Cerita Pendek:Duri dalam Mawar

Gambar
  Ilusi gambar Cerita Pendek:Duri dalam Mawar  https://pixabay.com/id/photos/pasangan-matahari-terbenam-6562725/ Hujan mengguyur lebat malam itu, membasahi jalan setapak menuju rumah tua di pinggir kota. Lampu jalan yang remang-remang memantulkan bayangan pohon yang melambai seperti sosok-sosok hantu. Di dalam rumah itu, tiga jiwa terjerat dalam cinta yang gelap. Amara duduk di sofa ruang tamu, menatap cangkir teh di tangannya yang dingin. Hatinya berdenyut oleh kecamuk rasa bersalah dan kebencian. Di seberangnya, Reza berdiri sambil menyandarkan tubuhnya ke dinding, rokok terselip di antara jari-jarinya. “Amara,” kata Reza dengan suara rendah. “Kamu harus memilih. Aku atau dia.” Amara mendongak, matanya yang kelam bertemu dengan tatapan tajam Reza. “Ini tidak semudah itu, Reza. Aku mencintai kalian berdua. Tapi...” Suaranya pecah, tertahan oleh air mata yang menggantung di kelopak matanya. Pintu depan berderit terbuka, dan langkah berat terdengar dari koridor. Arya muncu...

Cerita Pendek:Di Antara Dua Hati

Cerita Pendek:Di Antara Dua Hati
Ilustrasi foto Cerita Pendek:Di Antara Dua Hati (https://pixabay.com/id/illustrations/gadis-bermimpi-mimpi-melamun-sedih-7356696/)



Aku duduk di tepi jendela kafe kecil yang sering kita kunjungi. Aroma kopi memenuhi udara, mengingatkanku pada perbincangan kita yang dulu penuh canda tawa. Sekarang, kafe ini menjadi saksi bisu atas kebingungan dan kekacauan yang melanda hatiku.


Di sinilah tempat aku pertama kali menyadari bahwa ada sesuatu yang berbeda di antara kita, sesuatu yang lebih dalam dari sekadar persahabatan. Aku selalu berpikir bahwa aku mengenalmu luar dalam, namun ternyata tidak. Kau menyimpan rahasia yang akhirnya membuatku terjebak dalam cinta segitiga yang tak pernah kuinginkan.


Kita sering bertemu, berdua saja. Saat itu, aku merasa aman. Dunia serasa menyempit hanya untuk kita. Namun, seiring waktu, perasaan itu berubah. Bukan karena aku ingin, tapi karena kehadiran orang ketiga—dia, seseorang yang datang tanpa aku duga, yang merenggut sebagian dari duniamu yang dulu utuh milikku.


"Kamu tahu, ada hal yang harus aku ceritakan padamu," ucapmu suatu hari dengan nada lembut tapi penuh keraguan. Mata cokelatmu yang biasanya tenang kini tampak gelisah, seolah enggan mengungkapkan sesuatu yang akan mengubah segalanya.


"Apa itu?" tanyaku sambil meneguk kopiku, berusaha terlihat santai meskipun aku merasakan ada sesuatu yang tidak beres.


"Kau tahu, ada seseorang yang... aku pikir, aku mulai jatuh cinta padanya." Kalimat itu meluncur seperti belati tajam, menghujam relung hatiku.


Dadaku terasa sesak. Aku tersenyum getir. "Siapa?"


Mata kita bertemu sesaat sebelum kau menunduk, menghindari pandanganku. "Dia... temanku yang baru, Aksa."


Nama itu seperti petir di siang bolong. Aksa? Teman yang baru saja kau kenalkan beberapa minggu lalu? Aku ingat betapa hangatnya caramu berbicara tentang dia, bagaimana kau tertawa setiap kali menceritakan kisah konyol yang kau alami dengannya. Tapi aku tak pernah berpikir ini akan terjadi. 


Kau melanjutkan, "Aku tidak tahu bagaimana menjelaskannya. Rasanya salah, tapi aku tak bisa mengabaikannya. Setiap kali aku bersamanya, aku merasa… berbeda."


Seketika, hatiku terasa hancur berkeping-keping, tapi aku berusaha menahan diri. "Dan aku?" tanyaku dengan suara yang lebih rendah dari biasanya.


"Kamu selalu istimewa," jawabmu cepat. "Kamu adalah sahabat terbaikku. Aku tidak bisa kehilanganmu."


