Tampilkan postingan dengan label cerpencinta. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label cerpencinta. Tampilkan semua postingan

CERITA PENDEK:DENDAM DALAM BAYANG

CERITA PENDEK:DENDAM DALAM BAYANG
Ilusi foto CERITA PENDEK:DENDAM DALAM BAYANG(https://pixabay.com/id/photos/foto-album-tua-album-foto-256889/)


Langit malam terasa gelap dan dingin, seolah mencerminkan ketegangan yang menggantung di udara. Di sebuah apartemen mewah di pusat kota, Clara berdiri di jendela, matanya kosong menatap ke luar. Di bawah sana, dunia terus berputar, tak pernah tahu bahwa malam ini, hidupnya akan berubah selamanya. 

Setelah bertahun-tahun bersama, dia tahu sesuatu yang tak seharusnya dia ketahui. Rasa curiga yang terpendam semakin menajam, dan kali ini, Clara tidak akan membiarkan perasaan itu menguasainya tanpa alasan yang pasti. Ia telah menyelidiki dengan seksama, mengumpulkan setiap petunjuk, dan kini, jawaban yang ditunggu-tunggu telah tiba.

Ponselnya bergetar di atas meja, suara tutsnya bergetar dalam keheningan malam. Clara mengangkatnya dengan tangan gemetar. Di layar, muncul nama Daniel, suaminya. Hatinya berdegup kencang, namun wajahnya tetap tak terbaca.

“Apa yang kamu lakukan malam ini?” suara Daniel terdengar lembut, namun Clara bisa mendengar kebohongan di baliknya.


“Apa yang kamu lakukan?” Clara menahan napas. Suaranya terdistorsi oleh amarah yang tertahan.


“Aku… hanya bekerja lembur, seperti biasa.”


Clara menghela napas panjang, menahan amarah yang hampir meledak. Dia tahu ini hanya kebohongan lain. Daniel telah mengkhianatinya, dan Clara tidak akan membiarkan semuanya berlalu begitu saja. Tidak lagi.


"Jangan bohong padaku, Daniel. Aku tahu semuanya."


Suasana sepi sesaat, hanya ada suara detak jam dinding yang terdengar seperti deru angin di tengah badai. Clara melangkah ke arah meja kecil di samping tempat tidur. Di sana, sebuah amplop putih tergeletak, berisi foto-foto yang sudah cukup jelas untuk membuktikan segalanya. Foto-foto yang menunjukkan Daniel, suaminya, berada dalam pelukan seorang wanita lain.


“Apa ini, Daniel? Apa kamu kira aku bodoh?” suara Clara pecah, penuh perasaan terluka.


Daniel terdiam di sisi telepon. Clara bisa membayangkan ekspresi wajahnya yang mulai cemas. Namun, Clara tidak peduli lagi. Dia ingin mendengar penjelasan, meski dia tahu tak ada yang bisa membenarkan apa yang telah terjadi.


“Clara, aku bisa jelaskan—”


“Jelaskan apa? Semua bukti ada di sini. Aku sudah melihat semuanya.”


Clara melemparkan foto-foto itu ke meja dengan marah, foto-foto yang menjadi saksi bisu penghianatan suaminya. Wajah Daniel yang penuh ketakutan mulai terlihat. Ia tahu, malam ini adalah malam terakhirnya bersama Clara.


“Aku minta maaf. Ini bukan yang kamu kira—”


“Tidak, Daniel! Ini lebih dari yang aku kira! Kamu... kamu mengkhianatiku! Kamu tidur dengan wanita itu, bukan? Aku melihat foto-fotonya!” Clara berteriak, suaranya penuh air mata yang hampir tumpah.


Daniel terdiam sejenak, lalu berkata dengan suara rendah. “Clara, aku tidak bisa hidup tanpa dia. Aku sudah mencoba—”


Tanpa peringatan, Clara melemparkan ponselnya ke dinding, suara pecahannya membuat Daniel terkejut. “Kamu tak akan mendapatkan kesempatan lagi. Tidak ada lagi penjelasan. Kamu sudah memilih jalanmu.”


Saat itu, Clara merasa kebencian yang begitu dalam mengalir dalam darahnya. Amarah yang tak bisa dibendung, rasa sakit yang mendalam akibat pengkhianatan itu, membuat matanya berkaca-kaca. Clara merasa seperti seorang asing dalam hidupnya sendiri, terperangkap dalam bayangan kesalahan yang tak bisa diperbaiki.


“Daniel,” Clara berkata dengan suara dingin, memanggil suaminya yang kini berdiri di depan pintu. “Kau akan menyesal karena sudah memilihnya. Tapi ingat, ini semua adalah pilihanmu.”


Tangan Clara menggenggam erat pisau dapur yang terletak di meja dekatnya. Wajahnya tegang, tubuhnya gemetar, namun dalam hatinya, ada kekuatan yang muncul dari kedalaman yang paling gelap.


Daniel berjalan mendekat, berusaha untuk meraih tangannya. “Clara, jangan lakukan ini. Aku akan pergi. Aku akan pergi darimu. Kamu bisa mulai hidup baru.”


Namun, Clara tidak bisa lagi mendengarkan kata-kata itu. Semua sudah terlambat. Apa yang terjadi malam ini adalah harga dari pengkhianatan yang sudah terlalu dalam. Tanpa ragu, Clara melangkah maju, dan dengan gerakan cepat, pisau itu menembus tubuh Daniel.


“Clara… kenapa…?” suara Daniel terdengar tercekat. Matanya melebar seolah tidak percaya dengan apa yang baru saja terjadi.


Clara menatapnya dengan tatapan kosong, darah menetes di tangan dan bajunya. “Ini untukmu, Daniel. Ini adalah akhirnya.” 


Daniel terjatuh ke lantai, napasnya semakin berat, tubuhnya terkulai lemah. Clara berdiri di sana, dengan tangan gemetar memegang pisau, masih tak percaya dengan apa yang baru saja ia lakukan. Namun di dalam hatinya, ada semacam kedamaian yang mulai merayap. Dia tahu, semuanya berakhir di sini. Pengkhianatan itu telah dibayar dengan harga yang tak bisa kembali.


Saat tubuh Daniel terkulai tak bernyawa, Clara menghadap cermin, menatap bayangan dirinya yang penuh darah. Untuk pertama kalinya, dia merasa tidak ada yang lebih jelas daripada kenyataan bahwa kebohongan dan pengkhianatan itu harus dibayar dengan harga yang sangat mahal.


Di luar sana, malam terus berjalan, namun bagi Clara, dunia telah berhenti.

Cerita Pendek:Di Bawah Langit yang Sama to Indonesia

 

Cerita Pendek:Di Bawah Langit yang Sama to Indonesia
Cerita Pendek:Di Bawah Langit yang Sama to Indonesia(https://pixabay.com/id/photos/jalan-kota-rakyat-malam-perkotaan-7752940/)

Kita selalu percaya bahwa langit adalah satu-satunya saksi yang setia. Ia terbentang tanpa batas, menghubungkan aku dan kamu yang dipisahkan ribuan kilometer oleh daratan dan lautan.

Aku, Ayu, seorang gadis dari Yogyakarta yang jatuh cinta pada Alif, seorang mahasiswa asal Istanbul yang pernah bertukar pelajar di kampusku. Perjumpaan kami dimulai dari sebuah kebetulan, di bawah pohon flamboyan saat ia menolongku mengumpulkan lembaran skripsi yang tertiup angin.

"Ini milikmu, bukan?" tanyanya dengan logat Turki yang kental, namun suaranya terdengar hangat.

Aku tersenyum canggung, mengambil lembaran itu dari tangannya. "Terima kasih, kamu sangat membantu."

Sejak saat itu, kami mulai sering bertemu. Di kantin, di perpustakaan, bahkan dalam perjalanan pulang ke kosan. Entah bagaimana, langkahnya selalu beriringan denganku.

