Tampilkan postingan dengan label cerpenldr. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label cerpenldr. Tampilkan semua postingan

Cerita Pendek:Segitiga Mematikan


Cerita Pendek:Segitiga Mematikan
Ilusi foto Cerita Pendek:Segitiga Mematikan (https://pixabay.com/id/photos/foto-tangan-memegang-tua-256887/)


Pagi itu, aku duduk di teras sambil menatap hujan yang turun. Aroma tanah basah tercium tajam, mengiringi perasaan galau yang sulit diungkapkan. Aku menyesap kopi yang mulai dingin, berharap getirnya bisa mengalahkan kegelisahanku.


Namaku Ardi, dan aku berada di tengah cinta segitiga yang sulit aku pahami. Di satu sisi, ada Laila, sahabatku sejak SMA yang sejak lama menyimpan rasa untukku. Di sisi lain, ada Siska, wanita yang belakangan ini kerap hadir dan menyita perhatian. Aku merasa bimbang. Hati dan pikiranku saling tarik-menarik, tak pernah mencapai kata sepakat.


Hari itu, Laila mengajakku bertemu di kafe favorit kami. Biasanya, ia ceria dan selalu bisa menghiburku, tapi kali ini ia tampak lebih serius, bahkan sedikit gugup.


"Ardi, aku mau bicara sesuatu," ucapnya sambil menunduk, mengaduk-aduk minumannya tanpa tujuan.


"Kenapa, La? Tumben serius banget," kataku mencoba mencairkan suasana.


Laila menghela napas panjang, kemudian menatapku dengan mata yang dalam.


"Ardi... aku rasa aku harus jujur sama kamu," katanya pelan.


Aku terdiam, menunggu apa yang akan dikatakannya. Mendadak, detak jantungku berdegup lebih cepat.


"Kamu tahu, kan? Aku... sejak dulu selalu suka sama kamu," katanya dengan suara bergetar.


Aku hanya terdiam. Mungkin aku sudah tahu, tapi mendengarnya langsung membuatku kaget. Laila sudah ada di hidupku sejak lama, bahkan lebih lama dari siapapun. Ia teman yang selalu ada saat aku susah atau senang.


"Tapi aku nggak pernah ingin merusak persahabatan kita, Di. Aku tahu kamu sedang dekat dengan Siska, dan aku nggak mau jadi penghalang," lanjutnya.


Aku menarik napas dalam-dalam, mencoba mencari kata-kata yang tepat. Di sisi lain, ada Siska yang perlahan menjadi bagian penting di hidupku. Namun, sekarang aku harus menghadapi kenyataan bahwa Laila, sahabat terbaikku, menyimpan perasaan yang lebih dari sekadar teman.


"Maaf, La… aku nggak tahu harus bilang apa," ucapku lirih.


Laila tersenyum lemah. "Aku ngerti, kok. Aku juga nggak mengharapkan kamu membalas perasaanku. Aku cuma ingin kamu tahu. Supaya aku bisa mencoba melupakan perasaanku dan melanjutkan hidup."


Aku ingin mengatakan sesuatu, tapi kata-kata rasanya tertahan di tenggorokan. Di saat itu, Laila tampak begitu rapuh, namun tegar. Ia memilih pergi setelah mengucapkan perasaannya, meninggalkan kafe dan meninggalkanku dalam kebingungan.




Hari-hari berlalu. Aku dan Laila semakin jarang bertemu. Hubungan kami terasa berubah, ada jarak yang tidak kasat mata, namun sangat terasa. Di saat yang sama, hubunganku dengan Siska semakin dekat. Siska adalah sosok yang ceria dan penuh semangat. Ia seperti angin segar di tengah hidupku yang kusut.


"Kenapa kamu kelihatan nggak tenang akhir-akhir ini?" tanya Siska suatu hari saat kami sedang duduk di tepi danau.


Aku terdiam sejenak, berpikir apakah aku harus menceritakan semua kegundahanku padanya. Tapi akhirnya aku memilih jujur.


"Aku… aku bingung, Sis. Sebenarnya, aku ada masalah dengan Laila."


"Laila? Sahabatmu itu?" tanyanya dengan wajah penasaran.


"Iya. Dia… dia mengungkapkan perasaannya ke aku," kataku pelan, mencoba menangkap reaksinya.


Siska terdiam, wajahnya berubah kaku. "Dan kamu? Apa kamu suka sama dia?"


