Cerita pendek:Di Ujung Tali Kehancuran
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Ilusi foto Cerita pendek:Di Ujung Tali Kehancuran (https://pixabay.com/id/photos/kesedihan-depresi-pria-kesendirian-5520343/) |
Aku berdiri di depan cermin, memandangi bayangan diriku yang semakin asing. Mata yang kosong, wajah yang pucat, bibir yang bergetar. Dunia di sekelilingku seolah-olah memudar, hanya menyisakan bayangan kelabu dari kenyataan yang menyakitkan. Aku ingin berteriak, tapi suaraku tertahan di tenggorokan. Aku ingin menangis, tapi air mata ini sudah habis. Yang tersisa hanyalah hampa—dan tali yang menggantung di langit-langit kamar.
"Tidak ada jalan keluar," bisikku pada bayanganku sendiri, suaraku terdengar lebih seperti desahan. Tak ada yang akan menolong. Tak ada yang peduli.
Semuanya dimulai dengan sebuah pesan singkat, sebuah tawaran pinjaman online yang menggiurkan. “Butuh uang cepat? Dapatkan hingga 10 juta tanpa jaminan!” Pesan itu masuk di tengah malam, saat aku sedang terjaga dengan kepala penuh kekhawatiran tentang biaya kuliah yang semakin menumpuk dan tagihan yang tak henti-hentinya datang. Rasanya seperti sebuah jawaban dari langit, solusi instan untuk semua masalahku.
Tanpa berpikir panjang, aku mengajukan permohonan. Beberapa jam kemudian, uang itu masuk ke rekeningku. Cepat dan mudah, seperti mimpi. Aku merasa bebas, setidaknya untuk sementara.
Tapi mimpi itu berubah menjadi mimpi buruk lebih cepat daripada yang pernah kubayangkan. Bunga pinjaman yang mencekik leher, terus bertambah setiap hari. Dan saat aku gagal membayar cicilan pertama, telepon dan pesan-pesan ancaman mulai berdatangan. Mereka tidak hanya menghubungi aku, tapi juga keluargaku, teman-temanku. Mereka memfitnahku sebagai penipu, mengancam akan mempermalukan keluargaku. Setiap pesan yang masuk membuat darahku mendidih dan tubuhku gemetar ketakutan.
“Bayar utangmu, atau kami akan membuat hidupmu neraka,” begitu bunyi salah satu pesan. Aku tahu mereka serius. Aku tahu mereka bisa melakukannya.
“Kenapa kau tidak berbicara dengan orang tua, Nak? Mungkin mereka bisa membantumu,” kata Rina, sahabatku sejak kecil, ketika akhirnya aku memberanikan diri untuk bercerita padanya.
“Aku tidak bisa, Rina. Aku tidak bisa membebani mereka dengan ini. Mereka sudah cukup menderita.” Suaraku terdengar putus asa, dan aku tahu Rina bisa merasakannya.
“Tapi... kau tidak bisa melakukannya sendirian. Ini bukan salahmu. Mereka yang menjebakmu dalam perangkap ini.”
“Tidak ada jalan keluar,” ulangku, kali ini dengan suara yang lebih keras, seolah-olah aku ingin meyakinkan diriku sendiri. “Aku tidak ingin mereka tahu, Rina. Aku tidak ingin mereka melihatku sebagai seorang pecundang yang tak mampu mengatasi hidupnya sendiri.”
Rina diam. Hening yang menyakitkan mengisi ruang di antara kami, seolah-olah dia tahu bahwa tidak ada yang bisa dikatakan lagi. Kami berpisah tanpa kata-kata perpisahan yang nyata, dan aku kembali ke kamarku yang sepi, semakin terpuruk dalam keterasingan yang kian dalam.
Hari demi hari berlalu, dan semakin aku berusaha untuk keluar dari jebakan ini, semakin dalam aku terjerumus. Aku mencari pinjaman lain untuk melunasi hutang pertama, lalu hutang kedua untuk menutupi hutang ketiga, dan seterusnya. Seperti lingkaran setan yang tak pernah berakhir, terus memutar hingga aku tercekik.