Namun, waktu memiliki caranya sendiri untuk memisahkan. Ketika masa pertukaran pelajarnya usai, Alif harus kembali ke Istanbul. Perpisahan itu terasa begitu cepat, seolah-olah kami baru saja memulai kisah yang belum sempat diukir.

Di bandara, ia menggenggam tanganku erat. "Ayu, aku tahu ini sulit. Tapi aku ingin kita terus berkomunikasi. Aku ingin kita menjaga apa yang sudah kita mulai."

Aku menatap matanya yang menyimpan begitu banyak kerinduan. "Aku juga ingin begitu, Alif. Tapi, apakah cinta bisa bertahan sejauh ini?"

Ia tersenyum tipis. "Langit yang sama akan selalu mengingatkan kita."

Setelah ia pergi, jarak mulai menjadi ujian terbesar kami. Setiap malam aku menatap bintang, bertanya-tanya apakah Alif juga melakukan hal yang sama di sana.

Pesan-pesan dari Alif sering kali menjadi penyelamat hariku.

"Ayu, apa kabar? Di sini musim dingin mulai terasa. Aku harap kamu tetap hangat di sana."

Aku tersenyum membaca pesannya. "Aku baik-baik saja, Alif. Di sini musim hujan, dan aku merindukan secangkir kopi hangat bersama kamu."

"Aku juga merindukanmu. Suatu hari nanti, aku ingin kita duduk di kafe kecil di Istanbul, berbagi cerita tentang semua yang kita lalui."

Waktu berlalu, dan meskipun jarak terus memisahkan, hati kami tetap bertaut. Kami saling menguatkan melalui panggilan video, pesan singkat, dan surat yang sesekali dikirim dengan aroma khas negara masing-masing.

Suatu hari, ketika aku berjalan di Malioboro, sebuah pesan masuk. "Ayu, aku ada kejutan untukmu."

"Apa itu?" balasku penasaran.

"Tunggulah di bawah pohon flamboyan tempat kita pertama kali bertemu."

Dengan jantung berdegup kencang, aku melangkah menuju pohon itu. Angin sore berhembus lembut, membelai wajahku yang dipenuhi rasa rindu.

Dan di sana, di bawah flamboyan, berdiri sosok yang begitu aku rindukan.

"Alif? Bagaimana bisa?"

Ia tersenyum, matanya bersinar hangat. "Aku tak bisa menunggu lebih lama untuk bertemu denganmu lagi. Aku ingin memastikan bahwa cinta ini nyata, meski jarak pernah menjadi tembok."

Aku mendekatinya, merasakan debaran yang telah lama tak kurasakan. "Kamu gila... tapi aku senang kamu ada di sini."

Alif menggenggam tanganku. "Ayu, aku ingin kita berjalan bersama, tak hanya di bawah langit yang sama, tapi juga di jalan yang sama."

Langit sore itu menjadi saksi bisu, menyimpan cerita cinta yang kembali menyatu, seakan jarak tak pernah ada.

"Cinta tidak mengenal batas. Seperti langit yang tak terhitung luasnya, ia menyatukan hati yang berjauhan."

Cerita Pendek:Duri dalam Mawar

 

Cerita Pendek:Duri dalam Mawar
Ilusi gambar Cerita Pendek:Duri dalam Mawar https://pixabay.com/id/photos/pasangan-matahari-terbenam-6562725/


Hujan mengguyur lebat malam itu, membasahi jalan setapak menuju rumah tua di pinggir kota. Lampu jalan yang remang-remang memantulkan bayangan pohon yang melambai seperti sosok-sosok hantu. Di dalam rumah itu, tiga jiwa terjerat dalam cinta yang gelap.

Amara duduk di sofa ruang tamu, menatap cangkir teh di tangannya yang dingin. Hatinya berdenyut oleh kecamuk rasa bersalah dan kebencian. Di seberangnya, Reza berdiri sambil menyandarkan tubuhnya ke dinding, rokok terselip di antara jari-jarinya.

“Amara,” kata Reza dengan suara rendah. “Kamu harus memilih. Aku atau dia.”

Amara mendongak, matanya yang kelam bertemu dengan tatapan tajam Reza. “Ini tidak semudah itu, Reza. Aku mencintai kalian berdua. Tapi...” Suaranya pecah, tertahan oleh air mata yang menggantung di kelopak matanya.

Pintu depan berderit terbuka, dan langkah berat terdengar dari koridor. Arya muncul, wajahnya kusut dan matanya dipenuhi amarah. “Kalian sudah cukup lama bermain-main di belakangku,” katanya dengan nada datar, tapi penuh ancaman.

Reza menegakkan tubuhnya, menatap Arya tanpa gentar. “Kami tidak bermain-main, Arya. Aku mencintai Amara. Sesuatu yang mungkin sudah lama kamu lupakan.”

Arya tertawa pendek, getir. “Mencintai? Kamu pikir cinta itu cukup untuk menghancurkan hidup orang lain?”

Amara berdiri, tubuhnya gemetar. “Arya, hentikan. Aku...”

“Kamu apa, Amara?” Arya memotong, matanya menatap tajam seperti pisau. “Kamu mencintaiku, tapi juga mencintainya? Apa artinya pernikahan kita ini, kalau begitu?”

Ruangan terasa seperti dipenuhi oleh listrik, tegang dan tak terduga. Hening yang terjadi di antara mereka hanya dipecahkan oleh suara hujan di luar. Amara mencoba mencari kata-kata, tapi bibirnya membeku. Ia tahu bahwa apa pun yang ia katakan akan menjadi bahan bakar untuk api yang sudah berkobar.

Reza melangkah maju, memposisikan dirinya di antara Amara dan Arya. “Amara sudah cukup menderita. Kalau kamu memang laki-laki, Arya, hadapi aku. Jangan terus menekan dia.”

Arya menyeringai, tatapannya berubah gelap. “Baiklah, Reza. Kalau itu yang kamu mau.”

Tanpa aba-aba, Arya melayangkan pukulan ke wajah Reza. Tubuh Reza terhuyung ke belakang, tapi dengan cepat ia membalas. Perkelahian pecah, kasar dan tak terkendali. Amara menjerit, mencoba melerai, tapi kedua pria itu terlalu tenggelam dalam amarah mereka.

Dalam kekacauan itu, sebuah pisau dapur yang tergeletak di meja terjatuh ke lantai. Arya memungutnya dengan gerakan cepat, matanya seperti binatang buas yang terpojok. “Kalau aku tidak bisa memilikinya,” katanya dengan suara serak, “maka tidak ada yang bisa.”

Amara memekik. “Arya, jangan!”

Tapi semuanya terjadi begitu cepat. Reza mencoba merebut pisau itu, dan dalam pergulatan mereka, darah memercik ke lantai kayu. Reza terjatuh, memegangi luka di perutnya. Napasnya terengah, matanya membelalak tak percaya.

Arya berdiri, terengah-engah, pisau masih tergenggam di tangannya. Amara berlutut di samping Reza, air matanya mengalir deras. “Reza! Tidak, tidak...”

Reza mencoba berbicara, tapi hanya darah yang keluar dari mulutnya. Dalam hitungan detik yang terasa seperti selamanya, tubuhnya terkulai lemas.

Arya menatap pemandangan itu, seolah-olah baru menyadari apa yang telah ia lakukan. Pisau di tangannya terlepas dan jatuh ke lantai dengan dentingan yang tajam. “Amara...” suaranya lirih, hampir tak terdengar.

Amara bangkit perlahan, matanya penuh dengan kebencian dan kesedihan. “Kamu membunuhnya, Arya. Kamu membunuhnya...”

Arya mundur selangkah, tangannya terangkat seolah mencoba menjelaskan. “Aku... aku tidak bermaksud...”

Tapi Amara tidak mendengar. Dengan gerakan tiba-tiba, ia mengambil pisau dari lantai dan melangkah maju. Arya membeku, terkejut oleh kebencian yang terpancar dari wanita yang dulu ia cintai.

