Cerita Pendek Romantis:Jarak Yang Mematikan

Cerita Pendek Romantis:Jarak Yang Mematikan
Ilustrasi foto Cerita Pendek Romantis:Jarak Yang Mematikan (gambar pixabay.com)



Malam sudah beranjak larut. Kota Bandung tampak tenang di bawah cahaya bulan yang samar-samar menyelimuti jalan-jalan sepi. Nadine duduk di balkon apartemennya, menatap layar ponsel yang kosong. Pesan terakhir dari Ray, kekasihnya yang bekerja di luar negeri, tertulis sederhana, penuh kerinduan: “Jaga dirimu di sana, sayang. Aku selalu rindu.”


Hatinya bergejolak. Selalu ada rasa bersalah yang menyelinap ketika ia mengingat Ray. Sejak lima tahun terakhir, mereka menjalani hubungan jarak jauh. Awalnya, semua baik-baik saja; Nadine bersabar menanti kepulangan Ray, sementara Ray berusaha selalu ada meski hanya melalui layar.


Namun, kesendirian memiliki caranya sendiri untuk menyusup dan menciptakan ruang kosong. Nadine tak pernah berniat mengkhianati Ray, tetapi di kota ini, ia tak sepenuhnya sendiri. Muncullah Arya, seorang lelaki misterius yang ditemuinya di sebuah acara kantor. Arya membawa kehangatan yang selama ini tak dirasakan Nadine. Ada percikan yang tak bisa ia hindari, dan dari sekedar obrolan, mereka mulai terjebak dalam pelukan yang salah.


“Besok kita ketemu lagi, kan?” Arya bertanya suatu malam, ketika mereka berdua duduk di dalam mobil yang terparkir di pinggir jalan, hanya beberapa blok dari apartemen Nadine.


Nadine menggigit bibirnya, mencoba menekan perasaan bersalah yang selalu hadir setelah bersama Arya. “Entahlah, Arya. Aku merasa bersalah pada Ray.”


Arya hanya tertawa ringan, “Ray jauh di sana. Kau tak bisa terus hidup dalam bayang-bayangnya, Nadine. Lihat dirimu sekarang. Kau bahagia saat bersamaku.”


Kata-kata itu merayap masuk ke dalam pikiran Nadine. Benarkah ia bahagia? Entah kenapa, setiap kali Arya membisikan kalimat seperti itu, keraguan yang membebat hatinya perlahan luluh. Namun, Nadine tak tahu bahwa di balik keromantisannya, Arya memiliki sisi yang gelap. Sisi yang kemudian akan menyeretnya semakin dalam ke dalam dosa.


---


Waktu terus berjalan, dan Nadine semakin sering bersama Arya. Hubungan mereka sudah terlalu dalam untuk dihentikan. Arya seolah-olah menyihirnya, membuatnya lupa akan komitmen yang ia pegang erat dengan Ray.


Namun, di sisi lain dunia, Ray mulai merasakan ada yang janggal. Nadine jarang membalas pesannya secepat dulu. Suaranya terdengar dingin saat mereka menelepon. Ray menekan rasa cemburu yang mulai menggerogoti hatinya.


Suatu malam, Ray memberanikan diri untuk menanyakan langsung.


“Nadine, kau baik-baik saja?” tanyanya lembut.


“Aku baik-baik saja, Ray,” jawab Nadine cepat, seolah ingin mengakhiri percakapan.


Ray menghela napas panjang. “Kenapa kamu terdengar jauh? Apa ada sesuatu yang tidak kamu ceritakan padaku?”


Ada jeda dalam percakapan. Nadine merasa dadanya berat. Tapi, ia menutupinya dengan senyum yang tak terlihat oleh Ray. “Tidak, Ray. Mungkin ini hanya karena kita sudah lama tidak bertemu. Aku rindu padamu.”


Perasaan tak nyaman di hati Ray semakin kuat, tapi ia tak ingin menekannya lebih jauh. “Aku akan pulang bulan depan, Nadine. Kita harus bicara.”


---


Ketika Ray akhirnya kembali ke Indonesia, Nadine merasa hancur. Ia tahu ia harus mengakhiri semua kebohongan ini, tetapi kehadiran Arya seperti candu yang sukar ia lepaskan. Setiap kali ingin mengatakan yang sebenarnya, rasa takut dan ragu menghantuinya.


Namun, Ray bukan orang bodoh. Ia mulai menyelidiki, menyadari ada sosok lain dalam kehidupan Nadine. Hingga suatu hari, ia menemukan bukti yang tak terbantahkan. Pesan-pesan singkat yang tertinggal di ponsel Nadine, pesan dari Arya yang sangat mesra, menjadi saksi bisu perselingkuhan yang selama ini ia curigai.


Dengan hati hancur, Ray memutuskan untuk tetap tenang dan mempersiapkan pembalasannya. Ia tak berniat langsung menghadapi Nadine, tetapi pikirannya sudah dipenuhi kebencian dan amarah yang tak terbendung.


---


Malam yang tenang itu berubah kelam ketika Ray meminta Nadine untuk bertemu di sebuah vila tua di pinggir kota. Nadine yang merasa bersalah, datang dengan hati cemas. Ia tahu ini saatnya untuk menghadapi kebenaran.


Di dalam vila yang sunyi, Ray menatap Nadine dengan tatapan tajam, sementara Nadine menundukkan kepala, menghindari pandangan penuh amarah itu.


“Nadine, katakan padaku. Apa benar kau mencintai pria lain?” suara Ray dingin, mengalir seperti racun.


Nadine tersentak, merasa tubuhnya lemas. Ia tak bisa lagi menahan tangisnya. “Maafkan aku, Ray… aku… aku tak tahu bagaimana ini terjadi. Aku kesepian.”


Ray mengepalkan tangannya, matanya memerah. “Jadi, kesepian menjadi alasan untuk menghancurkan segalanya? Aku memberikan segalanya untuk kita, Nadine. Apa kau tahu apa yang kurasakan?”


Nadine terisak, tetapi ia mengangguk, “Aku tahu, Ray. Aku tahu aku salah. Aku tak pantas mendapat maaf darimu. Tapi Arya… dia memberiku perasaan yang berbeda.”


Nama itu—Arya—membuat Ray semakin gelap. Tanpa peringatan, ia mencengkeram bahu Nadine keras-keras, membuat Nadine terkejut.


“Kau tahu, Nadine,” Ray berbisik di telinganya, “Pengkhianatan tak bisa dimaafkan. Dan aku... aku tak akan pernah melupakan ini.”


---


Malam itu berakhir dalam darah dan jeritan. Ray yang tak bisa mengendalikan amarahnya, dengan brutal menyerang Nadine. Jeritan dan rintihannya memenuhi vila tua itu, menyatu dengan malam yang sunyi. Bukan hanya amarah, tetapi kehancuran hati yang begitu dalam, membuat Ray kehilangan seluruh nalarnya.


