Cerita Pendek:Duri dalam Mawar

Gambar
  Ilusi gambar Cerita Pendek:Duri dalam Mawar  https://pixabay.com/id/photos/pasangan-matahari-terbenam-6562725/ Hujan mengguyur lebat malam itu, membasahi jalan setapak menuju rumah tua di pinggir kota. Lampu jalan yang remang-remang memantulkan bayangan pohon yang melambai seperti sosok-sosok hantu. Di dalam rumah itu, tiga jiwa terjerat dalam cinta yang gelap. Amara duduk di sofa ruang tamu, menatap cangkir teh di tangannya yang dingin. Hatinya berdenyut oleh kecamuk rasa bersalah dan kebencian. Di seberangnya, Reza berdiri sambil menyandarkan tubuhnya ke dinding, rokok terselip di antara jari-jarinya. “Amara,” kata Reza dengan suara rendah. “Kamu harus memilih. Aku atau dia.” Amara mendongak, matanya yang kelam bertemu dengan tatapan tajam Reza. “Ini tidak semudah itu, Reza. Aku mencintai kalian berdua. Tapi...” Suaranya pecah, tertahan oleh air mata yang menggantung di kelopak matanya. Pintu depan berderit terbuka, dan langkah berat terdengar dari koridor. Arya muncu...

Cerita Pendek:Aisyah di Tengah Badai Perang


Ilusi foto Cerita Pendek:Aisyah di Tengah Badai Perang,foto:https://pixabay.com/id/photos/jalan-kota-rakyat-malam-perkotaan-7752940/


Suara ledakan menggema di langit Gaza, mengguncang hati Aisyah yang bergetar dalam sunyi. Anak perempuan berusia sembilan tahun itu berdiri di pinggir jendela rumahnya yang rusak. Asap membubung tinggi di kejauhan, tanda bahwa serangan udara baru saja menghantam kota mereka lagi. Rumahnya, dulu nyaman dan damai, kini hanya tersisa dinding-dinding yang retak. Aisyah menatap langit yang dipenuhi suara jet tempur Israel, lalu menunduk menatap boneka lusuh di tangannya. Sebuah boneka yang dulu pernah membawa kebahagiaan, kini hanya jadi pengingat dunia yang telah hancur.


"Aisyah, ayo ke ruang bawah tanah sekarang!" teriak ibunya, Laila, dengan nada putus asa. Wajahnya yang dulu penuh senyum kini berubah jadi guratan ketakutan yang tak pernah hilang.


Aisyah berlari, menuruni tangga ke ruang bawah tanah kecil yang menjadi perlindungan mereka selama berhari-hari. Di sana, ayahnya, Yasser, duduk di sudut ruangan dengan wajah penuh kecemasan. Di dekatnya, adik laki-laki Aisyah yang berusia empat tahun, Mahmoud, meringkuk dalam dekapan sang ayah.


"Mereka akan datang lagi, ayah?" tanya Aisyah dengan suara bergetar. Matanya menatap ayahnya yang tampak lebih tua dari usianya.


Yasser menelan ludah, mencoba tersenyum meski hatinya penuh kekhawatiran. "Mungkin, tapi kita akan aman di sini. Kita harus tetap bersama dan kuat, Aisyah."


Kata-kata Yasser terasa kosong bagi Aisyah. Bagaimana bisa merasa aman jika dunia di luar sana penuh dengan kematian? Setiap hari, mereka mendengar kabar tetangga, teman, atau bahkan keluarga yang kehilangan nyawa akibat serangan. Hati Aisyah penuh dengan pertanyaan yang tak terjawab—mengapa mereka harus hidup di tengah perang yang tak pernah mereka inginkan?


Suara ledakan keras mengguncang dinding ruang bawah tanah, membuat debu beterbangan di udara. Mahmoud menangis keras, menggenggam erat lengan ayahnya. Yasser berusaha menenangkan anak-anaknya, sementara Laila menatap dinding dengan kosong, seolah harapan telah lenyap.


Beberapa saat kemudian, suara sirene berhenti. Keheningan yang menakutkan menyelimuti mereka. Aisyah memberanikan diri untuk membuka pintu ruang bawah tanah sedikit, mengintip keluar.


"Jangan keluar dulu, Aisyah," ujar Laila, memegang bahunya.


Aisyah menelan air liurnya. "Aku hanya ingin tahu apakah kita masih punya rumah."