Aku menggeleng. "Aku nggak tahu, Sis. Aku hanya nggak ingin melukainya."


Suasana berubah canggung. Siska terdiam, menatap ke arah danau dengan pandangan kosong. Sepertinya, ia mencoba mencerna apa yang baru saja kukatakan.


"Jadi, kamu mau pilih siapa, Ardi?" tanyanya dingin.


Aku tidak langsung menjawab. Pertanyaan itu justru semakin memperkeruh pikiranku. Di satu sisi, aku tak ingin kehilangan Laila, tapi di sisi lain, aku ingin melanjutkan apa yang sudah terjalin dengan Siska.


"Siska, aku... aku nggak tahu harus jawab apa," kataku lirih. "Aku nggak ingin menyakiti kamu atau Laila."


Siska mendesah, lalu berdiri. "Kamu harus buat keputusan, Ardi. Kalau kamu terus di situ, kamu hanya akan melukai kami berdua."


Setelah berkata begitu, Siska pergi meninggalkanku. Aku hanya bisa memandang punggungnya yang semakin menjauh. Perasaan hampa langsung menyergap. Aku tak tahu apakah ini akan menjadi akhir dari hubungan kami, atau justru awal dari akhir persahabatanku dengan Laila.




Seminggu kemudian, Laila mengajakku bertemu lagi. Meski ragu, aku menerima ajakannya. Kami bertemu di taman yang tenang, hanya ditemani suara burung dan angin yang berbisik di antara daun-daun pohon.


"Ardi, apa kamu sudah membuat keputusan?" tanya Laila tanpa basa-basi.


Aku menunduk, lalu mengangguk pelan. "Aku... aku mau jujur sama kamu, La. Aku suka sama Siska. Tapi aku nggak mau kehilangan kamu juga."


Laila menghela napas, menatapku dengan mata yang basah. "Jadi, kamu memilih Siska?"


Aku mengangguk. "Maaf, La. Aku tahu ini sulit, tapi aku nggak ingin memberi harapan palsu ke kamu."


Laila terdiam, memalingkan wajah sambil menghapus air mata yang mulai mengalir.


"Aku bisa terima, Ardi. Tapi satu hal yang harus kamu tahu… aku akan pergi dari hidupmu. Ini mungkin yang terbaik untuk kita berdua," ucapnya dengan suara bergetar.


Aku tak tahu harus berkata apa. Di satu sisi, aku merasa lega karena telah jujur padanya, tapi di sisi lain, kepergiannya terasa begitu menyakitkan. Mungkin, aku baru benar-benar sadar seberapa berharga dirinya saat ia benar-benar akan pergi.




Beberapa hari setelah pertemuan itu, aku mencoba menghubungi Siska, tapi ia selalu menghindar. Akhirnya, aku memutuskan untuk menemuinya di rumahnya. Saat sampai, aku melihat ia sedang duduk di taman, menatap langit.


"Siska…" panggilku pelan.


Ia menoleh, menatapku dengan wajah yang lelah. "Apa yang kamu mau, Ardi?"


"Aku ingin memperbaiki semuanya," kataku jujur.


Siska tersenyum miris. "Ardi, hubungan kita nggak bisa diperbaiki. Kamu terlalu ragu, terlalu takut untuk memilih. Aku nggak ingin terus berada dalam situasi yang penuh ketidakpastian."


Aku terdiam, terpaku mendengar ucapannya. Dalam sekejap, aku menyadari bahwa aku telah membuat keputusan yang salah. Aku mencoba memegang tangannya, tapi ia menepisnya.


"Aku lelah, Ardi. Aku berharap kamu bisa menemukan apa yang kamu cari, tapi bukan dengan aku," katanya, lalu pergi meninggalkanku tanpa menoleh sedikit pun.


Di detik itu, aku hanya bisa terdiam, menyadari bahwa aku telah kehilangan dua orang yang paling berarti dalam hidupku. Dalam kebimbanganku memilih, aku justru kehilangan keduanya.


Hujan kembali turun, membasahi tanah dan mengguyur seluruh kenangan yang pernah ada. Tapi kali ini, hujan hanya menyisakan rasa perih dan penyesalan yang menghujam, seolah tak pernah akan kering.