Pagi harinya, vila itu sepi dan senyap, hanya menyisakan jejak kegelapan yang akan selalu melekat di sana.


Dan Arya? Ia tak pernah mengetahui nasib yang menimpa Nadine. Yang tersisa hanyalah kenangan akan seorang wanita yang pernah ia kenal, sementara Ray pergi, membawa rasa bersalah dan kebencian yang tak akan pernah benar-benar hilang dari hidupnya.

Puisi:Dalam Hujan Aku Mengenangmu

 

Puisi:Dalam Hujan Aku Mengenangmu
Ilustrasi gambar Puisi:Dalam Hujan Aku Mengenangmu (pixabay.com)

Di balik tirai hujan yang menderu  

ada kisah yang tak pernah berlalu.  

Rintik-rintik itu mengetuk hati,  

mengingatkanku pada sepi yang tak henti.  


Kau hadir dalam tiap tetes yang jatuh,  

seperti embun di pagi yang penuh jenuh.  

Kala hujan turun, aku kembali merindu,  

pada hadirmu yang kini entah di mana berlalu.  


Hujan adalah pertemuan kita yang abadi,  

suara gemericiknya seperti suara hati,  

yang pelan-pelan mengalirkan luka,  

namun juga menyembuhkan rindu yang ada.  


Setiap deras, setiap titik,  

membawaku jauh ke masa lalu yang klasik,  

saat kita duduk di bawah langit kelabu,  

berbagi tawa, cerita, dan rindu.  


Kini hujan datang tanpa tawamu,  

namun kenangan itu masih kerap menghibur pilu.  

Kau yang pernah memeluk dalam keheningan,  

meninggalkan jejak yang takkan hilang dalam ingatan.  


Rinainya mengaburkan batas antara realita dan mimpi,  

di dalamnya, aku menemukanmu kembali.  

Mengulang kisah yang pernah kita rajut,  

meski kini kau hanya bayang di sudut kalbu yang larut.  


Andai bisa, ingin kurengkuh dirimu di antara butiran ini,  

menghapus jarak dan waktu yang kini menghampiri.  

Namun takdir tak bisa kuhentikan,  

kau pergi membawa bagian hatiku yang takkan tergantikan.  


Dalam derasnya, kuucapkan selamat tinggal,  

pada kenangan yang kini berangsur pudar,  

tapi tetap tinggal dalam relung yang teramat dalam,  

seperti hujan, kau abadi dalam ingatan yang takkan tenggelam.  


Maka biarlah hujan jadi saksiku malam ini,  

menyampaikan rinduku yang tak bertepi.  

Di tiap rintiknya, kusisipkan namamu,  

sebagai pesan cinta yang tak pernah berlalu.  


---


Semoga puisi ini bisa mewakili tema yang diinginkan.

Cerita Pendek:Cinta Di Sepertiga Malam

Cerita Pendek:Cinta Di Sepertiga Malam
Cerita Pendek:Cinta Di Sepertiga Malam ilustrasi gambar pixaybay.com


Aku selalu terjaga di tengah malam. Rasa kantuk memang sesekali mencoba mengalahkan niatku, tapi setiap kali aku mengingatmu, aku bangun dengan semangat baru. Setiap hari, dalam sunyi dan kesendirian, aku berdiri di hadapan-Nya, mengadukan segala keresahan, sekaligus menitipkan doa untukmu dalam tahajjudku.


Kau, yang tak pernah tahu namamu sering kusebut di penghujung malam, membuat hatiku bertanya-tanya, apakah engkau tahu ada seseorang yang begitu mencintaimu dalam doanya?


---


Hari itu, kita dipertemukan dalam sebuah acara kajian di masjid dekat kampus. Aku yang biasanya cenderung pendiam, entah kenapa, hari itu berani melontarkan sebuah pertanyaan pada ustaz yang tengah berbicara.


"Ustaz, bagaimana kita mengikhlaskan perasaan cinta pada seseorang yang belum tentu menjadi jodoh kita?" tanyaku, suaraku bergetar sedikit karena sebenarnya ini adalah pertanyaan untuk diriku sendiri, namun entah kenapa aku merasa ingin mendengar jawabannya secara langsung.


Ustaz tersenyum, menatapku dengan pandangan lembut, lalu menjawab, "Cinta yang paling indah adalah cinta yang kita niatkan karena Allah. Jika kita mencintai seseorang, tetapi menyerahkan segalanya kepada Allah, berarti kita sudah menempatkan cinta itu pada tempat yang benar. Doakanlah dia dalam kebaikan, karena hanya dengan doa yang tulus dan ikhlas, kita bisa mencintai tanpa harus memiliki."


Aku terdiam sejenak, merenungkan jawaban itu, dan saat itulah kau muncul. Kau yang duduk di barisan depan, menoleh ke arahku dengan senyum lembut. Wajahmu tampak teduh, begitu damai, dan aku merasa detak jantungku berdetak lebih cepat dari biasanya.


Selesai kajian, kita bertemu di halaman masjid. Kau menyapaku terlebih dahulu.


"Masya Allah, tadi pertanyaannya bagus sekali," ucapmu sambil tersenyum.


Aku hanya mengangguk sambil menundukkan pandangan, berusaha menahan getaran di hatiku. "Terima kasih. Aku hanya... ya, ingin tahu bagaimana harus mencintai dengan cara yang benar."


"Kau sudah memulainya dengan doa, bukan?" jawabmu, membuat hatiku tertegun. Bagaimana kau bisa tahu?


"Doa itu senjata terkuat," lanjutmu lagi. "Jika kita menyayangi seseorang dalam diam, dan mendoakannya dalam sepertiga malam, bukankah itu tanda cinta yang paling tulus?"


Aku menatapmu sejenak. Kata-katamu terasa begitu dalam. “Kau sendiri… sudah pernah mendoakan seseorang dalam tahajjudmu?”


Kau tersenyum kecil, seolah ragu menjawab. Namun, akhirnya kau mengangguk. “Iya. Setiap malam. Aku doakan agar jika memang dia jodohku, Allah pertemukan kami dalam keadaan yang paling indah, dan jika bukan, aku mohonkan agar aku bisa mengikhlaskannya.”


Hatiku tercekat mendengar jawabanmu. Ada getaran tak biasa yang membuatku merasa bahwa doamu itu adalah untukku. Namun, aku tahu bahwa perasaan itu bisa saja keliru. Aku tak ingin terjebak dalam prasangka, karena siapa tahu, Allah telah menyiapkan rencana lain untukku atau untukmu.


