![]() |
PUISI:KERINDUAN RINTIK HUJAN (https://pixabay.com/id/photos/hujan-jalan-kota-pelabuhan-1479303/) |
(untuk siapapun itu yang dulu sempat ada dalam serangkaian buku harian namun kini sudah hilang tanpa kabar.terima kasih)
Setiap langka adalah kisah,Setiap kisah adalah cinta,dan setiap cinta adalah luka.di setiap luka yang ada pasti ada cerita,yang akan menjelma menjadi karya indah yang pernah tercipta. terima kasih @Nandasukmasari selamat membaca ~suaralukaa~
![]() |
PUISI:KERINDUAN RINTIK HUJAN (https://pixabay.com/id/photos/hujan-jalan-kota-pelabuhan-1479303/) |
(untuk siapapun itu yang dulu sempat ada dalam serangkaian buku harian namun kini sudah hilang tanpa kabar.terima kasih)
![]() |
Ilustrasi gambar bidadari berkerudung Merah by suaralukaa.com |
Di antara rimba sunyi yang diselimuti kabut senja,
Melangkah ia—bidadari berparas cahaya,
Berkerudung merah, laksana fajar yang menyapa,
Menyibak sepi, menggetarkan dedaunan yang merunduk pasrah.
Mata berbinar, serupa bintang yang jatuh ke bumi,
Menyalakan gulita di dada para perindu malam,
Tatkala angin pun tunduk dalam sepoi yang lirih,
Menyaksikan langkahnya bagai tarian dalam mimpi kelam.
Kerudung merahnya—lembayung yang membalut rahasia,
Menyimpan kisah angin, rindu, dan samudra tanpa nama,
Parasnya bening bagai embun pagi di kelopak mawar,
Namun menyimpan bara yang memagut dalam diam.
Oh, bidadari, yang meniti jalan tak tersentuh fana,
Hadir dalam sunyi, mengalir seperti doa yang tak henti,
Setiap tatap matamu memecah duka menjadi cahaya,
Mengukir syair abadi di langit hati yang sepi.
Adakah gerangan engkau sekadar bayang?
Ataukah suratan takdir yang menyingkap keajaiban?
Bidadari berkerudung merah, titisan kisah langit yang turun,
Membawa damai pada jiwa-jiwa yang lama terluka.
---
Apakah kamu ingin aku tambahkan nuansa romantis atau mistis juga?
ilusi foto cinta bulan ramadan
Di bawah cahaya rembulan yang redup,
aku temukan cinta dalam doa yang khusyuk.
Di antara gemuruh takbir yang syahdu,
kau hadir bagai bisikan rindu.
Ramadan membawa cahaya ke dalam hati,
menjernihkan segala gundah yang pernah pergi.
Aku mengenalmu bukan dalam tatapan,
namun dalam sujud dan ketulusan harapan.
Dalam malam-malam sunyi bertabur doa,
kita saling menyebut nama di hadapan-Nya.
Tak perlu genggaman,
tak perlu sentuhan, kita bersama dalam ikatan keimanan.
Seperti embun yang jatuh di ujung subuh,
cintaku padamu tak riuh namun utuh.
Bukan karena rupa, bukan karena dunia,
melainkan karena-Nya yang mempertemukan jiwa.
Sahur yang kita jalani dalam kesederhanaan,
mengajarkan arti cinta dalam keikhlasan.
Berbuka dalam sujud dan syukur mendalam,
menyadarkan bahwa cinta adalah tentang keteguhan.
Kau adalah doa yang kusisipkan dalam malam,
yang kusebut lirih dalam setiap salam.
Jika Ramadan adalah pertemuan hati,
maka semoga Syawal menjadi saksi janji.
Aku mencintaimu dalam sebaik-baiknya cara,
dalam doaku, dalam imanku, dalam takdir-Nya.
Bulan suci ini mengajarkan arti,
bahwa cinta sejati selalu kembali pada Ilahi.
(entah foto siapa yang saya ambil,entah perasaan apa yang saya simpan,tapi terima kasih banyak kau tetap menjadi ruang sunyiku,menjadi inpirasi di setiap tulisanku,aku masih teringat pada kado terakhirmu yang hingga kini masih tersimpan rapi,terima kasih untuk semuanya dimanapun kau berada,aku berharap tulisan ini muncul di beranda ponselmu dan kau membacanya dengan khidmat)
Ilusi Gambar Cerita Pendek Cinta di Malam Lailatul Qadar https://pixabay.com/id/illustrations/pasangan-muslim-berdoa-islam-6116320/ _Suaralukaa.com
Langit malam itu begitu pekat, seolah semesta sedang menyimpan rahasia terbesar yang hanya bisa dirasakan oleh mereka yang beriman. Udara terasa lebih sejuk dari biasanya, dan suara takbir menggema dari berbagai sudut kota, menyatu dengan desir angin yang lembut menyapu pepohonan. Malam itu adalah malam ke-27 Ramadan, malam yang diyakini sebagai Lailatul Qadar, malam penuh berkah yang lebih baik dari seribu bulan.
