Tampilkan postingan dengan label ceritaviral. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label ceritaviral. Tampilkan semua postingan

Cerita Pendek:Cinta di Malam Lailatul Qadar

 

Cinta di Malam Lailatul Qadar
Ilusi Gambar Cerita Pendek Cinta di Malam Lailatul Qadar  https://pixabay.com/id/illustrations/pasangan-muslim-berdoa-islam-6116320/ _Suaralukaa.com

Langit malam itu begitu pekat, seolah semesta sedang menyimpan rahasia terbesar yang hanya bisa dirasakan oleh mereka yang beriman. Udara terasa lebih sejuk dari biasanya, dan suara takbir menggema dari berbagai sudut kota, menyatu dengan desir angin yang lembut menyapu pepohonan. Malam itu adalah malam ke-27 Ramadan, malam yang diyakini sebagai Lailatul Qadar, malam penuh berkah yang lebih baik dari seribu bulan.

Di dalam masjid tua yang berdiri megah di pinggiran kota, Adam duduk bersimpuh, tenggelam dalam doa yang khusyuk. Hatinya yang selama ini gersang perlahan-lahan terisi oleh kehangatan yang sulit dijelaskan. Di tengah malam yang penuh ketenangan itu, tiba-tiba pandangannya tertumbuk pada seorang gadis yang sedang berdoa di sudut lain masjid. Wajahnya samar tertutup mukena putih, namun sinar matanya memancarkan keteduhan yang menggugah hati.

Adam merasa seolah waktu berhenti. Ada sesuatu dalam diri gadis itu yang menariknya, seperti gelombang laut yang tak terelakkan. Ia mengalihkan pandangannya, berusaha untuk kembali fokus pada doanya, namun hatinya gelisah. Dia tak tahu siapa gadis itu, tetapi entah mengapa, Adam merasa seolah sudah mengenalnya sejak lama.

Seusai shalat, ia melihat gadis itu bangkit dari duduknya. Adam masih terpaku, berusaha menahan hatinya yang terus bertanya-tanya. Gadis itu melangkah menuju pintu masjid, namun tiba-tiba angin bertiup kencang, membuat mukena yang menutupi wajahnya sedikit tersingkap. Seketika Adam melihat parasnya dengan jelas—sepasang mata bening yang menyiratkan kelembutan, bibir yang bergerak pelan mengucap dzikir, dan ekspresi yang menenangkan. Ada keindahan dalam kesederhanaan yang membuat Adam tak bisa mengalihkan pandangan.

Tanpa berpikir panjang, Adam berdiri dan melangkah cepat ke luar masjid, berharap bisa menemukan gadis itu. Namun, begitu ia sampai di halaman, gadis itu telah menghilang di antara kerumunan jamaah yang pulang. Hanya sisa wangi melati yang samar tertinggal di udara.

Malam berikutnya, Adam kembali ke masjid dengan harapan bertemu lagi dengan gadis itu. Hatinya berdebar ketika ia melihat sosok yang sama duduk di tempat yang sama. Kali ini, ia memberanikan diri untuk mendekati setelah shalat selesai.

“Assalamu’alaikum,” ucap Adam dengan suara pelan namun jelas.

Gadis itu menoleh dan membalas dengan lembut, “Wa’alaikumussalam.”

Adam menelan ludah, mencari kata-kata yang tepat. “Maaf jika saya mengganggu. Saya hanya ingin tahu... apakah kita pernah bertemu sebelumnya?”

Gadis itu tersenyum samar. “Saya rasa tidak, tapi mungkin hati kita saling mengenal lebih dulu.”

Jawaban itu membuat Adam terdiam. Ada sesuatu dalam suaranya yang menenangkan, seolah ia telah lama menunggu pertemuan ini terjadi.

“Apa nama Anda?” tanya Adam akhirnya.

“Nayla,” jawabnya singkat.

Adam mengulang nama itu dalam pikirannya, merasakan getaran aneh yang membuatnya yakin bahwa pertemuan ini bukan kebetulan.

Setelah malam itu, mereka sering bertemu di masjid. Percakapan-percakapan mereka sederhana, lebih banyak dipenuhi dengan pembahasan tentang iman, kehidupan, dan keindahan malam-malam Ramadan. Adam semakin yakin bahwa perasaannya terhadap Nayla bukan sekadar ketertarikan sesaat. Ia jatuh cinta bukan hanya pada parasnya, tetapi pada hatinya yang penuh dengan ketulusan.

Namun, kebahagiaan itu tak bertahan lama. Pada malam terakhir Ramadan, Nayla datang dengan wajah yang berbeda—sorot matanya sendu, seakan menyimpan perpisahan.

“Ada apa, Nayla?” tanya Adam dengan cemas.

Nayla tersenyum lembut, namun ada kesedihan di baliknya. “Besok aku harus pergi. Keluargaku pindah ke kota lain.”

Dada Adam terasa sesak. Ia ingin mengatakan sesuatu, ingin menahan Nayla, tapi kata-kata terasa begitu sulit diucapkan.

“Aku percaya, jika Allah menghendaki, kita pasti akan bertemu lagi,” lanjut Nayla dengan suara lirih.

Adam mengepalkan tangannya, berusaha menahan gejolak dalam hatinya. “Aku akan mencarimu, Nayla. Tidak peduli sejauh apa pun.”

Nayla tersenyum, kemudian melangkah pergi meninggalkan Adam yang berdiri membisu, menyaksikan cinta pertamanya menghilang dalam kesunyian malam Lailatul Qadar.

Bulan berganti tahun, dan Adam terus mencari. Hingga pada suatu malam yang mirip dengan malam itu—di sebuah masjid kecil di kota yang jauh dari tempatnya tinggal—Adam melihat sosok yang begitu familiar. Nayla berdiri di sana, tersenyum kepadanya, seolah tak pernah benar-benar pergi.

Malam Lailatul Qadar telah mempertemukan mereka kembali. Dan kali ini, Adam tak akan membiarkan Nayla pergi lagi.

CERITA PENDEK:DENDAM DALAM BAYANG

CERITA PENDEK:DENDAM DALAM BAYANG
Ilusi foto CERITA PENDEK:DENDAM DALAM BAYANG(https://pixabay.com/id/photos/foto-album-tua-album-foto-256889/)


Langit malam terasa gelap dan dingin, seolah mencerminkan ketegangan yang menggantung di udara. Di sebuah apartemen mewah di pusat kota, Clara berdiri di jendela, matanya kosong menatap ke luar. Di bawah sana, dunia terus berputar, tak pernah tahu bahwa malam ini, hidupnya akan berubah selamanya. 

Setelah bertahun-tahun bersama, dia tahu sesuatu yang tak seharusnya dia ketahui. Rasa curiga yang terpendam semakin menajam, dan kali ini, Clara tidak akan membiarkan perasaan itu menguasainya tanpa alasan yang pasti. Ia telah menyelidiki dengan seksama, mengumpulkan setiap petunjuk, dan kini, jawaban yang ditunggu-tunggu telah tiba.

Ponselnya bergetar di atas meja, suara tutsnya bergetar dalam keheningan malam. Clara mengangkatnya dengan tangan gemetar. Di layar, muncul nama Daniel, suaminya. Hatinya berdegup kencang, namun wajahnya tetap tak terbaca.

“Apa yang kamu lakukan malam ini?” suara Daniel terdengar lembut, namun Clara bisa mendengar kebohongan di baliknya.


“Apa yang kamu lakukan?” Clara menahan napas. Suaranya terdistorsi oleh amarah yang tertahan.


“Aku… hanya bekerja lembur, seperti biasa.”


Clara menghela napas panjang, menahan amarah yang hampir meledak. Dia tahu ini hanya kebohongan lain. Daniel telah mengkhianatinya, dan Clara tidak akan membiarkan semuanya berlalu begitu saja. Tidak lagi.


"Jangan bohong padaku, Daniel. Aku tahu semuanya."


Suasana sepi sesaat, hanya ada suara detak jam dinding yang terdengar seperti deru angin di tengah badai. Clara melangkah ke arah meja kecil di samping tempat tidur. Di sana, sebuah amplop putih tergeletak, berisi foto-foto yang sudah cukup jelas untuk membuktikan segalanya. Foto-foto yang menunjukkan Daniel, suaminya, berada dalam pelukan seorang wanita lain.


