Puisi:Kenangan di Tepi Meja



Ilusi foto puisi
Ilustrasi foto puisi kenangan di tepi meja



Di sudut meja, aroma manis melingkari,

Bango kecap manis menemani memori,

Di setiap tetes, ada cinta yang menari,

Mengingatkan kita pada cerita sejati.


Malam itu, rembulan menjadi saksi,

Tatapanmu hangat, membalut sunyi,

Kecap manis melumuri daging hati,

Seakan berkata, "Inilah kita, takkan terganti."


Kamu selalu tahu, rahasia rasa,

Manisnya cinta, bumbu setiap masa,

Bango hadir, bagai janji tak sirna,

Mengikat kenangan yang tak mudah lupa.


Tanganmu mengaduk, aku memandang,

Ada keajaiban dalam setiap tangkap pandang,

Romantisnya bukan hanya karena rempah melayang,

Tapi karena cinta, dalam hati yang kau pegang.


Kini, meja itu sepi, namun tetap hidup,

Aroma manisnya bertahan, menjadi penghibur,

Walau tak lagi ada kita berbincang di bawah lampu,

Bango kecap manis jadi kenangan yang selalu rindu.


Di setiap rasa, ada kisah kita terselip,

Cinta yang manis, tak pernah tergelincir,

Bango mengingatkan, cinta tak pernah usang,

Dalam kenangan, kita abadi dikenang.


Cerita Pendek:Segitiga Mematikan


Cerita Pendek:Segitiga Mematikan
Ilusi foto Cerita Pendek:Segitiga Mematikan (https://pixabay.com/id/photos/foto-tangan-memegang-tua-256887/)


Pagi itu, aku duduk di teras sambil menatap hujan yang turun. Aroma tanah basah tercium tajam, mengiringi perasaan galau yang sulit diungkapkan. Aku menyesap kopi yang mulai dingin, berharap getirnya bisa mengalahkan kegelisahanku.


Namaku Ardi, dan aku berada di tengah cinta segitiga yang sulit aku pahami. Di satu sisi, ada Laila, sahabatku sejak SMA yang sejak lama menyimpan rasa untukku. Di sisi lain, ada Siska, wanita yang belakangan ini kerap hadir dan menyita perhatian. Aku merasa bimbang. Hati dan pikiranku saling tarik-menarik, tak pernah mencapai kata sepakat.


Hari itu, Laila mengajakku bertemu di kafe favorit kami. Biasanya, ia ceria dan selalu bisa menghiburku, tapi kali ini ia tampak lebih serius, bahkan sedikit gugup.


"Ardi, aku mau bicara sesuatu," ucapnya sambil menunduk, mengaduk-aduk minumannya tanpa tujuan.


"Kenapa, La? Tumben serius banget," kataku mencoba mencairkan suasana.


Laila menghela napas panjang, kemudian menatapku dengan mata yang dalam.


"Ardi... aku rasa aku harus jujur sama kamu," katanya pelan.


Aku terdiam, menunggu apa yang akan dikatakannya. Mendadak, detak jantungku berdegup lebih cepat.


"Kamu tahu, kan? Aku... sejak dulu selalu suka sama kamu," katanya dengan suara bergetar.


Aku hanya terdiam. Mungkin aku sudah tahu, tapi mendengarnya langsung membuatku kaget. Laila sudah ada di hidupku sejak lama, bahkan lebih lama dari siapapun. Ia teman yang selalu ada saat aku susah atau senang.


"Tapi aku nggak pernah ingin merusak persahabatan kita, Di. Aku tahu kamu sedang dekat dengan Siska, dan aku nggak mau jadi penghalang," lanjutnya.


Aku menarik napas dalam-dalam, mencoba mencari kata-kata yang tepat. Di sisi lain, ada Siska yang perlahan menjadi bagian penting di hidupku. Namun, sekarang aku harus menghadapi kenyataan bahwa Laila, sahabat terbaikku, menyimpan perasaan yang lebih dari sekadar teman.