“Kamu telah menghancurkan segalanya,” bisik Amara sebelum mengayunkan pisau itu.

Ketika akhirnya sunyi menguasai ruangan itu, hanya ada suara hujan yang terus mengguyur di luar. Amara berdiri di tengah dua tubuh tak bernyawa, tangannya berlumuran darah. Napasnya tersengal, tapi matanya kosong.

Ia berjalan keluar dari rumah itu, meninggalkan segalanya di belakang. Di bawah hujan yang deras, ia terus melangkah, membiarkan air membasuh dosa yang baru saja ia lakukan. Tapi tidak ada hujan, seberapa deras pun, yang bisa membersihkan luka di hatinya.

Dan malam itu, di bawah langit kelam, cinta segitiga mereka menemukan akhir yang paling tragis.

Cerita Pendek:Segitiga Mematikan


Cerita Pendek:Segitiga Mematikan
Ilusi foto Cerita Pendek:Segitiga Mematikan (https://pixabay.com/id/photos/foto-tangan-memegang-tua-256887/)


Pagi itu, aku duduk di teras sambil menatap hujan yang turun. Aroma tanah basah tercium tajam, mengiringi perasaan galau yang sulit diungkapkan. Aku menyesap kopi yang mulai dingin, berharap getirnya bisa mengalahkan kegelisahanku.


Namaku Ardi, dan aku berada di tengah cinta segitiga yang sulit aku pahami. Di satu sisi, ada Laila, sahabatku sejak SMA yang sejak lama menyimpan rasa untukku. Di sisi lain, ada Siska, wanita yang belakangan ini kerap hadir dan menyita perhatian. Aku merasa bimbang. Hati dan pikiranku saling tarik-menarik, tak pernah mencapai kata sepakat.


Hari itu, Laila mengajakku bertemu di kafe favorit kami. Biasanya, ia ceria dan selalu bisa menghiburku, tapi kali ini ia tampak lebih serius, bahkan sedikit gugup.


"Ardi, aku mau bicara sesuatu," ucapnya sambil menunduk, mengaduk-aduk minumannya tanpa tujuan.


"Kenapa, La? Tumben serius banget," kataku mencoba mencairkan suasana.


Laila menghela napas panjang, kemudian menatapku dengan mata yang dalam.


"Ardi... aku rasa aku harus jujur sama kamu," katanya pelan.


Aku terdiam, menunggu apa yang akan dikatakannya. Mendadak, detak jantungku berdegup lebih cepat.


"Kamu tahu, kan? Aku... sejak dulu selalu suka sama kamu," katanya dengan suara bergetar.


Aku hanya terdiam. Mungkin aku sudah tahu, tapi mendengarnya langsung membuatku kaget. Laila sudah ada di hidupku sejak lama, bahkan lebih lama dari siapapun. Ia teman yang selalu ada saat aku susah atau senang.


"Tapi aku nggak pernah ingin merusak persahabatan kita, Di. Aku tahu kamu sedang dekat dengan Siska, dan aku nggak mau jadi penghalang," lanjutnya.


Aku menarik napas dalam-dalam, mencoba mencari kata-kata yang tepat. Di sisi lain, ada Siska yang perlahan menjadi bagian penting di hidupku. Namun, sekarang aku harus menghadapi kenyataan bahwa Laila, sahabat terbaikku, menyimpan perasaan yang lebih dari sekadar teman.


"Maaf, La… aku nggak tahu harus bilang apa," ucapku lirih.


Laila tersenyum lemah. "Aku ngerti, kok. Aku juga nggak mengharapkan kamu membalas perasaanku. Aku cuma ingin kamu tahu. Supaya aku bisa mencoba melupakan perasaanku dan melanjutkan hidup."


Aku ingin mengatakan sesuatu, tapi kata-kata rasanya tertahan di tenggorokan. Di saat itu, Laila tampak begitu rapuh, namun tegar. Ia memilih pergi setelah mengucapkan perasaannya, meninggalkan kafe dan meninggalkanku dalam kebingungan.




Hari-hari berlalu. Aku dan Laila semakin jarang bertemu. Hubungan kami terasa berubah, ada jarak yang tidak kasat mata, namun sangat terasa. Di saat yang sama, hubunganku dengan Siska semakin dekat. Siska adalah sosok yang ceria dan penuh semangat. Ia seperti angin segar di tengah hidupku yang kusut.


"Kenapa kamu kelihatan nggak tenang akhir-akhir ini?" tanya Siska suatu hari saat kami sedang duduk di tepi danau.


Aku terdiam sejenak, berpikir apakah aku harus menceritakan semua kegundahanku padanya. Tapi akhirnya aku memilih jujur.


"Aku… aku bingung, Sis. Sebenarnya, aku ada masalah dengan Laila."


"Laila? Sahabatmu itu?" tanyanya dengan wajah penasaran.


"Iya. Dia… dia mengungkapkan perasaannya ke aku," kataku pelan, mencoba menangkap reaksinya.


Siska terdiam, wajahnya berubah kaku. "Dan kamu? Apa kamu suka sama dia?"


Aku menggeleng. "Aku nggak tahu, Sis. Aku hanya nggak ingin melukainya."


Suasana berubah canggung. Siska terdiam, menatap ke arah danau dengan pandangan kosong. Sepertinya, ia mencoba mencerna apa yang baru saja kukatakan.


"Jadi, kamu mau pilih siapa, Ardi?" tanyanya dingin.


Aku tidak langsung menjawab. Pertanyaan itu justru semakin memperkeruh pikiranku. Di satu sisi, aku tak ingin kehilangan Laila, tapi di sisi lain, aku ingin melanjutkan apa yang sudah terjalin dengan Siska.


"Siska, aku... aku nggak tahu harus jawab apa," kataku lirih. "Aku nggak ingin menyakiti kamu atau Laila."


Siska mendesah, lalu berdiri. "Kamu harus buat keputusan, Ardi. Kalau kamu terus di situ, kamu hanya akan melukai kami berdua."


Setelah berkata begitu, Siska pergi meninggalkanku. Aku hanya bisa memandang punggungnya yang semakin menjauh. Perasaan hampa langsung menyergap. Aku tak tahu apakah ini akan menjadi akhir dari hubungan kami, atau justru awal dari akhir persahabatanku dengan Laila.




Seminggu kemudian, Laila mengajakku bertemu lagi. Meski ragu, aku menerima ajakannya. Kami bertemu di taman yang tenang, hanya ditemani suara burung dan angin yang berbisik di antara daun-daun pohon.


"Ardi, apa kamu sudah membuat keputusan?" tanya Laila tanpa basa-basi.


Aku menunduk, lalu mengangguk pelan. "Aku... aku mau jujur sama kamu, La. Aku suka sama Siska. Tapi aku nggak mau kehilangan kamu juga."


Laila menghela napas, menatapku dengan mata yang basah. "Jadi, kamu memilih Siska?"


Aku mengangguk. "Maaf, La. Aku tahu ini sulit, tapi aku nggak ingin memberi harapan palsu ke kamu."


Laila terdiam, memalingkan wajah sambil menghapus air mata yang mulai mengalir.


"Aku bisa terima, Ardi. Tapi satu hal yang harus kamu tahu… aku akan pergi dari hidupmu. Ini mungkin yang terbaik untuk kita berdua," ucapnya dengan suara bergetar.


Aku tak tahu harus berkata apa. Di satu sisi, aku merasa lega karena telah jujur padanya, tapi di sisi lain, kepergiannya terasa begitu menyakitkan. Mungkin, aku baru benar-benar sadar seberapa berharga dirinya saat ia benar-benar akan pergi.




Beberapa hari setelah pertemuan itu, aku mencoba menghubungi Siska, tapi ia selalu menghindar. Akhirnya, aku memutuskan untuk menemuinya di rumahnya. Saat sampai, aku melihat ia sedang duduk di taman, menatap langit.


