Cerita Pendek Romantis:Jarak Yang Mematikan
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Ilustrasi foto Cerita Pendek Romantis:Jarak Yang Mematikan (gambar pixabay.com) |
Malam sudah beranjak larut. Kota Bandung tampak tenang di bawah cahaya bulan yang samar-samar menyelimuti jalan-jalan sepi. Nadine duduk di balkon apartemennya, menatap layar ponsel yang kosong. Pesan terakhir dari Ray, kekasihnya yang bekerja di luar negeri, tertulis sederhana, penuh kerinduan: “Jaga dirimu di sana, sayang. Aku selalu rindu.”
Hatinya bergejolak. Selalu ada rasa bersalah yang menyelinap ketika ia mengingat Ray. Sejak lima tahun terakhir, mereka menjalani hubungan jarak jauh. Awalnya, semua baik-baik saja; Nadine bersabar menanti kepulangan Ray, sementara Ray berusaha selalu ada meski hanya melalui layar.
Namun, kesendirian memiliki caranya sendiri untuk menyusup dan menciptakan ruang kosong. Nadine tak pernah berniat mengkhianati Ray, tetapi di kota ini, ia tak sepenuhnya sendiri. Muncullah Arya, seorang lelaki misterius yang ditemuinya di sebuah acara kantor. Arya membawa kehangatan yang selama ini tak dirasakan Nadine. Ada percikan yang tak bisa ia hindari, dan dari sekedar obrolan, mereka mulai terjebak dalam pelukan yang salah.
“Besok kita ketemu lagi, kan?” Arya bertanya suatu malam, ketika mereka berdua duduk di dalam mobil yang terparkir di pinggir jalan, hanya beberapa blok dari apartemen Nadine.
Nadine menggigit bibirnya, mencoba menekan perasaan bersalah yang selalu hadir setelah bersama Arya. “Entahlah, Arya. Aku merasa bersalah pada Ray.”
Arya hanya tertawa ringan, “Ray jauh di sana. Kau tak bisa terus hidup dalam bayang-bayangnya, Nadine. Lihat dirimu sekarang. Kau bahagia saat bersamaku.”
Kata-kata itu merayap masuk ke dalam pikiran Nadine. Benarkah ia bahagia? Entah kenapa, setiap kali Arya membisikan kalimat seperti itu, keraguan yang membebat hatinya perlahan luluh. Namun, Nadine tak tahu bahwa di balik keromantisannya, Arya memiliki sisi yang gelap. Sisi yang kemudian akan menyeretnya semakin dalam ke dalam dosa.
---
Waktu terus berjalan, dan Nadine semakin sering bersama Arya. Hubungan mereka sudah terlalu dalam untuk dihentikan. Arya seolah-olah menyihirnya, membuatnya lupa akan komitmen yang ia pegang erat dengan Ray.
Namun, di sisi lain dunia, Ray mulai merasakan ada yang janggal. Nadine jarang membalas pesannya secepat dulu. Suaranya terdengar dingin saat mereka menelepon. Ray menekan rasa cemburu yang mulai menggerogoti hatinya.
Suatu malam, Ray memberanikan diri untuk menanyakan langsung.
“Nadine, kau baik-baik saja?” tanyanya lembut.
“Aku baik-baik saja, Ray,” jawab Nadine cepat, seolah ingin mengakhiri percakapan.
Ray menghela napas panjang. “Kenapa kamu terdengar jauh? Apa ada sesuatu yang tidak kamu ceritakan padaku?”
Ada jeda dalam percakapan. Nadine merasa dadanya berat. Tapi, ia menutupinya dengan senyum yang tak terlihat oleh Ray. “Tidak, Ray. Mungkin ini hanya karena kita sudah lama tidak bertemu. Aku rindu padamu.”
Perasaan tak nyaman di hati Ray semakin kuat, tapi ia tak ingin menekannya lebih jauh. “Aku akan pulang bulan depan, Nadine. Kita harus bicara.”
---
Ketika Ray akhirnya kembali ke Indonesia, Nadine merasa hancur. Ia tahu ia harus mengakhiri semua kebohongan ini, tetapi kehadiran Arya seperti candu yang sukar ia lepaskan. Setiap kali ingin mengatakan yang sebenarnya, rasa takut dan ragu menghantuinya.
Namun, Ray bukan orang bodoh. Ia mulai menyelidiki, menyadari ada sosok lain dalam kehidupan Nadine. Hingga suatu hari, ia menemukan bukti yang tak terbantahkan. Pesan-pesan singkat yang tertinggal di ponsel Nadine, pesan dari Arya yang sangat mesra, menjadi saksi bisu perselingkuhan yang selama ini ia curigai.
Dengan hati hancur, Ray memutuskan untuk tetap tenang dan mempersiapkan pembalasannya. Ia tak berniat langsung menghadapi Nadine, tetapi pikirannya sudah dipenuhi kebencian dan amarah yang tak terbendung.
---
Malam yang tenang itu berubah kelam ketika Ray meminta Nadine untuk bertemu di sebuah vila tua di pinggir kota. Nadine yang merasa bersalah, datang dengan hati cemas. Ia tahu ini saatnya untuk menghadapi kebenaran.
Di dalam vila yang sunyi, Ray menatap Nadine dengan tatapan tajam, sementara Nadine menundukkan kepala, menghindari pandangan penuh amarah itu.
“Nadine, katakan padaku. Apa benar kau mencintai pria lain?” suara Ray dingin, mengalir seperti racun.
Nadine tersentak, merasa tubuhnya lemas. Ia tak bisa lagi menahan tangisnya. “Maafkan aku, Ray… aku… aku tak tahu bagaimana ini terjadi. Aku kesepian.”
Ray mengepalkan tangannya, matanya memerah. “Jadi, kesepian menjadi alasan untuk menghancurkan segalanya? Aku memberikan segalanya untuk kita, Nadine. Apa kau tahu apa yang kurasakan?”
Nadine terisak, tetapi ia mengangguk, “Aku tahu, Ray. Aku tahu aku salah. Aku tak pantas mendapat maaf darimu. Tapi Arya… dia memberiku perasaan yang berbeda.”
Nama itu—Arya—membuat Ray semakin gelap. Tanpa peringatan, ia mencengkeram bahu Nadine keras-keras, membuat Nadine terkejut.
“Kau tahu, Nadine,” Ray berbisik di telinganya, “Pengkhianatan tak bisa dimaafkan. Dan aku... aku tak akan pernah melupakan ini.”
---
Malam itu berakhir dalam darah dan jeritan. Ray yang tak bisa mengendalikan amarahnya, dengan brutal menyerang Nadine. Jeritan dan rintihannya memenuhi vila tua itu, menyatu dengan malam yang sunyi. Bukan hanya amarah, tetapi kehancuran hati yang begitu dalam, membuat Ray kehilangan seluruh nalarnya.
Pagi harinya, vila itu sepi dan senyap, hanya menyisakan jejak kegelapan yang akan selalu melekat di sana.
Dan Arya? Ia tak pernah mengetahui nasib yang menimpa Nadine. Yang tersisa hanyalah kenangan akan seorang wanita yang pernah ia kenal, sementara Ray pergi, membawa rasa bersalah dan kebencian yang tak akan pernah benar-benar hilang dari hidupnya.
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Komentar
Posting Komentar