Cerita Pendek:Duri dalam Mawar

Gambar
  Ilusi gambar Cerita Pendek:Duri dalam Mawar  https://pixabay.com/id/photos/pasangan-matahari-terbenam-6562725/ Hujan mengguyur lebat malam itu, membasahi jalan setapak menuju rumah tua di pinggir kota. Lampu jalan yang remang-remang memantulkan bayangan pohon yang melambai seperti sosok-sosok hantu. Di dalam rumah itu, tiga jiwa terjerat dalam cinta yang gelap. Amara duduk di sofa ruang tamu, menatap cangkir teh di tangannya yang dingin. Hatinya berdenyut oleh kecamuk rasa bersalah dan kebencian. Di seberangnya, Reza berdiri sambil menyandarkan tubuhnya ke dinding, rokok terselip di antara jari-jarinya. “Amara,” kata Reza dengan suara rendah. “Kamu harus memilih. Aku atau dia.” Amara mendongak, matanya yang kelam bertemu dengan tatapan tajam Reza. “Ini tidak semudah itu, Reza. Aku mencintai kalian berdua. Tapi...” Suaranya pecah, tertahan oleh air mata yang menggantung di kelopak matanya. Pintu depan berderit terbuka, dan langkah berat terdengar dari koridor. Arya muncu...

Cerita Pendek Jerat Cinta

 

Ilusi gambar cerita pendek jerita cinta

Ilusi photo by pexels.com

Aku duduk di kursi ruang tamu, tanganku gemetar menggenggam gelas kopi yang hampir tumpah. Di luar, hujan turun deras, menambah ketegangan dalam dadaku yang sudah penuh sesak. Pandanganku terpaku pada foto di meja. Foto kami berdua, tersenyum bahagia. Saat itu, dunia terasa milik kami berdua. Tapi, siapa sangka cinta bisa berbelok menjadi sesuatu yang kelam dan mematikan?

 

"Kau tampak gelisah, sayang,"suara Renata terdengar lembut dari balik punggungku. Aku menoleh, melihatnya berdiri di ambang pintu, mengenakan gaun putih yang membuatnya terlihat seperti malaikat. Tapi aku tahu lebih baik. Renata bukanlah malaikat. Dia adalah iblis yang terbungkus dalam keindahan.

 

Aku memaksakan senyum."Hanya sedikit lelah, itu saja,” jawabku, mencoba menyembunyikan ketakutan yang mulai merambat di benakku. Tapi aku tahu, Renata bisa membaca pikiranku. Dia selalu bisa.

 

Renata mendekat, duduk di sampingku. Aku bisa merasakan dinginnya kehadirannya, seperti bayangan yang menyelimutiku. "Kau tahu aku mencintaimu, bukan?" bisiknya, jemarinya mengelus pipiku dengan lembut. Sentuhannya membuat bulu kudukku meremang.

 

**"Tentu, aku tahu,"** aku menjawab, meski suara hatiku berteriak sebaliknya. Aku ingat pertama kali bertemu dengannya. Wajahnya yang cantik, senyumnya yang manis, dan matanya yang tajam, semuanya menghipnotisku. Aku terjebak dalam pesonanya, tanpa tahu apa yang menantiku di balik semua itu.

 

Waktu berlalu, dan Renata semakin menunjukkan sisi gelapnya. Kecemburuan yang tak masuk akal, amarah yang meledak tanpa sebab, hingga kontrol yang begitu kuat atas hidupku. Aku tak lagi menjadi diriku sendiri, melainkan bayangan dari apa yang diinginkan Renata.

 

Malam itu, aku tak bisa lagi menahan semuanya. "Renata," aku memberanikan diri, meski suaraku terdengar bergetar. **"Aku... aku ingin kita berhenti. Hubungan ini sudah terlalu jauh."**

 

Matanya yang indah itu berubah dingin seketika. "Berhenti? Maksudmu kita berpisah?"tanyanya, nadanya datar tapi penuh ancaman.