"Siska…" panggilku pelan.


Ia menoleh, menatapku dengan wajah yang lelah. "Apa yang kamu mau, Ardi?"


"Aku ingin memperbaiki semuanya," kataku jujur.


Siska tersenyum miris. "Ardi, hubungan kita nggak bisa diperbaiki. Kamu terlalu ragu, terlalu takut untuk memilih. Aku nggak ingin terus berada dalam situasi yang penuh ketidakpastian."


Aku terdiam, terpaku mendengar ucapannya. Dalam sekejap, aku menyadari bahwa aku telah membuat keputusan yang salah. Aku mencoba memegang tangannya, tapi ia menepisnya.


"Aku lelah, Ardi. Aku berharap kamu bisa menemukan apa yang kamu cari, tapi bukan dengan aku," katanya, lalu pergi meninggalkanku tanpa menoleh sedikit pun.


Di detik itu, aku hanya bisa terdiam, menyadari bahwa aku telah kehilangan dua orang yang paling berarti dalam hidupku. Dalam kebimbanganku memilih, aku justru kehilangan keduanya.


Hujan kembali turun, membasahi tanah dan mengguyur seluruh kenangan yang pernah ada. Tapi kali ini, hujan hanya menyisakan rasa perih dan penyesalan yang menghujam, seolah tak pernah akan kering.

Cerita Pendek:Cinta Di Sepertiga Malam

Cerita Pendek:Cinta Di Sepertiga Malam
Cerita Pendek:Cinta Di Sepertiga Malam ilustrasi gambar pixaybay.com


Aku selalu terjaga di tengah malam. Rasa kantuk memang sesekali mencoba mengalahkan niatku, tapi setiap kali aku mengingatmu, aku bangun dengan semangat baru. Setiap hari, dalam sunyi dan kesendirian, aku berdiri di hadapan-Nya, mengadukan segala keresahan, sekaligus menitipkan doa untukmu dalam tahajjudku.


Kau, yang tak pernah tahu namamu sering kusebut di penghujung malam, membuat hatiku bertanya-tanya, apakah engkau tahu ada seseorang yang begitu mencintaimu dalam doanya?


---


Hari itu, kita dipertemukan dalam sebuah acara kajian di masjid dekat kampus. Aku yang biasanya cenderung pendiam, entah kenapa, hari itu berani melontarkan sebuah pertanyaan pada ustaz yang tengah berbicara.


"Ustaz, bagaimana kita mengikhlaskan perasaan cinta pada seseorang yang belum tentu menjadi jodoh kita?" tanyaku, suaraku bergetar sedikit karena sebenarnya ini adalah pertanyaan untuk diriku sendiri, namun entah kenapa aku merasa ingin mendengar jawabannya secara langsung.


Ustaz tersenyum, menatapku dengan pandangan lembut, lalu menjawab, "Cinta yang paling indah adalah cinta yang kita niatkan karena Allah. Jika kita mencintai seseorang, tetapi menyerahkan segalanya kepada Allah, berarti kita sudah menempatkan cinta itu pada tempat yang benar. Doakanlah dia dalam kebaikan, karena hanya dengan doa yang tulus dan ikhlas, kita bisa mencintai tanpa harus memiliki."


Aku terdiam sejenak, merenungkan jawaban itu, dan saat itulah kau muncul. Kau yang duduk di barisan depan, menoleh ke arahku dengan senyum lembut. Wajahmu tampak teduh, begitu damai, dan aku merasa detak jantungku berdetak lebih cepat dari biasanya.


Selesai kajian, kita bertemu di halaman masjid. Kau menyapaku terlebih dahulu.


"Masya Allah, tadi pertanyaannya bagus sekali," ucapmu sambil tersenyum.


Aku hanya mengangguk sambil menundukkan pandangan, berusaha menahan getaran di hatiku. "Terima kasih. Aku hanya... ya, ingin tahu bagaimana harus mencintai dengan cara yang benar."


"Kau sudah memulainya dengan doa, bukan?" jawabmu, membuat hatiku tertegun. Bagaimana kau bisa tahu?


"Doa itu senjata terkuat," lanjutmu lagi. "Jika kita menyayangi seseorang dalam diam, dan mendoakannya dalam sepertiga malam, bukankah itu tanda cinta yang paling tulus?"


Aku menatapmu sejenak. Kata-katamu terasa begitu dalam. “Kau sendiri… sudah pernah mendoakan seseorang dalam tahajjudmu?”


Kau tersenyum kecil, seolah ragu menjawab. Namun, akhirnya kau mengangguk. “Iya. Setiap malam. Aku doakan agar jika memang dia jodohku, Allah pertemukan kami dalam keadaan yang paling indah, dan jika bukan, aku mohonkan agar aku bisa mengikhlaskannya.”


Hatiku tercekat mendengar jawabanmu. Ada getaran tak biasa yang membuatku merasa bahwa doamu itu adalah untukku. Namun, aku tahu bahwa perasaan itu bisa saja keliru. Aku tak ingin terjebak dalam prasangka, karena siapa tahu, Allah telah menyiapkan rencana lain untukku atau untukmu.


---


Waktu terus berjalan, dan meski tidak sering bertemu, kau dan aku kerap berada dalam pertemuan yang tidak sengaja. Di masjid, di acara kajian, atau kadang di koridor kampus. Entah bagaimana, setiap kali bertemu, kita selalu saling bertukar salam dan menebar senyum. Hanya itu. Tak ada komunikasi lebih lanjut, tak ada pesan atau kabar.


Namun, meski singkat, setiap pertemuan itu cukup untuk membuatku semakin mantap menyebut namamu dalam doa. Di setiap tahajjudku, kuucapkan namamu, memohon kepada Allah agar memberiku kekuatan jika kau memang bukan takdirku.


Namun, di suatu malam yang tenang, saat aku sedang larut dalam sujudku, ponselku bergetar. Aku tidak segera melihatnya hingga selesai berdoa. Saat kuambil ponsel itu, sebuah pesan masuk dari nomor yang tidak kukenal.


"Assalamu’alaikum. Maaf, ini aku. Ada yang ingin kusampaikan. Bisa bertemu di masjid kampus besok, selepas maghrib?”


Hatiku berdebar. Itu adalah pesan darimu. Pesan yang selama ini kutunggu, tapi sekaligus kutakutkan.


---


Esoknya, seusai maghrib, aku menunggu di teras masjid. Kau datang, wajahmu tampak sedikit gugup, namun tetap memancarkan keteduhan yang sama.


“Maaf, aku jadi membuatmu menunggu,” ucapmu sambil tersenyum lembut.


“Tidak apa-apa. Ada yang ingin kau bicarakan?” tanyaku, mencoba menenangkan diriku.


Kau menatapku dalam-dalam. "Selama ini… aku selalu mendoakan seseorang di setiap tahajjudku. Seseorang yang aku harap menjadi teman seumur hidupku, yang bisa menemani aku dalam setiap ibadah, yang bisa berjalan bersama menuju ridha Allah."


Aku terdiam, jantungku berdetak semakin cepat.


“Aku tidak tahu apakah ini tepat, tetapi aku merasa bahwa doaku selama ini adalah untukmu.” Kau menunduk sejenak, lalu melanjutkan, “Jika Allah mengizinkan, maukah kau menjadi bagian dari hidupku? Aku ingin mencintaimu dengan cara yang Allah ridhoi.”


Seketika, hati ini terasa begitu hangat. Allah, benarkah ini jawaban dari doaku selama ini? Aku menatap matamu, dan dalam sekejap, segala keraguan sirna. Aku mengangguk pelan, dan dengan suara yang sedikit bergetar aku menjawab, "Insya Allah, aku bersedia. Semoga Allah selalu melimpahkan keberkahan pada kita."


Kau tersenyum, dan dalam hati, aku bersyukur kepada Allah atas jawaban yang begitu indah.