---


Waktu terus berjalan, dan meski tidak sering bertemu, kau dan aku kerap berada dalam pertemuan yang tidak sengaja. Di masjid, di acara kajian, atau kadang di koridor kampus. Entah bagaimana, setiap kali bertemu, kita selalu saling bertukar salam dan menebar senyum. Hanya itu. Tak ada komunikasi lebih lanjut, tak ada pesan atau kabar.


Namun, meski singkat, setiap pertemuan itu cukup untuk membuatku semakin mantap menyebut namamu dalam doa. Di setiap tahajjudku, kuucapkan namamu, memohon kepada Allah agar memberiku kekuatan jika kau memang bukan takdirku.


Namun, di suatu malam yang tenang, saat aku sedang larut dalam sujudku, ponselku bergetar. Aku tidak segera melihatnya hingga selesai berdoa. Saat kuambil ponsel itu, sebuah pesan masuk dari nomor yang tidak kukenal.


"Assalamu’alaikum. Maaf, ini aku. Ada yang ingin kusampaikan. Bisa bertemu di masjid kampus besok, selepas maghrib?”


Hatiku berdebar. Itu adalah pesan darimu. Pesan yang selama ini kutunggu, tapi sekaligus kutakutkan.


---


Esoknya, seusai maghrib, aku menunggu di teras masjid. Kau datang, wajahmu tampak sedikit gugup, namun tetap memancarkan keteduhan yang sama.


“Maaf, aku jadi membuatmu menunggu,” ucapmu sambil tersenyum lembut.


“Tidak apa-apa. Ada yang ingin kau bicarakan?” tanyaku, mencoba menenangkan diriku.


Kau menatapku dalam-dalam. "Selama ini… aku selalu mendoakan seseorang di setiap tahajjudku. Seseorang yang aku harap menjadi teman seumur hidupku, yang bisa menemani aku dalam setiap ibadah, yang bisa berjalan bersama menuju ridha Allah."


Aku terdiam, jantungku berdetak semakin cepat.


“Aku tidak tahu apakah ini tepat, tetapi aku merasa bahwa doaku selama ini adalah untukmu.” Kau menunduk sejenak, lalu melanjutkan, “Jika Allah mengizinkan, maukah kau menjadi bagian dari hidupku? Aku ingin mencintaimu dengan cara yang Allah ridhoi.”


Seketika, hati ini terasa begitu hangat. Allah, benarkah ini jawaban dari doaku selama ini? Aku menatap matamu, dan dalam sekejap, segala keraguan sirna. Aku mengangguk pelan, dan dengan suara yang sedikit bergetar aku menjawab, "Insya Allah, aku bersedia. Semoga Allah selalu melimpahkan keberkahan pada kita."


Kau tersenyum, dan dalam hati, aku bersyukur kepada Allah atas jawaban yang begitu indah.

Cerita Pendek:Romansa di balik perjuangan

 

Cerita Pendek:Romansa di balik perjuangan
Cerita Pendek:Romansa di balik perjuangan (street foto by pixabay)


Pada suatu pagi yang dingin di kota kecil di pesisir pantai, udara berembus lembut, membawa aroma asin laut yang khas. Ardi berdiri di depan sebuah rumah sederhana, wajahnya serius. Matanya terpaku pada pintu rumah itu. Ia tahu, perjuangan yang panjang dan melelahkan telah membawanya sampai di sini. Di balik pintu itu tinggal Ana, wanita yang telah menggetarkan hatinya sejak pertama kali bertemu.


Ardi bukanlah seorang pria kaya, hanya nelayan yang bekerja keras di bawah terik matahari dan angin laut setiap hari. Namun, cintanya pada Ana begitu dalam, dan ia siap menghadapi apapun, bahkan rintangan besar dari keluarga Ana yang menganggapnya tak pantas. Ia menghela napas dalam-dalam, mencoba menenangkan detak jantungnya yang berdentam kencang.


Ia mengetuk pintu kayu tua itu, mendengar langkah kaki dari dalam yang perlahan mendekat. Pintu terbuka, menampakkan sosok Ana dengan senyum lembut yang seketika membuat Ardi merasa hangat.


“Ardi, kau datang…” ucap Ana, suaranya lembut, namun terlihat sedikit cemas.


“Ya, Ana,” Ardi tersenyum samar, berusaha menenangkan kegugupannya. “Aku sudah berbicara dengan ayahmu. Hari ini aku akan meminta restu dari beliau untuk menikahimu.”


Ana terdiam, raut wajahnya berubah muram. “Ardi… kau tahu ayah tak akan setuju begitu saja.”


“Aku tahu,” jawab Ardi mantap. “Tapi aku sudah siap, Ana. Aku tak akan menyerah. Aku ingin menunjukkan pada ayahmu bahwa aku serius dan mampu menjagamu, meskipun aku tak punya banyak harta.”


Ana meraih tangan Ardi, menggenggamnya erat. “Aku selalu percaya padamu. Tapi ayah… kau tahu bagaimana dia. Ia ingin aku menikah dengan pria yang memiliki kehidupan yang mapan.”


Ardi mengangguk pelan, mencoba memahami kekhawatiran Ana. “Aku hanya ingin tahu satu hal, Ana… apakah kau bersedia untuk menjalani kehidupan bersamaku? Aku akan bekerja keras, memberikan yang terbaik. Aku mungkin tak bisa memberikan kemewahan, tapi aku bisa menjanjikan kebahagiaan dan ketulusan cinta.”


Ana menatap dalam mata Ardi, melihat ketulusan yang begitu nyata. “Aku siap, Ardi. Aku siap bersama denganmu, bagaimanapun kehidupannya nanti.”




Dalam ruangan yang sederhana, Ardi duduk berhadapan dengan Pak Wiryo, ayah Ana. Sorot mata lelaki tua itu tajam, penuh kewaspadaan dan kekuatan seorang ayah yang ingin melindungi anak perempuannya.


“Jadi, Ardi,” ujar Pak Wiryo, suaranya tegas, “kau ingin menikahi anakku?”


Ardi mengangguk tegas, menatap Pak Wiryo tanpa gentar. “Ya, Pak. Saya datang dengan niat yang baik, dan saya siap memberikan hidup saya untuk menjaga dan membahagiakan Ana.”


Pak Wiryo mendesah panjang. “Kau hanya seorang nelayan, Ardi. Kau mungkin bisa memberi nafkah, tapi kehidupan yang nyaman? Kebahagiaan tak hanya diukur dari cinta, tapi juga kestabilan hidup.”


Ardi menelan ludah, namun ia tak menyerah. “Pak, saya mungkin bukan orang kaya. Tapi saya punya tekad. Saya akan berjuang keras, dan saya takkan membiarkan Ana menderita. Kami berdua akan bekerja bersama-sama, dan saya yakin kami bisa membangun kehidupan yang layak.”


Pak Wiryo menggelengkan kepala. “Cinta saja tak cukup, Ardi. Kau harus memahami ini. Aku ingin Ana hidup nyaman, hidup tanpa kesulitan keuangan.”