Cerita Pendek:Romansa di balik perjuangan

 

Cerita Pendek:Romansa di balik perjuangan
Cerita Pendek:Romansa di balik perjuangan (street foto by pixabay)


Pada suatu pagi yang dingin di kota kecil di pesisir pantai, udara berembus lembut, membawa aroma asin laut yang khas. Ardi berdiri di depan sebuah rumah sederhana, wajahnya serius. Matanya terpaku pada pintu rumah itu. Ia tahu, perjuangan yang panjang dan melelahkan telah membawanya sampai di sini. Di balik pintu itu tinggal Ana, wanita yang telah menggetarkan hatinya sejak pertama kali bertemu.


Ardi bukanlah seorang pria kaya, hanya nelayan yang bekerja keras di bawah terik matahari dan angin laut setiap hari. Namun, cintanya pada Ana begitu dalam, dan ia siap menghadapi apapun, bahkan rintangan besar dari keluarga Ana yang menganggapnya tak pantas. Ia menghela napas dalam-dalam, mencoba menenangkan detak jantungnya yang berdentam kencang.


Ia mengetuk pintu kayu tua itu, mendengar langkah kaki dari dalam yang perlahan mendekat. Pintu terbuka, menampakkan sosok Ana dengan senyum lembut yang seketika membuat Ardi merasa hangat.


“Ardi, kau datang…” ucap Ana, suaranya lembut, namun terlihat sedikit cemas.


“Ya, Ana,” Ardi tersenyum samar, berusaha menenangkan kegugupannya. “Aku sudah berbicara dengan ayahmu. Hari ini aku akan meminta restu dari beliau untuk menikahimu.”


Ana terdiam, raut wajahnya berubah muram. “Ardi… kau tahu ayah tak akan setuju begitu saja.”


“Aku tahu,” jawab Ardi mantap. “Tapi aku sudah siap, Ana. Aku tak akan menyerah. Aku ingin menunjukkan pada ayahmu bahwa aku serius dan mampu menjagamu, meskipun aku tak punya banyak harta.”


Ana meraih tangan Ardi, menggenggamnya erat. “Aku selalu percaya padamu. Tapi ayah… kau tahu bagaimana dia. Ia ingin aku menikah dengan pria yang memiliki kehidupan yang mapan.”


Ardi mengangguk pelan, mencoba memahami kekhawatiran Ana. “Aku hanya ingin tahu satu hal, Ana… apakah kau bersedia untuk menjalani kehidupan bersamaku? Aku akan bekerja keras, memberikan yang terbaik. Aku mungkin tak bisa memberikan kemewahan, tapi aku bisa menjanjikan kebahagiaan dan ketulusan cinta.”


Ana menatap dalam mata Ardi, melihat ketulusan yang begitu nyata. “Aku siap, Ardi. Aku siap bersama denganmu, bagaimanapun kehidupannya nanti.”




Dalam ruangan yang sederhana, Ardi duduk berhadapan dengan Pak Wiryo, ayah Ana. Sorot mata lelaki tua itu tajam, penuh kewaspadaan dan kekuatan seorang ayah yang ingin melindungi anak perempuannya.


“Jadi, Ardi,” ujar Pak Wiryo, suaranya tegas, “kau ingin menikahi anakku?”


Ardi mengangguk tegas, menatap Pak Wiryo tanpa gentar. “Ya, Pak. Saya datang dengan niat yang baik, dan saya siap memberikan hidup saya untuk menjaga dan membahagiakan Ana.”


Pak Wiryo mendesah panjang. “Kau hanya seorang nelayan, Ardi. Kau mungkin bisa memberi nafkah, tapi kehidupan yang nyaman? Kebahagiaan tak hanya diukur dari cinta, tapi juga kestabilan hidup.”


Ardi menelan ludah, namun ia tak menyerah. “Pak, saya mungkin bukan orang kaya. Tapi saya punya tekad. Saya akan berjuang keras, dan saya takkan membiarkan Ana menderita. Kami berdua akan bekerja bersama-sama, dan saya yakin kami bisa membangun kehidupan yang layak.”


Pak Wiryo menggelengkan kepala. “Cinta saja tak cukup, Ardi. Kau harus memahami ini. Aku ingin Ana hidup nyaman, hidup tanpa kesulitan keuangan.”


Saat itu, Ana masuk ke ruangan. “Ayah, aku siap untuk bersama Ardi. Kita bisa menghadapi apa pun bersama-sama. Aku tak butuh kemewahan; aku butuh cinta dan ketulusan.”


