Cerita Pendek: Luka yang Terbuka
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Ilusi foto Cerita Pendek: Luka yang Terbuka:https://pixabay.com/id/photos/cinta-pasangan-keluarga-kekasih-2055372/ |
Aku masih bisa merasakan kehangatan tubuhnya tadi malam, saat dia berbaring di sebelahku, napasnya teratur, dan wajahnya terlihat begitu damai. Namun, kedamaian yang ada di wajahnya tidak sama dengan yang aku rasakan dalam hatiku. Sudah berbulan-bulan aku merasakan ada yang berubah. Cinta kami tak lagi hangat seperti dulu; ada sesuatu yang tak kasat mata, tapi tajam seperti duri yang menusuk perlahan-lahan.
Namanya Hana. Wanita yang
kucintai lebih dari diriku sendiri. Kami bersama hampir lima tahun, dan kupikir
dia adalah segalanya bagiku. Tapi belakangan, ada jarak yang tak dapat
kujelaskan. Percakapan kami semakin jarang, dan ketika dia bersamaku, matanya
seperti menerawang ke dunia yang berbeda. Dia selalu mengatakan dia sibuk
dengan pekerjaan, bertemu teman-teman, atau sekadar butuh waktu sendiri. Aku
ingin percaya, sungguh. Tapi, ada dorongan kuat di dalam dadaku yang terus
menanyakan, "Apa dia jujur?"
Tadi malam, rasa curiga
yang membakar di pikiranku mencapai puncaknya. Aku tak bisa tidur. Perasaan
itu, seperti ada sesuatu yang hendak meruntuhkan dinding kepercayaan yang telah
susah payah kami bangun. Jadi, dengan hati berdebar dan tangan gemetar, aku
mengambil ponselnya saat dia tertidur. Aku tahu ini salah, tapi aku butuh
kebenaran. Aku membukanya.
Dan di situlah semuanya
terbuka. Pesan-pesan singkat, namun penuh makna antara Hana dan seseorang
bernama Rey. Panggilan sayang, rencana pertemuan diam-diam, dan kata-kata yang
membuat jantungku seakan berhenti berdetak. Dadaku sesak, napasku terhenti. Tanganku
gemetar saat membaca setiap pesan. Mereka sudah bertemu berulang kali di
belakangku. Berkali-kali. Rasa sakit itu menyeruak dalam diriku, seperti pisau
yang menusuk dan terus memutar di dalam hati.
Aku bangkit dari tempat
tidur, berjalan ke dapur dengan langkah yang berat. Kucoba menarik napas
panjang, namun semuanya terasa sia-sia. Rasa benci dan cinta bercampur menjadi
satu, seperti racun yang perlahan meracuni pikiranku. Aku menatap pisau di atas
meja dapur. Pikiran itu datang begitu cepat dan gelap, menelanku sebelum aku
sempat menolaknya.
Namun, aku tak ingin
berpikir bahwa itu jalan keluarnya. Aku mencintai Hana, meskipun dia telah
menghancurkan hatiku. "Bicarakan dulu," kataku pada diriku sendiri,
berusaha menenangkan kekacauan di dalam kepala. Aku kembali ke kamar. Hana
masih tertidur, wajahnya masih seindah yang pernah aku kagumi. Tapi kini, wajah
itu adalah wajah seorang pengkhianat.
Pagi tiba. Aku bangun lebih
awal dari biasanya, masih teringat dengan apa yang kutemukan semalam. Rasa
sakit itu seperti api yang tak kunjung padam. Ketika Hana membuka mata, dia
tersenyum padaku seolah tidak ada yang terjadi.
"Sayang, kau bangun
lebih awal," ucapnya lembut, tanpa tahu badai apa yang menanti.
"Hana," suaraku
terdengar datar. "Kita harus bicara."
Dia melihat ke arahku,
menyadari ada yang salah dalam nada bicaraku. "Apa yang terjadi?"
tanyanya pelan.
Aku tak bisa menahan lagi.
"Siapa Rey?"
Wajahnya pucat dalam
sekejap. Aku melihat bagaimana matanya membelalak, kepanikan yang tak bisa
disembunyikannya. Itu adalah pengakuan tanpa kata. Tubuhku serasa dirasuki oleh
emosi yang tak terkendali. "Sudah berapa lama, Hana? Sudah berapa lama kau
mengkhianati aku?"
Dia mencoba mendekat,
meletakkan tangannya di lenganku, tapi aku mundur. "Aku bisa
jelaskan..." suaranya bergetar.
"Tidak ada yang perlu
dijelaskan," bentakku. "Aku sudah membaca semuanya."
Wajahnya menegang, air
matanya mulai mengalir. "Aku minta maaf. Aku tak bermaksud
menyakitimu..."
"Kau tidak
bermaksud?" Aku menertawakan ucapannya, tapi itu adalah tawa yang penuh
dengan kepedihan. "Lalu kenapa kau melakukannya?"
Hana terisak, wajahnya
memerah, tetapi bagiku air matanya tidak berarti apa-apa lagi. Aku tidak ingin
mendengarkan permintaannya. Rasa sakit itu terlalu dalam. Setiap kata yang
keluar dari mulutnya adalah kebohongan. Setiap tetesan air matanya adalah penghinaan
bagi hatiku.
Aku berjalan ke dapur,
mengambil pisau yang kulihat semalam. Tanganku menggenggamnya erat, napasku
berat, dan darahku mendidih. Ketika aku kembali ke ruang tamu, Hana berdiri di
sana, memandangku dengan mata yang ketakutan.
"Fikri, jangan lakukan
ini," suaranya serak. "Aku minta maaf. Kumohon..."
"Aku memberimu
segalanya, Hana," kataku, suaraku parau oleh amarah yang tertahan.
"Tapi kau... kau memilih menghancurkan semuanya."
Dia mundur perlahan,
memeluk dirinya sendiri, matanya tak pernah lepas dari pisau di tanganku.
"Kita bisa memperbaiki ini," katanya lemah. "Kita bisa bicara,
mohon..."
Tapi sudah terlambat. Luka
di hatiku terlalu dalam untuk disembuhkan oleh kata-kata. Tubuhku bergerak
seakan di luar kendaliku, dan aku mengayunkan pisau itu ke arahnya.
Dia menjerit, tapi tidak
cukup cepat untuk menghindar.
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Komentar
Cerita nya sangat menarik, menegangkan tapi kalimat terlalu kliseš¤£
BalasHapus