"BEKASI YANG SELALU ADA DALAM HATI"
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Ilusi photo (https://pixabay.com/id/photos) |
Saya tak menyarankan siapa pun tinggal di Kota Bekasi dan bekerja di Jakarta Selatan, kecuali panggilan ilahi memanggil. Contohnya saya—rekor tercepat saya menuju kantor di Kemang hanya sejam kurang 10 menit, dan itu pun karena hari libur.
Pulang kerja? Meski mencoba berbagai rute, tetap saja sejam lebih 10 menit. Tapi, ketakutan “tua di jalan” menghilang. Selama tinggal di Bekasi, lebih sering saya mengeluh soal cuaca panas, meski rumah kontrakan dikelilingi pepohonan di perumahan yang berlimpah taman.
Saat pertama kali pindah, saya terpukau dengan Kota Harapan Indah—supermarket, hotel, perkantoran, semuanya tampak modern. Namun, perumahan ini lebih mirip enklave Jakarta di dalam Bekasi. Berdiri sejak 1993, kawasan ini berusaha mencitrakan dirinya sebagai kota mandiri modern. Branding ini penting, mengingat lokasinya di Bekasi.
Gerbang Kota Harapan Indah megah dengan ikon Tarian Langit, yang menggantikan Patung Tiga Mojang pada 2014 setelah protes dari organisasi masyarakat Islam di Bekasi. Patung itu dituduh sebagai simbol Trinitas dan Bunda Maria. Namun, seniman Nyoman Nuarta membantahnya, mengatakan bahwa patung itu merepresentasikan Mojang Priangan menyambut tamu.
Ironisnya, ikon lain di Kota Summarecon Bekasi, piramida terbalik, kerap disalahartikan dengan satire dan sarkasme oleh warganet. Kota-kota satelit seperti Harapan Indah dan Summarecon, dengan tata ruang dan infrastruktur yang bagus, malah mengukuhkan julukan "Planet Bekasi". Julukan ini bukan sekadar sindiran dari “orang Jakarta”, tapi juga keluhan atas tata ruang dan infrastruktur Bekasi.
Tinggal di Bekasi, saya menyaksikan perpaduan antara kota dan kampung. Jalan tikus yang menghubungkan perumahan saya sering menyebabkan penumpukan kendaraan, dan ujungnya membawa saya ke antah berantah di Kabupaten Bekasi. Nuansa berbeda mengiringi perubahan lanskap dari kota ke pedesaan.
Bekasi memang unik. Di satu sisi, kota ini penuh dengan jalan berlubang, macet, dan tata ruang berantakan. Namun, di sisi lain, Bekasi juga memiliki fasilitas publik yang cukup memuaskan. Jalannya dilewati angkot JakLingko JAK-40, yang tak hanya menghubungkan tempat, tetapi juga mengungkap ironi di Bekasi.
Kota Bekasi, dengan segala keabsurdannya, telah mendapatkan pengakuan masyarakat dalam bentuk julukan "Planet Bekasi". Julukan ini lahir dari keluhan dan kekesalan, serta mencerminkan keinginan "orang Jakarta" agar Bekasi menyerupai Jakarta.
Menurut Jerome Tadie dalam buku *Revolusi Belum Selesai*, Presiden Soeharto membangun poros timur-barat menuju Bekasi dan Tangerang untuk mendukung perkembangan Jakarta. Namun, pembangunan tersebut terkesan semrawut dan penuh penyimpangan, tanpa kendali yang baik.
Tapi, Bekasi tetap membekas di hati. Seperti tokoh Farid dalam novel *Di Tepi Kali Bekasi* karya Pramoedya Ananta Toer, yang mengisahkan perjuangan rakyat Bekasi melawan penjajah. Bekasi mengukir kenangan di sanubari, tidak peduli berapa kali rezim berganti. Maka, ketika Anda mengalami kejadian aneh di Bekasi, ingatlah kata-kata Pramoedya, "Bekasi... berbekas di hati... kota yang membekasi."
---
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Komentar
Posting Komentar