Pak Wiryo menghela napas dalam-dalam, matanya menatap Ana dengan ekspresi yang sulit ditebak. “Ana… kau masih muda, kau belum mengerti bagaimana sulitnya hidup tanpa kepastian ekonomi.”


Ana tersenyum lembut. “Ayah, aku tahu hidup tak akan mudah. Tapi aku percaya pada Ardi. Ia adalah orang yang baik dan tulus. Bersamanya, aku akan bahagia.”


Pak Wiryo terdiam sejenak, lalu pandangannya kembali ke arah Ardi. “Ardi, kalau kau serius, buktikan padaku. Berikan aku sesuatu yang bisa membuktikan bahwa kau memang layak untuk anakku.”


Ardi menatap penuh keyakinan. “Apa yang harus saya lakukan, Pak?”


Pak Wiryo terdiam sejenak, berpikir. “Aku ingin kau memberikan mas kawin yang sesuai, menunjukkan kesungguhanmu. Buktikan bahwa kau bisa mengumpulkan sesuatu yang berharga untuk pernikahanmu. Aku akan memberimu waktu tiga bulan.”


Ardi mengangguk tanpa ragu. “Saya akan lakukan, Pak.”




Selama tiga bulan, Ardi bekerja siang dan malam tanpa henti. Ia menangkap ikan lebih banyak, bahkan pergi lebih jauh ke tengah laut untuk mendapatkan hasil tangkapan yang lebih besar. Tak jarang ia berangkat sebelum matahari terbit dan pulang setelah matahari terbenam. Setiap tangkapan ia simpan, sebagian besar ia jual, dan sebagian lagi ia simpan untuk menjadi mas kawin yang diminta Pak Wiryo.


Ana selalu mendukungnya, sering datang ke pantai di sore hari untuk menemani Ardi saat pulang dari melaut. Walaupun terlihat lelah, wajah Ardi selalu memancarkan semangat. Ketulusan cintanya membuat Ana merasa beruntung dan semakin yakin pada pilihan hatinya.


Pada suatu malam, di tengah usaha kerasnya, badai besar tiba-tiba menghantam laut. Ardi yang sedang berada di tengah laut berusaha bertahan di tengah terjangan ombak besar. Saat itu, hidupnya benar-benar dipertaruhkan. Ia mengingat Ana, mengingat janjinya pada Pak Wiryo. Hatinya bertekad bahwa apa pun yang terjadi, ia harus kembali.


Ardi bertarung dengan ombak, mengendalikan perahunya agar tidak terbalik. Kekuatan alam seakan hendak menelannya, namun cintanya pada Ana memberikan kekuatan yang luar biasa. Ia bertahan, meski hampir putus asa. Hingga akhirnya, dengan sisa-sisa tenaga yang dimilikinya, Ardi berhasil kembali ke tepi pantai saat fajar menyingsing.


Pak Wiryo, yang mendengar kejadian itu, mendatangi Ardi dengan raut wajah berbeda. Ia mengamati Ardi yang kelelahan, namun masih menyimpan keberanian di matanya.


“Aku melihat perjuanganmu, Ardi,” ucap Pak Wiryo dengan suara rendah. “Kau benar-benar berusaha untuk anakku.”


Ardi menatap Pak Wiryo, wajahnya penuh haru. “Saya mencintainya, Pak. Saya akan lakukan apa saja.”


Pak Wiryo terdiam sejenak, lalu menghela napas panjang. “Baiklah, Ardi. Aku restui pernikahanmu dengan Ana. Kau telah menunjukkan ketulusan dan keteguhan hati yang luar biasa.”


Ardi tersenyum penuh rasa syukur, dan Ana yang berdiri di sampingnya meraih tangan Ardi, memeluknya erat. Perjuangan mereka akhirnya berbuah manis, dan Ardi berhasil meraih restu yang sangat berharga.


Hari pernikahan mereka pun tiba, dan dengan segala keterbatasan, Ardi dan Ana merayakan cinta mereka dengan penuh kebahagiaan. Cinta dan ketulusan hati Ardi telah mengatasi segala rintangan, membuktikan bahwa kebahagiaan tak hanya tentang harta, tapi juga tentang keberanian dan pengorbanan yang tulus.

