Tampilkan postingan dengan label artikelromantis. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label artikelromantis. Tampilkan semua postingan

Cerita Pendek:Asap yang Mengiringi Langkah

 

Cerita Pendek:Asap yang Mengiringi Langkah
Ilusi gambar Cerita Pendek:Asap yang Mengiringi Langkah(https://pixabay.com/id/photos/rakyat-wanita-fotografi-merokok-2606165/)


Langit Jakarta malam itu seperti kanvas hitam pekat, dihiasi kilatan lampu-lampu kendaraan yang berkelebat cepat di jalan raya. Suara klakson bersahut-sahutan, mengiringi hiruk-pikuk orang-orang yang terburu-buru kembali ke rumah. Namun, di sudut gang sempit yang gelap, ada seorang gadis muda yang menepi, memejamkan mata sejenak, menikmati sebatang rokok yang menggantung di antara bibir tipisnya. Asap yang membumbung ke udara malam itu seolah membawa sebagian kecil bebannya—walau hanya sesaat.


Namanya Amira. Usianya baru saja menginjak 23 tahun, tetapi hidup telah memberinya lebih banyak beban daripada yang bisa dia bayangkan. Sejak di-PHK tiga bulan lalu, ia belum juga berhasil mendapatkan pekerjaan baru. Setiap harinya dipenuhi rasa cemas yang menghimpit dadanya. Dia telah mencoba melamar di puluhan tempat—kantor, toko, bahkan kafe kecil di ujung jalan. Tetapi selalu, jawaban yang diterimanya sama: "Kami akan menghubungi Anda kembali." Namun, panggilan itu tidak pernah datang.


Amira menarik napas panjang, diiringi dengan tarikan dalam rokoknya. Nikotin menyelusup ke dalam paru-parunya, memberikan sensasi tenang yang sementara, seperti pelarian kecil dari realita yang pahit. Dalam benaknya, terselip rencana hari esok—pagi ini dia akan ke perusahaan besar di pusat kota, sebuah perusahaan yang katanya sedang membuka banyak lowongan. Harapannya kali ini berbeda, lebih besar, meski diiringi rasa takut akan penolakan yang sama.


Rokok di tangannya sudah hampir habis. Dia membuang puntungnya ke tanah, lalu menginjaknya dengan sepatu hitam usang yang sudah terlihat usang. Amira tahu bahwa hidup tidak akan memberikan keajaiban begitu saja. Dia harus terus berjuang, meskipun lelah. 


---


Esok paginya, Amira tiba di depan sebuah gedung pencakar langit yang megah. Menara Kencana, begitu tertulis di plakat logam yang menghiasi pintu masuk. Tangannya sedikit bergetar saat merapikan rambut panjangnya yang diikat sembarangan. Ia mengenakan kemeja putih yang telah disetrika rapi meski warnanya mulai pudar, serta celana kain hitam yang sedikit kebesaran. Penampilannya sederhana, tetapi cukup sopan untuk wawancara kerja. Amira berharap itu cukup untuk mengesankan pewawancara.


Saat memasuki lobby gedung, langkahnya terhenti. Dia merasa kecil di tengah-tengah keramaian orang-orang yang berjalan cepat dengan setelan jas mahal. Semua tampak sibuk, fokus, dan... berbeda darinya. Dia melirik sekilas ke cermin besar di dinding lobby, melihat pantulan dirinya. Kantung mata yang jelas terlihat akibat malam-malam tanpa tidur dan kerutan halus di sekitar bibirnya karena kebiasaannya merokok. Dia menarik napas panjang, kemudian berjalan ke arah resepsionis.


"Selamat pagi, saya Amira. Saya punya janji wawancara dengan Bu Rina jam 10 pagi," katanya dengan suara yang sedikit gemetar.


Wanita di balik meja resepsionis melihatnya sekilas, tersenyum tipis, lalu memeriksa jadwal di komputer di depannya. "Tunggu sebentar ya, saya cek dulu."


Amira mengangguk sambil mengutuk dirinya sendiri dalam hati karena terlihat gugup. Sementara menunggu, tangannya tak bisa diam. Ia menggenggam erat tas selempangnya, menekan kertas CV di dalamnya seolah-olah bisa meyakinkan dirinya bahwa ini bukan sekadar sia-sia.


