba meyakinkanku bahwa semuanya akan baik-baik saja. Tapi aku tahu itu bohong. Setelah ini, tidak akan ada yang sama lagi.


Dia mencoba mengubah topik, berbicara tentang hal-hal sepele, mungkin berusaha membuat suasana kembali normal. Tapi aku sudah tak lagi mendengarkan. Pikiranku melayang jauh, mencoba mencari cara untuk menyembuhkan hati yang baru saja hancur berkeping-keping.


Aku mengangguk dan tersenyum pada tempat yang tepat, berpura-pura mendengarkan. Namun dalam hatiku, aku sedang menyusun rencana untuk menjauh, untuk menarik diri sebelum semuanya menjadi lebih buruk. Aku harus berhenti mencintainya, meski itu terasa seperti meminta hati untuk berhenti berdetak.


Setelah beberapa waktu yang terasa seperti selamanya, dia berdiri, berkata dia harus pergi. Aku mengangguk, mengucapkan salam perpisahan yang terdengar kosong, dan melihatnya pergi menjauh. Langkahnya yang biasanya membawa kebahagiaan kini hanya meninggalkan rasa sakit yang tak tertahankan.


Aku tetap duduk di sana, di bawah pohon besar yang kini terasa seperti tempat terkutuk. Perasaan cinta yang dulu begitu indah, kini menjadi beban yang menghancurkan. Aku tak tahu bagaimana caranya melanjutkan hidup seperti biasa, tak tahu bagaimana caranya melihatnya tanpa merasakan sakit yang menusuk.


Namun, di dalam keheningan itu, aku membuat keputusan. Aku akan belajar untuk melepaskan. Meski butuh waktu yang lama, meski setiap hari terasa seperti perjuangan, aku akan mengajarkan hatiku untuk berhenti mencintainya. Aku harus melakukannya, jika aku ingin bertahan.


Dan di dalam kesunyian taman itu, dengan hati yang remuk, aku mulai proses panjang untuk menghapus perasaan yang tak pernah berbalas ini. Sebuah proses yang aku tahu, akan membutuhkan seluruh kekuatan yang kumiliki.

PUISI:KERINDUAN RINTIK HUJAN

  PUISI:KERINDUAN RINTIK HUJAN (https://pixabay.com/id/photos/hujan-jalan-kota-pelabuhan-1479303/) Hujan menari di atas jendela, rintiknya...