Cerita Pendek:Romansa di balik perjuangan

 

Cerita Pendek:Romansa di balik perjuangan
Cerita Pendek:Romansa di balik perjuangan (street foto by pixabay)


Pada suatu pagi yang dingin di kota kecil di pesisir pantai, udara berembus lembut, membawa aroma asin laut yang khas. Ardi berdiri di depan sebuah rumah sederhana, wajahnya serius. Matanya terpaku pada pintu rumah itu. Ia tahu, perjuangan yang panjang dan melelahkan telah membawanya sampai di sini. Di balik pintu itu tinggal Ana, wanita yang telah menggetarkan hatinya sejak pertama kali bertemu.


Ardi bukanlah seorang pria kaya, hanya nelayan yang bekerja keras di bawah terik matahari dan angin laut setiap hari. Namun, cintanya pada Ana begitu dalam, dan ia siap menghadapi apapun, bahkan rintangan besar dari keluarga Ana yang menganggapnya tak pantas. Ia menghela napas dalam-dalam, mencoba menenangkan detak jantungnya yang berdentam kencang.


Ia mengetuk pintu kayu tua itu, mendengar langkah kaki dari dalam yang perlahan mendekat. Pintu terbuka, menampakkan sosok Ana dengan senyum lembut yang seketika membuat Ardi merasa hangat.


“Ardi, kau datang…” ucap Ana, suaranya lembut, namun terlihat sedikit cemas.


“Ya, Ana,” Ardi tersenyum samar, berusaha menenangkan kegugupannya. “Aku sudah berbicara dengan ayahmu. Hari ini aku akan meminta restu dari beliau untuk menikahimu.”


Ana terdiam, raut wajahnya berubah muram. “Ardi… kau tahu ayah tak akan setuju begitu saja.”


“Aku tahu,” jawab Ardi mantap. “Tapi aku sudah siap, Ana. Aku tak akan menyerah. Aku ingin menunjukkan pada ayahmu bahwa aku serius dan mampu menjagamu, meskipun aku tak punya banyak harta.”


Ana meraih tangan Ardi, menggenggamnya erat. “Aku selalu percaya padamu. Tapi ayah… kau tahu bagaimana dia. Ia ingin aku menikah dengan pria yang memiliki kehidupan yang mapan.”


Ardi mengangguk pelan, mencoba memahami kekhawatiran Ana. “Aku hanya ingin tahu satu hal, Ana… apakah kau bersedia untuk menjalani kehidupan bersamaku? Aku akan bekerja keras, memberikan yang terbaik. Aku mungkin tak bisa memberikan kemewahan, tapi aku bisa menjanjikan kebahagiaan dan ketulusan cinta.”


Ana menatap dalam mata Ardi, melihat ketulusan yang begitu nyata. “Aku siap, Ardi. Aku siap bersama denganmu, bagaimanapun kehidupannya nanti.”




Dalam ruangan yang sederhana, Ardi duduk berhadapan dengan Pak Wiryo, ayah Ana. Sorot mata lelaki tua itu tajam, penuh kewaspadaan dan kekuatan seorang ayah yang ingin melindungi anak perempuannya.


“Jadi, Ardi,” ujar Pak Wiryo, suaranya tegas, “kau ingin menikahi anakku?”


Ardi mengangguk tegas, menatap Pak Wiryo tanpa gentar. “Ya, Pak. Saya datang dengan niat yang baik, dan saya siap memberikan hidup saya untuk menjaga dan membahagiakan Ana.”


Pak Wiryo mendesah panjang. “Kau hanya seorang nelayan, Ardi. Kau mungkin bisa memberi nafkah, tapi kehidupan yang nyaman? Kebahagiaan tak hanya diukur dari cinta, tapi juga kestabilan hidup.”


Ardi menelan ludah, namun ia tak menyerah. “Pak, saya mungkin bukan orang kaya. Tapi saya punya tekad. Saya akan berjuang keras, dan saya takkan membiarkan Ana menderita. Kami berdua akan bekerja bersama-sama, dan saya yakin kami bisa membangun kehidupan yang layak.”


Pak Wiryo menggelengkan kepala. “Cinta saja tak cukup, Ardi. Kau harus memahami ini. Aku ingin Ana hidup nyaman, hidup tanpa kesulitan keuangan.”


Saat itu, Ana masuk ke ruangan. “Ayah, aku siap untuk bersama Ardi. Kita bisa menghadapi apa pun bersama-sama. Aku tak butuh kemewahan; aku butuh cinta dan ketulusan.”


Pak Wiryo menghela napas dalam-dalam, matanya menatap Ana dengan ekspresi yang sulit ditebak. “Ana… kau masih muda, kau belum mengerti bagaimana sulitnya hidup tanpa kepastian ekonomi.”


Ana tersenyum lembut. “Ayah, aku tahu hidup tak akan mudah. Tapi aku percaya pada Ardi. Ia adalah orang yang baik dan tulus. Bersamanya, aku akan bahagia.”


Pak Wiryo terdiam sejenak, lalu pandangannya kembali ke arah Ardi. “Ardi, kalau kau serius, buktikan padaku. Berikan aku sesuatu yang bisa membuktikan bahwa kau memang layak untuk anakku.”


Ardi menatap penuh keyakinan. “Apa yang harus saya lakukan, Pak?”


Pak Wiryo terdiam sejenak, berpikir. “Aku ingin kau memberikan mas kawin yang sesuai, menunjukkan kesungguhanmu. Buktikan bahwa kau bisa mengumpulkan sesuatu yang berharga untuk pernikahanmu. Aku akan memberimu waktu tiga bulan.”


Ardi mengangguk tanpa ragu. “Saya akan lakukan, Pak.”




Selama tiga bulan, Ardi bekerja siang dan malam tanpa henti. Ia menangkap ikan lebih banyak, bahkan pergi lebih jauh ke tengah laut untuk mendapatkan hasil tangkapan yang lebih besar. Tak jarang ia berangkat sebelum matahari terbit dan pulang setelah matahari terbenam. Setiap tangkapan ia simpan, sebagian besar ia jual, dan sebagian lagi ia simpan untuk menjadi mas kawin yang diminta Pak Wiryo.


Ana selalu mendukungnya, sering datang ke pantai di sore hari untuk menemani Ardi saat pulang dari melaut. Walaupun terlihat lelah, wajah Ardi selalu memancarkan semangat. Ketulusan cintanya membuat Ana merasa beruntung dan semakin yakin pada pilihan hatinya.


Pada suatu malam, di tengah usaha kerasnya, badai besar tiba-tiba menghantam laut. Ardi yang sedang berada di tengah laut berusaha bertahan di tengah terjangan ombak besar. Saat itu, hidupnya benar-benar dipertaruhkan. Ia mengingat Ana, mengingat janjinya pada Pak Wiryo. Hatinya bertekad bahwa apa pun yang terjadi, ia harus kembali.


Ardi bertarung dengan ombak, mengendalikan perahunya agar tidak terbalik. Kekuatan alam seakan hendak menelannya, namun cintanya pada Ana memberikan kekuatan yang luar biasa. Ia bertahan, meski hampir putus asa. Hingga akhirnya, dengan sisa-sisa tenaga yang dimilikinya, Ardi berhasil kembali ke tepi pantai saat fajar menyingsing.


Pak Wiryo, yang mendengar kejadian itu, mendatangi Ardi dengan raut wajah berbeda. Ia mengamati Ardi yang kelelahan, namun masih menyimpan keberanian di matanya.


“Aku melihat perjuanganmu, Ardi,” ucap Pak Wiryo dengan suara rendah. “Kau benar-benar berusaha untuk anakku.”


Ardi menatap Pak Wiryo, wajahnya penuh haru. “Saya mencintainya, Pak. Saya akan lakukan apa saja.”


Pak Wiryo terdiam sejenak, lalu menghela napas panjang. “Baiklah, Ardi. Aku restui pernikahanmu dengan Ana. Kau telah menunjukkan ketulusan dan keteguhan hati yang luar biasa.”