"Maaf, La… aku nggak tahu harus bilang apa," ucapku lirih.


Laila tersenyum lemah. "Aku ngerti, kok. Aku juga nggak mengharapkan kamu membalas perasaanku. Aku cuma ingin kamu tahu. Supaya aku bisa mencoba melupakan perasaanku dan melanjutkan hidup."


Aku ingin mengatakan sesuatu, tapi kata-kata rasanya tertahan di tenggorokan. Di saat itu, Laila tampak begitu rapuh, namun tegar. Ia memilih pergi setelah mengucapkan perasaannya, meninggalkan kafe dan meninggalkanku dalam kebingungan.




Hari-hari berlalu. Aku dan Laila semakin jarang bertemu. Hubungan kami terasa berubah, ada jarak yang tidak kasat mata, namun sangat terasa. Di saat yang sama, hubunganku dengan Siska semakin dekat. Siska adalah sosok yang ceria dan penuh semangat. Ia seperti angin segar di tengah hidupku yang kusut.


"Kenapa kamu kelihatan nggak tenang akhir-akhir ini?" tanya Siska suatu hari saat kami sedang duduk di tepi danau.


Aku terdiam sejenak, berpikir apakah aku harus menceritakan semua kegundahanku padanya. Tapi akhirnya aku memilih jujur.


"Aku… aku bingung, Sis. Sebenarnya, aku ada masalah dengan Laila."


"Laila? Sahabatmu itu?" tanyanya dengan wajah penasaran.


"Iya. Dia… dia mengungkapkan perasaannya ke aku," kataku pelan, mencoba menangkap reaksinya.


Siska terdiam, wajahnya berubah kaku. "Dan kamu? Apa kamu suka sama dia?"


Aku menggeleng. "Aku nggak tahu, Sis. Aku hanya nggak ingin melukainya."


Suasana berubah canggung. Siska terdiam, menatap ke arah danau dengan pandangan kosong. Sepertinya, ia mencoba mencerna apa yang baru saja kukatakan.


"Jadi, kamu mau pilih siapa, Ardi?" tanyanya dingin.


Aku tidak langsung menjawab. Pertanyaan itu justru semakin memperkeruh pikiranku. Di satu sisi, aku tak ingin kehilangan Laila, tapi di sisi lain, aku ingin melanjutkan apa yang sudah terjalin dengan Siska.


"Siska, aku... aku nggak tahu harus jawab apa," kataku lirih. "Aku nggak ingin menyakiti kamu atau Laila."


Siska mendesah, lalu berdiri. "Kamu harus buat keputusan, Ardi. Kalau kamu terus di situ, kamu hanya akan melukai kami berdua."


Setelah berkata begitu, Siska pergi meninggalkanku. Aku hanya bisa memandang punggungnya yang semakin menjauh. Perasaan hampa langsung menyergap. Aku tak tahu apakah ini akan menjadi akhir dari hubungan kami, atau justru awal dari akhir persahabatanku dengan Laila.




Seminggu kemudian, Laila mengajakku bertemu lagi. Meski ragu, aku menerima ajakannya. Kami bertemu di taman yang tenang, hanya ditemani suara burung dan angin yang berbisik di antara daun-daun pohon.


"Ardi, apa kamu sudah membuat keputusan?" tanya Laila tanpa basa-basi.


Aku menunduk, lalu mengangguk pelan. "Aku... aku mau jujur sama kamu, La. Aku suka sama Siska. Tapi aku nggak mau kehilangan kamu juga."


Laila menghela napas, menatapku dengan mata yang basah. "Jadi, kamu memilih Siska?"


Aku mengangguk. "Maaf, La. Aku tahu ini sulit, tapi aku nggak ingin memberi harapan palsu ke kamu."


Laila terdiam, memalingkan wajah sambil menghapus air mata yang mulai mengalir.


"Aku bisa terima, Ardi. Tapi satu hal yang harus kamu tahu… aku akan pergi dari hidupmu. Ini mungkin yang terbaik untuk kita berdua," ucapnya dengan suara bergetar.