“Apa ini, Daniel? Apa kamu kira aku bodoh?” suara Clara pecah, penuh perasaan terluka.


Daniel terdiam di sisi telepon. Clara bisa membayangkan ekspresi wajahnya yang mulai cemas. Namun, Clara tidak peduli lagi. Dia ingin mendengar penjelasan, meski dia tahu tak ada yang bisa membenarkan apa yang telah terjadi.


“Clara, aku bisa jelaskan—”


“Jelaskan apa? Semua bukti ada di sini. Aku sudah melihat semuanya.”


Clara melemparkan foto-foto itu ke meja dengan marah, foto-foto yang menjadi saksi bisu penghianatan suaminya. Wajah Daniel yang penuh ketakutan mulai terlihat. Ia tahu, malam ini adalah malam terakhirnya bersama Clara.


“Aku minta maaf. Ini bukan yang kamu kira—”


“Tidak, Daniel! Ini lebih dari yang aku kira! Kamu... kamu mengkhianatiku! Kamu tidur dengan wanita itu, bukan? Aku melihat foto-fotonya!” Clara berteriak, suaranya penuh air mata yang hampir tumpah.


Daniel terdiam sejenak, lalu berkata dengan suara rendah. “Clara, aku tidak bisa hidup tanpa dia. Aku sudah mencoba—”


Tanpa peringatan, Clara melemparkan ponselnya ke dinding, suara pecahannya membuat Daniel terkejut. “Kamu tak akan mendapatkan kesempatan lagi. Tidak ada lagi penjelasan. Kamu sudah memilih jalanmu.”


Saat itu, Clara merasa kebencian yang begitu dalam mengalir dalam darahnya. Amarah yang tak bisa dibendung, rasa sakit yang mendalam akibat pengkhianatan itu, membuat matanya berkaca-kaca. Clara merasa seperti seorang asing dalam hidupnya sendiri, terperangkap dalam bayangan kesalahan yang tak bisa diperbaiki.


“Daniel,” Clara berkata dengan suara dingin, memanggil suaminya yang kini berdiri di depan pintu. “Kau akan menyesal karena sudah memilihnya. Tapi ingat, ini semua adalah pilihanmu.”


Tangan Clara menggenggam erat pisau dapur yang terletak di meja dekatnya. Wajahnya tegang, tubuhnya gemetar, namun dalam hatinya, ada kekuatan yang muncul dari kedalaman yang paling gelap.


Daniel berjalan mendekat, berusaha untuk meraih tangannya. “Clara, jangan lakukan ini. Aku akan pergi. Aku akan pergi darimu. Kamu bisa mulai hidup baru.”


Namun, Clara tidak bisa lagi mendengarkan kata-kata itu. Semua sudah terlambat. Apa yang terjadi malam ini adalah harga dari pengkhianatan yang sudah terlalu dalam. Tanpa ragu, Clara melangkah maju, dan dengan gerakan cepat, pisau itu menembus tubuh Daniel.


“Clara… kenapa…?” suara Daniel terdengar tercekat. Matanya melebar seolah tidak percaya dengan apa yang baru saja terjadi.


Clara menatapnya dengan tatapan kosong, darah menetes di tangan dan bajunya. “Ini untukmu, Daniel. Ini adalah akhirnya.” 


Daniel terjatuh ke lantai, napasnya semakin berat, tubuhnya terkulai lemah. Clara berdiri di sana, dengan tangan gemetar memegang pisau, masih tak percaya dengan apa yang baru saja ia lakukan. Namun di dalam hatinya, ada semacam kedamaian yang mulai merayap. Dia tahu, semuanya berakhir di sini. Pengkhianatan itu telah dibayar dengan harga yang tak bisa kembali.


Saat tubuh Daniel terkulai tak bernyawa, Clara menghadap cermin, menatap bayangan dirinya yang penuh darah. Untuk pertama kalinya, dia merasa tidak ada yang lebih jelas daripada kenyataan bahwa kebohongan dan pengkhianatan itu harus dibayar dengan harga yang sangat mahal.


Di luar sana, malam terus berjalan, namun bagi Clara, dunia telah berhenti.

Cerita Pendek:Di Bawah Langit yang Sama to Indonesia

 

Cerita Pendek:Di Bawah Langit yang Sama to Indonesia
Cerita Pendek:Di Bawah Langit yang Sama to Indonesia(https://pixabay.com/id/photos/jalan-kota-rakyat-malam-perkotaan-7752940/)

Kita selalu percaya bahwa langit adalah satu-satunya saksi yang setia. Ia terbentang tanpa batas, menghubungkan aku dan kamu yang dipisahkan ribuan kilometer oleh daratan dan lautan.

Aku, Ayu, seorang gadis dari Yogyakarta yang jatuh cinta pada Alif, seorang mahasiswa asal Istanbul yang pernah bertukar pelajar di kampusku. Perjumpaan kami dimulai dari sebuah kebetulan, di bawah pohon flamboyan saat ia menolongku mengumpulkan lembaran skripsi yang tertiup angin.

"Ini milikmu, bukan?" tanyanya dengan logat Turki yang kental, namun suaranya terdengar hangat.

Aku tersenyum canggung, mengambil lembaran itu dari tangannya. "Terima kasih, kamu sangat membantu."

Sejak saat itu, kami mulai sering bertemu. Di kantin, di perpustakaan, bahkan dalam perjalanan pulang ke kosan. Entah bagaimana, langkahnya selalu beriringan denganku.

Namun, waktu memiliki caranya sendiri untuk memisahkan. Ketika masa pertukaran pelajarnya usai, Alif harus kembali ke Istanbul. Perpisahan itu terasa begitu cepat, seolah-olah kami baru saja memulai kisah yang belum sempat diukir.

Di bandara, ia menggenggam tanganku erat. "Ayu, aku tahu ini sulit. Tapi aku ingin kita terus berkomunikasi. Aku ingin kita menjaga apa yang sudah kita mulai."

Aku menatap matanya yang menyimpan begitu banyak kerinduan. "Aku juga ingin begitu, Alif. Tapi, apakah cinta bisa bertahan sejauh ini?"

Ia tersenyum tipis. "Langit yang sama akan selalu mengingatkan kita."

Setelah ia pergi, jarak mulai menjadi ujian terbesar kami. Setiap malam aku menatap bintang, bertanya-tanya apakah Alif juga melakukan hal yang sama di sana.

Pesan-pesan dari Alif sering kali menjadi penyelamat hariku.

"Ayu, apa kabar? Di sini musim dingin mulai terasa. Aku harap kamu tetap hangat di sana."

Aku tersenyum membaca pesannya. "Aku baik-baik saja, Alif. Di sini musim hujan, dan aku merindukan secangkir kopi hangat bersama kamu."

"Aku juga merindukanmu. Suatu hari nanti, aku ingin kita duduk di kafe kecil di Istanbul, berbagi cerita tentang semua yang kita lalui."

Waktu berlalu, dan meskipun jarak terus memisahkan, hati kami tetap bertaut. Kami saling menguatkan melalui panggilan video, pesan singkat, dan surat yang sesekali dikirim dengan aroma khas negara masing-masing.

Suatu hari, ketika aku berjalan di Malioboro, sebuah pesan masuk. "Ayu, aku ada kejutan untukmu."

"Apa itu?" balasku penasaran.

"Tunggulah di bawah pohon flamboyan tempat kita pertama kali bertemu."

Dengan jantung berdegup kencang, aku melangkah menuju pohon itu. Angin sore berhembus lembut, membelai wajahku yang dipenuhi rasa rindu.

Dan di sana, di bawah flamboyan, berdiri sosok yang begitu aku rindukan.

"Alif? Bagaimana bisa?"

Ia tersenyum, matanya bersinar hangat. "Aku tak bisa menunggu lebih lama untuk bertemu denganmu lagi. Aku ingin memastikan bahwa cinta ini nyata, meski jarak pernah menjadi tembok."

Aku mendekatinya, merasakan debaran yang telah lama tak kurasakan. "Kamu gila... tapi aku senang kamu ada di sini."

Alif menggenggam tanganku. "Ayu, aku ingin kita berjalan bersama, tak hanya di bawah langit yang sama, tapi juga di jalan yang sama."