Ardi tersenyum penuh rasa syukur, dan Ana yang berdiri di sampingnya meraih tangan Ardi, memeluknya erat. Perjuangan mereka akhirnya berbuah manis, dan Ardi berhasil meraih restu yang sangat berharga.


Hari pernikahan mereka pun tiba, dan dengan segala keterbatasan, Ardi dan Ana merayakan cinta mereka dengan penuh kebahagiaan. Cinta dan ketulusan hati Ardi telah mengatasi segala rintangan, membuktikan bahwa kebahagiaan tak hanya tentang harta, tapi juga tentang keberanian dan pengorbanan yang tulus.

Cerita Pendek:Cahaya Restu di Ujung Jalan

 

Cerita Pendek:Cahaya Restu di Ujung Jalan

Cerita Pendek:Cahaya Restu di Ujung Jalan foto by https://pixabay.com/id/illustrations/ai-dihasilkan-pasangan-payung-8787247/



Aku masih ingat dengan jelas, saat pertama kali bertemu denganmu. Seperti fajar yang memecah malam, senyummu menghangatkan hatiku yang beku. Kau hadir di waktu yang tak pernah kuduga, dan tanpa sadar, rasa itu semakin lama semakin tumbuh. Rasa yang membuatku berharap lebih, menginginkanmu di sisiku selamanya.


"Kau yakin dengan ini?" suaramu terdengar penuh keraguan saat kita duduk di sebuah kafe kecil di sudut kota. Matamu menatap ke arah cangkir kopi di depanmu, tapi aku tahu kau sedang memikirkan hal yang lebih besar dari sekadar rasa pahit minuman itu.


Aku menarik napas dalam-dalam sebelum menjawab, "Aku yakin, Nayla. Aku sudah siap menghadapi apa pun. Aku ingin kita bersama. Aku ingin menikah denganmu."


Kau tersenyum samar, tetapi di balik senyuman itu, aku bisa melihat keresahan yang bersembunyi. Kita telah membicarakan hal ini berulang kali, dan setiap kali, perasaan yang sama muncul. Bukan soal cinta kita yang menjadi masalah. Kita tahu, cinta ini kuat. Tapi restu orang tuamu adalah tembok yang belum bisa kita tembus.


"Aku takut, Aditya," kau mengakui dengan suara yang lebih pelan, hampir seperti bisikan. "Ayah dan Ibu... kau tahu mereka selalu menginginkan aku menikah dengan seseorang yang selevel dengan keluarga kami. Kau tahu latar belakang keluargamu..."


Aku terdiam sejenak, merasakan perihnya kenyataan itu. Memang benar, keluargaku bukanlah keluarga berada. Ayahku hanya seorang petani biasa di desa, dan ibuku membuka warung kecil untuk membantu kebutuhan sehari-hari. Sedangkan kau, Nayla, lahir dari keluarga terpandang di kota ini. Ayahmu seorang pengusaha besar, dan ibumu adalah dosen di universitas terkemuka. Perbedaan status sosial kita adalah jurang yang selalu mengancam untuk memisahkan kita.


"Tapi cinta ini lebih besar dari segalanya, Nay," ujarku, mencoba menegaskan. "Aku akan bekerja keras, aku akan buktikan kalau aku bisa membahagiakanmu. Yang aku butuhkan hanya restu mereka. Aku yakin, jika kita bisa bicara dengan baik, mereka akan mengerti."


Kau menatapku, matamu berkaca-kaca. "Aku ingin percaya itu, Aditya. Aku ingin percaya... tapi bagaimana jika mereka tetap menolak?"


Pertanyaan itu menggantung di udara seperti awan gelap yang menutupi sinar matahari. Tidak ada jawaban yang bisa kukatakan untuk meredakan kecemasanmu. Karena, sejujurnya, aku pun takut. Takut bahwa semua upaya kita akan sia-sia. Tapi, jika aku menyerah sekarang, apa artinya cinta ini?


---


Seminggu kemudian, hari yang kami takutkan akhirnya tiba. Aku berdiri di depan pintu rumahmu dengan tangan berkeringat, mencoba menenangkan diri. Rasanya seperti berada di depan gerbang sebuah medan perang. Hatiku berdebar kencang. Namun ketika kau menggenggam tanganku, aku merasa ada kekuatan baru yang merasuki tubuhku. 


"Apapun yang terjadi, kita hadapi bersama, ya?" katamu dengan senyum yang berusaha menenangkan. Tapi aku tahu, di balik ketenanganmu, kau pun cemas.


Pintu rumah terbuka, dan di sana berdiri sosok tinggi dan tegas, ayahmu. Ekspresi wajahnya dingin, hampir tanpa emosi. Aku merasa lututku sedikit gemetar, tapi aku mencoba untuk tetap tegar. Di belakangnya, ibumu muncul, dengan raut wajah yang tak kalah kaku.


"Masuk," suara ayahmu terdengar dalam, hampir seperti perintah. Aku dan Nayla melangkah masuk ke ruang tamu yang megah, dengan perabotan mahal yang menunjukkan betapa jauhnya dunia mereka dari duniaku.


Setelah kami duduk, ada keheningan yang canggung. Udara terasa tegang, seakan menunggu ledakan yang tak terelakkan.


"Apa maksud kedatangan kalian ke sini?" tanya ayahmu akhirnya, suaranya tak ramah.


Aku menelan ludah. Ini saatnya.


"Saya datang ke sini, Pak, untuk meminta izin. Saya mencintai Nayla, dan kami ingin menikah."


Ucapan itu keluar dari mulutku lebih tegas dari yang kukira. Tapi segera setelah aku mengatakannya, aku bisa merasakan udara di ruangan ini semakin berat. Ayahmu menatapku dengan tajam, seolah-olah aku baru saja mengatakan sesuatu yang tak termaafkan.


"Kau pikir hanya dengan mengatakan itu, semuanya akan selesai?" suaranya terdengar lebih dingin dari sebelumnya. "Kau tidak tahu siapa kami? Apa kau pikir seorang anak petani bisa begitu saja menikahi anakku?"


Perkataan itu menghantamku seperti palu besar. Di sebelahku, aku merasakan tangan Nayla gemetar. Kau berusaha membuka mulut, ingin mengatakan sesuatu, tapi ayahmu menghentikanmu dengan tatapan yang tajam.


"Bukan hanya tentang cinta, anak muda. Pernikahan adalah soal tanggung jawab, soal masa depan. Dan aku tidak melihat masa depan yang cerah jika kau menikah dengan Nayla. Kau berasal dari keluarga yang tak punya apa-apa. Kau tidak akan bisa memberinya kehidupan yang layak."


Aku mencoba menahan gejolak di dadaku. Kata-kata itu begitu menyakitkan, tapi aku tahu aku tidak bisa membiarkan emosiku menguasai diriku sekarang. Aku harus tetap tenang, demi Nayla.


"Pak, saya paham kekhawatiran Anda. Tapi saya akan bekerja keras, saya akan melakukan apa pun untuk membahagiakan Nayla. Saya akan membuktikan bahwa saya layak," kataku, suaraku bergetar namun penuh tekad.


Ibumu yang sejak tadi diam, akhirnya berbicara. "Kau mungkin punya niat baik, Aditya. Tapi niat saja tidak cukup. Kami menginginkan yang terbaik untuk anak kami. Apakah kau bisa memberikan itu? Bisakah kau memberikan kehidupan yang nyaman, pendidikan yang baik untuk anak-anak kalian nanti?"


Aku terdiam sejenak, mencari kata-kata yang tepat. Tapi bagaimana bisa aku menjelaskan bahwa cinta kami lebih dari sekadar kenyamanan materi? Bagaimana bisa aku meyakinkan mereka bahwa kita bisa melewati semua tantangan bersama?