 

Aku mengangguk pelan, mencoba menahan napas. "Ya, Renata. Aku tidak bisa terus seperti ini."

 

Dia tertawa kecil, suara yang biasanya manis, kini terdengar menakutkan. "Kau tahu, sayang. Tak ada yang bisa meninggalkanku. Tidak ada. Kau adalah milikku, dan hanya aku yang bisa memutuskan kapan semuanya berakhir."

 

Detak jantungku semakin cepat. Di hadapanku, Renata bukan lagi perempuan yang kucintai. Dia berubah menjadi sosok yang asing, berbahaya, dan mengerikan. Aku harus pergi dari sini, pikirku. Tapi bagaimana?

 

Renata tiba-tiba berdiri, matanya menyala penuh kemarahan. "Kau pikir kau bisa meninggalkanku begitu saja?!teriaknya, membuatku tersentak.

 

Aku mundur, mencoba menjauh darinya. "Renata, tenanglah. Kita bisa bicara baik-baik." Tapi kata-kataku sia-sia. Renata sudah terjebak dalam kemarahannya.

 

"Kau tak akan pernah bisa pergi!" suaranya melengking, dan sebelum aku bisa bereaksi, dia menarik pisau dari balik gaunnya. Mata pisau itu berkilat di bawah cahaya lampu, mencerminkan niat buruk di baliknya.

 

Aku tak punya waktu untuk berpikir. Ketakutan menguasai diriku sepenuhnya. Aku berlari menuju pintu, tapi Renata lebih cepat. Dia menabrakku dengan kekuatan yang mengejutkan, membuatku jatuh terkapar di lantai.

 

Renata, jangan!"Aku memohon, tapi dia tak menghiraukanku. Dalam sekejap, pisau itu sudah terayun ke arahku. Aku berusaha menghindar, tapi terasa mustahil. Dalam kegilaan itu, satu hal terlintas di benakku: jika aku tak melakukan sesuatu sekarang, ini akan menjadi akhir bagiku.

 

Dengan sisa tenaga yang kumiliki, aku meraih vas bunga di meja dan menghantamkannya ke kepala Renata. Dentingan kaca pecah memenuhi ruangan, dan Renata jatuh tersungkur. Napasku tersengal-sengal, tubuhku gemetar tak terkendali. Pisau itu terlepas dari genggamannya, jatuh di lantai di antara kami.

 

Aku menatap Renata yang terbaring tak bergerak. Apakah dia sudah mati? Aku tak tahu. Yang kutahu hanyalah aku harus bertahan hidup. Dengan tangan gemetar, aku meraih pisau itu, menyadari betapa berbahayanya keadaanku. Jika Renata masih hidup, dia tak akan berhenti sampai dia membunuhku.

 

Perlahan, aku mendekatinya, memastikan dia tak bergerak. Di saat itu, air mataku mulai mengalir. Cinta yang pernah kami miliki, kini berubah menjadi darah yang mengalir di antara kami. Dengan keputusan yang terpaksa, aku menusukkan pisau itu ke dadanya, memastikan dia tak akan bangun lagi.

 

Hening. Hanya ada suara hujan di luar dan detak jantungku yang memekakkan telinga. Aku berdiri, darah menetes dari tanganku yang gemetar. Semua sudah berakhir. Cinta yang dulu indah, kini hanya menyisakan kehancuran dan kematian. Aku tak pernah menyangka akan berakhir seperti ini.

 

Aku berjalan keluar rumah, meninggalkan semuanya di belakangku. Cinta telah membawa kita ke titik ini, tapi akhirnya, hanya kematian yang tersisa.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cerita Pendek:Cinta Di Sepertiga Malam

Cerita Pendek Romantis:Jarak Yang Mematikan

Puisi:Dalam Hujan Aku Mengenangmu