Langit sore itu menjadi saksi bisu, menyimpan cerita cinta yang kembali menyatu, seakan jarak tak pernah ada.

"Cinta tidak mengenal batas. Seperti langit yang tak terhitung luasnya, ia menyatukan hati yang berjauhan."

Cerita Pendek:Duri dalam Mawar

 

Cerita Pendek:Duri dalam Mawar
Ilusi gambar Cerita Pendek:Duri dalam Mawar https://pixabay.com/id/photos/pasangan-matahari-terbenam-6562725/


Hujan mengguyur lebat malam itu, membasahi jalan setapak menuju rumah tua di pinggir kota. Lampu jalan yang remang-remang memantulkan bayangan pohon yang melambai seperti sosok-sosok hantu. Di dalam rumah itu, tiga jiwa terjerat dalam cinta yang gelap.

Amara duduk di sofa ruang tamu, menatap cangkir teh di tangannya yang dingin. Hatinya berdenyut oleh kecamuk rasa bersalah dan kebencian. Di seberangnya, Reza berdiri sambil menyandarkan tubuhnya ke dinding, rokok terselip di antara jari-jarinya.

“Amara,” kata Reza dengan suara rendah. “Kamu harus memilih. Aku atau dia.”

Amara mendongak, matanya yang kelam bertemu dengan tatapan tajam Reza. “Ini tidak semudah itu, Reza. Aku mencintai kalian berdua. Tapi...” Suaranya pecah, tertahan oleh air mata yang menggantung di kelopak matanya.

Pintu depan berderit terbuka, dan langkah berat terdengar dari koridor. Arya muncul, wajahnya kusut dan matanya dipenuhi amarah. “Kalian sudah cukup lama bermain-main di belakangku,” katanya dengan nada datar, tapi penuh ancaman.

Reza menegakkan tubuhnya, menatap Arya tanpa gentar. “Kami tidak bermain-main, Arya. Aku mencintai Amara. Sesuatu yang mungkin sudah lama kamu lupakan.”

Arya tertawa pendek, getir. “Mencintai? Kamu pikir cinta itu cukup untuk menghancurkan hidup orang lain?”

Amara berdiri, tubuhnya gemetar. “Arya, hentikan. Aku...”

“Kamu apa, Amara?” Arya memotong, matanya menatap tajam seperti pisau. “Kamu mencintaiku, tapi juga mencintainya? Apa artinya pernikahan kita ini, kalau begitu?”

Ruangan terasa seperti dipenuhi oleh listrik, tegang dan tak terduga. Hening yang terjadi di antara mereka hanya dipecahkan oleh suara hujan di luar. Amara mencoba mencari kata-kata, tapi bibirnya membeku. Ia tahu bahwa apa pun yang ia katakan akan menjadi bahan bakar untuk api yang sudah berkobar.

Reza melangkah maju, memposisikan dirinya di antara Amara dan Arya. “Amara sudah cukup menderita. Kalau kamu memang laki-laki, Arya, hadapi aku. Jangan terus menekan dia.”

Arya menyeringai, tatapannya berubah gelap. “Baiklah, Reza. Kalau itu yang kamu mau.”

Tanpa aba-aba, Arya melayangkan pukulan ke wajah Reza. Tubuh Reza terhuyung ke belakang, tapi dengan cepat ia membalas. Perkelahian pecah, kasar dan tak terkendali. Amara menjerit, mencoba melerai, tapi kedua pria itu terlalu tenggelam dalam amarah mereka.

Dalam kekacauan itu, sebuah pisau dapur yang tergeletak di meja terjatuh ke lantai. Arya memungutnya dengan gerakan cepat, matanya seperti binatang buas yang terpojok. “Kalau aku tidak bisa memilikinya,” katanya dengan suara serak, “maka tidak ada yang bisa.”

Amara memekik. “Arya, jangan!”

Tapi semuanya terjadi begitu cepat. Reza mencoba merebut pisau itu, dan dalam pergulatan mereka, darah memercik ke lantai kayu. Reza terjatuh, memegangi luka di perutnya. Napasnya terengah, matanya membelalak tak percaya.

Arya berdiri, terengah-engah, pisau masih tergenggam di tangannya. Amara berlutut di samping Reza, air matanya mengalir deras. “Reza! Tidak, tidak...”

Reza mencoba berbicara, tapi hanya darah yang keluar dari mulutnya. Dalam hitungan detik yang terasa seperti selamanya, tubuhnya terkulai lemas.

Arya menatap pemandangan itu, seolah-olah baru menyadari apa yang telah ia lakukan. Pisau di tangannya terlepas dan jatuh ke lantai dengan dentingan yang tajam. “Amara...” suaranya lirih, hampir tak terdengar.

Amara bangkit perlahan, matanya penuh dengan kebencian dan kesedihan. “Kamu membunuhnya, Arya. Kamu membunuhnya...”

Arya mundur selangkah, tangannya terangkat seolah mencoba menjelaskan. “Aku... aku tidak bermaksud...”

Tapi Amara tidak mendengar. Dengan gerakan tiba-tiba, ia mengambil pisau dari lantai dan melangkah maju. Arya membeku, terkejut oleh kebencian yang terpancar dari wanita yang dulu ia cintai.

“Kamu telah menghancurkan segalanya,” bisik Amara sebelum mengayunkan pisau itu.

Ketika akhirnya sunyi menguasai ruangan itu, hanya ada suara hujan yang terus mengguyur di luar. Amara berdiri di tengah dua tubuh tak bernyawa, tangannya berlumuran darah. Napasnya tersengal, tapi matanya kosong.

Ia berjalan keluar dari rumah itu, meninggalkan segalanya di belakang. Di bawah hujan yang deras, ia terus melangkah, membiarkan air membasuh dosa yang baru saja ia lakukan. Tapi tidak ada hujan, seberapa deras pun, yang bisa membersihkan luka di hatinya.

Dan malam itu, di bawah langit kelam, cinta segitiga mereka menemukan akhir yang paling tragis.

Cerita Pendek:Lonceng Akhir

Cerita Pendek:Lonceng Akhir
Ilusi foto Cerita Pendek:Lonceng Akhir (pixabay.com)


Aku adalah seorang pegawai pabrik yang terjebak dalam gelapnya dunia pinjaman online. Semua bermula dari sebuah keputusan bodoh yang kuambil dengan berpikir bahwa segalanya akan baik-baik saja. Siapa yang mengira bahwa dari sekadar pinjaman kecil untuk kebutuhan mendesak, utang itu akan menjeratku dalam lingkaran setan yang tak berujung?


Hari itu, pabrik tempatku bekerja baru saja tutup. Tubuhku terasa lelah, namun pikiranku lebih berat menanggung beban utang yang semakin menumpuk. Aku duduk di bangku taman kecil di depan pabrik, memandang kosong ke arah jalanan. Pikiranku sibuk, mencoba mencari cara untuk keluar dari situasi ini. Pinjaman pertama hanya dua juta, tapi bunga yang mencekik membuat utang itu melonjak hingga belasan juta dalam beberapa bulan.


Ketika aku masih tenggelam dalam kekhawatiran, seseorang menepuk bahuku. Wajahnya garang, sorot matanya tajam seolah menusukku.


"Selamat sore, Mbak Rini," katanya dengan senyum sinis. Dia adalah salah satu dari penagih yang selama ini menghantuiku. "Kami sudah beri kamu waktu. Tapi kok, kamu masih belum ada itikad baik untuk melunasi utang?"


Aku terdiam, mencoba menelan rasa takut. "Saya sudah berusaha. Tapi, uangnya belum cukup," jawabku lemah, dengan suara bergetar.


"Bukan urusan saya. Yang penting, utang itu harus lunas. Bos kami nggak suka berurusan sama orang yang enggak bertanggung jawab."


Aku berusaha menjaga ketenangan, meski hati ini berdegup kencang. "Tolong beri saya waktu. Saya akan bayar."


Tiba-tiba, dia meraih tanganku dengan kasar. "Dengar, Rini. Kamu punya dua pilihan: bayar atau... kita bakal cari cara lain buat dapetin duitnya."


Tangannya semakin menguat. Rasa sakit menjalar dari pergelangan hingga ke seluruh tubuhku. Aku berontak, namun percuma. Dia lebih kuat, lebih buas, dan lebih kejam.