"Ayah, Ibu," Nayla akhirnya berbicara, suaranya lembut tapi penuh dengan ketegasan. "Aku tahu kalian ingin yang terbaik untukku. Tapi yang terbaik untukku adalah Aditya. Aku mencintainya, dan aku percaya dia bisa membahagiakanku. Kebahagiaan tidak diukur dari harta, tapi dari cinta dan usaha bersama."


Ayahmu menatap Nayla dengan kekecewaan yang jelas. "Kau masih terlalu naif, Nayla. Kau tidak tahu apa yang kau hadapi."


Suasana semakin mencekam. Aku tahu ini bukan percakapan yang mudah. Tapi sebelum aku bisa berkata lebih banyak, ayahmu berdiri dan berkata, "Sudah cukup. Kita tidak perlu melanjutkan ini lagi."


Hatiku serasa hancur. Aku bisa merasakan harapan yang sebelumnya kupeluk erat perlahan memudar. Tapi di saat yang sama, aku tahu aku tidak bisa menyerah begitu saja. Aku tak bisa melepaskan Nayla hanya karena tembok yang dibangun oleh perbedaan status.


Saat ayahmu beranjak pergi, aku berdiri dan berkata dengan suara yang lebih kuat dari sebelumnya, "Pak, saya tahu ini sulit, dan saya tahu saya bukan menantu yang ideal dalam pandangan Anda. Tapi saya mencintai Nayla, dan saya akan membuktikan bahwa cinta kami akan melewati semua ini."


Ayahmu terdiam di ambang pintu, sebelum akhirnya berkata tanpa menoleh, "Kita lihat saja nanti."

Cerita Pendek:Di Antara Dua Hati

Cerita Pendek:Di Antara Dua Hati
Ilustrasi foto Cerita Pendek:Di Antara Dua Hati (https://pixabay.com/id/illustrations/gadis-bermimpi-mimpi-melamun-sedih-7356696/)



Aku duduk di tepi jendela kafe kecil yang sering kita kunjungi. Aroma kopi memenuhi udara, mengingatkanku pada perbincangan kita yang dulu penuh canda tawa. Sekarang, kafe ini menjadi saksi bisu atas kebingungan dan kekacauan yang melanda hatiku.


Di sinilah tempat aku pertama kali menyadari bahwa ada sesuatu yang berbeda di antara kita, sesuatu yang lebih dalam dari sekadar persahabatan. Aku selalu berpikir bahwa aku mengenalmu luar dalam, namun ternyata tidak. Kau menyimpan rahasia yang akhirnya membuatku terjebak dalam cinta segitiga yang tak pernah kuinginkan.


Kita sering bertemu, berdua saja. Saat itu, aku merasa aman. Dunia serasa menyempit hanya untuk kita. Namun, seiring waktu, perasaan itu berubah. Bukan karena aku ingin, tapi karena kehadiran orang ketiga—dia, seseorang yang datang tanpa aku duga, yang merenggut sebagian dari duniamu yang dulu utuh milikku.


"Kamu tahu, ada hal yang harus aku ceritakan padamu," ucapmu suatu hari dengan nada lembut tapi penuh keraguan. Mata cokelatmu yang biasanya tenang kini tampak gelisah, seolah enggan mengungkapkan sesuatu yang akan mengubah segalanya.


"Apa itu?" tanyaku sambil meneguk kopiku, berusaha terlihat santai meskipun aku merasakan ada sesuatu yang tidak beres.


"Kau tahu, ada seseorang yang... aku pikir, aku mulai jatuh cinta padanya." Kalimat itu meluncur seperti belati tajam, menghujam relung hatiku.


Dadaku terasa sesak. Aku tersenyum getir. "Siapa?"


Mata kita bertemu sesaat sebelum kau menunduk, menghindari pandanganku. "Dia... temanku yang baru, Aksa."


Nama itu seperti petir di siang bolong. Aksa? Teman yang baru saja kau kenalkan beberapa minggu lalu? Aku ingat betapa hangatnya caramu berbicara tentang dia, bagaimana kau tertawa setiap kali menceritakan kisah konyol yang kau alami dengannya. Tapi aku tak pernah berpikir ini akan terjadi. 


Kau melanjutkan, "Aku tidak tahu bagaimana menjelaskannya. Rasanya salah, tapi aku tak bisa mengabaikannya. Setiap kali aku bersamanya, aku merasa… berbeda."


Seketika, hatiku terasa hancur berkeping-keping, tapi aku berusaha menahan diri. "Dan aku?" tanyaku dengan suara yang lebih rendah dari biasanya.


"Kamu selalu istimewa," jawabmu cepat. "Kamu adalah sahabat terbaikku. Aku tidak bisa kehilanganmu."


Sahabat? Kalimat itu bagai menambah garam di lukaku yang masih basah. Di sini, di antara kopiku yang mulai mendingin dan deru obrolan orang-orang di sekitarku, aku harus menghadapi kenyataan bahwa aku tidak pernah menjadi lebih dari itu bagimu. Aku hanya sahabat—sementara hatiku mendambakan lebih.


***


Waktu berlalu, dan meskipun aku mencoba melupakan percakapan itu, aku selalu merasa ada sesuatu yang berubah. Pertemuan kita tidak lagi sehangat dulu. Kamu seringkali datang dengan pikiran yang melayang jauh, dan tanpa sadar, setiap kali kita berbicara, Aksa selalu menjadi topik pembicaraan yang tak terhindarkan. Aku mulai membenci namanya, membenci bayangan sosoknya yang entah bagaimana telah merenggutmu dariku.


Suatu hari, kau mengajakku bertemu di tempat biasa. Kali ini, aku datang dengan firasat buruk. Perasaanku tidak pernah salah. Ketika aku tiba, kau sudah duduk di sudut kafe, terlihat gusar.


"Aku ingin bicara lagi," katamu tanpa basa-basi. 


Aku duduk di depanmu, bersiap untuk apa pun yang akan kau katakan. "Apa ini tentang Aksa?"


Kamu mengangguk pelan. "Aku merasa bersalah karena tidak jujur padamu. Aku tahu perasaanmu, aku bukan bodoh. Dan aku sangat menghargai persahabatan kita. Tapi semakin lama aku menghabiskan waktu bersamanya, semakin sulit bagiku untuk mengabaikan perasaanku sendiri."


Aku tersenyum getir. "Jadi, apa yang kamu inginkan dari semua ini?"


"Aku ingin semuanya tetap seperti dulu. Aku tidak ingin kehilangan kamu, tapi aku juga tidak bisa membohongi diriku sendiri tentang perasaanku pada Aksa."


Aku menelan ludah, mencoba meredam rasa sakit yang menjalar di seluruh tubuhku. "Kamu tidak bisa memiliki keduanya," kataku dengan tegas, meskipun hatiku hancur saat kata-kata itu keluar dari mulutku. "Jika kamu memilih dia, aku harus pergi. Aku tidak bisa hanya menjadi teman saat aku tahu aku ingin lebih dari itu."


Suasana hening sejenak, hanya ada suara detak jantungku yang bergemuruh di telinga. Kau terdiam, dan di saat itulah aku tahu jawabannya. Kau tidak perlu mengucapkannya. Pilihanmu sudah jelas.


***


Beberapa minggu kemudian, kita jarang bertemu. Kau mulai semakin sibuk dengan duniamu yang baru, dan aku memutuskan untuk menjaga jarak. Aku berusaha menerima kenyataan, meskipun hatiku tak henti-hentinya mempertanyakan mengapa semua ini harus terjadi.


Namun, suatu sore, ketika aku sedang duduk di kafe yang sama, tiba-tiba kau datang. Matamu sembab, wajahmu penuh dengan ekspresi campur aduk antara penyesalan dan kebingungan.


"Kamu baik-baik saja?" tanyaku ragu.


"Aku... Aku sudah putus dengan Aksa," jawabmu pelan, seperti butiran hujan yang jatuh di kaca jendela.


