Cerita Pendek: Cinta yang Terpendam

 


Di sebuah kota kecil yang terletak di tepi pantai, hidup seorang wanita bernama Eliza. Sejak kecil, ia dikenal sebagai sosok yang tenang dan pendiam, lebih suka menghabiskan waktu di sudut-sudut perpustakaan atau berjalan-jalan sendiri di sepanjang pantai. Orang-orang di sekitar kota itu tahu Eliza sebagai gadis yang tak banyak bicara, tapi matanya, matanya selalu berbicara sesuatu yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata.

Di balik sikap pendiamnya, ada rahasia yang tersembunyi jauh di dalam hatinya. Sebuah cinta yang tak pernah ia ungkapkan, yang hanya terpendam dalam hati kecilnya. Cinta itu bernama Damar, seorang pria yang pernah hadir dalam hidupnya, namun kini seperti bayang-bayang yang menghilang begitu saja. Mereka berdua pernah berteman dekat saat masih remaja, sering menghabiskan waktu bersama, bermain gitar di bawah langit malam, bercakap tentang masa depan yang penuh dengan harapan. Namun, entah bagaimana, hubungan itu perlahan memudar seiring berjalannya waktu.

Damar adalah pria yang penuh dengan semangat hidup. Selalu ceria, selalu ada untuk orang-orang yang ia sayangi. Namun, kebahagiaannya kadang membuat Eliza merasa seolah dirinya hanyalah bagian kecil dari dunia Damar yang luas dan berwarna. Setiap kali ia menatapnya, ia merasa ada sesuatu yang hilang, sesuatu yang tak bisa ia raih, meskipun hatinya telah lama menginginkannya.

Setelah lulus dari sekolah, Damar memutuskan untuk melanjutkan hidupnya di kota besar, mengejar cita-cita yang ia miliki. Sementara Eliza, memilih untuk tetap tinggal di kota kecil itu, bekerja di perpustakaan dan melanjutkan rutinitasnya yang sederhana. Meskipun sudah berbulan-bulan tidak berkomunikasi, Eliza tidak bisa melupakan Damar begitu saja. Cinta yang terpendam itu, seperti karang yang tak bisa dihancurkan oleh ombak, tetap berdiri tegak di dalam hatinya.

Suatu hari, setelah bertahun-tahun berlalu, Damar kembali ke kota kecil itu. Ia datang untuk mengunjungi keluarganya, namun lebih dari itu, ada sesuatu yang tidak bisa ia abaikan. Sesuatu yang telah lama ia rasakan namun tak pernah ia ungkapkan. Ia merasa seperti ada ruang kosong dalam hidupnya yang hanya bisa diisi oleh sosok yang satu ini—Eliza.

Ketika mereka bertemu kembali di taman dekat pantai, suasana seakan berhenti. Waktu seperti melambat, dan hati Eliza yang selama ini beku kembali berdegup kencang. Damar tersenyum, senyum yang dulu selalu bisa menghangatkan hatinya. Eliza mencoba tersenyum, meskipun hatinya dipenuhi perasaan yang sulit untuk dijelaskan.

“Aku tidak menyangka bisa bertemu denganmu di sini, Eliza,” kata Damar, suaranya lembut namun penuh arti.

Eliza hanya mengangguk, matanya tak bisa lepas dari sosok Damar yang kini lebih dewasa, lebih matang. Namun, di dalam hatinya, rasa rindu itu tak bisa dibendung lagi. Rindu yang terpendam bertahun-tahun, yang bahkan ia sendiri tak tahu bagaimana cara menghadapinya.

“Aku juga tidak menyangka,” jawab Eliza pelan. “Kau… sudah lama sekali meninggalkan kota ini.”

Damar tertawa kecil. “Iya, aku harus mengejar impianku. Tapi… ada sesuatu yang belum selesai, sesuatu yang selalu menggangguku.”

Eliza menatapnya bingung. “Apa maksudmu?”

Damar terdiam sejenak, seolah mencari kata-kata yang tepat. “Aku tidak tahu harus mulai dari mana, tapi… sejak aku pergi, ada satu hal yang selalu mengusik pikiranku. Ada seseorang yang sangat aku sayangi, yang selalu ada di pikiranku, tapi aku tak pernah memberitahunya. Aku takut, Eliza. Takut kehilangan, takut jika perasaanku itu tak terbalas.”

Eliza terkejut. Jantungnya berdegup cepat, tubuhnya terasa lemas. Ia bisa merasakan setiap kata yang diucapkan Damar seperti teriakan yang lama terkubur. Ia ingin mengatakan sesuatu, ingin mengungkapkan betapa lama ia menyimpan perasaan yang sama, tapi kata-kata itu seperti terjebak di tenggorokannya.

“Damar… aku…” suara Eliza tersendat. Ia menunduk, mencoba menahan air mata yang hampir tumpah.

Damar mendekat, menatap Eliza dengan penuh perhatian. “Aku tidak bisa hidup dengan penyesalan, Eliza. Aku ingin tahu… apakah kau merasakannya juga? Apakah ada sedikit pun ruang di hatimu untukku?”

Eliza menatapnya, matanya berkaca-kaca. Selama ini ia menyimpan perasaan itu dalam-dalam, takut untuk mengungkapkannya. Takut akan apa yang mungkin terjadi setelah itu. Tapi, kini, di hadapan Damar, semua itu tak lagi bisa ia tahan.

“Aku… aku sudah lama mencintaimu, Damar,” kata Eliza dengan suara yang hampir tak terdengar. “Tapi aku takut. Takut jika kau tidak merasa yang sama. Takut jika aku hanya akan menjadi kenangan yang terlupakan dalam hidupmu.”

Damar tersenyum lebar, senyum yang menghapus segala keraguan di hati Eliza. Ia meraih tangan Eliza, menggenggamnya erat.

“Aku tidak akan membiarkanmu menjadi kenangan, Eliza. Aku akan menjagamu, jika kau memberiku kesempatan. Kita bisa memulai lagi, bersama-sama.”

Di bawah langit yang mulai temaram, mereka berdiri dalam hening yang penuh makna. Cinta yang terpendam selama ini akhirnya menemukan jalannya untuk mengalir. Tidak ada lagi kata-kata yang perlu diucapkan, karena hati mereka sudah saling berbicara. Kini, cinta yang lama terkubur itu, akhirnya menemukan tempat untuk tumbuh dan berkembang, menjadi kisah baru yang penuh harapan.

Malam itu, Eliza dan Damar berjalan berdua di sepanjang pantai, tangan mereka saling bergandengan, membawa harapan akan masa depan yang lebih cerah. Cinta yang terpendam selama ini akhirnya tidak lagi menjadi bayang-bayang, melainkan sebuah kenyataan yang indah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

PUISI:KERINDUAN RINTIK HUJAN

  PUISI:KERINDUAN RINTIK HUJAN (https://pixabay.com/id/photos/hujan-jalan-kota-pelabuhan-1479303/) Hujan menari di atas jendela, rintiknya...