Tampilkan postingan dengan label cerpenkuliner. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label cerpenkuliner. Tampilkan semua postingan

Cerita Pendek:Jarak yang Memisahkan

Cerita Pendek:Jarak yang Memisahkan
Ilusi foto Cerita Pendek:Jarak yang Memisahkan steet by https://pixabay.com/id/photos/silakan-melakukan-bukan-unduh-ini-2697945/

 

Aku selalu percaya bahwa jarak tak akan menjadi penghalang bagi cinta. Aku selalu berpikir bahwa dengan komunikasi yang baik, kesetiaan, dan komitmen, jarak hanya akan menjadi ujian kecil. Tapi ternyata, aku salah.


Namaku adalah Andra. Aku dan Laila, kekasihku, telah bersama selama tiga tahun. Kami memulai hubungan ini dengan sangat indah, seperti pasangan lain pada umumnya. Setiap akhir pekan kami bertemu, menghabiskan waktu bersama, bercanda, dan membuat rencana masa depan. Namun, segalanya berubah ketika Laila mendapatkan pekerjaan di luar kota. Dia diterima di sebuah perusahaan besar yang memintanya untuk pindah ke kota lain yang berjarak ratusan kilometer dari tempatku berada.


"Kita bisa melakukannya, Ra. Aku yakin kita bisa bertahan meski berjauhan," ucap Laila di hari terakhir kami bertemu sebelum kepergiannya. Dia tampak yakin dan penuh semangat. 


Aku tersenyum, meski di dalam hati ada keraguan yang perlahan menggerogoti. "Ya, kita pasti bisa. Kita sering video call, telepon, dan aku akan berusaha menemuimu sesering mungkin."


Dan begitulah, selama beberapa bulan pertama, semuanya tampak berjalan baik-baik saja. Kami tetap terhubung melalui teknologi. Setiap malam, video call menjadi ritual kami sebelum tidur. Namun, rasa rindu yang tertahan lama-lama berubah menjadi keheningan yang aneh. Kami mulai kehabisan topik untuk dibicarakan, dan sesekali teleponnya hanya dipenuhi keheningan canggung.


***


Suatu malam, aku menelepon Laila seperti biasa, tapi dia tidak mengangkat. Sudah lewat satu jam sejak pesan terakhirku, namun tak ada balasan. Pikiran-pikiran buruk mulai muncul di kepalaku. Mungkinkah dia baik-baik saja? Atau mungkinkah ada sesuatu yang terjadi padanya?


Setelah beberapa saat, dia akhirnya membalas pesanku.


“Maaf, Andra. Tadi lagi lembur, sibuk banget. Baru sempat pegang HP.”


"Oh, tidak apa-apa. Aku hanya khawatir," jawabku, meski ada sesuatu dalam suaranya yang terdengar berbeda. Namun, aku mencoba menepis pikiran buruk itu.


Hari-hari berikutnya, situasi yang sama terus berulang. Laila semakin sering tak mengangkat teleponku atau membalas pesanku terlambat. Aku berusaha memahami kesibukannya. Aku berusaha percaya.


Tapi ada sesuatu yang terus menggangguku. Perasaan yang tak bisa aku jelaskan, sebuah firasat buruk yang perlahan menindih dada.


***


Suatu hari, aku memutuskan untuk memberikan kejutan pada Laila. Aku memutuskan untuk mengunjunginya tanpa memberitahu sebelumnya. Aku pikir, mungkin dengan kedatanganku, semua ketegangan ini akan mencair. Kami akan kembali seperti dulu, tertawa, bercanda, dan menikmati kebersamaan.


Aku berangkat di pagi hari dan tiba di kotanya menjelang malam. Di depan apartemennya, aku ragu untuk mengetuk pintu. Tapi akhirnya, aku melakukannya. Ketika pintu terbuka, yang berdiri di sana bukanlah Laila, melainkan seorang pria asing.


“Siapa kamu?” tanyaku, berusaha tetap tenang meski dadaku seolah hendak meledak.