"Kalau kamu masih bandel, kami punya cara lain buat bikin kamu nurut," lanjutnya, dengan suara yang semakin rendah, penuh ancaman.


Aku berhasil menarik tanganku dan berlari. Keringat dingin membasahi punggungku, dan napasku terengah. Aku tahu, lari bukan solusi, tapi aku tak tahu lagi harus berbuat apa. Setiap malam, aku terjaga dengan kecemasan bahwa mereka akan muncul lagi, membuat hidupku tak tenang.


---


Hari berganti hari. Aku sudah mencoba meminta bantuan dari teman-teman, tapi mereka pun kesulitan. Tidak ada satu orang pun yang bisa menolongku. Aku merasa terjebak, seolah-olah hidup ini tak lagi memberi pilihan.


Suatu malam, ketika aku sedang berjalan pulang, aku mendengar langkah kaki yang mengikutiku. Aku menoleh dan melihat sosok yang tak asing lagi. Dia adalah pria yang sama, si penagih utang. Dia mendekat dengan wajah yang dingin dan penuh ancaman.


"Kenapa kamu lari, Rini? Kami sudah berusaha baik-baik, tapi kamu malah mengabaikan kami," katanya sambil menyeringai.


"Aku… aku nggak bisa bayar sekarang…" jawabku gemetar.


Dia mendekat semakin dekat, hingga jarak kami hanya beberapa jengkal. Napasnya tercium busuk, penuh kemarahan dan kebencian. "Kalau kamu nggak bisa bayar, kami bakal ambil sesuatu yang lebih berharga."


Aku tidak tahu dari mana keberanian itu muncul, namun tanganku terangkat dan mendorongnya keras. Dia terdorong mundur beberapa langkah, tapi secepat kilat, dia kembali menggapai tanganku dan menarikku dengan kasar.


"Aku sudah sabar, Rini. Tapi sepertinya kamu memang nggak layak diberi kesempatan."


Di saat itulah, aku merasakan benda keras di dalam tasku—pisau kecil yang kupakai untuk memotong makanan. Tangan ini gemetar, namun rasa takut yang menumpuk berubah menjadi keberanian. Tanpa berpikir panjang, aku menarik pisau itu dan menusukkannya ke arahnya.


Dia terkejut, matanya membelalak. Tangannya yang sebelumnya mencengkeramku mulai melemah, dan dia tersungkur di hadapanku, napasnya tersendat-sendat. Darah mengalir deras dari luka di perutnya. Aku melihatnya, terkejut sekaligus bingung.


Namun, bukan hanya darah di tubuhnya yang membasahi jalanan, tapi juga rasa bersalah yang mulai menghantui pikiranku. Aku telah melangkah terlalu jauh. Aku tahu bahwa ini bukan sekadar pelarian dari utang; aku telah melanggar batasan, dan tak ada jalan kembali.


---


Beberapa saat kemudian, sirene polisi terdengar. Mereka tiba dan segera menahan tanganku. Aku tak meronta, tak melawan. Sadar bahwa aku sudah kehilangan segalanya. Saat itu, aku hanya merasakan hampa, kosong. Begitu tragisnya hidup yang kujalani hingga berakhir seperti ini.


Di ruang tahanan, aku termenung, mencoba mencerna semua yang telah kulakukan. Penyesalan datang terlambat, tapi tak ada lagi yang bisa kukatakan. Aku hanya bisa berharap, dalam dunia yang suram ini, aku bisa mendapatkan kedamaian yang telah lama hilang.

Cerita Pendek:Malam Minggu Terakir

Cerita Pendek:Malam Minggu Terakir
Ilusi Foto Cerita Pendek:Malam Minggu Terakir by screen https://www.freepik.com/free-ai-image/medium-shot-couple-holding-hands_72566735.htm#fromView=search&page=1&position=14&uuid=782187a8-878d-4d08-99ba-dd0348986a16



Malam itu udara terasa hangat, angin yang berhembus lembut mengiringi malam minggu yang tampak sempurna bagi Alif dan Dinda. Sepasang kekasih itu berjalan bergandengan tangan di sepanjang trotoar. Jalanan ramai dengan suara deru kendaraan, lampu-lampu kota bersinar terang, memantulkan kilauan ke kaca-kaca toko di pinggir jalan.


"Aku senang kita bisa jalan-jalan malam ini," kata Dinda sambil tersenyum kecil, tatapan matanya penuh kehangatan. Ia menatap Alif dengan penuh kasih.


Alif mengangguk, menggenggam tangan Dinda lebih erat. "Iya, setelah seminggu penuh kerja, rasanya ini adalah pelarian yang sempurna," jawabnya, bibirnya melengkung tipis. Matanya berkilat, menikmati momen itu seolah malam ini adalah milik mereka berdua saja.


Namun, di balik keindahan malam, ada sesuatu yang mengintai. Di kejauhan, dua orang pria dengan helm hitam yang mencurigakan memperhatikan mereka dari jauh, di atas sepeda motor yang tampak tua dan berkarat. Tanpa disadari oleh Alif dan Dinda, bayangan gelap mulai mendekat.


"Tapi kamu janji, ya, habis ini kita mampir ke café itu?" tanya Dinda sambil menunjuk ke sebuah café di sudut jalan yang ramai dengan tawa dan musik.


"Tentu saja, sayang. Kita bisa pesan kopi favorit kamu," kata Alif sambil mengelus punggung tangannya, mencoba menenangkan kegelisahan yang samar-samar mulai terasa dalam dirinya.


Mereka berdua melanjutkan langkah, tak sadar bahwa motor yang tadinya jauh, kini semakin mendekat. Malam minggu yang awalnya tenang mulai berubah mencekam, namun keduanya belum menyadarinya.


Ketika Alif dan Dinda berbelok ke jalan yang lebih sepi, suasana mendadak berubah. Lampu jalan yang tadi terang benderang, perlahan memudar. Suara kendaraan semakin jarang terdengar, hanya ada derit angin yang menyelusup di antara gedung-gedung tua.


Alif merasakan firasat buruk, langkahnya melambat. "Din, ayo kita cepat sedikit. Jalan ini terasa aneh."


Dinda mengerutkan kening, "Kenapa? Kamu baik-baik saja?"


Namun, sebelum Alif sempat menjawab, suara bising motor menderu mendekat. Dua pria bertubuh kekar menghentikan motor mereka tepat di hadapan Alif dan Dinda. Wajah mereka tersembunyi di balik helm hitam legam, mata mereka berkilat seperti binatang yang siap menerkam mangsanya.


"Sial," gumam Alif, menarik Dinda di belakangnya dengan cepat. "Tetap di belakangku," bisiknya.


Salah satu pria turun dari motor dan mengeluarkan pisau lipat dari saku jaketnya. Kilatan besi tajam memantulkan cahaya lampu jalan yang redup. "Serahkan semua barang berharga kalian kalau nggak mau celaka!" Suaranya keras, kasar, dan memaksa.


Dinda memeluk lengan Alif erat, ketakutan menjalar ke seluruh tubuhnya. "Alif...," suaranya bergetar.


"Tenang, Dinda, aku akan melindungimu." Alif mencoba tetap tenang, tapi di dalam hatinya, jantungnya berdebar kencang. Ia menatap kedua pria itu dengan dingin, mencoba membaca niat mereka. Tidak ada jalan keluar selain menuruti atau melawan.


Alif merogoh kantong celananya, mengambil dompet dan ponselnya. Ia mengulurkannya ke pria bersenjata. "Ini, ambil saja. Tapi jangan sakiti kami," katanya dengan suara tenang, meski ketakutan mulai menguasai pikirannya.


Namun, tampaknya itu tidak cukup bagi mereka. Pria satunya mendekat dan meraih tas Dinda dengan kasar. "Cepat, kasih ke sini!" teriaknya.


Dinda menahan tasnya, spontanitas dan ketakutan membuatnya kaku.


"Jangan, Dinda!" seru Alif, tapi terlambat. Pria itu merenggut tas dengan paksa dan mendorong Dinda hingga terjatuh ke tanah.