Saat itu, Ana masuk ke ruangan. “Ayah, aku siap untuk bersama Ardi. Kita bisa menghadapi apa pun bersama-sama. Aku tak butuh kemewahan; aku butuh cinta dan ketulusan.”


Pak Wiryo menghela napas dalam-dalam, matanya menatap Ana dengan ekspresi yang sulit ditebak. “Ana… kau masih muda, kau belum mengerti bagaimana sulitnya hidup tanpa kepastian ekonomi.”


Ana tersenyum lembut. “Ayah, aku tahu hidup tak akan mudah. Tapi aku percaya pada Ardi. Ia adalah orang yang baik dan tulus. Bersamanya, aku akan bahagia.”


Pak Wiryo terdiam sejenak, lalu pandangannya kembali ke arah Ardi. “Ardi, kalau kau serius, buktikan padaku. Berikan aku sesuatu yang bisa membuktikan bahwa kau memang layak untuk anakku.”


Ardi menatap penuh keyakinan. “Apa yang harus saya lakukan, Pak?”


Pak Wiryo terdiam sejenak, berpikir. “Aku ingin kau memberikan mas kawin yang sesuai, menunjukkan kesungguhanmu. Buktikan bahwa kau bisa mengumpulkan sesuatu yang berharga untuk pernikahanmu. Aku akan memberimu waktu tiga bulan.”


Ardi mengangguk tanpa ragu. “Saya akan lakukan, Pak.”




Selama tiga bulan, Ardi bekerja siang dan malam tanpa henti. Ia menangkap ikan lebih banyak, bahkan pergi lebih jauh ke tengah laut untuk mendapatkan hasil tangkapan yang lebih besar. Tak jarang ia berangkat sebelum matahari terbit dan pulang setelah matahari terbenam. Setiap tangkapan ia simpan, sebagian besar ia jual, dan sebagian lagi ia simpan untuk menjadi mas kawin yang diminta Pak Wiryo.


Ana selalu mendukungnya, sering datang ke pantai di sore hari untuk menemani Ardi saat pulang dari melaut. Walaupun terlihat lelah, wajah Ardi selalu memancarkan semangat. Ketulusan cintanya membuat Ana merasa beruntung dan semakin yakin pada pilihan hatinya.


Pada suatu malam, di tengah usaha kerasnya, badai besar tiba-tiba menghantam laut. Ardi yang sedang berada di tengah laut berusaha bertahan di tengah terjangan ombak besar. Saat itu, hidupnya benar-benar dipertaruhkan. Ia mengingat Ana, mengingat janjinya pada Pak Wiryo. Hatinya bertekad bahwa apa pun yang terjadi, ia harus kembali.


Ardi bertarung dengan ombak, mengendalikan perahunya agar tidak terbalik. Kekuatan alam seakan hendak menelannya, namun cintanya pada Ana memberikan kekuatan yang luar biasa. Ia bertahan, meski hampir putus asa. Hingga akhirnya, dengan sisa-sisa tenaga yang dimilikinya, Ardi berhasil kembali ke tepi pantai saat fajar menyingsing.


Pak Wiryo, yang mendengar kejadian itu, mendatangi Ardi dengan raut wajah berbeda. Ia mengamati Ardi yang kelelahan, namun masih menyimpan keberanian di matanya.


“Aku melihat perjuanganmu, Ardi,” ucap Pak Wiryo dengan suara rendah. “Kau benar-benar berusaha untuk anakku.”


Ardi menatap Pak Wiryo, wajahnya penuh haru. “Saya mencintainya, Pak. Saya akan lakukan apa saja.”


Pak Wiryo terdiam sejenak, lalu menghela napas panjang. “Baiklah, Ardi. Aku restui pernikahanmu dengan Ana. Kau telah menunjukkan ketulusan dan keteguhan hati yang luar biasa.”


Ardi tersenyum penuh rasa syukur, dan Ana yang berdiri di sampingnya meraih tangan Ardi, memeluknya erat. Perjuangan mereka akhirnya berbuah manis, dan Ardi berhasil meraih restu yang sangat berharga.


Hari pernikahan mereka pun tiba, dan dengan segala keterbatasan, Ardi dan Ana merayakan cinta mereka dengan penuh kebahagiaan. Cinta dan ketulusan hati Ardi telah mengatasi segala rintangan, membuktikan bahwa kebahagiaan tak hanya tentang harta, tapi juga tentang keberanian dan pengorbanan yang tulus.

Puisi Romantis:Malam Yang Kelabu

 

ilusi foto Puisi Romantis:Malam Yang Kelabu by pixabay.com


Di bawah langit malam yang kelabu,  

Aku menanti, dalam diam yang pilu.  

Angin berbisik di antara bayang,  

Mengantar rindu yang tak pernah pulang.


Bintang-bintang enggan bersinar,  

Menyisakan gelap yang semakin lebar.  

Seperti hatiku yang kian rapuh,  

Merindu cinta yang tak pernah utuh.


Aku bertanya pada bulan,  

Mengapa cinta ini tak kunjung datang?  

Ia tersenyum dalam pudar cahayanya,  

Menyembunyikan rahasia di balik pesonanya.


Malam yang dingin memeluk jiwaku,  

Namun hatiku tetap hangat menantimu.  

Dalam kesunyian yang panjang dan hampa,  

Aku berharap pada cinta yang tak bernyawa.


Ada rindu yang tak terkatakan,  

Terbentang di antara angan dan kenyataan.  

Mungkin cinta tak pernah hadir,  

Namun hati ini tak mampu berakhir.


Di balik kabut malam yang kelabu,  

Aku masih setia di ujung waktu.  

Menunggu cinta yang mungkin tak pernah ada,  

Namun tetap kuharap dalam setiap doa.


Meski kau tak pernah datang,  

Aku tak pernah merasa sendirian,  

Karena di malam yang hening ini,  

Cintaku tetap hidup dalam sunyi.

Puisi:Rintik Hujan Dibawah Kenangan

Puisi:Rintik Hujan Dibawah Kenangan street foto pixabay.com


Rintik hujan jatuh perlahan,  

Membawa sisa kenangan di setiap tetesnya.  

Malam yang sunyi jadi saksi,  

Kala aku dan kamu pernah bersanding,  

Menyulam cinta di bawah langit kelabu.


Setiap rintik yang membasahi tanah,  

Menggema lamat-lamat di hatiku.  

Seolah mengulang kembali hari itu,  

Saat jemarimu menggenggam tanganku,  

Dan aku merasakan hangatnya dirimu di dekatku.


Hujan tak hanya membawa dingin,  

Ia membawa cerita yang dulu kita titipkan,  

Saat cinta masih begitu dekat,  

Seperti pelangi yang menghiasi sore,  

Setelah badai pergi.