Pria itu terlihat bingung, tapi sebelum sempat menjawab, Laila muncul dari belakangnya. Wajahnya pucat.


“Andra… aku bisa jelaskan,” katanya dengan suara bergetar.


Aku mundur selangkah, merasa dunia di sekitarku runtuh. "Siapa dia, Laila?" tanyaku sekali lagi, meski di dalam hatiku aku sudah tahu jawabannya.


“Ini... Arman, teman kerjaku. Kami...”


“Teman kerja?” Aku tertawa getir. “Jangan bohong, Laila! Aku tahu apa yang sedang terjadi.”


Laila menggigit bibirnya, air matanya mulai mengalir. “Andra, aku... aku nggak bermaksud seperti ini. Aku... aku kesepian.”


"Kamu kesepian? Jadi aku nggak cukup, begitu?" Tiba-tiba, seluruh emosi yang selama ini kutahan meluap. "Jarak yang membuatmu begini, atau kamu memang sudah bosan dengan kita?!"


Laila menunduk, tak mampu menjawab. Arman, pria itu, tampak ingin mengatakan sesuatu, tapi aku menghentikannya dengan tatapan tajam. Aku tak ingin mendengar penjelasan apa pun darinya. Ini antara aku dan Laila.


“Kenapa, Laila?” tanyaku, suaraku lebih pelan, nyaris berbisik. Aku butuh penjelasan. Meskipun sakit, aku ingin tahu kenapa semua ini terjadi. “Kamu bilang kita bisa bertahan, kamu bilang kita akan baik-baik saja. Kenapa kamu mengkhianati itu?”


Laila masih diam. Dia hanya menangis. Tangisannya seolah menjadi jawaban yang menyakitkan. Jauh di dalam hatiku, aku tahu ini lebih dari sekadar jarak. Ini lebih dalam dari sekadar kesepian. Ini adalah rasa ragu yang tak terungkap sejak lama. Mungkin hubungan kami memang sudah retak jauh sebelum jarak memisahkan kami.


Aku menarik napas panjang, berusaha menenangkan diri meski dadaku sesak. “Aku pergi,” ucapku akhirnya. 


Laila mendongak, matanya penuh dengan air mata. “Andra, jangan pergi. Aku bisa jelaskan.”


“Tidak ada yang perlu dijelaskan lagi.” Aku berbalik, meninggalkan apartemen itu dengan langkah berat. Setiap langkah yang kuambil terasa seperti menghapus masa lalu kami, semua kenangan manis yang pernah kami bagikan. 


***


Di perjalanan pulang, pikiranku terus berputar. Ada begitu banyak pertanyaan yang tak terjawab. Bagaimana bisa aku tak melihat ini terjadi? Apakah aku terlalu sibuk dengan pekerjaanku sehingga aku tak menyadari bahwa hubungan kami semakin renggang? Atau mungkin, memang sejak awal hubungan kami tidak sekuat yang kupikirkan?


Sesampainya di rumah, aku duduk di tepi tempat tidur, menatap ponsel yang masih terdiam di tanganku. Pesan terakhir dari Laila masih di layar: "Aku kesepian."


Kata-kata itu terus bergema di kepalaku. Kesepian. Apakah aku juga merasakan hal yang sama selama ini? Apakah aku juga sebenarnya merasakan keraguan yang tak pernah kuungkapkan?


Namun, satu hal yang pasti: cinta saja tidak cukup. Jarak, ketidakpastian, dan rasa sepi bisa memakan cinta itu perlahan-lahan, hingga yang tersisa hanyalah kehampaan dan kebohongan.


Aku tak tahu apakah aku akan bisa memaafkan Laila, atau apakah kami akan pernah bisa kembali seperti dulu. Tapi untuk sekarang, aku harus merelakan semuanya. 


Karena pada akhirnya, jarak bukan hanya tentang kilometer yang memisahkan kita, tetapi tentang sejauh mana hati kita sudah saling menjauh.


--- 


Cerita ini menyajikan ketegangan batin dan rasa sakit yang dialami oleh seorang tokoh utama yang menjadi korban perselingkuhan dalam hubungan jarak jauh, dengan percakapan intens yang membantu menggambarkan rasa kecewa dan pengkhianatan dalam hubungannya.

