Cerita Pendek:Duri dalam Mawar

Gambar
  Ilusi gambar Cerita Pendek:Duri dalam Mawar  https://pixabay.com/id/photos/pasangan-matahari-terbenam-6562725/ Hujan mengguyur lebat malam itu, membasahi jalan setapak menuju rumah tua di pinggir kota. Lampu jalan yang remang-remang memantulkan bayangan pohon yang melambai seperti sosok-sosok hantu. Di dalam rumah itu, tiga jiwa terjerat dalam cinta yang gelap. Amara duduk di sofa ruang tamu, menatap cangkir teh di tangannya yang dingin. Hatinya berdenyut oleh kecamuk rasa bersalah dan kebencian. Di seberangnya, Reza berdiri sambil menyandarkan tubuhnya ke dinding, rokok terselip di antara jari-jarinya. “Amara,” kata Reza dengan suara rendah. “Kamu harus memilih. Aku atau dia.” Amara mendongak, matanya yang kelam bertemu dengan tatapan tajam Reza. “Ini tidak semudah itu, Reza. Aku mencintai kalian berdua. Tapi...” Suaranya pecah, tertahan oleh air mata yang menggantung di kelopak matanya. Pintu depan berderit terbuka, dan langkah berat terdengar dari koridor. Arya muncu...

Cerita Pendek:Hembusan Asap yang Mencari Jati Diri

 

Ilusi foto Cerita Pendek:Hembusan Asap yang Mencari Jati Diri//screen https://pixabay.com/id/photos/merokok-potret-rokok-wanita-model-4914808/


Aku menyalakan sebatang rokok lagi, menatap kosong ke arah langit yang mulai memerah, menjelang senja. Asap mengepul di sekitarku, berputar-putar seolah ingin menelan segala keraguan yang selama ini aku pendam. Sebagai gadis berumur 19 tahun, aku masih merasa terjebak di antara harapan dan kenyataan. Di antara apa yang mereka inginkan dariku, dan apa yang aku inginkan untuk diriku sendiri.


"Rokok lagi, Ren? Gimana paru-parumu nanti?" Suara Maya, sahabatku, terdengar dari belakang. Dia berjalan menghampiri, duduk di sampingku di atas tembok tua yang menghadap ke taman kota.


Aku tidak menjawab. Aku hanya menatap batang rokok di jariku. Ini mungkin sudah yang ketiga dalam satu jam ini. Tapi, entah kenapa, setiap kali asap itu menyusup ke paru-paru, aku merasa ada sesuatu yang mendekatiku—sesuatu yang tak bisa aku deskripsikan dengan kata-kata. Kebebasan? Pelarian? Atau mungkin hanya ilusi kelegaan sesaat?


"Kau tahu, kamu bisa berhenti kapan pun kamu mau," lanjut Maya sambil membuka botol air mineralnya. "Tapi yang paling penting, kenapa kamu mulai merokok, Ren? Bukankah kamu dulu benci asap?"


Aku menghela napas panjang, menatap jauh ke arah langit. Pertanyaan Maya bukan yang pertama kali aku dengar. Ibuku juga sering bertanya. Ayahku? Dia tak peduli. Mungkin itulah masalahnya—tidak ada yang benar-benar peduli.


"Aku nggak tahu," jawabku akhirnya. "Rasanya seperti... aku mencoba mencari sesuatu."


Maya mengangkat alis, menatapku dengan pandangan serius. "Mencari apa?"


"Jati diri, mungkin? Atau, aku hanya ingin lari dari semua tekanan. Aku ingin merasakan bahwa aku punya kendali atas hidupku sendiri, meskipun cuma dengan hal sekecil ini."


Maya menyesap air minumnya, lalu diam beberapa saat. "Kupikir kamu udah tahu siapa dirimu, Ren. Kamu gadis cerdas, berani, dan kamu punya mimpi. Kamu cuma... tersesat sedikit."


Aku tersenyum kecil mendengar kata-kata Maya, tapi di dalam, semuanya terasa hampa. Rasanya seperti aku sudah lama kehilangan arah. Aku bukan lagi gadis yang mereka pikirkan. Cerdas? Berani? Itu dulu. Sekarang, aku hanya Renata, gadis yang duduk di sini, merokok tanpa tujuan, mencoba mencari siapa aku sebenarnya.


"Aku merasa semuanya berubah sejak ayah meninggalkan kami," kataku akhirnya. Aku jarang membicarakan ini, tapi malam ini, entah kenapa, rasanya lebih mudah. "Sejak saat itu, hidup terasa kosong. Ibu terlalu sibuk bekerja untuk menutupi kebutuhan kami, dan aku harus tumbuh sendirian. Jadi, aku mulai merokok, berpikir itu akan membuatku merasa... kuat. Setidaknya, aku bisa mengendalikan sesuatu."