Namun kini, di bawah hujan yang sama,  

Aku hanya sendiri meresapi sunyi,  

Menghitung tetes-tetes yang jatuh,  

Mencari bayanganmu di setiap bias air.


Hujan ini, ia masih setia,  

Mengantarkan kenangan tentang kita.  

Walau waktu telah berlalu,  

Cintaku tak pernah surut,  

Seperti hujan yang tak lelah jatuh,  

Menyirami kenangan yang terus hidup,  

Dalam hatiku yang terdalam.


Mungkin hujan adalah pesan,  

Bahwa cinta sejati tak pernah pudar,  

Meski kita tak lagi bersama,  

Cintamu tetap ada,  

Menghujani setiap ruang dalam diriku,  

Tak lekang oleh waktu.

Cerita Pendek:Cahaya Restu di Ujung Jalan

 

Cerita Pendek:Cahaya Restu di Ujung Jalan

Cerita Pendek:Cahaya Restu di Ujung Jalan foto by https://pixabay.com/id/illustrations/ai-dihasilkan-pasangan-payung-8787247/



Aku masih ingat dengan jelas, saat pertama kali bertemu denganmu. Seperti fajar yang memecah malam, senyummu menghangatkan hatiku yang beku. Kau hadir di waktu yang tak pernah kuduga, dan tanpa sadar, rasa itu semakin lama semakin tumbuh. Rasa yang membuatku berharap lebih, menginginkanmu di sisiku selamanya.


"Kau yakin dengan ini?" suaramu terdengar penuh keraguan saat kita duduk di sebuah kafe kecil di sudut kota. Matamu menatap ke arah cangkir kopi di depanmu, tapi aku tahu kau sedang memikirkan hal yang lebih besar dari sekadar rasa pahit minuman itu.


Aku menarik napas dalam-dalam sebelum menjawab, "Aku yakin, Nayla. Aku sudah siap menghadapi apa pun. Aku ingin kita bersama. Aku ingin menikah denganmu."


Kau tersenyum samar, tetapi di balik senyuman itu, aku bisa melihat keresahan yang bersembunyi. Kita telah membicarakan hal ini berulang kali, dan setiap kali, perasaan yang sama muncul. Bukan soal cinta kita yang menjadi masalah. Kita tahu, cinta ini kuat. Tapi restu orang tuamu adalah tembok yang belum bisa kita tembus.


"Aku takut, Aditya," kau mengakui dengan suara yang lebih pelan, hampir seperti bisikan. "Ayah dan Ibu... kau tahu mereka selalu menginginkan aku menikah dengan seseorang yang selevel dengan keluarga kami. Kau tahu latar belakang keluargamu..."


Aku terdiam sejenak, merasakan perihnya kenyataan itu. Memang benar, keluargaku bukanlah keluarga berada. Ayahku hanya seorang petani biasa di desa, dan ibuku membuka warung kecil untuk membantu kebutuhan sehari-hari. Sedangkan kau, Nayla, lahir dari keluarga terpandang di kota ini. Ayahmu seorang pengusaha besar, dan ibumu adalah dosen di universitas terkemuka. Perbedaan status sosial kita adalah jurang yang selalu mengancam untuk memisahkan kita.


"Tapi cinta ini lebih besar dari segalanya, Nay," ujarku, mencoba menegaskan. "Aku akan bekerja keras, aku akan buktikan kalau aku bisa membahagiakanmu. Yang aku butuhkan hanya restu mereka. Aku yakin, jika kita bisa bicara dengan baik, mereka akan mengerti."


Kau menatapku, matamu berkaca-kaca. "Aku ingin percaya itu, Aditya. Aku ingin percaya... tapi bagaimana jika mereka tetap menolak?"


Pertanyaan itu menggantung di udara seperti awan gelap yang menutupi sinar matahari. Tidak ada jawaban yang bisa kukatakan untuk meredakan kecemasanmu. Karena, sejujurnya, aku pun takut. Takut bahwa semua upaya kita akan sia-sia. Tapi, jika aku menyerah sekarang, apa artinya cinta ini?


---


Seminggu kemudian, hari yang kami takutkan akhirnya tiba. Aku berdiri di depan pintu rumahmu dengan tangan berkeringat, mencoba menenangkan diri. Rasanya seperti berada di depan gerbang sebuah medan perang. Hatiku berdebar kencang. Namun ketika kau menggenggam tanganku, aku merasa ada kekuatan baru yang merasuki tubuhku. 


"Apapun yang terjadi, kita hadapi bersama, ya?" katamu dengan senyum yang berusaha menenangkan. Tapi aku tahu, di balik ketenanganmu, kau pun cemas.


Pintu rumah terbuka, dan di sana berdiri sosok tinggi dan tegas, ayahmu. Ekspresi wajahnya dingin, hampir tanpa emosi. Aku merasa lututku sedikit gemetar, tapi aku mencoba untuk tetap tegar. Di belakangnya, ibumu muncul, dengan raut wajah yang tak kalah kaku.


"Masuk," suara ayahmu terdengar dalam, hampir seperti perintah. Aku dan Nayla melangkah masuk ke ruang tamu yang megah, dengan perabotan mahal yang menunjukkan betapa jauhnya dunia mereka dari duniaku.


Setelah kami duduk, ada keheningan yang canggung. Udara terasa tegang, seakan menunggu ledakan yang tak terelakkan.


"Apa maksud kedatangan kalian ke sini?" tanya ayahmu akhirnya, suaranya tak ramah.


Aku menelan ludah. Ini saatnya.


"Saya datang ke sini, Pak, untuk meminta izin. Saya mencintai Nayla, dan kami ingin menikah."


Ucapan itu keluar dari mulutku lebih tegas dari yang kukira. Tapi segera setelah aku mengatakannya, aku bisa merasakan udara di ruangan ini semakin berat. Ayahmu menatapku dengan tajam, seolah-olah aku baru saja mengatakan sesuatu yang tak termaafkan.


"Kau pikir hanya dengan mengatakan itu, semuanya akan selesai?" suaranya terdengar lebih dingin dari sebelumnya. "Kau tidak tahu siapa kami? Apa kau pikir seorang anak petani bisa begitu saja menikahi anakku?"


Perkataan itu menghantamku seperti palu besar. Di sebelahku, aku merasakan tangan Nayla gemetar. Kau berusaha membuka mulut, ingin mengatakan sesuatu, tapi ayahmu menghentikanmu dengan tatapan yang tajam.


"Bukan hanya tentang cinta, anak muda. Pernikahan adalah soal tanggung jawab, soal masa depan. Dan aku tidak melihat masa depan yang cerah jika kau menikah dengan Nayla. Kau berasal dari keluarga yang tak punya apa-apa. Kau tidak akan bisa memberinya kehidupan yang layak."