Cerita Pendek: Perdebatan sang koki terhadap Kecap: Sedap vs. Bango


Cerita Pendek: Perdebatan sang koki terhadap Kecap: Sedap vs. Bango
Ilusi foto Cerita Pendek: Perdebatan sang koki terhadap Kecap: Sedap vs. Bango https://pixabay.com/id/photos/ayam-goreng-daging-kambing-goreng-7219969/


Di sebuah dapur rumah makan sederhana di pinggiran kota, dua orang juru masak sedang sibuk menyiapkan hidangan untuk para pelanggan. Pak Darto, koki senior yang telah bekerja selama lebih dari dua puluh tahun, berdiri di dekat kompor dengan cekatan mengaduk-aduk wajan. Di sudut lain, Budi, juru masak muda yang baru direkrut, sedang memotong sayuran dengan teliti. Namun, aroma yang biasanya menenangkan di dapur itu mulai berubah ketika topik yang dianggap remeh tiba-tiba memicu perdebatan sengit: kecap.


Pak Darto, dengan wajah penuh keyakinan, memandang ke arah Budi yang sedang bersiap menambahkan kecap ke dalam adonan semur. Namun, mata Pak Darto menyipit ketika melihat botol yang dipegang Budi.


"Eh, itu kecap apa yang kamu pakai, Bud?" tanya Pak Darto sambil meletakkan spatula dan melipat tangan di depan dada.


Budi tersenyum tipis sambil mengangkat botol kecap hitam dengan bangga. "Ini, Pak, kecap Bango. Rasa manisnya lebih seimbang dan aromanya lebih kuat. Saya selalu pakai ini di rumah."


Pak Darto terdiam sejenak. Wajahnya berubah serius. "Bango?" desisnya. "Di dapur ini, kami pakai kecap Sedap. Itu yang membuat rasa semur kita selalu disukai pelanggan. Bango mungkin enak, tapi Sedap punya rasa yang lebih halus dan tidak mengganggu bumbu lain."


Budi menghela napas, merasa tak setuju. "Tapi, Pak, Bango itu lebih cocok untuk semur. Rasa manisnya lebih kaya dan berani. Saya pernah coba Sedap di rumah, dan rasanya kurang nendang. Kurang kuat, gitu."


Pak Darto mendengus, berusaha menahan diri. Namun, jelas perdebatan kecil ini mulai memanas. "Kurang nendang? Budi, kamu masih muda. Kamu belum merasakan bagaimana Sedap menjaga keseimbangan bumbu-bumbu. Semur bukan soal manis saja, tapi juga harmoni antara rasa manis, asin, dan gurih. Kalau terlalu dominan manisnya, malah jadi kurang enak."


Budi meletakkan pisau dan berbalik menatap Pak Darto dengan tatapan penuh tantangan. "Tapi, Pak, zaman sekarang pelanggan lebih suka rasa yang bold, yang kuat. Kalau terlalu biasa, mereka cepat bosan. Lihat saja kecap Bango, Pak. Punya karakter khas yang bikin lidah pelanggan terus ingin makan lagi."


Pak Darto menggeleng, matanya berkilat. "Kamu kira saya nggak tahu selera pelanggan? Dua puluh tahun saya di dapur ini, Budi. Saya sudah melihat berapa banyak pelanggan yang kembali karena kecap Sedap! Kecap Bango mungkin cocok untuk makanan jalanan, tapi di sini, di rumah makan ini, kecap Sedap yang membuat rasa makanan kita sempurna!"


Budi tak mau kalah. "Saya mengerti, Pak. Saya menghargai pengalaman Bapak. Tapi mungkin kita bisa mencoba yang baru. Tidak ada salahnya bereksperimen, kan? Siapa tahu pelanggan malah lebih suka dengan rasa yang baru."