Aku mencoba untuk bekerja lebih keras, mencari pekerjaan tambahan, tetapi hasilnya selalu kurang. Tidak peduli seberapa keras aku berusaha, utang itu tetap seperti bayangan hitam yang mengikutiku, menyesakkan setiap napas yang kuambil.
“Aku tak tahan lagi,” gumamku pada diriku sendiri, suatu malam yang sunyi. Aku duduk di lantai, memandangi tali yang telah kupersiapkan sejak beberapa hari yang lalu. Rasa dingin dari lantai menembus tulang-tulangku, tetapi aku tidak peduli. Rasa dingin itu terasa seperti pelukan hangat dibandingkan dengan kengerian yang kurasakan setiap hari.
Ponselku berdering lagi, mengganggu kesunyian malam. Sebuah pesan masuk, kali ini dari nomor tak dikenal.
“Kami tahu di mana kau tinggal. Bayar utangmu, atau keluarga dan teman-temanmu akan menderita.”
Tangan-tanganku gemetar saat membaca pesan itu. Mereka telah menyusup ke dalam hidupku, merampas segala kebahagiaan dan harapanku. Aku tidak bisa membiarkan mereka menyakiti orang-orang yang kucintai. Tapi aku juga tidak bisa menemukan cara untuk keluar dari cengkeraman mereka.
Kupandangi tali itu lagi, dan kali ini aku berdiri. Rasanya seperti ada yang mendorongku, seperti ada kekuatan yang lebih besar yang menarikku ke arah tali itu. Mungkin inilah akhir yang pantas untukku. Sebuah pelarian dari penderitaan yang tak pernah berakhir.
Aku mengikat tali di leherku, tanganku kaku dan berkeringat. Setiap gerakan terasa lambat dan berat, seolah-olah waktu sendiri menolak untuk membiarkan aku melangkah lebih jauh. Aku berdiri di atas kursi, merasakan napas yang berat dan bergetar. Dalam detik-detik terakhir itu, bayangan wajah-wajah yang kucintai muncul di benakku. Orang tuaku, Rina, dan teman-teman yang tak tahu apa-apa tentang penderitaanku.
“Maafkan aku,” bisikku, dan kupijakkan kakiku pada udara kosong.
Gelap. Detik-detik berlalu dalam keheningan yang mencekam. Aku bisa merasakan detak jantungku yang semakin lemah, napas yang semakin pendek. Tapi lalu, kursi itu tiba-tiba tergeser, dan aku terjatuh ke lantai dengan bunyi berdebam yang keras. Tali itu putus.
Aku tergeletak di lantai, terengah-engah, antara hidup dan mati. Air mata mengalir tanpa henti, campuran antara rasa syukur dan putus asa. Mungkin, ini adalah sebuah tanda—tanda bahwa aku masih punya kesempatan, sekecil apa pun itu, untuk bertahan dan melawan.
Dengan sisa kekuatan yang ada, aku meraih ponselku dan menghubungi Rina. Suaraku bergetar ketika dia mengangkat telepon, “Rina... aku butuh bantuan.”
Tak lama kemudian, Rina datang dengan orang tuaku, wajah mereka penuh kekhawatiran. Aku akhirnya menceritakan semuanya. Meski merasa malu, namun aku sadar bahwa memikul beban ini sendirian hanya akan membawaku semakin jauh ke dalam kegelapan. Mereka memelukku, memberikan dukungan yang selama ini kutolak.
Prosesnya tidak mudah, hutang masih ada, ancaman masih terus menghantui, tapi kali ini aku tidak sendirian. Bersama mereka, aku mulai mencari jalan keluar yang lebih baik, langkah demi langkah, untuk melepaskan diri dari jeratan maut ini.
Aku tahu perjalanan ini akan panjang dan berat, tetapi untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, aku merasa ada harapan. Aku memilih untuk hidup, meski bayangan kegelapan masih membayang di kejauhan. Tapi aku tahu, aku tidak lagi berjalan sendirian.
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Komentar
Posting Komentar