Amarah Alif memuncak. Ia menyerang pria yang menodongkan pisau itu tanpa berpikir panjang. Perkelahian terjadi begitu cepat, seperti bayangan yang berkelebat. Alif memukul sekuat tenaga, berusaha melindungi Dinda yang terbaring di tanah.


Namun, dalam sekejap, segalanya berubah. Pisau tajam itu menusuk tubuh Alif.


"Alif!" jerit Dinda, suaranya pecah oleh kepanikan. Ia berlari ke arah Alif yang kini terkapar di tanah, darah mengalir deras dari luka di perutnya. 


Para penjahat itu kabur begitu saja, meninggalkan Dinda yang terduduk di samping tubuh kekasihnya yang mulai melemah. Di bawah cahaya lampu jalan yang suram, ia menggenggam tangan Alif yang bergetar.


"Jangan tinggalkan aku, Alif...," bisik Dinda dengan air mata membasahi wajahnya. Matanya penuh dengan ketakutan dan kesedihan yang mendalam.


Alif tersenyum lemah, wajahnya pucat. "Aku... maaf, Dinda... Aku tidak bisa menepati janji untuk minum kopi denganmu..." suaranya mulai serak, lemah, seolah tenaga terakhirnya telah habis.


"Jangan bicara seperti itu! Kamu akan baik-baik saja, kita akan segera ke rumah sakit!" Dinda mengguncang tubuh Alif, mencoba menyadarkannya.


Namun, Alif hanya mengangguk lemah, napasnya semakin berat, dan matanya perlahan menutup. Malam minggu yang seharusnya penuh kebahagiaan itu berubah menjadi malam yang kelam dan tragis. 


Dinda menatap kekasihnya yang kini tergeletak tak bernyawa di pangkuannya. Tangisnya pecah, memecah kesunyian malam, menggema di antara gedung-gedung yang dingin dan kosong.


Malam yang awalnya begitu hangat kini menjadi saksi bisu sebuah kehilangan yang menyayat hati.

Cerita Pendek:Jarak yang Memisahkan

Cerita Pendek:Jarak yang Memisahkan
Ilusi foto Cerita Pendek:Jarak yang Memisahkan steet by https://pixabay.com/id/photos/silakan-melakukan-bukan-unduh-ini-2697945/

 

Aku selalu percaya bahwa jarak tak akan menjadi penghalang bagi cinta. Aku selalu berpikir bahwa dengan komunikasi yang baik, kesetiaan, dan komitmen, jarak hanya akan menjadi ujian kecil. Tapi ternyata, aku salah.


Namaku adalah Andra. Aku dan Laila, kekasihku, telah bersama selama tiga tahun. Kami memulai hubungan ini dengan sangat indah, seperti pasangan lain pada umumnya. Setiap akhir pekan kami bertemu, menghabiskan waktu bersama, bercanda, dan membuat rencana masa depan. Namun, segalanya berubah ketika Laila mendapatkan pekerjaan di luar kota. Dia diterima di sebuah perusahaan besar yang memintanya untuk pindah ke kota lain yang berjarak ratusan kilometer dari tempatku berada.


"Kita bisa melakukannya, Ra. Aku yakin kita bisa bertahan meski berjauhan," ucap Laila di hari terakhir kami bertemu sebelum kepergiannya. Dia tampak yakin dan penuh semangat. 


Aku tersenyum, meski di dalam hati ada keraguan yang perlahan menggerogoti. "Ya, kita pasti bisa. Kita sering video call, telepon, dan aku akan berusaha menemuimu sesering mungkin."


Dan begitulah, selama beberapa bulan pertama, semuanya tampak berjalan baik-baik saja. Kami tetap terhubung melalui teknologi. Setiap malam, video call menjadi ritual kami sebelum tidur. Namun, rasa rindu yang tertahan lama-lama berubah menjadi keheningan yang aneh. Kami mulai kehabisan topik untuk dibicarakan, dan sesekali teleponnya hanya dipenuhi keheningan canggung.


***


Suatu malam, aku menelepon Laila seperti biasa, tapi dia tidak mengangkat. Sudah lewat satu jam sejak pesan terakhirku, namun tak ada balasan. Pikiran-pikiran buruk mulai muncul di kepalaku. Mungkinkah dia baik-baik saja? Atau mungkinkah ada sesuatu yang terjadi padanya?


Setelah beberapa saat, dia akhirnya membalas pesanku.


“Maaf, Andra. Tadi lagi lembur, sibuk banget. Baru sempat pegang HP.”


"Oh, tidak apa-apa. Aku hanya khawatir," jawabku, meski ada sesuatu dalam suaranya yang terdengar berbeda. Namun, aku mencoba menepis pikiran buruk itu.


Hari-hari berikutnya, situasi yang sama terus berulang. Laila semakin sering tak mengangkat teleponku atau membalas pesanku terlambat. Aku berusaha memahami kesibukannya. Aku berusaha percaya.


Tapi ada sesuatu yang terus menggangguku. Perasaan yang tak bisa aku jelaskan, sebuah firasat buruk yang perlahan menindih dada.


***


Suatu hari, aku memutuskan untuk memberikan kejutan pada Laila. Aku memutuskan untuk mengunjunginya tanpa memberitahu sebelumnya. Aku pikir, mungkin dengan kedatanganku, semua ketegangan ini akan mencair. Kami akan kembali seperti dulu, tertawa, bercanda, dan menikmati kebersamaan.


Aku berangkat di pagi hari dan tiba di kotanya menjelang malam. Di depan apartemennya, aku ragu untuk mengetuk pintu. Tapi akhirnya, aku melakukannya. Ketika pintu terbuka, yang berdiri di sana bukanlah Laila, melainkan seorang pria asing.


“Siapa kamu?” tanyaku, berusaha tetap tenang meski dadaku seolah hendak meledak.


Pria itu terlihat bingung, tapi sebelum sempat menjawab, Laila muncul dari belakangnya. Wajahnya pucat.


“Andra… aku bisa jelaskan,” katanya dengan suara bergetar.


Aku mundur selangkah, merasa dunia di sekitarku runtuh. "Siapa dia, Laila?" tanyaku sekali lagi, meski di dalam hatiku aku sudah tahu jawabannya.


“Ini... Arman, teman kerjaku. Kami...”


“Teman kerja?” Aku tertawa getir. “Jangan bohong, Laila! Aku tahu apa yang sedang terjadi.”


Laila menggigit bibirnya, air matanya mulai mengalir. “Andra, aku... aku nggak bermaksud seperti ini. Aku... aku kesepian.”


"Kamu kesepian? Jadi aku nggak cukup, begitu?" Tiba-tiba, seluruh emosi yang selama ini kutahan meluap. "Jarak yang membuatmu begini, atau kamu memang sudah bosan dengan kita?!"


Laila menunduk, tak mampu menjawab. Arman, pria itu, tampak ingin mengatakan sesuatu, tapi aku menghentikannya dengan tatapan tajam. Aku tak ingin mendengar penjelasan apa pun darinya. Ini antara aku dan Laila.


“Kenapa, Laila?” tanyaku, suaraku lebih pelan, nyaris berbisik. Aku butuh penjelasan. Meskipun sakit, aku ingin tahu kenapa semua ini terjadi. “Kamu bilang kita bisa bertahan, kamu bilang kita akan baik-baik saja. Kenapa kamu mengkhianati itu?”


Laila masih diam. Dia hanya menangis. Tangisannya seolah menjadi jawaban yang menyakitkan. Jauh di dalam hatiku, aku tahu ini lebih dari sekadar jarak. Ini lebih dalam dari sekadar kesepian. Ini adalah rasa ragu yang tak terungkap sejak lama. Mungkin hubungan kami memang sudah retak jauh sebelum jarak memisahkan kami.


Aku menarik napas panjang, berusaha menenangkan diri meski dadaku sesak. “Aku pergi,” ucapku akhirnya. 


Laila mendongak, matanya penuh dengan air mata. “Andra, jangan pergi. Aku bisa jelaskan.”


“Tidak ada yang perlu dijelaskan lagi.” Aku berbalik, meninggalkan apartemen itu dengan langkah berat. Setiap langkah yang kuambil terasa seperti menghapus masa lalu kami, semua kenangan manis yang pernah kami bagikan. 


