Cerita Pendek:Duri dalam Mawar

Gambar
  Ilusi gambar Cerita Pendek:Duri dalam Mawar  https://pixabay.com/id/photos/pasangan-matahari-terbenam-6562725/ Hujan mengguyur lebat malam itu, membasahi jalan setapak menuju rumah tua di pinggir kota. Lampu jalan yang remang-remang memantulkan bayangan pohon yang melambai seperti sosok-sosok hantu. Di dalam rumah itu, tiga jiwa terjerat dalam cinta yang gelap. Amara duduk di sofa ruang tamu, menatap cangkir teh di tangannya yang dingin. Hatinya berdenyut oleh kecamuk rasa bersalah dan kebencian. Di seberangnya, Reza berdiri sambil menyandarkan tubuhnya ke dinding, rokok terselip di antara jari-jarinya. “Amara,” kata Reza dengan suara rendah. “Kamu harus memilih. Aku atau dia.” Amara mendongak, matanya yang kelam bertemu dengan tatapan tajam Reza. “Ini tidak semudah itu, Reza. Aku mencintai kalian berdua. Tapi...” Suaranya pecah, tertahan oleh air mata yang menggantung di kelopak matanya. Pintu depan berderit terbuka, dan langkah berat terdengar dari koridor. Arya muncu...

CERITA PENDEK :"TERSISA DALAM BAYANG BAYANG"


CERITA PENDEK :"TERSISA DALAM BAYANG BAYANG"
Ilusi Foto (https://pixabay.com/id/photos/pasangan)


Aku berdiri di depan jendela kamar, menatap ke luar dengan pandangan kosong. Hari ini adalah hari yang seharusnya menjadi milikku, tetapi kini hanya menjadi hari yang penuh luka. Hujan turun deras, seolah langit turut merasakan apa yang kurasakan—kepedihan yang menyesakkan dada.


"Apa yang kamu lakukan di sini, Rin?" Suara lembut Rina mengagetkanku dari belakang. Dia adalah sahabatku, yang sudah berada di sisiku sejak aku kecil. Dialah yang selalu ada untukku, di saat aku merasa dunia runtuh.


Aku tak berbalik. Aku tetap berdiri memandang hujan, membiarkan rasa sakit itu meresap ke dalam setiap pori-pori tubuhku. "Aku sedang berpikir, Rina. Tentang semua yang terjadi hari ini," jawabku lirih, suara yang bahkan aku sendiri hampir tak bisa mendengarnya.


Rina melangkah mendekat, tangannya meraih pundakku, memberiku kekuatan yang aku butuhkan. "Kamu harus berhenti memikirkan dia, Rin. Ini bukan salahmu."


Aku tahu itu, tapi rasa bersalah ini tak mau pergi. Bagaimana mungkin seseorang yang sudah berjanji akan sehidup semati denganku, bisa begitu saja meninggalkanku di ambang pernikahan? Bagaimana mungkin dia memilih orang lain, hanya beberapa bulan sebelum pernikahan kami? 


"Iya, tapi aku masih tidak percaya dia melakukan ini padaku, Rina. Aku benar-benar mencintainya. Aku rela memberikan segalanya untuknya," ucapku dengan suara bergetar. Tanganku mengepal erat di jendela, hampir seperti aku ingin menghancurkannya, berharap rasa sakit di tanganku bisa menandingi rasa sakit di hatiku.


"Rin, dengar... Ini semua bukan salahmu. Terkadang, orang berubah. Dan itu menyakitkan, aku tahu. Tapi kamu harus mulai memikirkan dirimu sendiri sekarang. Jangan biarkan dia menghancurkan hidupmu yang indah ini," Rina mencoba menguatkanku, suaranya tegas namun penuh kasih.


Aku berbalik menghadap Rina, air mata mengalir deras di pipiku. "Rina, aku... aku tidak tahu apa yang harus kulakukan. Semua ini terlalu mendadak. Dia tiba-tiba berubah, menjauh, dan kemudian... menikah dengan orang lain. Padahal, dia yang memintaku untuk menunggunya, untuk percaya padanya."