Aku mencoba menahan gejolak di dadaku. Kata-kata itu begitu menyakitkan, tapi aku tahu aku tidak bisa membiarkan emosiku menguasai diriku sekarang. Aku harus tetap tenang, demi Nayla.


"Pak, saya paham kekhawatiran Anda. Tapi saya akan bekerja keras, saya akan melakukan apa pun untuk membahagiakan Nayla. Saya akan membuktikan bahwa saya layak," kataku, suaraku bergetar namun penuh tekad.


Ibumu yang sejak tadi diam, akhirnya berbicara. "Kau mungkin punya niat baik, Aditya. Tapi niat saja tidak cukup. Kami menginginkan yang terbaik untuk anak kami. Apakah kau bisa memberikan itu? Bisakah kau memberikan kehidupan yang nyaman, pendidikan yang baik untuk anak-anak kalian nanti?"


Aku terdiam sejenak, mencari kata-kata yang tepat. Tapi bagaimana bisa aku menjelaskan bahwa cinta kami lebih dari sekadar kenyamanan materi? Bagaimana bisa aku meyakinkan mereka bahwa kita bisa melewati semua tantangan bersama?


"Ayah, Ibu," Nayla akhirnya berbicara, suaranya lembut tapi penuh dengan ketegasan. "Aku tahu kalian ingin yang terbaik untukku. Tapi yang terbaik untukku adalah Aditya. Aku mencintainya, dan aku percaya dia bisa membahagiakanku. Kebahagiaan tidak diukur dari harta, tapi dari cinta dan usaha bersama."


Ayahmu menatap Nayla dengan kekecewaan yang jelas. "Kau masih terlalu naif, Nayla. Kau tidak tahu apa yang kau hadapi."


Suasana semakin mencekam. Aku tahu ini bukan percakapan yang mudah. Tapi sebelum aku bisa berkata lebih banyak, ayahmu berdiri dan berkata, "Sudah cukup. Kita tidak perlu melanjutkan ini lagi."


Hatiku serasa hancur. Aku bisa merasakan harapan yang sebelumnya kupeluk erat perlahan memudar. Tapi di saat yang sama, aku tahu aku tidak bisa menyerah begitu saja. Aku tak bisa melepaskan Nayla hanya karena tembok yang dibangun oleh perbedaan status.


Saat ayahmu beranjak pergi, aku berdiri dan berkata dengan suara yang lebih kuat dari sebelumnya, "Pak, saya tahu ini sulit, dan saya tahu saya bukan menantu yang ideal dalam pandangan Anda. Tapi saya mencintai Nayla, dan saya akan membuktikan bahwa cinta kami akan melewati semua ini."


Ayahmu terdiam di ambang pintu, sebelum akhirnya berkata tanpa menoleh, "Kita lihat saja nanti."

Cerita Pendek:Di Antara Dua Hati

Cerita Pendek:Di Antara Dua Hati
Ilustrasi foto Cerita Pendek:Di Antara Dua Hati (https://pixabay.com/id/illustrations/gadis-bermimpi-mimpi-melamun-sedih-7356696/)



Aku duduk di tepi jendela kafe kecil yang sering kita kunjungi. Aroma kopi memenuhi udara, mengingatkanku pada perbincangan kita yang dulu penuh canda tawa. Sekarang, kafe ini menjadi saksi bisu atas kebingungan dan kekacauan yang melanda hatiku.


Di sinilah tempat aku pertama kali menyadari bahwa ada sesuatu yang berbeda di antara kita, sesuatu yang lebih dalam dari sekadar persahabatan. Aku selalu berpikir bahwa aku mengenalmu luar dalam, namun ternyata tidak. Kau menyimpan rahasia yang akhirnya membuatku terjebak dalam cinta segitiga yang tak pernah kuinginkan.


Kita sering bertemu, berdua saja. Saat itu, aku merasa aman. Dunia serasa menyempit hanya untuk kita. Namun, seiring waktu, perasaan itu berubah. Bukan karena aku ingin, tapi karena kehadiran orang ketiga—dia, seseorang yang datang tanpa aku duga, yang merenggut sebagian dari duniamu yang dulu utuh milikku.


"Kamu tahu, ada hal yang harus aku ceritakan padamu," ucapmu suatu hari dengan nada lembut tapi penuh keraguan. Mata cokelatmu yang biasanya tenang kini tampak gelisah, seolah enggan mengungkapkan sesuatu yang akan mengubah segalanya.


"Apa itu?" tanyaku sambil meneguk kopiku, berusaha terlihat santai meskipun aku merasakan ada sesuatu yang tidak beres.


"Kau tahu, ada seseorang yang... aku pikir, aku mulai jatuh cinta padanya." Kalimat itu meluncur seperti belati tajam, menghujam relung hatiku.


Dadaku terasa sesak. Aku tersenyum getir. "Siapa?"


Mata kita bertemu sesaat sebelum kau menunduk, menghindari pandanganku. "Dia... temanku yang baru, Aksa."


Nama itu seperti petir di siang bolong. Aksa? Teman yang baru saja kau kenalkan beberapa minggu lalu? Aku ingat betapa hangatnya caramu berbicara tentang dia, bagaimana kau tertawa setiap kali menceritakan kisah konyol yang kau alami dengannya. Tapi aku tak pernah berpikir ini akan terjadi. 


Kau melanjutkan, "Aku tidak tahu bagaimana menjelaskannya. Rasanya salah, tapi aku tak bisa mengabaikannya. Setiap kali aku bersamanya, aku merasa… berbeda."


Seketika, hatiku terasa hancur berkeping-keping, tapi aku berusaha menahan diri. "Dan aku?" tanyaku dengan suara yang lebih rendah dari biasanya.


"Kamu selalu istimewa," jawabmu cepat. "Kamu adalah sahabat terbaikku. Aku tidak bisa kehilanganmu."


Sahabat? Kalimat itu bagai menambah garam di lukaku yang masih basah. Di sini, di antara kopiku yang mulai mendingin dan deru obrolan orang-orang di sekitarku, aku harus menghadapi kenyataan bahwa aku tidak pernah menjadi lebih dari itu bagimu. Aku hanya sahabat—sementara hatiku mendambakan lebih.


***


Waktu berlalu, dan meskipun aku mencoba melupakan percakapan itu, aku selalu merasa ada sesuatu yang berubah. Pertemuan kita tidak lagi sehangat dulu. Kamu seringkali datang dengan pikiran yang melayang jauh, dan tanpa sadar, setiap kali kita berbicara, Aksa selalu menjadi topik pembicaraan yang tak terhindarkan. Aku mulai membenci namanya, membenci bayangan sosoknya yang entah bagaimana telah merenggutmu dariku.