Aku tak tahu harus berkata apa. Di satu sisi, aku merasa lega karena telah jujur padanya, tapi di sisi lain, kepergiannya terasa begitu menyakitkan. Mungkin, aku baru benar-benar sadar seberapa berharga dirinya saat ia benar-benar akan pergi.




Beberapa hari setelah pertemuan itu, aku mencoba menghubungi Siska, tapi ia selalu menghindar. Akhirnya, aku memutuskan untuk menemuinya di rumahnya. Saat sampai, aku melihat ia sedang duduk di taman, menatap langit.


"Siska…" panggilku pelan.


Ia menoleh, menatapku dengan wajah yang lelah. "Apa yang kamu mau, Ardi?"


"Aku ingin memperbaiki semuanya," kataku jujur.


Siska tersenyum miris. "Ardi, hubungan kita nggak bisa diperbaiki. Kamu terlalu ragu, terlalu takut untuk memilih. Aku nggak ingin terus berada dalam situasi yang penuh ketidakpastian."


Aku terdiam, terpaku mendengar ucapannya. Dalam sekejap, aku menyadari bahwa aku telah membuat keputusan yang salah. Aku mencoba memegang tangannya, tapi ia menepisnya.


"Aku lelah, Ardi. Aku berharap kamu bisa menemukan apa yang kamu cari, tapi bukan dengan aku," katanya, lalu pergi meninggalkanku tanpa menoleh sedikit pun.


Di detik itu, aku hanya bisa terdiam, menyadari bahwa aku telah kehilangan dua orang yang paling berarti dalam hidupku. Dalam kebimbanganku memilih, aku justru kehilangan keduanya.


Hujan kembali turun, membasahi tanah dan mengguyur seluruh kenangan yang pernah ada. Tapi kali ini, hujan hanya menyisakan rasa perih dan penyesalan yang menghujam, seolah tak pernah akan kering.

Cerita Pendek:Lonceng Akhir

Cerita Pendek:Lonceng Akhir
Ilusi foto Cerita Pendek:Lonceng Akhir (pixabay.com)


Aku adalah seorang pegawai pabrik yang terjebak dalam gelapnya dunia pinjaman online. Semua bermula dari sebuah keputusan bodoh yang kuambil dengan berpikir bahwa segalanya akan baik-baik saja. Siapa yang mengira bahwa dari sekadar pinjaman kecil untuk kebutuhan mendesak, utang itu akan menjeratku dalam lingkaran setan yang tak berujung?


Hari itu, pabrik tempatku bekerja baru saja tutup. Tubuhku terasa lelah, namun pikiranku lebih berat menanggung beban utang yang semakin menumpuk. Aku duduk di bangku taman kecil di depan pabrik, memandang kosong ke arah jalanan. Pikiranku sibuk, mencoba mencari cara untuk keluar dari situasi ini. Pinjaman pertama hanya dua juta, tapi bunga yang mencekik membuat utang itu melonjak hingga belasan juta dalam beberapa bulan.


Ketika aku masih tenggelam dalam kekhawatiran, seseorang menepuk bahuku. Wajahnya garang, sorot matanya tajam seolah menusukku.


"Selamat sore, Mbak Rini," katanya dengan senyum sinis. Dia adalah salah satu dari penagih yang selama ini menghantuiku. "Kami sudah beri kamu waktu. Tapi kok, kamu masih belum ada itikad baik untuk melunasi utang?"


Aku terdiam, mencoba menelan rasa takut. "Saya sudah berusaha. Tapi, uangnya belum cukup," jawabku lemah, dengan suara bergetar.


"Bukan urusan saya. Yang penting, utang itu harus lunas. Bos kami nggak suka berurusan sama orang yang enggak bertanggung jawab."


Aku berusaha menjaga ketenangan, meski hati ini berdegup kencang. "Tolong beri saya waktu. Saya akan bayar."


Tiba-tiba, dia meraih tanganku dengan kasar. "Dengar, Rini. Kamu punya dua pilihan: bayar atau... kita bakal cari cara lain buat dapetin duitnya."


