CERITA PENDEK:CINTA TAK TERBALAS
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Ilusi foto CERITA PENDEK:CINTA TAK TERBALAS (https://pixabay.com/id/photos/pantai-matahari-terbenam-wanita-7714610/)
Matahari tenggelam di balik cakrawala, memancarkan warna jingga yang lembut, sementara aku duduk di tepi danau tempat kita sering bertemu. Aku menunggu, seperti biasa. Selalu menunggu. Angin sore mengibaskan rambutku, memberikan sentuhan dingin di pipiku yang mulai memerah oleh perasaan yang tak lagi dapat kutahan. Aku tahu aku harus mengatakan semuanya hari ini, atau aku akan kehilangan kesempatan itu selamanya.
Kau adalah sosok yang selalu kupuja dalam diam. Sejak kita bertemu beberapa tahun lalu, perasaanku tumbuh begitu dalam dan tak bisa lagi kubendung. Namun, seiring berjalannya waktu, aku semakin menyadari bahwa tidak ada kepastian dalam hubungan kita. Kau sering datang dan pergi, dengan senyuman yang manis, kata-kata yang membuatku merasa istimewa, namun kemudian menghilang dalam kesibukan dunia yang tidak pernah kujamah. Aku hanyalah seorang gadis biasa, sedang kau adalah seseorang yang selalu tampak terlalu jauh untuk kugapai.
Di sisi lain, aku tak pernah menyerah. Setiap detik bersamamu adalah kebahagiaan yang tak tergantikan. Maka hari ini, aku ingin mengatakan padamu, dengan segala keberanian yang tersisa, bahwa aku mencintaimu. Lebih dari sekadar sahabat, lebih dari sekadar teman.
Langkah kaki terdengar dari arah belakangku. Aku menoleh dan melihatmu berjalan mendekat dengan senyummu yang begitu akrab. Senyum itu selalu berhasil membuat hatiku berdetak lebih cepat, meskipun seringkali membawa kebingungan. Apa yang kau pikirkan tentang kita selama ini? Apa aku hanya seorang teman bagimu?
"Kau sudah lama menunggu?" tanyamu dengan nada tenang, seperti biasanya.
Aku menggeleng, mencoba menyembunyikan kegugupanku. "Baru saja," jawabku sambil tersenyum kecil, meski hati ini sudah lama menunggu jawaban dari kebingungan yang terus menghantui.
Kau duduk di sampingku, melihat ke arah danau yang tenang. "Aku senang kita bisa bertemu hari ini," katamu.
"Aku juga," kataku. Tetapi di dalam pikiranku, kata-kata lain terus bergulir. *Aku mencintaimu*. Haruskah aku mengatakannya sekarang? Atau menunggu sedikit lagi?
Detik-detik berlalu dalam keheningan, dan akhirnya aku tak tahan lagi. Aku harus melakukannya sekarang atau tidak sama sekali. "Aku ingin bicara sesuatu," kataku dengan suara sedikit bergetar.
Kau menoleh, matamu menatapku dengan penuh perhatian, tapi tanpa ekspresi yang jelas. "Apa itu?"
Jantungku berdebar semakin kencang, tapi aku memaksa diri untuk melanjutkan. "Selama ini... aku menyimpan perasaan untukmu. Lebih dari sekadar teman. Aku mencintaimu." Suaraku terdengar lirih, hampir seperti bisikan.
Keheningan jatuh di antara kita. Aku bisa merasakan jantungku berdetak di telinga, dan perutku terasa melilit. Aku menunggu reaksi darimu, tapi yang aku terima hanyalah ekspresi bingung dan kaget yang sulit kubaca.
"Aku...," kau menghela napas panjang, "Aku tidak tahu harus berkata apa."
Kata-kata itu menghantamku seperti badai. Hati ini terasa remuk, tapi aku tetap menunggu penjelasan. "Kau tidak tahu? Apa maksudmu?" tanyaku, suaraku terdengar serak.