"Lantai 15, ruang meeting nomor 5. Anda bisa langsung ke sana," ujar resepsionis sambil memberikan senyuman profesional.


Amira mengucapkan terima kasih, kemudian menuju lift dengan langkah yang terasa berat. Di dalam lift, dia berdiri di samping seorang pria paruh baya dengan setelan jas hitam mengilap. Bau parfum mahal yang dipakai pria itu menusuk hidungnya. Amira menunduk, mencoba menahan rasa gelisah yang semakin mendesak di dada.


Di lantai 15, suasana lebih tenang. Lorong-lorong sepi, hanya terdengar suara langkah kaki dan dengungan pendingin ruangan. Amira berjalan menuju ruang meeting nomor 5 dengan hati berdebar. Di depan pintu, dia mengatur napas sekali lagi sebelum mengetuk pelan.


"Masuk," terdengar suara perempuan dari dalam.


Amira membuka pintu dan masuk. Di balik meja, duduk seorang wanita berusia sekitar 40-an dengan penampilan yang rapi dan berwibawa. Wajahnya tegas, tetapi tidak menunjukkan tanda-tanda keramahan. Di sebelah wanita itu, ada seorang pria muda dengan kacamata tipis yang menatap Amira dengan ekspresi datar.


"Selamat pagi, silakan duduk," ujar wanita yang ternyata adalah Bu Rina.


"Terima kasih," jawab Amira sambil duduk perlahan.


Wawancara dimulai dengan pertanyaan-pertanyaan formal. Bu Rina menanyakan latar belakang pendidikan Amira, pengalaman kerjanya sebelumnya, dan alasan mengapa ia tertarik melamar di perusahaan tersebut. Amira berusaha menjawab setiap pertanyaan dengan percaya diri, meskipun dalam hatinya ia merasa terintimidasi oleh suasana ruangan yang dingin dan sikap formal Bu Rina.


Saat tiba pada pertanyaan tentang pengalaman kerjanya yang terakhir, Amira terdiam sejenak. Di kepalanya, terbayang kenangan pahit saat ia diberhentikan dari pekerjaannya di perusahaan sebelumnya. "Saya... terpaksa berhenti karena adanya pengurangan karyawan," jawabnya dengan suara pelan.


Mata Bu Rina menyipit, meneliti setiap gerakan Amira. "Apa yang membuat Anda yakin bisa bertahan di sini, mengingat keadaan sulit seperti itu?"


Amira terdiam. Jantungnya berdegup kencang. Ia tahu bahwa ini adalah momen yang menentukan. "Saya tahu keadaan saat ini sulit, tetapi saya percaya bahwa saya bisa memberikan yang terbaik jika diberi kesempatan. Saya siap belajar, bekerja keras, dan beradaptasi dengan cepat," jawabnya, meskipun suaranya sedikit gemetar.


Bu Rina memandangnya dalam-dalam, kemudian melirik pria muda di sebelahnya. Pria itu hanya mengangguk singkat. Bu Rina menutup buku catatannya dan berdiri. "Terima kasih, Amira. Kami akan mempertimbangkan lamaran Anda dan menghubungi dalam beberapa hari ke depan."


Amira hanya bisa tersenyum tipis, menyembunyikan rasa kecewa yang mulai merayapi hatinya. Dia tahu kalimat itu. Kalimat yang selalu menjadi tanda penolakan halus. Setelah berpamitan, ia keluar dari ruangan itu dengan langkah lemas. Di luar gedung, udara terasa lebih pengap daripada sebelumnya. Dia mengambil sebatang rokok dari sakunya, menyalakannya dengan tangan gemetar. 


Asap rokok kembali mengepul, menyatu dengan udara malam yang dingin. Namun, kali ini, Amira merasa lebih kuat. Meski tidak ada jaminan pekerjaan, dia tahu satu hal: dia akan terus berjuang, meski lelah, meski asap terus mengiringi langkahnya.

Cerita Pendek: Luka yang Terbuka

ilusi foto Cerita Pendek: Luka yang Terbuka
Ilusi foto Cerita Pendek: Luka yang Terbuka:https://pixabay.com/id/photos/cinta-pasangan-keluarga-kekasih-2055372/


Aku masih bisa merasakan kehangatan tubuhnya tadi malam, saat dia berbaring di sebelahku, napasnya teratur, dan wajahnya terlihat begitu damai. Namun, kedamaian yang ada di wajahnya tidak sama dengan yang aku rasakan dalam hatiku. Sudah berbulan-bulan aku merasakan ada yang berubah. Cinta kami tak lagi hangat seperti dulu; ada sesuatu yang tak kasat mata, tapi tajam seperti duri yang menusuk perlahan-lahan.