***


Di perjalanan pulang, pikiranku terus berputar. Ada begitu banyak pertanyaan yang tak terjawab. Bagaimana bisa aku tak melihat ini terjadi? Apakah aku terlalu sibuk dengan pekerjaanku sehingga aku tak menyadari bahwa hubungan kami semakin renggang? Atau mungkin, memang sejak awal hubungan kami tidak sekuat yang kupikirkan?


Sesampainya di rumah, aku duduk di tepi tempat tidur, menatap ponsel yang masih terdiam di tanganku. Pesan terakhir dari Laila masih di layar: "Aku kesepian."


Kata-kata itu terus bergema di kepalaku. Kesepian. Apakah aku juga merasakan hal yang sama selama ini? Apakah aku juga sebenarnya merasakan keraguan yang tak pernah kuungkapkan?


Namun, satu hal yang pasti: cinta saja tidak cukup. Jarak, ketidakpastian, dan rasa sepi bisa memakan cinta itu perlahan-lahan, hingga yang tersisa hanyalah kehampaan dan kebohongan.


Aku tak tahu apakah aku akan bisa memaafkan Laila, atau apakah kami akan pernah bisa kembali seperti dulu. Tapi untuk sekarang, aku harus merelakan semuanya. 


Karena pada akhirnya, jarak bukan hanya tentang kilometer yang memisahkan kita, tetapi tentang sejauh mana hati kita sudah saling menjauh.


--- 


Cerita ini menyajikan ketegangan batin dan rasa sakit yang dialami oleh seorang tokoh utama yang menjadi korban perselingkuhan dalam hubungan jarak jauh, dengan percakapan intens yang membantu menggambarkan rasa kecewa dan pengkhianatan dalam hubungannya.

Cerita Pendek:Aisyah di Tengah Badai Perang


Ilusi foto Cerita Pendek:Aisyah di Tengah Badai Perang,foto:https://pixabay.com/id/photos/jalan-kota-rakyat-malam-perkotaan-7752940/


Suara ledakan menggema di langit Gaza, mengguncang hati Aisyah yang bergetar dalam sunyi. Anak perempuan berusia sembilan tahun itu berdiri di pinggir jendela rumahnya yang rusak. Asap membubung tinggi di kejauhan, tanda bahwa serangan udara baru saja menghantam kota mereka lagi. Rumahnya, dulu nyaman dan damai, kini hanya tersisa dinding-dinding yang retak. Aisyah menatap langit yang dipenuhi suara jet tempur Israel, lalu menunduk menatap boneka lusuh di tangannya. Sebuah boneka yang dulu pernah membawa kebahagiaan, kini hanya jadi pengingat dunia yang telah hancur.


"Aisyah, ayo ke ruang bawah tanah sekarang!" teriak ibunya, Laila, dengan nada putus asa. Wajahnya yang dulu penuh senyum kini berubah jadi guratan ketakutan yang tak pernah hilang.


Aisyah berlari, menuruni tangga ke ruang bawah tanah kecil yang menjadi perlindungan mereka selama berhari-hari. Di sana, ayahnya, Yasser, duduk di sudut ruangan dengan wajah penuh kecemasan. Di dekatnya, adik laki-laki Aisyah yang berusia empat tahun, Mahmoud, meringkuk dalam dekapan sang ayah.


"Mereka akan datang lagi, ayah?" tanya Aisyah dengan suara bergetar. Matanya menatap ayahnya yang tampak lebih tua dari usianya.


Yasser menelan ludah, mencoba tersenyum meski hatinya penuh kekhawatiran. "Mungkin, tapi kita akan aman di sini. Kita harus tetap bersama dan kuat, Aisyah."


Kata-kata Yasser terasa kosong bagi Aisyah. Bagaimana bisa merasa aman jika dunia di luar sana penuh dengan kematian? Setiap hari, mereka mendengar kabar tetangga, teman, atau bahkan keluarga yang kehilangan nyawa akibat serangan. Hati Aisyah penuh dengan pertanyaan yang tak terjawab—mengapa mereka harus hidup di tengah perang yang tak pernah mereka inginkan?


Suara ledakan keras mengguncang dinding ruang bawah tanah, membuat debu beterbangan di udara. Mahmoud menangis keras, menggenggam erat lengan ayahnya. Yasser berusaha menenangkan anak-anaknya, sementara Laila menatap dinding dengan kosong, seolah harapan telah lenyap.


Beberapa saat kemudian, suara sirene berhenti. Keheningan yang menakutkan menyelimuti mereka. Aisyah memberanikan diri untuk membuka pintu ruang bawah tanah sedikit, mengintip keluar.


"Jangan keluar dulu, Aisyah," ujar Laila, memegang bahunya.


Aisyah menelan air liurnya. "Aku hanya ingin tahu apakah kita masih punya rumah."


"Rumah itu bukan lagi yang penting," gumam Laila, suaranya nyaris tak terdengar. "Yang penting adalah kita masih hidup."


Aisyah menarik napas dalam-dalam. Betapa menyedihkan hidup di dunia di mana selamat dari serangan lebih penting daripada rumah atau kebahagiaan.


Tak lama setelah itu, pintu rumah terdengar diketuk keras dari luar. Suara seorang lelaki terdengar, memanggil nama Yasser.


"Itu suara Saeed," kata Yasser sambil bangkit berdiri. Saeed adalah tetangga mereka yang sudah lama tinggal di sekitar rumah mereka.


"Ada apa, Saeed?" tanya Yasser, membuka pintu depan dengan hati-hati.


"Kita harus segera pergi. Pasukan darat Israel sudah mendekat ke daerah ini. Mereka akan datang untuk menghancurkan sisa-sisa perlawanan. Kota ini tak aman lagi. Aku punya mobil, kita bisa pergi sekarang sebelum terlambat," jelas Saeed dengan napas terengah-engah.


Yasser menatap Laila yang memeluk Mahmoud dengan erat. Aisyah berdiri di samping ibunya, wajahnya pucat. Dia tahu keputusan besar ini harus segera diambil. Tetap tinggal berarti bertaruh nyawa, namun pergi juga tidak menjamin keselamatan.


"Kita tidak bisa menunggu lebih lama," desak Saeed. "Ayo, sebelum semuanya terlambat."


Dengan hati yang berat, Yasser mengangguk. "Baiklah, kami ikut denganmu."


Dalam kegelapan malam, mereka bergerak cepat. Aisyah menggenggam erat tangan ibunya, sementara Yasser membawa Mahmoud di gendongannya. Saeed memimpin mereka menuju mobil yang terparkir di ujung jalan. Jalanan gelap, hanya diterangi sinar bulan yang pucat. Di kejauhan, suara tembakan masih terdengar samar-samar, membuat detak jantung Aisyah semakin cepat.


Mobil Saeed kecil, tapi cukup untuk menampung mereka. Mereka segera masuk dan Saeed menyalakan mesin, siap melaju. Namun, tiba-tiba terdengar suara mendengung keras di atas kepala mereka. Aisyah menengadah ke langit, matanya membulat melihat cahaya merah terang yang datang mendekat.


"Roket! Cepat keluar!" teriak Saeed.


Tanpa pikir panjang, mereka semua bergegas keluar dari mobil. Detik berikutnya, ledakan dahsyat terjadi. Mobil Saeed meledak, terpental ke udara, meninggalkan api yang membakar. Aisyah terlempar ke tanah, tubuhnya terasa sakit di sekujur tubuh. Asap dan debu memenuhi udara, membuatnya sulit bernapas.


"Aisyah!" suara ibunya terdengar jauh, namun samar.


Aisyah berusaha bangkit. Lututnya berdarah, dan tubuhnya terasa lemah. Ia memandang sekeliling, mencari keluarganya. Di tengah kepanikan, dia melihat Laila yang terbaring tak bergerak di tanah.


"Ibu!" teriak Aisyah, berlari meski tubuhnya terasa berat.


Ketika Aisyah sampai di samping ibunya, Laila terengah-engah. Matanya terbuka, tetapi ada luka besar di bahunya.


"Aisyah... lari..." bisik Laila dengan sisa-sisa kekuatannya. "Cari tempat aman."


"Tidak, aku tidak akan meninggalkanmu!" Aisyah menggenggam tangan ibunya erat-erat, air mata mengalir deras di wajahnya.


