Cerita Pendek:Lonceng Akhir
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Ilusi foto Cerita Pendek:Lonceng Akhir (pixabay.com) |
Aku adalah seorang pegawai pabrik yang terjebak dalam gelapnya dunia pinjaman online. Semua bermula dari sebuah keputusan bodoh yang kuambil dengan berpikir bahwa segalanya akan baik-baik saja. Siapa yang mengira bahwa dari sekadar pinjaman kecil untuk kebutuhan mendesak, utang itu akan menjeratku dalam lingkaran setan yang tak berujung?
Hari itu, pabrik tempatku bekerja baru saja tutup. Tubuhku terasa lelah, namun pikiranku lebih berat menanggung beban utang yang semakin menumpuk. Aku duduk di bangku taman kecil di depan pabrik, memandang kosong ke arah jalanan. Pikiranku sibuk, mencoba mencari cara untuk keluar dari situasi ini. Pinjaman pertama hanya dua juta, tapi bunga yang mencekik membuat utang itu melonjak hingga belasan juta dalam beberapa bulan.
Ketika aku masih tenggelam dalam kekhawatiran, seseorang menepuk bahuku. Wajahnya garang, sorot matanya tajam seolah menusukku.
"Selamat sore, Mbak Rini," katanya dengan senyum sinis. Dia adalah salah satu dari penagih yang selama ini menghantuiku. "Kami sudah beri kamu waktu. Tapi kok, kamu masih belum ada itikad baik untuk melunasi utang?"
Aku terdiam, mencoba menelan rasa takut. "Saya sudah berusaha. Tapi, uangnya belum cukup," jawabku lemah, dengan suara bergetar.
"Bukan urusan saya. Yang penting, utang itu harus lunas. Bos kami nggak suka berurusan sama orang yang enggak bertanggung jawab."
Aku berusaha menjaga ketenangan, meski hati ini berdegup kencang. "Tolong beri saya waktu. Saya akan bayar."
Tiba-tiba, dia meraih tanganku dengan kasar. "Dengar, Rini. Kamu punya dua pilihan: bayar atau... kita bakal cari cara lain buat dapetin duitnya."
Tangannya semakin menguat. Rasa sakit menjalar dari pergelangan hingga ke seluruh tubuhku. Aku berontak, namun percuma. Dia lebih kuat, lebih buas, dan lebih kejam.
"Kalau kamu masih bandel, kami punya cara lain buat bikin kamu nurut," lanjutnya, dengan suara yang semakin rendah, penuh ancaman.
Aku berhasil menarik tanganku dan berlari. Keringat dingin membasahi punggungku, dan napasku terengah. Aku tahu, lari bukan solusi, tapi aku tak tahu lagi harus berbuat apa. Setiap malam, aku terjaga dengan kecemasan bahwa mereka akan muncul lagi, membuat hidupku tak tenang.
---
Hari berganti hari. Aku sudah mencoba meminta bantuan dari teman-teman, tapi mereka pun kesulitan. Tidak ada satu orang pun yang bisa menolongku. Aku merasa terjebak, seolah-olah hidup ini tak lagi memberi pilihan.
Suatu malam, ketika aku sedang berjalan pulang, aku mendengar langkah kaki yang mengikutiku. Aku menoleh dan melihat sosok yang tak asing lagi. Dia adalah pria yang sama, si penagih utang. Dia mendekat dengan wajah yang dingin dan penuh ancaman.
"Kenapa kamu lari, Rini? Kami sudah berusaha baik-baik, tapi kamu malah mengabaikan kami," katanya sambil menyeringai.
"Aku… aku nggak bisa bayar sekarang…" jawabku gemetar.
Dia mendekat semakin dekat, hingga jarak kami hanya beberapa jengkal. Napasnya tercium busuk, penuh kemarahan dan kebencian. "Kalau kamu nggak bisa bayar, kami bakal ambil sesuatu yang lebih berharga."
Aku tidak tahu dari mana keberanian itu muncul, namun tanganku terangkat dan mendorongnya keras. Dia terdorong mundur beberapa langkah, tapi secepat kilat, dia kembali menggapai tanganku dan menarikku dengan kasar.
"Aku sudah sabar, Rini. Tapi sepertinya kamu memang nggak layak diberi kesempatan."
Di saat itulah, aku merasakan benda keras di dalam tasku—pisau kecil yang kupakai untuk memotong makanan. Tangan ini gemetar, namun rasa takut yang menumpuk berubah menjadi keberanian. Tanpa berpikir panjang, aku menarik pisau itu dan menusukkannya ke arahnya.
Dia terkejut, matanya membelalak. Tangannya yang sebelumnya mencengkeramku mulai melemah, dan dia tersungkur di hadapanku, napasnya tersendat-sendat. Darah mengalir deras dari luka di perutnya. Aku melihatnya, terkejut sekaligus bingung.
Namun, bukan hanya darah di tubuhnya yang membasahi jalanan, tapi juga rasa bersalah yang mulai menghantui pikiranku. Aku telah melangkah terlalu jauh. Aku tahu bahwa ini bukan sekadar pelarian dari utang; aku telah melanggar batasan, dan tak ada jalan kembali.
---
Beberapa saat kemudian, sirene polisi terdengar. Mereka tiba dan segera menahan tanganku. Aku tak meronta, tak melawan. Sadar bahwa aku sudah kehilangan segalanya. Saat itu, aku hanya merasakan hampa, kosong. Begitu tragisnya hidup yang kujalani hingga berakhir seperti ini.
Di ruang tahanan, aku termenung, mencoba mencerna semua yang telah kulakukan. Penyesalan datang terlambat, tapi tak ada lagi yang bisa kukatakan. Aku hanya bisa berharap, dalam dunia yang suram ini, aku bisa mendapatkan kedamaian yang telah lama hilang.
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Komentar
Posting Komentar