Cerita Pendek:Duri dalam Mawar

Gambar
  Ilusi gambar Cerita Pendek:Duri dalam Mawar  https://pixabay.com/id/photos/pasangan-matahari-terbenam-6562725/ Hujan mengguyur lebat malam itu, membasahi jalan setapak menuju rumah tua di pinggir kota. Lampu jalan yang remang-remang memantulkan bayangan pohon yang melambai seperti sosok-sosok hantu. Di dalam rumah itu, tiga jiwa terjerat dalam cinta yang gelap. Amara duduk di sofa ruang tamu, menatap cangkir teh di tangannya yang dingin. Hatinya berdenyut oleh kecamuk rasa bersalah dan kebencian. Di seberangnya, Reza berdiri sambil menyandarkan tubuhnya ke dinding, rokok terselip di antara jari-jarinya. “Amara,” kata Reza dengan suara rendah. “Kamu harus memilih. Aku atau dia.” Amara mendongak, matanya yang kelam bertemu dengan tatapan tajam Reza. “Ini tidak semudah itu, Reza. Aku mencintai kalian berdua. Tapi...” Suaranya pecah, tertahan oleh air mata yang menggantung di kelopak matanya. Pintu depan berderit terbuka, dan langkah berat terdengar dari koridor. Arya muncu...

Cerita Pendek:Malam Minggu Terakir

Cerita Pendek:Malam Minggu Terakir
Ilusi Foto Cerita Pendek:Malam Minggu Terakir by screen https://www.freepik.com/free-ai-image/medium-shot-couple-holding-hands_72566735.htm#fromView=search&page=1&position=14&uuid=782187a8-878d-4d08-99ba-dd0348986a16



Malam itu udara terasa hangat, angin yang berhembus lembut mengiringi malam minggu yang tampak sempurna bagi Alif dan Dinda. Sepasang kekasih itu berjalan bergandengan tangan di sepanjang trotoar. Jalanan ramai dengan suara deru kendaraan, lampu-lampu kota bersinar terang, memantulkan kilauan ke kaca-kaca toko di pinggir jalan.


"Aku senang kita bisa jalan-jalan malam ini," kata Dinda sambil tersenyum kecil, tatapan matanya penuh kehangatan. Ia menatap Alif dengan penuh kasih.


Alif mengangguk, menggenggam tangan Dinda lebih erat. "Iya, setelah seminggu penuh kerja, rasanya ini adalah pelarian yang sempurna," jawabnya, bibirnya melengkung tipis. Matanya berkilat, menikmati momen itu seolah malam ini adalah milik mereka berdua saja.


Namun, di balik keindahan malam, ada sesuatu yang mengintai. Di kejauhan, dua orang pria dengan helm hitam yang mencurigakan memperhatikan mereka dari jauh, di atas sepeda motor yang tampak tua dan berkarat. Tanpa disadari oleh Alif dan Dinda, bayangan gelap mulai mendekat.


"Tapi kamu janji, ya, habis ini kita mampir ke café itu?" tanya Dinda sambil menunjuk ke sebuah café di sudut jalan yang ramai dengan tawa dan musik.


"Tentu saja, sayang. Kita bisa pesan kopi favorit kamu," kata Alif sambil mengelus punggung tangannya, mencoba menenangkan kegelisahan yang samar-samar mulai terasa dalam dirinya.


Mereka berdua melanjutkan langkah, tak sadar bahwa motor yang tadinya jauh, kini semakin mendekat. Malam minggu yang awalnya tenang mulai berubah mencekam, namun keduanya belum menyadarinya.


Ketika Alif dan Dinda berbelok ke jalan yang lebih sepi, suasana mendadak berubah. Lampu jalan yang tadi terang benderang, perlahan memudar. Suara kendaraan semakin jarang terdengar, hanya ada derit angin yang menyelusup di antara gedung-gedung tua.


Alif merasakan firasat buruk, langkahnya melambat. "Din, ayo kita cepat sedikit. Jalan ini terasa aneh."


Dinda mengerutkan kening, "Kenapa? Kamu baik-baik saja?"