"Aku menghargai perasaanmu. Kamu adalah orang yang sangat berarti bagiku. Tapi...," kata-katamu terhenti sejenak, seolah-olah kau mencoba menemukan cara terbaik untuk menyampaikan sesuatu yang sulit.
"Tapi apa?" desakku.
"Tapi aku tidak bisa mencintaimu seperti yang kamu inginkan. Aku tidak pernah melihatmu lebih dari seorang teman," jawabmu akhirnya, matamu penuh rasa bersalah.
Dunia di sekelilingku seolah runtuh. Udara yang kurasakan seperti hilang, dan aku hanya bisa terdiam, mencerna kenyataan yang baru saja kau sampaikan. Segala harapan yang selama ini kugenggam erat, mendadak hancur berkeping-keping.
"Tidak bisakah kau mencoba...?" tanyaku dengan nada lirih, memohon agar kau memberiku sedikit harapan.
"Aku minta maaf. Aku tidak ingin menyakitimu, tapi aku sudah mencintai orang lain," katamu pelan. "Aku sebenarnya ingin memberitahumu tadi, tapi... Aku akan menikah minggu depan."
Hening. Aku tidak bisa berkata-kata. Pikiran itu seperti pisau yang menusuk tepat di hatiku. Menikah? Orang lain? Tidak, ini tidak mungkin. Hatiku terasa seperti dirobek-robek. Semua perjuangan, harapan, doa yang kubangun selama ini... semuanya sia-sia.
"Aku ingin kamu tahu bahwa kau tetap penting bagiku," lanjutmu, tapi aku hampir tidak mendengarnya. Semua yang kau katakan terdengar jauh, seperti bayangan samar yang menghilang di balik kabut. Air mata mulai menggenang di mataku, dan aku tidak bisa lagi menahannya. Kau melihatnya, dan aku bisa merasakan rasa bersalahmu semakin dalam.
"Tolong... maafkan aku," katamu, namun itu tidak lagi berarti.
Aku berdiri, menarik napas dalam-dalam, mencoba menahan air mata yang sudah jatuh. "Aku tidak bisa berada di sini," kataku akhirnya, suaraku nyaris tak terdengar.
Aku meninggalkanmu di sana, di tepi danau yang dulunya penuh dengan kenangan indah. Setiap langkah terasa berat, tapi aku harus pergi. Jika aku terus berada di dekatmu, aku akan terus terluka. Kau telah membuat keputusanmu, dan aku tidak bisa mengubah itu.
Malam itu, di bawah langit yang gelap, aku berjalan tanpa arah, dengan hati yang kosong dan terluka. Cinta yang kupikir akan membuatku bahagia, ternyata justru menghancurkanku. Perjuanganku selama ini sia-sia. Tapi aku tahu, pada akhirnya, aku harus melepaskan. Tidak ada lagi yang bisa kuperjuangkan. Kau sudah memilih jalanmu, dan aku harus mencari jalan untuk menyembuhkan diriku sendiri, meskipun itu terasa mustahil.
Di penghujung malam, aku menyadari bahwa terkadang, meski kita mencintai seseorang dengan seluruh hati, cinta itu tidak selalu terbalas. Dan pada akhirnya, mungkin itu bukan tentang bagaimana kita bisa memilikinya, tetapi bagaimana kita bisa belajar untuk melepaskannya, demi kebahagiaan yang lebih besar—bahkan jika itu bukan kebahagiaan kita.
Namun, meskipun begitu, di balik setiap air mata dan luka, aku tahu aku akan bangkit kembali. Mungkin bukan hari ini, mungkin bukan besok, tetapi suatu hari nanti. Dan saat hari itu tiba, aku akan tersenyum pada kenangan ini, meski pahit, dan mengucapkan selamat tinggal dengan hati yang telah sembuh.
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Komentar
Posting Komentar