Cerita Pendek:Cahaya Restu di Ujung Jalan

 

Cerita Pendek:Cahaya Restu di Ujung Jalan

Cerita Pendek:Cahaya Restu di Ujung Jalan foto by https://pixabay.com/id/illustrations/ai-dihasilkan-pasangan-payung-8787247/



Aku masih ingat dengan jelas, saat pertama kali bertemu denganmu. Seperti fajar yang memecah malam, senyummu menghangatkan hatiku yang beku. Kau hadir di waktu yang tak pernah kuduga, dan tanpa sadar, rasa itu semakin lama semakin tumbuh. Rasa yang membuatku berharap lebih, menginginkanmu di sisiku selamanya.


"Kau yakin dengan ini?" suaramu terdengar penuh keraguan saat kita duduk di sebuah kafe kecil di sudut kota. Matamu menatap ke arah cangkir kopi di depanmu, tapi aku tahu kau sedang memikirkan hal yang lebih besar dari sekadar rasa pahit minuman itu.


Aku menarik napas dalam-dalam sebelum menjawab, "Aku yakin, Nayla. Aku sudah siap menghadapi apa pun. Aku ingin kita bersama. Aku ingin menikah denganmu."


Kau tersenyum samar, tetapi di balik senyuman itu, aku bisa melihat keresahan yang bersembunyi. Kita telah membicarakan hal ini berulang kali, dan setiap kali, perasaan yang sama muncul. Bukan soal cinta kita yang menjadi masalah. Kita tahu, cinta ini kuat. Tapi restu orang tuamu adalah tembok yang belum bisa kita tembus.


"Aku takut, Aditya," kau mengakui dengan suara yang lebih pelan, hampir seperti bisikan. "Ayah dan Ibu... kau tahu mereka selalu menginginkan aku menikah dengan seseorang yang selevel dengan keluarga kami. Kau tahu latar belakang keluargamu..."


Aku terdiam sejenak, merasakan perihnya kenyataan itu. Memang benar, keluargaku bukanlah keluarga berada. Ayahku hanya seorang petani biasa di desa, dan ibuku membuka warung kecil untuk membantu kebutuhan sehari-hari. Sedangkan kau, Nayla, lahir dari keluarga terpandang di kota ini. Ayahmu seorang pengusaha besar, dan ibumu adalah dosen di universitas terkemuka. Perbedaan status sosial kita adalah jurang yang selalu mengancam untuk memisahkan kita.


"Tapi cinta ini lebih besar dari segalanya, Nay," ujarku, mencoba menegaskan. "Aku akan bekerja keras, aku akan buktikan kalau aku bisa membahagiakanmu. Yang aku butuhkan hanya restu mereka. Aku yakin, jika kita bisa bicara dengan baik, mereka akan mengerti."


Kau menatapku, matamu berkaca-kaca. "Aku ingin percaya itu, Aditya. Aku ingin percaya... tapi bagaimana jika mereka tetap menolak?"


Pertanyaan itu menggantung di udara seperti awan gelap yang menutupi sinar matahari. Tidak ada jawaban yang bisa kukatakan untuk meredakan kecemasanmu. Karena, sejujurnya, aku pun takut. Takut bahwa semua upaya kita akan sia-sia. Tapi, jika aku menyerah sekarang, apa artinya cinta ini?


---


Seminggu kemudian, hari yang kami takutkan akhirnya tiba. Aku berdiri di depan pintu rumahmu dengan tangan berkeringat, mencoba menenangkan diri. Rasanya seperti berada di depan gerbang sebuah medan perang. Hatiku berdebar kencang. Namun ketika kau menggenggam tanganku, aku merasa ada kekuatan baru yang merasuki tubuhku. 


"Apapun yang terjadi, kita hadapi bersama, ya?" katamu dengan senyum yang berusaha menenangkan. Tapi aku tahu, di balik ketenanganmu, kau pun cemas.


Pintu rumah terbuka, dan di sana berdiri sosok tinggi dan tegas, ayahmu. Ekspresi wajahnya dingin, hampir tanpa emosi. Aku merasa lututku sedikit gemetar, tapi aku mencoba untuk tetap tegar. Di belakangnya, ibumu muncul, dengan raut wajah yang tak kalah kaku.


"Masuk," suara ayahmu terdengar dalam, hampir seperti perintah. Aku dan Nayla melangkah masuk ke ruang tamu yang megah, dengan perabotan mahal yang menunjukkan betapa jauhnya dunia mereka dari duniaku.


Setelah kami duduk, ada keheningan yang canggung. Udara terasa tegang, seakan menunggu ledakan yang tak terelakkan.


"Apa maksud kedatangan kalian ke sini?" tanya ayahmu akhirnya, suaranya tak ramah.