Namun, sebelum Alif sempat menjawab, suara bising motor menderu mendekat. Dua pria bertubuh kekar menghentikan motor mereka tepat di hadapan Alif dan Dinda. Wajah mereka tersembunyi di balik helm hitam legam, mata mereka berkilat seperti binatang yang siap menerkam mangsanya.


"Sial," gumam Alif, menarik Dinda di belakangnya dengan cepat. "Tetap di belakangku," bisiknya.


Salah satu pria turun dari motor dan mengeluarkan pisau lipat dari saku jaketnya. Kilatan besi tajam memantulkan cahaya lampu jalan yang redup. "Serahkan semua barang berharga kalian kalau nggak mau celaka!" Suaranya keras, kasar, dan memaksa.


Dinda memeluk lengan Alif erat, ketakutan menjalar ke seluruh tubuhnya. "Alif...," suaranya bergetar.


"Tenang, Dinda, aku akan melindungimu." Alif mencoba tetap tenang, tapi di dalam hatinya, jantungnya berdebar kencang. Ia menatap kedua pria itu dengan dingin, mencoba membaca niat mereka. Tidak ada jalan keluar selain menuruti atau melawan.


Alif merogoh kantong celananya, mengambil dompet dan ponselnya. Ia mengulurkannya ke pria bersenjata. "Ini, ambil saja. Tapi jangan sakiti kami," katanya dengan suara tenang, meski ketakutan mulai menguasai pikirannya.


Namun, tampaknya itu tidak cukup bagi mereka. Pria satunya mendekat dan meraih tas Dinda dengan kasar. "Cepat, kasih ke sini!" teriaknya.


Dinda menahan tasnya, spontanitas dan ketakutan membuatnya kaku.


"Jangan, Dinda!" seru Alif, tapi terlambat. Pria itu merenggut tas dengan paksa dan mendorong Dinda hingga terjatuh ke tanah.


Amarah Alif memuncak. Ia menyerang pria yang menodongkan pisau itu tanpa berpikir panjang. Perkelahian terjadi begitu cepat, seperti bayangan yang berkelebat. Alif memukul sekuat tenaga, berusaha melindungi Dinda yang terbaring di tanah.


Namun, dalam sekejap, segalanya berubah. Pisau tajam itu menusuk tubuh Alif.


"Alif!" jerit Dinda, suaranya pecah oleh kepanikan. Ia berlari ke arah Alif yang kini terkapar di tanah, darah mengalir deras dari luka di perutnya. 


Para penjahat itu kabur begitu saja, meninggalkan Dinda yang terduduk di samping tubuh kekasihnya yang mulai melemah. Di bawah cahaya lampu jalan yang suram, ia menggenggam tangan Alif yang bergetar.


"Jangan tinggalkan aku, Alif...," bisik Dinda dengan air mata membasahi wajahnya. Matanya penuh dengan ketakutan dan kesedihan yang mendalam.


Alif tersenyum lemah, wajahnya pucat. "Aku... maaf, Dinda... Aku tidak bisa menepati janji untuk minum kopi denganmu..." suaranya mulai serak, lemah, seolah tenaga terakhirnya telah habis.


"Jangan bicara seperti itu! Kamu akan baik-baik saja, kita akan segera ke rumah sakit!" Dinda mengguncang tubuh Alif, mencoba menyadarkannya.


Namun, Alif hanya mengangguk lemah, napasnya semakin berat, dan matanya perlahan menutup. Malam minggu yang seharusnya penuh kebahagiaan itu berubah menjadi malam yang kelam dan tragis. 


Dinda menatap kekasihnya yang kini tergeletak tak bernyawa di pangkuannya. Tangisnya pecah, memecah kesunyian malam, menggema di antara gedung-gedung yang dingin dan kosong.


Malam yang awalnya begitu hangat kini menjadi saksi bisu sebuah kehilangan yang menyayat hati.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cerita Pendek:Cinta Di Sepertiga Malam

Cerita Pendek Romantis:Jarak Yang Mematikan

Puisi:Dalam Hujan Aku Mengenangmu