Suatu hari, kau mengajakku bertemu di tempat biasa. Kali ini, aku datang dengan firasat buruk. Perasaanku tidak pernah salah. Ketika aku tiba, kau sudah duduk di sudut kafe, terlihat gusar.


"Aku ingin bicara lagi," katamu tanpa basa-basi. 


Aku duduk di depanmu, bersiap untuk apa pun yang akan kau katakan. "Apa ini tentang Aksa?"


Kamu mengangguk pelan. "Aku merasa bersalah karena tidak jujur padamu. Aku tahu perasaanmu, aku bukan bodoh. Dan aku sangat menghargai persahabatan kita. Tapi semakin lama aku menghabiskan waktu bersamanya, semakin sulit bagiku untuk mengabaikan perasaanku sendiri."


Aku tersenyum getir. "Jadi, apa yang kamu inginkan dari semua ini?"


"Aku ingin semuanya tetap seperti dulu. Aku tidak ingin kehilangan kamu, tapi aku juga tidak bisa membohongi diriku sendiri tentang perasaanku pada Aksa."


Aku menelan ludah, mencoba meredam rasa sakit yang menjalar di seluruh tubuhku. "Kamu tidak bisa memiliki keduanya," kataku dengan tegas, meskipun hatiku hancur saat kata-kata itu keluar dari mulutku. "Jika kamu memilih dia, aku harus pergi. Aku tidak bisa hanya menjadi teman saat aku tahu aku ingin lebih dari itu."


Suasana hening sejenak, hanya ada suara detak jantungku yang bergemuruh di telinga. Kau terdiam, dan di saat itulah aku tahu jawabannya. Kau tidak perlu mengucapkannya. Pilihanmu sudah jelas.


***


Beberapa minggu kemudian, kita jarang bertemu. Kau mulai semakin sibuk dengan duniamu yang baru, dan aku memutuskan untuk menjaga jarak. Aku berusaha menerima kenyataan, meskipun hatiku tak henti-hentinya mempertanyakan mengapa semua ini harus terjadi.


Namun, suatu sore, ketika aku sedang duduk di kafe yang sama, tiba-tiba kau datang. Matamu sembab, wajahmu penuh dengan ekspresi campur aduk antara penyesalan dan kebingungan.


"Kamu baik-baik saja?" tanyaku ragu.


"Aku... Aku sudah putus dengan Aksa," jawabmu pelan, seperti butiran hujan yang jatuh di kaca jendela.


Aku terdiam. Hatiku berdebar. "Kenapa?"


"Aku salah. Aku pikir aku mencintainya, tapi ternyata tidak. Aku bingung, dan aku menyadari bahwa aku telah menyakiti orang yang paling berharga dalam hidupku. Aku menyakiti kamu."


Seketika, amarah dan cinta berkecamuk dalam diriku. Bagaimana bisa kau datang lagi, seolah-olah semuanya bisa kembali seperti semula? "Kamu pikir semuanya akan selesai begitu saja?" tanyaku, suaraku bergetar menahan emosi.


"Aku tahu tidak semudah itu," jawabmu lirih. "Tapi aku ingin mencoba memperbaiki semuanya."


Aku menatapmu dalam-dalam, mencoba mencari jawaban di balik mata cokelatmu yang kini dipenuhi penyesalan. Mungkin aku masih mencintaimu, mungkin tidak. Namun yang aku tahu, cinta yang pernah ada di antara kita takkan pernah sama lagi.


Mungkin cinta segitiga ini tidak akan pernah benar-benar selesai.

Puisi:"Kenangan yang Tersisa di Rambutku"

 

"Kenangan yang Tersisa di Rambutku"
Ilustrasi foto Kenangan yang Tersisa di Rambutku (by_shutterstock)


Di antara helai rambut yang luruh perlahan,

Ada cerita tentang cinta yang ditinggalkan,

Saat janji manis terurai bersama angin,

Dan kenangan tinggal serpihan yang kian pudar.


Rambutku dulu indah, bagaikan mahkota ratu,

Namun kini kusam, terbelah oleh debu waktu.

Ketombe mengintai, seperti kenanganmu yang tertinggal,

Rontok perlahan, tanpa bisa kuhalangi, kurapal.


Tapi di balik segalanya, ada Sunsilk,

Setia menemani, membersihkan sisa luka dan debu yang menelikung.

Ia hapus ketombe, seperti harapan baru,

Memeluk helai-helai yang hampir layu.


Rontok tak lagi jadi momok dalam hari,

Karena Sunsilk hadir, bawa sinar kembali.

Bagai cinta baru yang menguatkan hati,

Menyuburkan akar, melenyapkan rasa sepi.


Kini, meski kau tak lagi di sini,

Rambutku berdiri kuat, seperti cinta yang aku pelajari.

Tak ada ketombe, tak ada rontok yang tertinggal,

Hanya aku, yang melangkah maju, dengan langkah yang kekal.


Cinta yang Diselingkuhi: Perspektif dari Berbagai Sudut Pandang

Cinta yang Diselingkuhi: Perspektif dari Berbagai Sudut Pandang
 Cinta yang Diselingkuhi: Perspektif dari Berbagai Sudut Pandang (https://pixabay.com/id/photos/gelap-wajah-gadis-orang-wanita-1869803/)


Cinta merupakan emosi yang kompleks, terdiri dari berbagai aspek seperti kepercayaan, komitmen, dan pengorbanan. Dalam cinta, dua individu biasanya mengikat diri mereka dengan janji setia untuk saling mendukung dan menghargai satu sama lain. Namun, tidak semua kisah cinta berakhir dengan kebahagiaan. Salah satu peristiwa yang dapat menghancurkan cinta adalah perselingkuhan. Pengkhianatan ini mengguncang fondasi kepercayaan, mematahkan harapan, dan meninggalkan luka yang mendalam. Dalam opini ini, kita akan melihat fenomena cinta yang diselingkuhi dari beberapa sudut pandang: pihak yang diselingkuhi, pihak yang berselingkuh, orang ketiga, dan perspektif masyarakat umum.


Sudut Pandang Orang yang Diselingkuhi


Dari sudut pandang orang yang diselingkuhi, perselingkuhan adalah bentuk pengkhianatan terbesar dalam sebuah hubungan. Mereka sering kali merasa hancur, bingung, dan terjebak dalam perasaan rendah diri. Orang yang diselingkuhi mungkin mulai mempertanyakan nilai diri mereka, merasa bahwa mereka tidak cukup baik atau ada sesuatu yang kurang dalam diri mereka sehingga pasangan mereka berpaling kepada orang lain.Trauma emosional yang dirasakan sangatlah nyata, dan memerlukan waktu yang lama untuk sembuh, jika itu mungkin.