Aku menelan ludah. Ini saatnya.


"Saya datang ke sini, Pak, untuk meminta izin. Saya mencintai Nayla, dan kami ingin menikah."


Ucapan itu keluar dari mulutku lebih tegas dari yang kukira. Tapi segera setelah aku mengatakannya, aku bisa merasakan udara di ruangan ini semakin berat. Ayahmu menatapku dengan tajam, seolah-olah aku baru saja mengatakan sesuatu yang tak termaafkan.


"Kau pikir hanya dengan mengatakan itu, semuanya akan selesai?" suaranya terdengar lebih dingin dari sebelumnya. "Kau tidak tahu siapa kami? Apa kau pikir seorang anak petani bisa begitu saja menikahi anakku?"


Perkataan itu menghantamku seperti palu besar. Di sebelahku, aku merasakan tangan Nayla gemetar. Kau berusaha membuka mulut, ingin mengatakan sesuatu, tapi ayahmu menghentikanmu dengan tatapan yang tajam.


"Bukan hanya tentang cinta, anak muda. Pernikahan adalah soal tanggung jawab, soal masa depan. Dan aku tidak melihat masa depan yang cerah jika kau menikah dengan Nayla. Kau berasal dari keluarga yang tak punya apa-apa. Kau tidak akan bisa memberinya kehidupan yang layak."


Aku mencoba menahan gejolak di dadaku. Kata-kata itu begitu menyakitkan, tapi aku tahu aku tidak bisa membiarkan emosiku menguasai diriku sekarang. Aku harus tetap tenang, demi Nayla.


"Pak, saya paham kekhawatiran Anda. Tapi saya akan bekerja keras, saya akan melakukan apa pun untuk membahagiakan Nayla. Saya akan membuktikan bahwa saya layak," kataku, suaraku bergetar namun penuh tekad.


Ibumu yang sejak tadi diam, akhirnya berbicara. "Kau mungkin punya niat baik, Aditya. Tapi niat saja tidak cukup. Kami menginginkan yang terbaik untuk anak kami. Apakah kau bisa memberikan itu? Bisakah kau memberikan kehidupan yang nyaman, pendidikan yang baik untuk anak-anak kalian nanti?"


Aku terdiam sejenak, mencari kata-kata yang tepat. Tapi bagaimana bisa aku menjelaskan bahwa cinta kami lebih dari sekadar kenyamanan materi? Bagaimana bisa aku meyakinkan mereka bahwa kita bisa melewati semua tantangan bersama?


"Ayah, Ibu," Nayla akhirnya berbicara, suaranya lembut tapi penuh dengan ketegasan. "Aku tahu kalian ingin yang terbaik untukku. Tapi yang terbaik untukku adalah Aditya. Aku mencintainya, dan aku percaya dia bisa membahagiakanku. Kebahagiaan tidak diukur dari harta, tapi dari cinta dan usaha bersama."


Ayahmu menatap Nayla dengan kekecewaan yang jelas. "Kau masih terlalu naif, Nayla. Kau tidak tahu apa yang kau hadapi."


Suasana semakin mencekam. Aku tahu ini bukan percakapan yang mudah. Tapi sebelum aku bisa berkata lebih banyak, ayahmu berdiri dan berkata, "Sudah cukup. Kita tidak perlu melanjutkan ini lagi."


Hatiku serasa hancur. Aku bisa merasakan harapan yang sebelumnya kupeluk erat perlahan memudar. Tapi di saat yang sama, aku tahu aku tidak bisa menyerah begitu saja. Aku tak bisa melepaskan Nayla hanya karena tembok yang dibangun oleh perbedaan status.


Saat ayahmu beranjak pergi, aku berdiri dan berkata dengan suara yang lebih kuat dari sebelumnya, "Pak, saya tahu ini sulit, dan saya tahu saya bukan menantu yang ideal dalam pandangan Anda. Tapi saya mencintai Nayla, dan saya akan membuktikan bahwa cinta kami akan melewati semua ini."


Ayahmu terdiam di ambang pintu, sebelum akhirnya berkata tanpa menoleh, "Kita lihat saja nanti."

PUISI:KERINDUAN RINTIK HUJAN

  PUISI:KERINDUAN RINTIK HUJAN (https://pixabay.com/id/photos/hujan-jalan-kota-pelabuhan-1479303/) Hujan menari di atas jendela, rintiknya...