Namanya Hana. Wanita yang kucintai lebih dari diriku sendiri. Kami bersama hampir lima tahun, dan kupikir dia adalah segalanya bagiku. Tapi belakangan, ada jarak yang tak dapat kujelaskan. Percakapan kami semakin jarang, dan ketika dia bersamaku, matanya seperti menerawang ke dunia yang berbeda. Dia selalu mengatakan dia sibuk dengan pekerjaan, bertemu teman-teman, atau sekadar butuh waktu sendiri. Aku ingin percaya, sungguh. Tapi, ada dorongan kuat di dalam dadaku yang terus menanyakan, "Apa dia jujur?"


Tadi malam, rasa curiga yang membakar di pikiranku mencapai puncaknya. Aku tak bisa tidur. Perasaan itu, seperti ada sesuatu yang hendak meruntuhkan dinding kepercayaan yang telah susah payah kami bangun. Jadi, dengan hati berdebar dan tangan gemetar, aku mengambil ponselnya saat dia tertidur. Aku tahu ini salah, tapi aku butuh kebenaran. Aku membukanya.


Dan di situlah semuanya terbuka. Pesan-pesan singkat, namun penuh makna antara Hana dan seseorang bernama Rey. Panggilan sayang, rencana pertemuan diam-diam, dan kata-kata yang membuat jantungku seakan berhenti berdetak. Dadaku sesak, napasku terhenti. Tanganku gemetar saat membaca setiap pesan. Mereka sudah bertemu berulang kali di belakangku. Berkali-kali. Rasa sakit itu menyeruak dalam diriku, seperti pisau yang menusuk dan terus memutar di dalam hati.


Aku bangkit dari tempat tidur, berjalan ke dapur dengan langkah yang berat. Kucoba menarik napas panjang, namun semuanya terasa sia-sia. Rasa benci dan cinta bercampur menjadi satu, seperti racun yang perlahan meracuni pikiranku. Aku menatap pisau di atas meja dapur. Pikiran itu datang begitu cepat dan gelap, menelanku sebelum aku sempat menolaknya.


Namun, aku tak ingin berpikir bahwa itu jalan keluarnya. Aku mencintai Hana, meskipun dia telah menghancurkan hatiku. "Bicarakan dulu," kataku pada diriku sendiri, berusaha menenangkan kekacauan di dalam kepala. Aku kembali ke kamar. Hana masih tertidur, wajahnya masih seindah yang pernah aku kagumi. Tapi kini, wajah itu adalah wajah seorang pengkhianat.

 

Pagi tiba. Aku bangun lebih awal dari biasanya, masih teringat dengan apa yang kutemukan semalam. Rasa sakit itu seperti api yang tak kunjung padam. Ketika Hana membuka mata, dia tersenyum padaku seolah tidak ada yang terjadi.


"Sayang, kau bangun lebih awal," ucapnya lembut, tanpa tahu badai apa yang menanti.

"Hana," suaraku terdengar datar. "Kita harus bicara."

Dia melihat ke arahku, menyadari ada yang salah dalam nada bicaraku. "Apa yang terjadi?" tanyanya pelan.

Aku tak bisa menahan lagi. "Siapa Rey?"


Wajahnya pucat dalam sekejap. Aku melihat bagaimana matanya membelalak, kepanikan yang tak bisa disembunyikannya. Itu adalah pengakuan tanpa kata. Tubuhku serasa dirasuki oleh emosi yang tak terkendali. "Sudah berapa lama, Hana? Sudah berapa lama kau mengkhianati aku?"


Dia mencoba mendekat, meletakkan tangannya di lenganku, tapi aku mundur. "Aku bisa jelaskan..." suaranya bergetar.

"Tidak ada yang perlu dijelaskan," bentakku. "Aku sudah membaca semuanya."

Wajahnya menegang, air matanya mulai mengalir. "Aku minta maaf. Aku tak bermaksud menyakitimu..."