Tangannya semakin menguat. Rasa sakit menjalar dari pergelangan hingga ke seluruh tubuhku. Aku berontak, namun percuma. Dia lebih kuat, lebih buas, dan lebih kejam.


"Kalau kamu masih bandel, kami punya cara lain buat bikin kamu nurut," lanjutnya, dengan suara yang semakin rendah, penuh ancaman.


Aku berhasil menarik tanganku dan berlari. Keringat dingin membasahi punggungku, dan napasku terengah. Aku tahu, lari bukan solusi, tapi aku tak tahu lagi harus berbuat apa. Setiap malam, aku terjaga dengan kecemasan bahwa mereka akan muncul lagi, membuat hidupku tak tenang.


---


Hari berganti hari. Aku sudah mencoba meminta bantuan dari teman-teman, tapi mereka pun kesulitan. Tidak ada satu orang pun yang bisa menolongku. Aku merasa terjebak, seolah-olah hidup ini tak lagi memberi pilihan.


Suatu malam, ketika aku sedang berjalan pulang, aku mendengar langkah kaki yang mengikutiku. Aku menoleh dan melihat sosok yang tak asing lagi. Dia adalah pria yang sama, si penagih utang. Dia mendekat dengan wajah yang dingin dan penuh ancaman.


"Kenapa kamu lari, Rini? Kami sudah berusaha baik-baik, tapi kamu malah mengabaikan kami," katanya sambil menyeringai.


"Aku… aku nggak bisa bayar sekarang…" jawabku gemetar.


Dia mendekat semakin dekat, hingga jarak kami hanya beberapa jengkal. Napasnya tercium busuk, penuh kemarahan dan kebencian. "Kalau kamu nggak bisa bayar, kami bakal ambil sesuatu yang lebih berharga."


Aku tidak tahu dari mana keberanian itu muncul, namun tanganku terangkat dan mendorongnya keras. Dia terdorong mundur beberapa langkah, tapi secepat kilat, dia kembali menggapai tanganku dan menarikku dengan kasar.


"Aku sudah sabar, Rini. Tapi sepertinya kamu memang nggak layak diberi kesempatan."


Di saat itulah, aku merasakan benda keras di dalam tasku—pisau kecil yang kupakai untuk memotong makanan. Tangan ini gemetar, namun rasa takut yang menumpuk berubah menjadi keberanian. Tanpa berpikir panjang, aku menarik pisau itu dan menusukkannya ke arahnya.


Dia terkejut, matanya membelalak. Tangannya yang sebelumnya mencengkeramku mulai melemah, dan dia tersungkur di hadapanku, napasnya tersendat-sendat. Darah mengalir deras dari luka di perutnya. Aku melihatnya, terkejut sekaligus bingung.


Namun, bukan hanya darah di tubuhnya yang membasahi jalanan, tapi juga rasa bersalah yang mulai menghantui pikiranku. Aku telah melangkah terlalu jauh. Aku tahu bahwa ini bukan sekadar pelarian dari utang; aku telah melanggar batasan, dan tak ada jalan kembali.


---


Beberapa saat kemudian, sirene polisi terdengar. Mereka tiba dan segera menahan tanganku. Aku tak meronta, tak melawan. Sadar bahwa aku sudah kehilangan segalanya. Saat itu, aku hanya merasakan hampa, kosong. Begitu tragisnya hidup yang kujalani hingga berakhir seperti ini.


Di ruang tahanan, aku termenung, mencoba mencerna semua yang telah kulakukan. Penyesalan datang terlambat, tapi tak ada lagi yang bisa kukatakan. Aku hanya bisa berharap, dalam dunia yang suram ini, aku bisa mendapatkan kedamaian yang telah lama hilang.

PUISI:KERINDUAN RINTIK HUJAN

  PUISI:KERINDUAN RINTIK HUJAN (https://pixabay.com/id/photos/hujan-jalan-kota-pelabuhan-1479303/) Hujan menari di atas jendela, rintiknya...