"Rumah itu bukan lagi yang penting," gumam Laila, suaranya nyaris tak terdengar. "Yang penting adalah kita masih hidup."


Aisyah menarik napas dalam-dalam. Betapa menyedihkan hidup di dunia di mana selamat dari serangan lebih penting daripada rumah atau kebahagiaan.


Tak lama setelah itu, pintu rumah terdengar diketuk keras dari luar. Suara seorang lelaki terdengar, memanggil nama Yasser.


"Itu suara Saeed," kata Yasser sambil bangkit berdiri. Saeed adalah tetangga mereka yang sudah lama tinggal di sekitar rumah mereka.


"Ada apa, Saeed?" tanya Yasser, membuka pintu depan dengan hati-hati.


"Kita harus segera pergi. Pasukan darat Israel sudah mendekat ke daerah ini. Mereka akan datang untuk menghancurkan sisa-sisa perlawanan. Kota ini tak aman lagi. Aku punya mobil, kita bisa pergi sekarang sebelum terlambat," jelas Saeed dengan napas terengah-engah.


Yasser menatap Laila yang memeluk Mahmoud dengan erat. Aisyah berdiri di samping ibunya, wajahnya pucat. Dia tahu keputusan besar ini harus segera diambil. Tetap tinggal berarti bertaruh nyawa, namun pergi juga tidak menjamin keselamatan.


"Kita tidak bisa menunggu lebih lama," desak Saeed. "Ayo, sebelum semuanya terlambat."


Dengan hati yang berat, Yasser mengangguk. "Baiklah, kami ikut denganmu."


Dalam kegelapan malam, mereka bergerak cepat. Aisyah menggenggam erat tangan ibunya, sementara Yasser membawa Mahmoud di gendongannya. Saeed memimpin mereka menuju mobil yang terparkir di ujung jalan. Jalanan gelap, hanya diterangi sinar bulan yang pucat. Di kejauhan, suara tembakan masih terdengar samar-samar, membuat detak jantung Aisyah semakin cepat.


Mobil Saeed kecil, tapi cukup untuk menampung mereka. Mereka segera masuk dan Saeed menyalakan mesin, siap melaju. Namun, tiba-tiba terdengar suara mendengung keras di atas kepala mereka. Aisyah menengadah ke langit, matanya membulat melihat cahaya merah terang yang datang mendekat.


"Roket! Cepat keluar!" teriak Saeed.


Tanpa pikir panjang, mereka semua bergegas keluar dari mobil. Detik berikutnya, ledakan dahsyat terjadi. Mobil Saeed meledak, terpental ke udara, meninggalkan api yang membakar. Aisyah terlempar ke tanah, tubuhnya terasa sakit di sekujur tubuh. Asap dan debu memenuhi udara, membuatnya sulit bernapas.


"Aisyah!" suara ibunya terdengar jauh, namun samar.


Aisyah berusaha bangkit. Lututnya berdarah, dan tubuhnya terasa lemah. Ia memandang sekeliling, mencari keluarganya. Di tengah kepanikan, dia melihat Laila yang terbaring tak bergerak di tanah.


"Ibu!" teriak Aisyah, berlari meski tubuhnya terasa berat.


Ketika Aisyah sampai di samping ibunya, Laila terengah-engah. Matanya terbuka, tetapi ada luka besar di bahunya.


"Aisyah... lari..." bisik Laila dengan sisa-sisa kekuatannya. "Cari tempat aman."


"Tidak, aku tidak akan meninggalkanmu!" Aisyah menggenggam tangan ibunya erat-erat, air mata mengalir deras di wajahnya.


Namun, Laila hanya tersenyum lemah. "Kau harus bertahan, Nak. Kau harus hidup."


Dengan sisa-sisa kekuatan, Aisyah menarik tubuh ibunya, mencoba menghindar dari puing-puing dan bahaya di sekeliling. Di tengah ledakan, dentuman, dan api yang tak kunjung reda, Aisyah berjanji pada dirinya sendiri: ia akan bertahan. Ia akan hidup. Meskipun di tengah perang yang tiada akhir, harapan kecil itu tetap ada.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cerita Pendek:Cinta Di Sepertiga Malam

Cerita Pendek Romantis:Jarak Yang Mematikan

Puisi:Dalam Hujan Aku Mengenangmu