Di dalam masjid tua yang berdiri megah di pinggiran kota, Adam duduk bersimpuh, tenggelam dalam doa yang khusyuk. Hatinya yang selama ini gersang perlahan-lahan terisi oleh kehangatan yang sulit dijelaskan. Di tengah malam yang penuh ketenangan itu, tiba-tiba pandangannya tertumbuk pada seorang gadis yang sedang berdoa di sudut lain masjid. Wajahnya samar tertutup mukena putih, namun sinar matanya memancarkan keteduhan yang menggugah hati.
Adam merasa seolah waktu berhenti. Ada sesuatu dalam diri gadis itu yang menariknya, seperti gelombang laut yang tak terelakkan. Ia mengalihkan pandangannya, berusaha untuk kembali fokus pada doanya, namun hatinya gelisah. Dia tak tahu siapa gadis itu, tetapi entah mengapa, Adam merasa seolah sudah mengenalnya sejak lama.
Seusai shalat, ia melihat gadis itu bangkit dari duduknya. Adam masih terpaku, berusaha menahan hatinya yang terus bertanya-tanya. Gadis itu melangkah menuju pintu masjid, namun tiba-tiba angin bertiup kencang, membuat mukena yang menutupi wajahnya sedikit tersingkap. Seketika Adam melihat parasnya dengan jelas—sepasang mata bening yang menyiratkan kelembutan, bibir yang bergerak pelan mengucap dzikir, dan ekspresi yang menenangkan. Ada keindahan dalam kesederhanaan yang membuat Adam tak bisa mengalihkan pandangan.
Tanpa berpikir panjang, Adam berdiri dan melangkah cepat ke luar masjid, berharap bisa menemukan gadis itu. Namun, begitu ia sampai di halaman, gadis itu telah menghilang di antara kerumunan jamaah yang pulang. Hanya sisa wangi melati yang samar tertinggal di udara.
Malam berikutnya, Adam kembali ke masjid dengan harapan bertemu lagi dengan gadis itu. Hatinya berdebar ketika ia melihat sosok yang sama duduk di tempat yang sama. Kali ini, ia memberanikan diri untuk mendekati setelah shalat selesai.
“Assalamu’alaikum,” ucap Adam dengan suara pelan namun jelas.
Gadis itu menoleh dan membalas dengan lembut, “Wa’alaikumussalam.”
Adam menelan ludah, mencari kata-kata yang tepat. “Maaf jika saya mengganggu. Saya hanya ingin tahu... apakah kita pernah bertemu sebelumnya?”
Gadis itu tersenyum samar. “Saya rasa tidak, tapi mungkin hati kita saling mengenal lebih dulu.”
Jawaban itu membuat Adam terdiam. Ada sesuatu dalam suaranya yang menenangkan, seolah ia telah lama menunggu pertemuan ini terjadi.
“Apa nama Anda?” tanya Adam akhirnya.
“Nayla,” jawabnya singkat.
Adam mengulang nama itu dalam pikirannya, merasakan getaran aneh yang membuatnya yakin bahwa pertemuan ini bukan kebetulan.
Setelah malam itu, mereka sering bertemu di masjid. Percakapan-percakapan mereka sederhana, lebih banyak dipenuhi dengan pembahasan tentang iman, kehidupan, dan keindahan malam-malam Ramadan. Adam semakin yakin bahwa perasaannya terhadap Nayla bukan sekadar ketertarikan sesaat. Ia jatuh cinta bukan hanya pada parasnya, tetapi pada hatinya yang penuh dengan ketulusan.
Namun, kebahagiaan itu tak bertahan lama. Pada malam terakhir Ramadan, Nayla datang dengan wajah yang berbeda—sorot matanya sendu, seakan menyimpan perpisahan.
“Ada apa, Nayla?” tanya Adam dengan cemas.
Nayla tersenyum lembut, namun ada kesedihan di baliknya. “Besok aku harus pergi. Keluargaku pindah ke kota lain.”
Dada Adam terasa sesak. Ia ingin mengatakan sesuatu, ingin menahan Nayla, tapi kata-kata terasa begitu sulit diucapkan.
“Aku percaya, jika Allah menghendaki, kita pasti akan bertemu lagi,” lanjut Nayla dengan suara lirih.
Adam mengepalkan tangannya, berusaha menahan gejolak dalam hatinya. “Aku akan mencarimu, Nayla. Tidak peduli sejauh apa pun.”
Nayla tersenyum, kemudian melangkah pergi meninggalkan Adam yang berdiri membisu, menyaksikan cinta pertamanya menghilang dalam kesunyian malam Lailatul Qadar.
Bulan berganti tahun, dan Adam terus mencari. Hingga pada suatu malam yang mirip dengan malam itu—di sebuah masjid kecil di kota yang jauh dari tempatnya tinggal—Adam melihat sosok yang begitu familiar. Nayla berdiri di sana, tersenyum kepadanya, seolah tak pernah benar-benar pergi.
Malam Lailatul Qadar telah mempertemukan mereka kembali. Dan kali ini, Adam tak akan membiarkan Nayla pergi lagi.
PUISI:KERINDUAN RINTIK HUJAN (https://pixabay.com/id/photos/hujan-jalan-kota-pelabuhan-1479303/) Hujan menari di atas jendela, rintiknya...