Pak Darto memukul meja dengan tangannya, menyebabkan beberapa alat masak bergemerincing. "Ini bukan soal eksperimen, Bud! Ini soal resep warisan yang sudah puluhan tahun ada. Semur kita sudah dikenal dengan rasa yang khas, jangan rusak dengan mengubah bahan utama seenaknya."


Budi balas menatap Pak Darto dengan mata tajam. "Saya tidak merusak, Pak. Saya cuma ingin membuat semur ini lebih baik. Mengapa kita harus terus-terusan mengikuti resep lama kalau kita bisa mencoba sesuatu yang mungkin lebih disukai banyak orang?"


Perdebatan semakin memanas. Ruangan dapur yang tadinya hanya diisi aroma makanan kini terasa penuh ketegangan. Beberapa pelayan yang melintas berhenti sejenak, menatap dua koki yang kini berdiri saling berhadapan. Tidak ada yang berani masuk atau bicara, karena jelas suasana mulai membara.


Pak Darto akhirnya menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri. "Baik," katanya pelan namun tegas. "Kita selesaikan ini dengan cara sederhana. Buat dua semur. Satu pakai kecap Sedap, satu lagi pakai kecap Bango. Kita biarkan pelanggan yang menilai."


Budi tersenyum kecil, merasa tantangan ini adalah kesempatan emas. "Setuju, Pak. Biar pelanggan yang memilih."


Dalam waktu singkat, kedua semur pun dimasak. Wajan pertama berisi semur yang dimasak oleh Pak Darto dengan kecap Sedap, sementara wajan kedua adalah semur ala Budi yang menggunakan kecap Bango. Kedua wajan mengeluarkan aroma harum yang menggoda, namun kini tidak hanya soal rasa, tapi juga ego yang dipertaruhkan.


Setelah hidangan selesai, keduanya mengajak beberapa pelanggan tetap untuk mencicipi tanpa memberi tahu mereka tentang perbedaan kecap. Satu per satu pelanggan mencicipi semur yang disajikan, dan setiap kali, mereka tampak menikmati. 


Setelah mencicipi kedua semur, seorang pelanggan yang sudah sering datang berkata, "Yang ini rasanya lebih lembut, seimbang. Sedangkan yang satunya lebih kuat manisnya, agak lebih berani di lidah."


Pelanggan lain mengangguk. "Benar, yang ini cocok buat yang suka rasa manisnya lebih terasa. Tapi kalau untuk makan sering-sering, saya lebih suka yang rasanya tidak terlalu dominan."


Pak Darto dan Budi sama-sama menahan napas, menanti putusan akhir. Akhirnya, pelanggan tersebut menyimpulkan, "Kalau saya pribadi, saya suka yang lembut, yang rasa bumbunya tidak terlalu tajam."


Pak Darto tersenyum puas, tapi sebelum ia sempat berucap, pelanggan yang lain menambahkan, "Tapi semur yang lebih manis ini juga enak, ya. Mungkin untuk variasi, bisa jadi pilihan."


Budi tersenyum tipis. Meski kecap Bango tidak mendominasi pilihan, namun ia mendapat pengakuan. Keduanya saling pandang, dan Pak Darto akhirnya tertawa kecil, meredakan ketegangan. 


"Baiklah, Bud," kata Pak Darto. "Mungkin ada benarnya juga kita butuh variasi. Tapi ingat, keseimbangan adalah kuncinya. Kecap Sedap tetap jadi andalan, tapi kalau sesekali kita coba Bango, tidak masalah."


Budi mengangguk dengan lega. "Setuju, Pak. Saya tidak bermaksud menyinggung. Saya cuma ingin memberikan yang terbaik."


Dan malam itu, di dapur yang semula tegang, kini hanya ada senyuman dan kerja sama baru. Pertarungan dua kecap berakhir dengan damai, membawa pelajaran bahwa meskipun berbeda, keduanya punya nilai yang sama.

PUISI:KERINDUAN RINTIK HUJAN

  PUISI:KERINDUAN RINTIK HUJAN (https://pixabay.com/id/photos/hujan-jalan-kota-pelabuhan-1479303/) Hujan menari di atas jendela, rintiknya...