Maya mendengarkan tanpa menyela, membiarkanku melanjutkan.


"Aku hanya ingin merasakan bahwa ada hal yang bisa aku kendalikan, bahkan ketika hidupku terasa kacau. Kau tahu, aku merasa seperti sedang tenggelam, tapi tak ada yang memperhatikanku. Mereka semua sibuk dengan urusan mereka sendiri."


Maya mengangguk pelan. "Aku paham, Ren. Tapi aku nggak setuju kalau kamu bilang nggak ada yang peduli. Aku peduli. Ibumu pasti juga peduli, hanya saja mungkin dia kesulitan untuk menunjukkannya."


Aku menatap rokok yang hampir habis di tanganku, lalu mematikannya di atas tembok. "Aku tahu. Mungkin aku hanya terlalu egois. Mencari alasan untuk merokok, untuk lari."


Tiba-tiba, dari kejauhan, terdengar suara sepeda motor mendekat. Aku menoleh dan melihat Bram, pacarku, datang. Wajahnya selalu serius, tak pernah bisa lepas dari ekspresi dingin yang sama. Dia turun dari motornya, mengangkat tangan sebagai salam sebelum berjalan menghampiri kami.


"Bram," aku menyapa singkat.


"Renata, kamu sudah siap? Kita pergi sekarang?" tanyanya tanpa basa-basi, seperti biasa.


Aku mengangguk, lalu menoleh ke Maya. "Aku pergi dulu. Kita lanjut besok?"


Maya mengangguk pelan, tapi sebelum aku pergi, dia menggenggam tanganku. "Ren, jangan terlalu keras pada dirimu sendiri, ya? Kamu berhak mencari jati dirimu, tapi jangan lari dengan cara yang menyakiti dirimu."


Aku tersenyum lemah, lalu mengikuti Bram ke motornya. Begitu kami melaju di jalan raya, suasana hening. Bram selalu diam, dan aku selalu tenggelam dalam pikiranku. Namun, malam ini berbeda. Ada sesuatu yang mengusik di dalam kepalaku. Kata-kata Maya berputar-putar, menggema.


Ketika kami tiba di tempat tujuan—sebuah kafe kecil yang kami sering kunjungi—aku akhirnya membuka mulut. "Bram, kamu pernah merasa kehilangan arah?"


Dia menatapku dengan tatapan datar. "Kehilangan arah? Maksudmu?"


"Kamu tahu, merasa... tersesat. Seperti kamu nggak tahu apa yang kamu cari dalam hidup ini."


Bram menatapku cukup lama, lalu menghela napas. "Hidup ini memang nggak selalu jelas, Ren. Kita hanya perlu menjalani apa yang ada di depan mata. Fokus pada apa yang bisa kita kendalikan."


"Kendalikan? Seperti merokok?" tanyaku setengah bergurau, mencoba menguji reaksinya.


Bram hanya mengangkat bahu. "Jika itu membuatmu merasa lebih baik, kenapa tidak?"


Jawabannya membuatku terdiam. Selama ini, aku berpikir bahwa merokok adalah cara untuk menemukan kendali dalam hidupku, tapi semakin aku mendengarkan diriku sendiri, semakin aku sadar bahwa itu hanya ilusi. Rokok tidak memberiku kendali; itu hanya membuatku merasa seolah-olah aku punya kendali, padahal aku sebenarnya semakin jauh tersesat.


"Ren," Bram memanggilku. "Kamu baik-baik saja?"


Aku menghela napas panjang. "Nggak, Bram. Aku nggak baik-baik saja."


Dia menatapku dengan bingung, tidak tahu harus berkata apa. Untuk pertama kalinya, aku merasakan keheningan di antara kami begitu berat.


"Bram, aku butuh waktu untuk sendiri. Aku harus menemukan jati diriku tanpa lari dari masalah dengan rokok, atau apapun itu."


Aku tahu kata-kataku mengejutkannya. Tapi aku tidak peduli lagi. Aku perlu menyelesaikan pertarunganku dengan diriku sendiri. Aku perlu berhenti lari.


Dan kali ini, aku akan berhenti, bukan hanya dari rokok, tetapi dari semua ilusi yang selama ini aku ciptakan.


Asap terakhir yang kuhembuskan menghilang bersama senja, dan di dalamnya, aku mulai menemukan diriku yang sebenarnya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cerita Pendek:Cinta Di Sepertiga Malam

Cerita Pendek Romantis:Jarak Yang Mematikan

Puisi:Dalam Hujan Aku Mengenangmu