Aku terdiam. Hatiku berdebar. "Kenapa?"


"Aku salah. Aku pikir aku mencintainya, tapi ternyata tidak. Aku bingung, dan aku menyadari bahwa aku telah menyakiti orang yang paling berharga dalam hidupku. Aku menyakiti kamu."


Seketika, amarah dan cinta berkecamuk dalam diriku. Bagaimana bisa kau datang lagi, seolah-olah semuanya bisa kembali seperti semula? "Kamu pikir semuanya akan selesai begitu saja?" tanyaku, suaraku bergetar menahan emosi.


"Aku tahu tidak semudah itu," jawabmu lirih. "Tapi aku ingin mencoba memperbaiki semuanya."


Aku menatapmu dalam-dalam, mencoba mencari jawaban di balik mata cokelatmu yang kini dipenuhi penyesalan. Mungkin aku masih mencintaimu, mungkin tidak. Namun yang aku tahu, cinta yang pernah ada di antara kita takkan pernah sama lagi.


Mungkin cinta segitiga ini tidak akan pernah benar-benar selesai.

Cerita Pendek:Malam Minggu Terakir

Cerita Pendek:Malam Minggu Terakir
Ilusi Foto Cerita Pendek:Malam Minggu Terakir by screen https://www.freepik.com/free-ai-image/medium-shot-couple-holding-hands_72566735.htm#fromView=search&page=1&position=14&uuid=782187a8-878d-4d08-99ba-dd0348986a16



Malam itu udara terasa hangat, angin yang berhembus lembut mengiringi malam minggu yang tampak sempurna bagi Alif dan Dinda. Sepasang kekasih itu berjalan bergandengan tangan di sepanjang trotoar. Jalanan ramai dengan suara deru kendaraan, lampu-lampu kota bersinar terang, memantulkan kilauan ke kaca-kaca toko di pinggir jalan.


"Aku senang kita bisa jalan-jalan malam ini," kata Dinda sambil tersenyum kecil, tatapan matanya penuh kehangatan. Ia menatap Alif dengan penuh kasih.


Alif mengangguk, menggenggam tangan Dinda lebih erat. "Iya, setelah seminggu penuh kerja, rasanya ini adalah pelarian yang sempurna," jawabnya, bibirnya melengkung tipis. Matanya berkilat, menikmati momen itu seolah malam ini adalah milik mereka berdua saja.


Namun, di balik keindahan malam, ada sesuatu yang mengintai. Di kejauhan, dua orang pria dengan helm hitam yang mencurigakan memperhatikan mereka dari jauh, di atas sepeda motor yang tampak tua dan berkarat. Tanpa disadari oleh Alif dan Dinda, bayangan gelap mulai mendekat.


"Tapi kamu janji, ya, habis ini kita mampir ke café itu?" tanya Dinda sambil menunjuk ke sebuah café di sudut jalan yang ramai dengan tawa dan musik.


"Tentu saja, sayang. Kita bisa pesan kopi favorit kamu," kata Alif sambil mengelus punggung tangannya, mencoba menenangkan kegelisahan yang samar-samar mulai terasa dalam dirinya.


Mereka berdua melanjutkan langkah, tak sadar bahwa motor yang tadinya jauh, kini semakin mendekat. Malam minggu yang awalnya tenang mulai berubah mencekam, namun keduanya belum menyadarinya.


Ketika Alif dan Dinda berbelok ke jalan yang lebih sepi, suasana mendadak berubah. Lampu jalan yang tadi terang benderang, perlahan memudar. Suara kendaraan semakin jarang terdengar, hanya ada derit angin yang menyelusup di antara gedung-gedung tua.


Alif merasakan firasat buruk, langkahnya melambat. "Din, ayo kita cepat sedikit. Jalan ini terasa aneh."


Dinda mengerutkan kening, "Kenapa? Kamu baik-baik saja?"


Namun, sebelum Alif sempat menjawab, suara bising motor menderu mendekat. Dua pria bertubuh kekar menghentikan motor mereka tepat di hadapan Alif dan Dinda. Wajah mereka tersembunyi di balik helm hitam legam, mata mereka berkilat seperti binatang yang siap menerkam mangsanya.


"Sial," gumam Alif, menarik Dinda di belakangnya dengan cepat. "Tetap di belakangku," bisiknya.


Salah satu pria turun dari motor dan mengeluarkan pisau lipat dari saku jaketnya. Kilatan besi tajam memantulkan cahaya lampu jalan yang redup. "Serahkan semua barang berharga kalian kalau nggak mau celaka!" Suaranya keras, kasar, dan memaksa.


Dinda memeluk lengan Alif erat, ketakutan menjalar ke seluruh tubuhnya. "Alif...," suaranya bergetar.


"Tenang, Dinda, aku akan melindungimu." Alif mencoba tetap tenang, tapi di dalam hatinya, jantungnya berdebar kencang. Ia menatap kedua pria itu dengan dingin, mencoba membaca niat mereka. Tidak ada jalan keluar selain menuruti atau melawan.


Alif merogoh kantong celananya, mengambil dompet dan ponselnya. Ia mengulurkannya ke pria bersenjata. "Ini, ambil saja. Tapi jangan sakiti kami," katanya dengan suara tenang, meski ketakutan mulai menguasai pikirannya.


Namun, tampaknya itu tidak cukup bagi mereka. Pria satunya mendekat dan meraih tas Dinda dengan kasar. "Cepat, kasih ke sini!" teriaknya.


Dinda menahan tasnya, spontanitas dan ketakutan membuatnya kaku.


"Jangan, Dinda!" seru Alif, tapi terlambat. Pria itu merenggut tas dengan paksa dan mendorong Dinda hingga terjatuh ke tanah.


Amarah Alif memuncak. Ia menyerang pria yang menodongkan pisau itu tanpa berpikir panjang. Perkelahian terjadi begitu cepat, seperti bayangan yang berkelebat. Alif memukul sekuat tenaga, berusaha melindungi Dinda yang terbaring di tanah.


Namun, dalam sekejap, segalanya berubah. Pisau tajam itu menusuk tubuh Alif.


"Alif!" jerit Dinda, suaranya pecah oleh kepanikan. Ia berlari ke arah Alif yang kini terkapar di tanah, darah mengalir deras dari luka di perutnya. 


Para penjahat itu kabur begitu saja, meninggalkan Dinda yang terduduk di samping tubuh kekasihnya yang mulai melemah. Di bawah cahaya lampu jalan yang suram, ia menggenggam tangan Alif yang bergetar.


"Jangan tinggalkan aku, Alif...," bisik Dinda dengan air mata membasahi wajahnya. Matanya penuh dengan ketakutan dan kesedihan yang mendalam.


Alif tersenyum lemah, wajahnya pucat. "Aku... maaf, Dinda... Aku tidak bisa menepati janji untuk minum kopi denganmu..." suaranya mulai serak, lemah, seolah tenaga terakhirnya telah habis.


"Jangan bicara seperti itu! Kamu akan baik-baik saja, kita akan segera ke rumah sakit!" Dinda mengguncang tubuh Alif, mencoba menyadarkannya.


Namun, Alif hanya mengangguk lemah, napasnya semakin berat, dan matanya perlahan menutup. Malam minggu yang seharusnya penuh kebahagiaan itu berubah menjadi malam yang kelam dan tragis. 


Dinda menatap kekasihnya yang kini tergeletak tak bernyawa di pangkuannya. Tangisnya pecah, memecah kesunyian malam, menggema di antara gedung-gedung yang dingin dan kosong.


Malam yang awalnya begitu hangat kini menjadi saksi bisu sebuah kehilangan yang menyayat hati.

PUISI:KERINDUAN RINTIK HUJAN

  PUISI:KERINDUAN RINTIK HUJAN (https://pixabay.com/id/photos/hujan-jalan-kota-pelabuhan-1479303/) Hujan menari di atas jendela, rintiknya...