Sahabat? Kalimat itu bagai menambah garam di lukaku yang masih basah. Di sini, di antara kopiku yang mulai mendingin dan deru obrolan orang-orang di sekitarku, aku harus menghadapi kenyataan bahwa aku tidak pernah menjadi lebih dari itu bagimu. Aku hanya sahabat—sementara hatiku mendambakan lebih.


***


Waktu berlalu, dan meskipun aku mencoba melupakan percakapan itu, aku selalu merasa ada sesuatu yang berubah. Pertemuan kita tidak lagi sehangat dulu. Kamu seringkali datang dengan pikiran yang melayang jauh, dan tanpa sadar, setiap kali kita berbicara, Aksa selalu menjadi topik pembicaraan yang tak terhindarkan. Aku mulai membenci namanya, membenci bayangan sosoknya yang entah bagaimana telah merenggutmu dariku.


Suatu hari, kau mengajakku bertemu di tempat biasa. Kali ini, aku datang dengan firasat buruk. Perasaanku tidak pernah salah. Ketika aku tiba, kau sudah duduk di sudut kafe, terlihat gusar.


"Aku ingin bicara lagi," katamu tanpa basa-basi. 


Aku duduk di depanmu, bersiap untuk apa pun yang akan kau katakan. "Apa ini tentang Aksa?"


Kamu mengangguk pelan. "Aku merasa bersalah karena tidak jujur padamu. Aku tahu perasaanmu, aku bukan bodoh. Dan aku sangat menghargai persahabatan kita. Tapi semakin lama aku menghabiskan waktu bersamanya, semakin sulit bagiku untuk mengabaikan perasaanku sendiri."


Aku tersenyum getir. "Jadi, apa yang kamu inginkan dari semua ini?"


"Aku ingin semuanya tetap seperti dulu. Aku tidak ingin kehilangan kamu, tapi aku juga tidak bisa membohongi diriku sendiri tentang perasaanku pada Aksa."


Aku menelan ludah, mencoba meredam rasa sakit yang menjalar di seluruh tubuhku. "Kamu tidak bisa memiliki keduanya," kataku dengan tegas, meskipun hatiku hancur saat kata-kata itu keluar dari mulutku. "Jika kamu memilih dia, aku harus pergi. Aku tidak bisa hanya menjadi teman saat aku tahu aku ingin lebih dari itu."


Suasana hening sejenak, hanya ada suara detak jantungku yang bergemuruh di telinga. Kau terdiam, dan di saat itulah aku tahu jawabannya. Kau tidak perlu mengucapkannya. Pilihanmu sudah jelas.


***


Beberapa minggu kemudian, kita jarang bertemu. Kau mulai semakin sibuk dengan duniamu yang baru, dan aku memutuskan untuk menjaga jarak. Aku berusaha menerima kenyataan, meskipun hatiku tak henti-hentinya mempertanyakan mengapa semua ini harus terjadi.


Namun, suatu sore, ketika aku sedang duduk di kafe yang sama, tiba-tiba kau datang. Matamu sembab, wajahmu penuh dengan ekspresi campur aduk antara penyesalan dan kebingungan.


"Kamu baik-baik saja?" tanyaku ragu.


"Aku... Aku sudah putus dengan Aksa," jawabmu pelan, seperti butiran hujan yang jatuh di kaca jendela.


Aku terdiam. Hatiku berdebar. "Kenapa?"


"Aku salah. Aku pikir aku mencintainya, tapi ternyata tidak. Aku bingung, dan aku menyadari bahwa aku telah menyakiti orang yang paling berharga dalam hidupku. Aku menyakiti kamu."


Seketika, amarah dan cinta berkecamuk dalam diriku. Bagaimana bisa kau datang lagi, seolah-olah semuanya bisa kembali seperti semula? "Kamu pikir semuanya akan selesai begitu saja?" tanyaku, suaraku bergetar menahan emosi.


"Aku tahu tidak semudah itu," jawabmu lirih. "Tapi aku ingin mencoba memperbaiki semuanya."


Aku menatapmu dalam-dalam, mencoba mencari jawaban di balik mata cokelatmu yang kini dipenuhi penyesalan. Mungkin aku masih mencintaimu, mungkin tidak. Namun yang aku tahu, cinta yang pernah ada di antara kita takkan pernah sama lagi.


Mungkin cinta segitiga ini tidak akan pernah benar-benar selesai.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cerita Pendek:Cinta Di Sepertiga Malam

Cerita Pendek Romantis:Jarak Yang Mematikan

Puisi:Dalam Hujan Aku Mengenangmu