"Kau tidak bermaksud?" Aku menertawakan ucapannya, tapi itu adalah tawa yang penuh dengan kepedihan. "Lalu kenapa kau melakukannya?"


Hana terisak, wajahnya memerah, tetapi bagiku air matanya tidak berarti apa-apa lagi. Aku tidak ingin mendengarkan permintaannya. Rasa sakit itu terlalu dalam. Setiap kata yang keluar dari mulutnya adalah kebohongan. Setiap tetesan air matanya adalah penghinaan bagi hatiku.

Aku berjalan ke dapur, mengambil pisau yang kulihat semalam. Tanganku menggenggamnya erat, napasku berat, dan darahku mendidih. Ketika aku kembali ke ruang tamu, Hana berdiri di sana, memandangku dengan mata yang ketakutan.


"Fikri, jangan lakukan ini," suaranya serak. "Aku minta maaf. Kumohon..."

"Aku memberimu segalanya, Hana," kataku, suaraku parau oleh amarah yang tertahan. "Tapi kau... kau memilih menghancurkan semuanya."

Dia mundur perlahan, memeluk dirinya sendiri, matanya tak pernah lepas dari pisau di tanganku. "Kita bisa memperbaiki ini," katanya lemah. "Kita bisa bicara, mohon..."

Tapi sudah terlambat. Luka di hatiku terlalu dalam untuk disembuhkan oleh kata-kata. Tubuhku bergerak seakan di luar kendaliku, dan aku mengayunkan pisau itu ke arahnya.

Dia menjerit, tapi tidak cukup cepat untuk menghindar.

 

Cerpen Romantis:Bayang Gelap di Balik Cinta

 
ilusi photo cerpen paling romantis berjudul Bayang Gelap di Balik Cinta
Ilusi foto Cerpen Romantis:Bayang Gelap di Balik Cinta:https://pixabay.com/id/photos/hitam-warna-cairan-lebih-wajah-5273871/

Aku selalu percaya bahwa cinta adalah segalanya. Namun, pada malam itu, keyakinanku diuji oleh bayang-bayang kegelapan yang tak pernah aku duga sebelumnya.

Malam itu terasa berbeda. Udara dingin menggigit wajahku saat aku berjalan menyusuri jalan setapak menuju apartemen kami. Lampu jalan memancarkan cahaya kuning pucat, menciptakan bayangan panjang di trotoar. Hatiku dipenuhi kegelisahan yang sulit dijelaskan.

Sesampainya di pintu, aku menatap nomor apartemen yang terpampang jelas di atasnya. Menghela napas panjang, aku mengetuk pintu dengan lembut. Tak lama kemudian, pintu terbuka oleh Maya, kekasihku yang cantik dan selalu penuh perhatian.


“Hey, kamu kelihatan gelisah. Ada apa?” tanyanya sambil menyambutku dengan senyum manisnya.

“Aku cuma butuh bicara, Maya. Bisakah kita duduk sebentar?” jawabku, mencoba menahan suara gemetar.

Kami duduk di ruang tamu yang remang. Lampu meja menyinari wajah Maya yang terlihat khawatir.

“Mungkin ada yang salah, Apa yang terjadi?” tanya Maya, menggenggam tanganku dengan lembut.


Aku menarik napas dalam-dalam. “Aku merasa ada sesuatu yang tidak beres antara kita akhir-akhir ini. Aku merasakan jarak di antara kita, dan itu membuatku cemas.”

Maya tersenyum tipis, mencoba menenangkan hatiku. “Aku juga merasakan hal yang sama, tapi aku yakin kita bisa menyelesaikannya bersama. Kamu tahu aku selalu setia padamu.”

Namun, hatiku masih merasa tidak tenang. Malam itu, aku memutuskan untuk mencari jawaban. Tanpa sepengetahuan Maya, aku mengakses pesan-pesan di teleponnya yang tergeletak di meja. Hatinya memberitahu bahwa dia sedang sibuk bekerja, tapi rasa penasaran mengalahkan kewaspadaanku.


Pesan-pesan itu mengungkapkan sesuatu yang mengerikan. Maya tengah berselingkuh dengan seorang pria bernama Daniel. Rasa sakit dan pengkhianatan langsung menyergap hatiku. Aku merasa duniamu hancur dalam sekejap.