"Aku tahu, sayang. Tapi, lihatlah dirimu, kamu sudah cukup kuat untuk melewati ini. Kamu hanya butuh waktu. Kita semua butuh waktu untuk menyembuhkan luka," balas Rina sambil menarikku dalam pelukannya.


Waktu... seandainya waktu bisa menyembuhkan segalanya. Namun, waktu hanya membuatku semakin tenggelam dalam rasa sakit ini. Setiap hari terasa seperti siksaan, setiap detik adalah pengingat bahwa dia tidak lagi milikku, bahwa dia sudah menjadi milik orang lain.


Hari itu datang begitu cepat. Aku bahkan tidak punya kesempatan untuk memproses semuanya. Rina mengatakan padaku tentang pernikahannya. Aku tidak percaya pada awalnya, tapi ketika melihat undangan itu dengan mataku sendiri, aku tahu semua yang telah dia janjikan hanyalah kebohongan.


"Kenapa dia, Rina? Apa yang dia miliki yang tidak kumiliki?" tanyaku dengan suara serak, merasa tak berdaya.


Rina menggeleng pelan, menatapku dengan mata penuh simpati. "Bukan tentang apa yang dia miliki atau tidak miliki, Rin. Ini tentang pilihan yang dia buat. Dan mungkin, ini adalah jalan terbaik untukmu, meskipun sulit untuk diterima sekarang."


Aku terdiam, membiarkan kata-kata Rina meresap. Rasa sakit itu masih ada, menusuk lebih dalam setiap kali aku mengingat wajahnya, senyumannya, dan janjinya yang sekarang hanya tinggal kenangan.


***


Hari pernikahan itu tiba, hari yang seharusnya menjadi milikku. Aku memutuskan untuk tidak hadir, meskipun undangan itu ada di tanganku. Aku tahu aku tidak akan sanggup melihatnya berdiri di sana, mengucap janji setia dengan orang lain.


Namun, di dalam hatiku, aku tahu bahwa aku harus melangkah maju. Aku harus keluar dari bayang-bayangnya, dari semua kenangan yang menyiksaku.


Ponselku berbunyi, sebuah pesan masuk. Dari dia.


_"Rin, aku tahu ini sulit untukmu. Aku tahu aku telah menghancurkanmu. Tapi, aku harap kamu bisa memaafkanku suatu hari nanti. Aku hanya ingin kamu bahagia, meskipun itu berarti aku tidak bisa bersamamu."_


Air mataku jatuh lagi, lebih deras dari sebelumnya. Aku tahu aku harus merelakannya, tapi kata-katanya membuatku merasa hancur lagi, seolah-olah pisau yang sudah tertancap di hatiku ditusukkan lebih dalam.


Tapi aku harus kuat. Untuk diriku sendiri, aku harus kuat.


Aku menatap ke arah luar jendela, di mana hujan sudah mulai reda. Matahari mulai muncul, sinarnya menembus awan kelabu. Seolah memberitahuku bahwa setelah badai, akan selalu ada cahaya.


Aku menarik napas panjang dan menghapus air mataku. Ini saatnya untuk memulai hidup baru, tanpa dia. Aku harus belajar mencintai diriku sendiri, sebelum aku bisa mencintai orang lain lagi.


"Rina," panggilku, berbalik menatap sahabatku yang setia.


"Ya?" jawabnya, matanya penuh harapan.


"Ayo kita keluar. Aku butuh udara segar," kataku, mencoba tersenyum meski hati ini masih terasa hancur.


Rina tersenyum, mengangguk pelan. "Tentu, Rin. Aku selalu ada untukmu."


Dan dengan itu, aku melangkah keluar dari bayang-bayang masa lalu, menuju hari-hari baru yang penuh harapan. Ini bukan akhir dari segalanya. Ini adalah awal dari sesuatu yang baru, meskipun jalan di depan masih panjang dan penuh liku. Aku akan bertahan, dan aku akan menemukan kebahagiaanku, suatu hari nanti.

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cerita Pendek:Cinta Di Sepertiga Malam

Cerita Pendek Romantis:Jarak Yang Mematikan

Puisi:Dalam Hujan Aku Mengenangmu