Namun, Laila hanya tersenyum lemah. "Kau harus bertahan, Nak. Kau harus hidup."


Dengan sisa-sisa kekuatan, Aisyah menarik tubuh ibunya, mencoba menghindar dari puing-puing dan bahaya di sekeliling. Di tengah ledakan, dentuman, dan api yang tak kunjung reda, Aisyah berjanji pada dirinya sendiri: ia akan bertahan. Ia akan hidup. Meskipun di tengah perang yang tiada akhir, harapan kecil itu tetap ada.

Cerita Pendek: Perjuangan Cinta Menuju Pernikahan


Ilusi Cerita Pendek: Perjuangan Cinta Menuju Pernikahan (gambar patah hati by pixabay fotos)


Aku masih ingat dengan jelas hari itu—hari ketika aku bertemu dengan Aini untuk pertama kalinya. Dia adalah wanita yang tampak biasa saja dari jauh, tetapi begitu aku mendekatinya, ada sesuatu yang membuatku merasa berbeda. Senyum kecilnya, cara dia berbicara dengan tenang namun penuh keyakinan, dan sorot matanya yang hangat seperti menyimpan seribu cerita. Pertemuan kami di sebuah acara pertemuan alumni kampus pada awalnya tidak begitu berarti bagiku, namun siapa sangka, itulah awal dari sebuah perjalanan panjang.


Waktu itu, aku baru saja memulai karierku sebagai arsitek, sementara Aini sudah bekerja di sebuah perusahaan IT ternama. Meskipun kami bergerak di dunia yang berbeda, percakapan di antara kami selalu mengalir tanpa hambatan. Kami bisa membicarakan apa saja—tentang kehidupan, impian, hingga hal-hal kecil yang remeh.


Hari demi hari berlalu, dan aku semakin menyadari bahwa aku mulai menyimpan rasa padanya. Tapi aku tak bisa langsung mengungkapkannya. Bagiku, Aini bukanlah wanita yang bisa didekati dengan tergesa-gesa. Dia adalah tipe wanita yang perlu diyakinkan, bukan hanya dengan kata-kata manis, tetapi dengan tindakan yang nyata.


Suatu malam, ketika kami duduk di sebuah kafe setelah bekerja, aku memberanikan diri untuk membuka pembicaraan yang lebih serius.


“Aini,” kataku sambil memberanikan diri untuk menatap matanya. “Apa kamu pernah berpikir tentang... masa depan?”


Dia tersenyum kecil, menyadari arah pembicaraanku. "Tentu saja, masa depan selalu ada di pikiranku. Kenapa kamu tanya begitu?"


Aku menarik napas dalam-dalam. "Karena aku ingin kamu menjadi bagian dari masa depanku."


Aini tampak terkejut, tetapi dia tidak menolak atau mundur. Dia hanya menatapku dalam-dalam seolah sedang menimbang sesuatu yang besar. Ada jeda yang terasa lama sebelum dia akhirnya menjawab.


"Raka," katanya pelan, "Aku menghargai perasaanmu, dan aku juga merasakan hal yang sama. Tapi aku ingin kita jujur satu sama lain. Jalan menuju sebuah hubungan yang serius, apalagi pernikahan, bukanlah hal yang mudah. Banyak hal yang harus kita hadapi."


Aku tersenyum mendengar jawabannya. "Aku tahu, dan aku siap untuk itu. Kita bisa menghadapi apapun bersama."


Perjuangan Dimulai


Sejak malam itu, hubungan kami berkembang semakin dalam. Namun, seperti yang dikatakan Aini, jalan menuju pernikahan tidak pernah mudah. Ada banyak hal yang menjadi ujian bagi kami, terutama dari keluargaku. Orangtuaku selalu memiliki harapan besar bahwa aku akan menikah dengan seseorang dari latar belakang yang sama, bahkan keluarga besar kami sudah sejak lama mengenal satu keluarga yang dianggap cocok untukku.


Sebuah pertemuan dengan keluargaku menjadi awal dari permasalahan itu.


"Aini memang wanita yang baik," kata ibuku ketika Aini keluar sebentar dari ruang tamu. "Tapi Raka, apa kamu yakin dia cocok untukmu? Bukankah kamu tahu, keluarga kita punya hubungan dekat dengan keluarga Pak Arman?"


Aku terdiam, mencoba mencari kata-kata yang tepat. "Bu, aku mencintai Aini. Bukan soal keluarga siapa dia berasal, tapi bagaimana aku merasa tenang bersamanya. Aku yakin Aini adalah yang terbaik untukku."


Ayahku ikut angkat bicara, nadanya lebih tenang namun tegas. "Kami hanya ingin yang terbaik untukmu, Raka. Ini bukan soal perasaan saja, tapi juga soal masa depan. Pernikahan itu bukan hanya urusan dua orang, tapi dua keluarga."


Aku paham maksud mereka. Pernikahan di keluargaku memang selalu dianggap sebagai ikatan antara dua keluarga besar, bukan hanya sekadar urusan pribadi. Tapi aku tak ingin menyerah begitu saja.


Malam itu, aku menelepon Aini. Aku merasa berat untuk mengatakan apa yang baru saja terjadi, tetapi aku tahu kami harus saling terbuka.


"Aku baru saja berbicara dengan orangtuaku," kataku dengan nada lesu. "Mereka... belum bisa menerima hubungan kita sepenuhnya."


Aini terdiam sesaat di seberang telepon. "Aku mengerti, Raka. Kita berasal dari latar belakang yang berbeda, dan aku tahu itu bisa jadi masalah. Tapi... apa kamu siap untuk memperjuangkan kita?"


Pertanyaannya menusuk dalam di hatiku. Aku tahu jawabannya. "Iya, Aini. Aku siap. Aku akan bicara dengan mereka lagi. Ini bukan soal mereka tidak menyukaimu, tapi tentang tradisi yang selama ini dipegang erat. Aku yakin bisa meyakinkan mereka bahwa kamu adalah yang terbaik untukku."


Pengorbanan dan Kesabaran


Hari demi hari, aku mulai membangun komunikasi lebih baik dengan keluargaku. Aku berusaha menunjukkan bahwa perasaanku kepada Aini bukanlah sekadar cinta sesaat, melainkan keputusan yang matang untuk masa depan. Aku juga tidak pernah lelah meyakinkan Aini bahwa apa pun yang terjadi, aku akan tetap bersamanya.


Suatu hari, ketika aku mengajak Aini bertemu dengan orangtuaku lagi, aku tahu ini adalah kesempatan besar untuk menunjukkan siapa Aini sebenarnya.


“Bu, Ayah,” kataku sambil menatap mereka dengan penuh keyakinan, “Aku tahu kalian punya harapan dan tradisi, tapi aku mohon, lihatlah Aini bukan dari latar belakangnya, tapi dari siapa dia sebagai individu. Aku yakin bahwa bersama dia, aku bisa membangun kehidupan yang bahagia.”


Aini juga berbicara dengan tenang dan penuh hormat, menunjukkan bahwa dia menghargai keluarga dan tradisi kami. Dia tidak pernah berusaha melawan atau menunjukkan sikap yang keras, melainkan menanggapi setiap pertanyaan dengan ketulusan.


Setelah pertemuan itu, aku merasakan ada perubahan kecil dalam sikap orangtuaku. Mereka tidak langsung memberikan restu, tapi aku tahu mereka mulai melihat apa yang aku lihat dalam diri Aini—seseorang yang tulus dan bisa menjadi pasangan hidupku.


Pernikahan yang Ditunggu


Beberapa bulan setelahnya, perjuangan kami akhirnya membuahkan hasil. Orangtuaku, meskipun awalnya ragu, akhirnya memberi restu dengan syarat bahwa kami harus tetap menjaga hubungan baik dengan keluarga besar. Mereka mulai menerima bahwa cinta tidak bisa diatur oleh tradisi semata.


Hari pernikahan kami adalah hari yang penuh kebahagiaan. Melihat Aini berjalan di altar dengan senyuman yang begitu menenangkan, aku tahu bahwa semua perjuangan kami tidak sia-sia. Perjalanan panjang, ujian, dan rintangan yang kami hadapi telah memperkuat cinta kami.


Saat aku menggenggam tangannya di altar, aku berkata pelan, “Aini, aku bersyukur kita bisa melalui semua ini bersama.”