Tidak jarang, mereka bertanya pada diri sendiri, "Apa yang salah dengan diriku?" atau "Apakah ini salahku?". Rasa bersalah ini, meskipun tidak selalu beralasan, sering kali menggerogoti harga diri mereka. Mereka juga mungkin merasa marah, bukan hanya kepada pasangan yang berselingkuh, tetapi juga kepada diri sendiri karena tidak melihat tanda-tanda sebelumnya. Kepercayaan yang selama ini dibangun dengan susah payah, runtuh seketika.


Banyak orang yang diselingkuhi akan mengalami kesulitan untuk memercayai orang lain setelahnya. Pengalaman ini meninggalkan bekas yang mendalam dalam diri mereka, membuat mereka mempertanyakan apa itu cinta sejati, dan apakah kesetiaan masih ada dalam hubungan romantis.


Sudut Pandang Orang yang Berselingkuh


Berbeda dengan pandangan umum, tidak semua orang yang berselingkuh melakukannya karena mereka tidak mencintai pasangannya. Banyak orang yang berselingkuh mengakui bahwa mereka masih mencintai pasangan mereka, namun ada celah dalam hubungan yang membuat mereka merasa tidak puas. Hal ini mungkin disebabkan oleh kurangnya perhatian emosional,kurangnya keintiman, atau bahkan hanya kebosanan dalam hubungan jangka panjang. Mereka mencari sesuatu yang hilang atau yang tidak bisa mereka dapatkan dalam hubungan saat ini, dan akhirnya terlibat dalam perselingkuhan.


Namun, beberapa orang yang berselingkuh tidak benar-benar memikirkan konsekuensinya saat itu. Rasa bersalah mungkin muncul setelah hubungan terlarang tersebut dimulai, tetapi sering kali mereka sudah terlalu dalam untuk mundur. Mereka juga bisa merasionalisasi perbuatan mereka dengan berpikir bahwa perselingkuhan tersebut hanyalah pelarian sementara dan tidak akan merusak hubungan utama mereka, meskipun pada kenyataannya dampaknya sangat besar.


Ada juga mereka yang berselingkuh karena merasa terperangkap dalam hubungan yang tidak bahagia tetapi tidak tahu bagaimana cara mengakhirinya. Perselingkuhan menjadi jalan keluar sementara untuk melarikan diri dari tekanan yang mereka rasakan, meskipun secara moral itu salah. Mereka mungkin merasa kesulitan untuk berkomunikasi dengan pasangannya dan memendam masalah yang sebenarnya dapat diselesaikan dengan dialog yang jujur.


Sudut Pandang Orang Ketiga


Orang ketiga dalam perselingkuhan sering dianggap sebagai tokoh antagonis dalam kisah cinta yang hancur. Mereka dilihat sebagai perusak hubungan, dan sering kali mendapatkan stigma sosial yang sangat negatif. Namun, orang ketiga juga memiliki sudut pandang mereka sendiri. Tidak semua orang ketiga sadar bahwa mereka sedang terlibat dalam hubungan terlarang. Ada yang tertipu oleh pasangan yang berselingkuh, diberi harapan palsu bahwa pasangan tersebut sudah tidak lagi terikat dalam hubungan resmi atau sedang dalam proses berpisah.


Namun, di sisi lain, ada juga orang ketiga yang sadar sepenuhnya bahwa mereka terlibat dalam perselingkuhan. Dalam situasi ini, orang ketiga mungkin juga mengalami perasaan bersalah atau bahkan rasa tidak aman. Mereka mungkin merasa dihargai karena perhatian yang mereka dapatkan dari pasangan yang berselingkuh, tetapi pada saat yang sama, mereka juga tahu bahwa hubungan tersebut dibangun di atas kebohongan dan pengkhianatan. Mereka mungkin bertanya-tanya apakah orang yang berselingkuh dengan mereka juga bisa melakukan hal yang sama kepada mereka di masa depan.


Perspektif Masyarakat


Secara umum, masyarakat memandang perselingkuhan sebagai tindakan yang tidak bermoral dan salah. Perselingkuhan adalah bentuk pelanggaran terhadap norma-norma sosial dan nilai-nilai kesetiaan dalam hubungan. Namun, meskipun perselingkuhan dianggap salah, tidak jarang kita mendengar bahwa fenomena ini terjadi di banyak tempat dan sering kali diabaikan atau disembunyikan. Masyarakat juga cenderung memberikan tekanan besar kepada pihak yang diselingkuhi untuk memaafkan dan melupakan, terutama jika ada anak yang terlibat dalam pernikahan tersebut.


Di sisi lain, beberapa orang dalam masyarakat mungkin melihat perselingkuhan sebagai gejala dari masalah yang lebih besar dalam hubungan, bukan hanya tindakan egois. Mereka percaya bahwa alih-alih langsung menghakimi, kita perlu melihat ke akar permasalahan yang menyebabkan perselingkuhan terjadi. Apakah ada ketidakpuasan dalam hubungan tersebut? Apakah komunikasi di antara pasangan itu sudah putus? Beberapa orang bahkan menyarankan bahwa dalam beberapa kasus, perselingkuhan bisa menjadi tanda bahwa hubungan sudah tidak dapat diselamatkan, dan perpisahan adalah solusi terbaik.


Namun, tetap saja, banyak yang berpendapat bahwa kesetiaan adalah landasan utama dari setiap hubungan. Mereka yang berselingkuh dianggap menghancurkan kepercayaan, yang merupakan elemen paling mendasar dalam cinta. Kepercayaan yang hancur ini sulit untuk diperbaiki, dan perselingkuhan sering kali menjadi akhir dari sebuah hubungan.


Penutup


Perselingkuhan dalam cinta memengaruhi berbagai pihak dan meninggalkan luka emosional yang dalam. Dari sudut pandang orang yang diselingkuhi, orang yang berselingkuh, hingga orang ketiga, masing-masing memiliki alasan dan perasaan yang berbeda dalam menghadapi situasi ini. Meskipun masyarakat pada umumnya menganggap perselingkuhan sebagai tindakan yang salah, penting untuk memahami bahwa ada banyak faktor yang memengaruhi terjadinya perselingkuhan dalam sebuah hubungan.


Pada akhirnya, cinta membutuhkan kepercayaan, komitmen, dan komunikasi. Ketika salah satu elemen ini rusak, hubungan bisa terguncang. Perselingkuhan mungkin bukan solusi untuk masalah dalam hubungan, tetapi lebih merupakan pelarian sementara yang membawa lebih banyak masalah di kemudian hari. Hanya dengan jujur, terbuka, dan menghormati pasangan kita, kita dapat menghindari konflik semacam ini dan membangun hubungan yang lebih sehat dan bermakna.

PUISI:KERINDUAN RINTIK HUJAN

  PUISI:KERINDUAN RINTIK HUJAN (https://pixabay.com/id/photos/hujan-jalan-kota-pelabuhan-1479303/) Hujan menari di atas jendela, rintiknya...