Aku kembali ke kamar dengan mata yang berkaca-kaca. "Maya, ada sesuatu yang perlu kukatakan," panggilku dengan suara berat.


Dia masuk, tampak cemas. “Apa yang kau maksud?”

Dengan suara gemetar, aku berkata, “Aku tahu tentang Daniel. Aku melihat pesan-pesannya. Mengapa kau tega mengkhianatiku?”

Maya terdiam sejenak, lalu menunduk. “Aku... aku tidak tahu harus berkata apa. Maafkan aku, aku terbawa perasaan.”

Emosi menguasai diriku. “Bagaimana bisa kau tega melakukan ini? Setelah semua yang telah kita lalui bersama!”

Maya mencoba mendekat, namun aku mundur. “Aku tak bisa percaya kau melakukan ini. Aku merasa seperti hancur.”


Percakapan kami berubah menjadi debat yang memanas. Kata-kata tajam terucap, dan ketegangan meningkat. Aku merasa seperti berada di ambang kehancuran.


Malam itu, setelah pertengkaran yang tak kunjung usai, aku berjalan keluar dari apartemen dengan kepala penuh kemarahan dan rasa sakit. Angin malam menerpa wajahku, dan aku mencoba mengendalikan emosi yang menggulung dalam diriku.

Tiba-tiba, aku mendengar suara langkah kaki di belakangku. Ketika aku berbalik, aku melihat Maya berdiri di ujung jalan, matanya penuh air mata.


“Minta maaf, aku tidak bermaksud menyakitimu,” katanya lirih.


Namun, dalam kegelapan malam, aku tak bisa menahan diri lagi. Rasa sakit dan pengkhianatan membuat pikiranku kabur. “Maafkan kamu? Bagaimana mungkin?”

Maya melangkah mendekat, mencoba meraih tanganku. “Tolong, kita bisa memperbaikinya. Aku mencintaimu.”


Namun, kata-kata itu hanya menambah amarahku. Dalam sekejap, aku meraih sesuatu dari saku jaketku—sebuah pisau kecil yang selalu ku bawa untuk keamanan. Dengan tangan gemetar, aku menusuk Maya, dan darah mengalir deras di jalanan yang sepi.


“Saya... saya mencintaimu,” suaranya terputus saat darah mulai memenuhi wajah cantiknya.

Aku berdiri terpaku, napasku terengah-engah. Realitas yang mengerikan mulai menyadari apa yang telah kulakukan. Keheningan malam kembali menyelimuti, hanya terdengar suara tetesan darah yang jatuh ke aspal.


Beberapa jam kemudian, polisi datang dan menemukan tubuh Maya di jalan. Aku ditangkap dan diinterogasi, namun tidak bisa membantah apa yang terjadi. Semua bukti mengarah padaku sebagai pelaku.

Di ruang tahanan, aku duduk sendirian, teringat kembali semua momen indah yang pernah kami lalui. Kenangan itu kini berubah menjadi mimpi buruk yang tak pernah berakhir. Aku menyadari bahwa cinta yang seharusnya membawa kebahagiaan, malah membawa kehancuran dan kematian.

Hari-hari berlalu dengan lambat. Aku merenungkan setiap langkah yang kulakukan, setiap keputusan yang membawa pada tragedi ini. Rasa bersalah menghantui setiap detik hidupku, dan aku tak bisa melupakan wajah Maya yang penuh luka.

Akhirnya, di balik jeruji besi, aku menemukan kebenaran pahit tentang diri sendiri. Cinta yang kupercaya begitu kuat ternyata rapuh dan bisa hancur dalam sekejap. Aku menyadari bahwa dalam cinta, kepercayaan dan pengertian adalah fondasi yang tak boleh dilupakan.


Kini, aku hanya bisa menyesali apa yang telah terjadi, berharap bahwa Maya dapat menemukan kedamaian di alam sana. Dan aku, terjebak dalam penyesalan yang tak pernah usai, belajar bahwa cinta sejati harus dibangun dengan kejujuran dan kesetiaan, bukan dengan bayang-bayang kecurangan dan dendam.

 

PUISI:KERINDUAN RINTIK HUJAN

  PUISI:KERINDUAN RINTIK HUJAN (https://pixabay.com/id/photos/hujan-jalan-kota-pelabuhan-1479303/) Hujan menari di atas jendela, rintiknya...