Dia tersenyum hangat. "Aku juga, Raka. Perjuangan kita hanya awal dari perjalanan baru."


Aku yakin, bersama Aini, aku bisa menghadapi apapun. Perjuangan cinta kami telah mengajarkan bahwa cinta sejati tak pernah datang dengan mudah, tetapi ketika diperjuangkan, ia akan membawa kebahagiaan yang tak tergantikan.

Cerita Pendek "Doa yang Tak Pernah Sampai"

 

Cerita Pendek "Doa yang Tak Pernah Sampai"
Ilusi foto Cerita Pendek "Doa yang Tak Pernah Sampai"//https://pixabay.com/id/photos/sendiri-sedih-pantai-laut-gadis-8603184/

Hening malam menyelimuti kota kecil itu, dengan angin lembut yang membawa aroma hujan dan dedaunan basah. Di bawah rembulan pucat, seorang pemuda duduk di atas atap rumahnya, menatap langit yang dipenuhi bintang. Namanya Arya. Dari balik tirai gelap malam, hatinya dipenuhi perasaan yang sulit dijelaskan. Ia mencintai seseorang. Seseorang yang tak mungkin ia miliki.


Namanya Hana.


Mereka bertemu di bangku sekolah, ketika usia mereka masih remaja, dan tawa serta canda adalah bahasa sehari-hari. Saat itu, Arya tidak terlalu peduli tentang perasaan. Baginya, Hana hanyalah teman—teman baik. Namun, seiring berjalannya waktu, ada yang tumbuh di hatinya, seperti bunga yang diam-diam bersemi di musim semi. Sesuatu yang lebih dari sekadar persahabatan.


Tapi ada satu hal yang menjadi penghalang: keyakinan mereka berbeda. Arya seorang Muslim, dan Hana seorang Nasrani. Mereka tumbuh dalam keluarga yang taat, dengan ajaran yang mendalam tentang agama dan batas-batas yang tak boleh dilanggar. 


Suatu malam, di bawah langit yang sama, Hana duduk di beranda rumahnya, memandangi bulan yang sama dengan Arya. Di tangannya, Alkitab yang biasa ia baca sebelum tidur, namun pikirannya melayang jauh. Ia memikirkan Arya, sosok yang begitu dekat tapi terasa begitu jauh.



Hari itu, mereka bertemu lagi di perpustakaan kota. Mata Arya tak pernah bisa berbohong. Setiap kali ia menatap Hana, ada sesuatu yang dalam, yang ia sembunyikan di balik senyum tipisnya. Hana, dengan wajah lembutnya, tampak tak menyadari apa yang ada di balik tatapan Arya. Atau mungkin ia pura-pura tidak tahu.


“Arya, kamu masih suka baca buku sejarah?” Hana membuka percakapan, memecah keheningan di antara rak-rak buku yang sunyi.


Arya tersenyum, mengalihkan tatapannya dari buku di tangannya. “Iya, masih. Aku suka bagaimana sejarah menyimpan banyak pelajaran untuk kita. Tentang keputusan, tentang kehidupan.”


Hana tertawa kecil. “Kamu selalu serius soal itu. Padahal buatku, sejarah terlalu berat untuk dipikirkan.”


Arya tertawa, tapi ada kecanggungan yang selalu hadir di antara mereka. Ada banyak hal yang ingin dikatakannya, tapi kata-kata itu selalu menguap di udara sebelum sampai di bibir.


“Aku pikir, sejarah juga soal pilihan,” kata Arya tiba-tiba, suaranya lembut. “Tentang bagaimana orang-orang membuat pilihan, dan bagaimana pilihan itu membawa mereka ke tempat yang mereka tuju. Kadang, pilihan itu sulit.”


Hana menatap Arya dengan tatapan penuh arti, seolah mencoba memahami apa yang sebenarnya ia maksud. Tapi ia tidak bertanya lebih jauh.


“Arya…” Hana ragu sejenak sebelum melanjutkan. “Kenapa kamu selalu terlihat seperti sedang memikirkan sesuatu yang berat?”


Arya terdiam. Pertanyaan itu tepat mengenai hatinya. “Mungkin karena... ada hal-hal yang tidak bisa kita ungkapkan, Hana. Ada perasaan yang harus disimpan, karena jika tidak, itu hanya akan menyakiti lebih banyak orang.”


Hana tersenyum tipis, senyum yang penuh pengertian. “Terkadang, lebih baik menyimpan perasaan itu, ya?”


Arya mengangguk pelan. “Mungkin, tapi itu bukan berarti perasaan itu hilang.”



Waktu terus berjalan, dan hubungan mereka tetap sama: hangat tapi terjaga jaraknya. Mereka saling tahu bahwa ada batas yang tak bisa mereka lewati. Arya sering kali terbangun di malam hari, mengirimkan doa-doa yang tak pernah sampai, memohon agar hatinya bisa melupakan, atau setidaknya mengerti bahwa cinta ini bukan untuk dimiliki. 


Sementara itu, Hana setiap malam berdoa di sisi tempat tidurnya, meminta petunjuk dari Tuhan tentang perasaan yang ia sembunyikan, tentang hati yang terikat pada seseorang yang tak seharusnya. Mereka hidup dalam doa-doa yang tak bersuara, dalam cinta yang mereka simpan di sudut hati paling dalam.


Suatu hari, Arya dan Hana bertemu di sebuah taman. Taman itu penuh dengan bunga-bunga yang sedang bermekaran, tapi di hati mereka, ada bunga yang tak bisa tumbuh. Mereka duduk di bangku kayu, membiarkan keheningan berbicara di antara mereka.


“Aku pernah berpikir,” kata Arya pelan, “bahwa mungkin di dunia lain, kita bisa bersama.”


Hana tersentak mendengar kata-kata itu, tapi ia tetap tenang. “Di dunia lain?”


“Iya,” Arya menunduk, menatap kakinya. “Di dunia di mana keyakinan kita tak menjadi penghalang. Di dunia di mana cinta tak perlu dipertanyakan.”


Hana menahan napas sejenak. “Tapi kita ada di dunia ini, Arya. Dan di dunia ini, ada batas yang tak bisa kita langgar.”


Arya mengangguk, meskipun hatinya memberontak. “Aku tahu. Tapi itu tidak membuat perasaan ini hilang.”


Hana menatap Arya dengan mata yang mulai berair. “Arya, aku juga punya perasaan yang sama. Tapi...”


“Agama kita berbeda,” potong Arya pelan.


“Ya. Kita hidup di dua dunia yang berbeda, meskipun di bumi yang sama.”


Keheningan kembali menyelimuti mereka. Di antara riuh rendah suara taman dan tawa anak-anak kecil yang bermain, hati mereka berteriak, tapi bibir mereka tetap bungkam.


“Aku harap kamu bahagia,” kata Arya akhirnya, suaranya bergetar.


“Aku juga berharap yang sama untukmu,” jawab Hana. “Mungkin cinta kita bukan untuk sekarang, bukan untuk di sini. Tapi aku percaya, cinta itu tidak akan pernah hilang.”


Arya menatap Hana untuk terakhir kalinya dengan tatapan penuh arti. “Mungkin di dunia lain, Hana. Mungkin di sana, kita akan menemukan akhir yang berbeda.”


Hana hanya tersenyum, meskipun air mata mulai mengalir di pipinya. “Mungkin. Tapi sampai saat itu, kita akan tetap mencintai dalam doa, meskipun doa kita tak pernah sampai.”


Mereka berpisah malam itu, membawa cinta dalam diam yang tak pernah terucap. Cinta yang tak pernah bisa dimiliki, tapi akan selalu ada di hati mereka. 



Arya kembali menatap langit malam. Hatinya penuh dengan doa yang tak pernah sampai, dan cinta yang tak pernah terwujud. Tapi ia tahu, di dunia lain, mungkin ia dan Hana bisa bersama. Hingga saat itu, ia akan tetap mencintai Hana—dalam doa dan dalam diam.

PUISI:KERINDUAN RINTIK HUJAN

  PUISI:KERINDUAN RINTIK HUJAN (https://pixabay.com/id/photos/hujan-jalan-kota-pelabuhan-1479303/) Hujan menari di atas jendela, rintiknya...